Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH PAI

EKONOMI ISLAM
JUAL BELI, SEWA MENYEWA,
PERBANKAN SYARIAH DAN PINJAM MEMINJAM
DI
S
U
S
U
N

OLEH :
YOSKI PRATAMA
XI NKPI-2
EKONOMI ISLAM

Pengertian Jual Beli

Secara etimologi, Al Bay’u atau jual beli memiliki arti mengambil dan memberikan sesuatu. Hal
ini merupakan turunan dari Al Bara sebagaimana orang Arab senantiasa mengulurkan depa
ketika melangsungkan akad jual beli agar saling menepukkan tagan. Hal ini sebagai tanda bahwa
akad jual beli tersebut sudah terlaksana dan akhirnya mereka saling bertukar uang atau barang.

Secara terminiologi, jual beli memiliki arti transaksi tuka menukar barang atau uang yang
berakibat pada beralihnya hak milik barang atau uang. Prosesnya dilaksanakan dengan akad, baik
secara perbuatan maupun ucapan lisan. Hal ini dijelaskan dalam kitab Tauhidul Ahkam atau
Kitab Hukum Tauhid, 4-211.

Dalam Fiqih Sunnah, jual beli sendiri adalah tukar menukar harta (apapun bentuknya) yang
dilakukan mau sama mau atau sukarela atau proses mengalihkan hak milik harta pada orang lain
dengan kompensasi atau imbalan tertentu. Menurut fiqh sunnah, hal ini boleh dilakukan asalkan
masih dalam koridor syariat. Seperti harta dan barang yang dijual belikan adalah halal, bukan
benda haram, atau asalnya dari jalan yang haram.

Aturan Jual Beli dalam Islam

Dalam islam, aturan jual beli disampaikan dalam ayat-ayat, hadist, serta berbagai pendapat
ulama mengenai hal tersebut. Tentu saja aturan ini berdasarkan pada nilai dasar dari rukun islam
, rukun iman , Fungsi Iman Kepada Kitab Allah, Fungsi Iman Kepada Allah SWT, dan Fungsi
Al-quran Bagi Umat Manusia. Hal ini dapat dipahami dari beberapa dalil dibawah ini mengenai
jual beli menurut islam .

1. Dalam Al Quran

Di dalam Al-Quran surat Al Baqarah 275, dijelaskan bahwa Allah menghalalkan adanya Jual
beli. Yang diharamkan oleh Allah adalah riba, untuk itu, proses jual beli adalah suatu yang halal
dan tidak dilarang. Dalilnya sebagaimana ayat berikut:

“… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS Al Baqarah:
275)

Dalam syariat islam tidak melarang jual beli karena ada manfaat dan tujuan sosial yang ingin
diraih. Manusia membutuhkan aspek ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hiudpnya. Jika hal ini
dilarang tentu saja manusia akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya, padahal sangat
banyak kebutuhan hidup manusia dan tidak dapat dipenuhi secara sendirian.

2. Dalam Sunnah Rasul

“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan
kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan
jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR.
Muslim)

Dalil hadist di atas mensyariatkan bahwa proses jual beli adalah hal yang diperbolehkan.
Begitupun dengan barang yang berbeda jenisnya hal ini diperbolehkan asalkan tidak merugikan
salah satu pihak yang terlibat dalam transaksi.

Syarat-Syarat Jual Beli dalam Islam

Dalam konteks masyarakat terkadang proses jual beli ini diremehkan begitu saja, apalagi banyak
orang yang tidak menjalankan proses jual beli ini berdasarkan aturan islam. Tentu saja akhirnya
terjadi beragam ketidakadilan dan kedzaliman seperti penipuan, riba, dan lain sebagainya. Untuk
itu ada beberapa hal yang harus dilakukan umat islam agar hal itu tidak terjadi, dan
melaksnakannya berdasarkan syariat islam.

 “Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat), para
sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai
Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan
barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka
bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Maktabah Asyamilah)

Adapaun yang disampaikan oleh Umar Ibnu Khatab RA, “Yang boleh berjualan di pasar kami
ini hanyalah orang-orang yang faqih (paham akan ilmu agama), karena jika tidak, maka dia
akan menerjang riba.”

Berikut adalah syarat-syarat jual beli menurut islam yang perlu diperhatikan umat islam, agar
jual beli terlaksana dengan adil dan seimbang.

1. Transaksi di Lakukan dengan Ridha dan Sukarela

“janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (QS. An-Nisaa: 29)

Ayat ini diperjelas bahwa kedua belah pihak harus berkompeten untuk melakukan transaksi jual
beli. Mereka adalah orang orang yang paham mengenai jual beli, mampu menghitung atau
mengatur uang, dan dilakukan dengan kesadaran. Anak kecil yang tidak pandai atau belum
mengetahui masalah jual beli maka lebih baik orang tuanya yang mengatur. Orang gila tentu saja
tidak boleh dan dipaksa untuk membeli. Transaksi jual beli tidak boleh dilakukan secara
terpaksa, namun karena kebutuhan dan sukarela antara dua belah pihak. Jika tidak maka salah
satu pihak akan dirugikan.

2. Barang Bukan Milik Orang Lain

“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud)

Dari hadist di atas dijelaskan bahwa barang yang dijual bukanlah milik orang lain. Untuk itu
harus pasti, miliknya adalah milik pribadi, atau harta pemberian tidak masalah asalkan berasal
dari sumber yang berkah dan halal, jelas status kepemilikannya.

3. Larangan Jual Beli Hasaath

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan
menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual
beli gharar.” (HR. Muslim)

Hal ini disampaikan dalam hadist di atas bahwa dilarang jual beli dengan kerikil yang dilempar
untuk menentukan barang. Hal ini berarti mereka tidak bisa memilih, memilah barang yang
sesuai keinginan dan sesuai kualitas barangnya.

4. Menjelaskan Cacat Barang

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim
menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan
ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah)

Jika terdapat cacat maka penjual harus memberikan informasi mengenai cacat barang-nya, tidak
boleh ditutupi. Hal ini tentu akan mengecewakan dan menipu pembeli. Sebagaimana
disampaikan oleh Rasulullah dalam hadist berikut,
“Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami.
Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban)

Begitulah mengenai cara dan syarat untuk transaksi jual beli, sebagaimana Allah mengalalakan
jual beli dan jual beli bukanlah riba. Keuntungan yang didapatkan oleh penjual adalah sebagai
jasa dan hak-nya asalkan benar-benar sesuai dengan perhitungan yang adil dan tidak mendzalimi
salah satu pihak.

 “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-
Baqarah: 275)

Sewa Menyewa dalam Hukum Islam

Pengertian

Apakah yang disebut sewa menyewa dalam islam? Bagimana hukum sewa menyewa dalam
islam?

Dalam fiqh Islam disebut sewa menyewa disebut ijarah.  Al-ijarah menurut bahasa berarti “al-
ajru” yang berarti al-iwadu (ganti) oleh sebab itu as-sawab (pahala) dinamai ajru (upah).
Menurut istilah, al-ijarah ialah menyerahkan (memberikan) manfaat benda kepada orang lain
dengan suatu ganti pembayaran. Sehingga sewa menyewa atau ijarah bermakna akad
pemindahan hak guna/manfaat atas suatu barang/jasa, dalam waktu tertentu dengan pembayaran
upah sewa (ujrah), tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.

Dasar Hukum

1. Al – Qur’an:
a. QS. Az-Zukhruf : 32

Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan, sebahagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagain mereka dapat mepergunakan
sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”. (Q.S
Az-Zukhruf : 32).

           b. QS Al-Baqarah : 233

“Dan jika dan jika ingin anakmu disusukan orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan.”(Q.S Al-Baqarah : 233).

2. As – Sunnah

“Dari Handhala bin Qais berkata: Saya bertanya kepada Rafi bin Khadij tentang menyewakan
bumi dengan emas dan perak, maka ia berkata: Tidak apa-apa, adalah orang-orang di jaman
Rasulullah saw menyewakan bumi dengan barang-barang yang tumbuh di perjalanan air dan
yang tumbuh di pangkal-pangkal selokan dan dengan beberapa macam dari tumbuh-tumbuhan
lalu binasa ini, selamat itu dan selamat itu dan binasa yang itu, sedangkan orang yang tidak
melakukan penyewaan kecuali melakukan demikian, oleh karma itu kemudian dilarangnya,
apapun sesuatu yang dimaklumi dan ditanggung, maka tidak apa-apa”. (HR. Muslim)
Rukun Sewa Menyewa

1. Pelaku sewa menyewa yang meliputi mu’jir dan musta’jir. Dalam hal sewa menyewa,
mu’jir / lessor adalah orang yang menyewakan sesuatu, sedangkan musta’jir / lessee
adalah orang yang menyewa sesuatu. Syarat mu’jir dan musta’jir adalah orang yang
baligh, barakal, cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta), dan saling meridhai.
2. Objek akad meliputi manfaat aset / ma’jur dan pembayaran sewa atau manfaat jasa dan
pembayaran upah.

1. Manfaat aset/jasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut

 bisa dinilai & dapat dilaksanakan dalam kontrak;


 tidak haram;
 dapat dialihkan secarah syariah;
 dikenali secara spesifik; dan
 jangka waktu penggunaan manfaat ditentukan dengan jelas.

1. Sewa dan Upah :

 jelas besarannya dan diketahui oleh pihak2 yang berakad;


 boleh dibayar dalam bentuk jasa dari jenis yang serupa dengan obyek akad; dan
 bersifat fleksibel

1. Ijab kabul / serah terima

Berakhirnya Akad Ijarah / Sewa menyewa

1. Periode akad sudah selesai sesuai perjanjian


2. Periode akad belum selesai tapi pemberi sewa dan penyewa sepakat menghentikan akad
ijarah
3. Terjadi kerusakan aset
4. Penyewa tidak dapat membayar sewa
5. Salah satu pihak meninggal & ahli waris tidak ingin meneruskan akad.

Jenis Akad Ijarah

Berdasar Exposure Draft PSAK 107, ada dua jenis akad ijarah yaitu

1.  Akad pemindahan hak guna/manfaat atas suatu barang/jasa, dalam waktu tertentu dengan
pembayaran upah sewa (ujrah), tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang itu
sendiri.
2. Ijarah Muntahiya Bit Tamlik (IMBT) adalah ijarah dengan wa’ad (janji) dari pemberi
sewa berupa perpindahan kepemilikan objek ijarah pada saat tertentu. Perpindahan
kepemilikan dapat dilakukan melalui hibah dan penjualan.

Pelaksanaan penjualan dapat dilakukan melalui :

1. Sebelum akad berakhir


2. Setelah akad berakhir
3. Penjualan secara bertahap sesuai wa’ad/janji pemberi sewa

1. Jual dan sewa kembali (sale & leaseback)

Bank Syariah Menurut Islam


Ada banyak pendapat yang mengartikan bank syariah secara berbeda namun sebelum
mengetahui pengertian atau definisi dari bank syariah maka kita perlu mengetahui pengertian
bank atau sistem perbankan itu sendiri. Kata Bank yang merupakan salah satu lembaga keuangan
paling penting di dunia, berasal dari kata dalam bahasa Prancis yang berarti Banque atau dalam
bahasa Italia, banco yang berarti lemari atau peti tempat menyimpan benda berharga seperti uang
atau emas. Bank konvensional yang ada saat ini adalah bank yang menggunakan sistem bunga
atau yang menurut islam adalah suatu betuk transaksi riba. Sebagai umat muslim yang tidak
boleh menggunakan uang hasil riba atau melakukan transaksi riba, diciptakanlah sistem
perbankan atau bank syariah yang tidak menerapkan sistem bunga dan hanya mengandalkan
prinsip syariat dalam agama islam.

Dengan kata lain Bank syariah adalah bank yang melakukan segala aktifitas ekonomi dan
transaksinya tanpa mengandalkan bunga dan dijalankan berdasarkan syariat agama islam yang
berlaku. Sedangkan menurut Undang-undang. Pasal 2 PBI No. 6/24/PBI/2004 yang mengatur
sistem perbankan syariah di Indonesia, menyebutkan bahwa bank Syariah adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usahanya dengan berdasarkan hukum syariah agama islam. Berdirinya
bank syariah di Indonesia juga diilhami oleh bank – bank syariah yang ada di Negara lain yang
kebanyakan merupakan Negara islam seperti Mesir dan Arab

Dasar Hukum Bank Syariah

Sistem perbankan syariah mulai muncul di Indonesia pada tahun 1992 dan diawali dengan
berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada tanggal 1 Mei 1992. Kehadiran bank syariah di
Indonesia sendiri muncul karena umat islam di Indonesia ingin melaksanakan kegiatan
perbankan sesuai syariat islam dan tidak bergantung pada sistem perbankan barat yang
mengandalkan bunga bank dan riba. Berdirinya bank syariah ini didasari oleh beberapa  landasan
hukum atau dalil dalam Alqur’an dan hadits tentang riba sebagaimana yang disebutkan berikut
ini

 QS Al Imran : 130

Dalam surat Ali Imran ayat 130 Allah SWT melarang umatnya untuk memakan harta riba seperti
yang dijalankan dalam transaksi bank konvensional melalui penggunaan bunga Bank.

َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَْأ ُكلُوا ال ِّربَا َأضْ َعافًا ُم‬
َ‫ضا َعفَةً ۖ َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda] dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Qs Ali Imran : 130)

 Qs Ar rum : 39

Riba yang ada pada harta manusia tidaklah diperbolehkan dalam agama islam dan hal ini seusia
dengan firman Allah SWT dalam surat Ar Rum ayat 39 berikut

َ‫اس فَاَل يَرْ بُو ِع ْن َد هَّللا ِ ۖ َو َما آتَ ْيتُ ْم ِم ْن زَ َكا ٍة تُ ِري ُدونَ َوجْ هَ هَّللا ِ فَُأو ٰلَِئكَ هُ ُم ْال ُمضْ ِعفُون‬
ِ َّ‫َو َما آتَ ْيتُ ْم ِم ْن ِربًا لِيَرْ ب َُو فِي َأ ْم َوا ِل الن‬

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka
riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang
yang melipat gandakan (pahalanya).(Qs Ar Rum : 39)

 Qs An Nisa 161

Ayat lain yang menyebutkan tentang riba dan menjadi dasar munculnya sistem perbankan
pribawi adalah Quran Surat An Nisa yang dengan jelas menyebutkan bahwa umat islam dilarang
memakan harta yang termasuk didalamnya adalah riba.
‫اس بِ ْالبَا ِط ِل ۚ َوَأ ْعتَ ْدنَا لِ ْل َكافِ ِرينَ ِم ْنهُ ْم َع َذابًا َألِي ًما‬
ِ َّ‫َوَأ ْخ ِذ ِه ُم ال ِّربَا َوقَ ْد نُهُوا َع ْنهُ َوَأ ْكلِ ِه ْم َأ ْم َوا َل الن‬

Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami
telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (Qs An
Nisa 161)

Keunggulan Bank Syariah

Bank syariah sebagai produk ekonomi islam memiliki keunggulan dan keunikan dibandingkan
dengan bank konvensional yang menjalankan usahanya berdasarkan bunga. Beberapa
keunggulan bank syariah antara lain

 Sistem bank syariah tidak menggunakan jaminan atau tidak memerlukan pinjaman untuk
pinjaman yang diberikan sebagaimana yang diterapkan dalam bank konvensional
 Bank syariah tidak menerapkan bunga pada setiap transaksi terutama pada pemberian
pinjaman dan kredit melainkan menggunakan sistem bagi hasil yang menguntungkan satu
sama lain. Dalam bank konvensional, penggunaan sistem bunga pada peminjam
seringkali merugikan pihak peminjam karena harus membayar sejumnlah uang atau
tambahan atas bunga pinjaman yang diberlakukan.
 Dalam bank syariah dana dihimpun dengan beberapa cara seperti dengan menggunaan
wadiah dan mudharabah, hal ini berbeda dengan bank konvensional pada umumnya.
Wadiah sendiri berarti titipan yang diberikan oleh seseorang dan bisa diambil kapan saja
sedangkan mudharabah adalah usaha menghimpun dana yang diberikan dari seorang
pemilik modal dan diberikan kepada orang yang memiliki kemampuan atau keahlian
untuk menggunakan modal tersebut atau yang dikenal dengan istilah Mudharib.

Pinjam Meminjam dalam Islam

[dropcap]P[/dropcap]injam meminjam dalam istilah fikih disebut ‘ariyah. ‘Ariyah berasal dari
bahasa Arab yang artinya pinjaman. Adalah pemberian manfaat suatu benda halal dari seseorang
kepada orang lain tanpa mengharap imbalan dengan tidak mengurangi atau merusak barang dan
dikembalikan secara utuh, tepat pada waktunya.

Kali ini kita akan coba membahas mengenai pengertian pinjam meminjam dalam pandangan
Islam yang didapat dari berbagai sumber (red).

Pinjam meminjam dalam kehidupan sehari-hari dapat menjalin tali silaturrahim, menumbuhkan
rasa saling membutuhkan, saling menghormati, dan saling mengasihi. Dalam masyarakat Islam,
pinjam meminjam harus dilandasi dengan semangat dan nilai-nilai ajaran Islam.

Pinjam meminjam hakekatnya didasari dengan keikhlasan

ALLAH SWT memberikan tuntunan, agar pinjam meminjam dicatat dengan teliti mengenai
syaratnya, waktu pengembaliannya, cicilannya, jaminannya, dan bagai mana penyelesaiannya
jika terjadi permasalahan. Hal ini semata-mata untuk memberikan kenyamanan dan keamanan
kepada pemilik barang dan peminjam. Namun kenyataannya kita mengabaikan hal tersebut
karena alasan sudah kenal dengan peminjam, masih saudara, tetangga dekat, atau nilai barang
tidak seberapa. Padahal pencatatan itu sebenarnya untuk menghindari terjadinya masalah
dikemudian hari.

Hukum pinjam meminjam


Hukum asal meminjamkan sesuatu kepada orang lain adalah sunah karena menolong orang lain,
tetapi bisa berubah menjadi wajib maupun haram.
Wajib: apabila meminjamkan sesuatu kepada orang lain yang sangat membutuhkan. Misalnya
meminjamkan mobil untuk mengantar orang sakit keras ke rumah sakit.
Haram: apabila meminjamkan barang untuk melakukan perbuatan maksiat atau perbuatan yang
dapat merugikan orang lain. Misalnya meminjamkan pisau untuk berkelahi, atau meminjamkan
mobil untuk melakukan perampokan.

Rukun pinjam meminjam


Adapun rukun dan syarat pinjam meminjam adalah sebagai berikut :
a. Orang yang meminjamkan (musta’ir), syaratnya ;
1) Baligh
2) Berakal
3) Bukan pemboros
4) Tidak dipaksa

b. Orang yang meminjam (mu’ir), syaratnya :


1) Baligh
2) Berakal
3) Bukan pemboros

c. Barang yang dipinjam (musta’ar), syaratnya


1) Memiliki manfaat dan dapat dimanfaatkan untuk suatu keperluan
2) Zatnya tidak rusak waktu mengembalikannya

d.  Ijab Qobul, syaratnya :


1) Lafal ijab dan qobul dapat dimengerti oleh kedua belah pihak
2) Lafal ijab di lanjutkan dengan qobul
4. Kewajiban peminjam barang

Apabila meminjam barang dari orang lain, maka kita boleh mengambil manfaat dari barang
pinjaman tersebut sesuai kesepakatan. Misalnya kalian meminjam pensil atau buku kepada
teman, setelah selesai digunakan, maka barang pinjaman itu harus dikembalikan. Agar pinjam
meminjam dapat bermanfaat dan membawa kebaikan bagi kedua belah pihak maka peminjam
berkewajiban:

1) Menjaga barang pinjaman dengan baik;


2) Memanfaatkan barang sesuai dengan perjanjian tanpa merusaknya;
3) Tidak meminjamkan barang pinjaman pada orang lain,kecuali mendapat izin dari pemilik
barang;
4) Apabila barang pinjaman rusak, peminjam wajib memperbaiki atau  menggantinya;
5) Apabila barang pinjaman memerlukan ongkos angkutan atau biaya perawatan, maka biaya
tersebut ditanggung oleh peminjam. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW.

Artinya :
Dari Samurah,”Nabi SAW Telah bersabda,tangan(yang mengambil) adalah bertanggung jawab
atas apa yang diambilnya sehingga dipenuhi.”(lima ahli hadits selain an-Nasai)

6) Pinjaman yang disertai jaminan, waktu mengembalikan barang harus membayarnya.


Berdasarkan sabda Rasulullah saw.

Artinya :
“Dari Abi Umamah berkata saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: pinjaman harus
dikembalikan,dan orang yang menjamin sesuatu harus membayar.”(H.R. at-Tirmidzi)

Dan baiknya bagi peminjam dan yang memberikan pinjaman memiliki niat yang baik, si
peminjam, meminjam karena memang memiliki kebutuhan mendesak, dan bagi si peminjam niat
karena menolong, sehingga memberikan kebaikan bagi semuanya. Wallâ

Anda mungkin juga menyukai