Disusun Oleh :
PROGRAM STUDI
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur marilah senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT yangtelah
memberikan rahmat dan karunia-Nya khususnya nikmat kesehatan, sehinggakami dapat
menyelesaikan tugas makalah dalam mata kuliah Masailul Fiqih, sebagai bahan materi
perkuliahan pada saat ini.
Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita NabiMuhammad Saw,
yang telah menuntun kita ke jalan yang benar. Selanjutnnya kami berterima kasih kepada
Bapak Maruri, M.Ag. selaku dosen pengampu mata kuliah Masailul Fiqih yang membimbing
dalam pengerjaan tugas makalah ini sehingga dapat di selesaikan tepat pada waktunya.
Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua, kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kritik dan saran yangsif
atnya membangun senantiasa kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
a. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan
melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling
merelakan (Idris, 1986 :5).
b. Menurut Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi
Menurut syara, pengertian jual beli yang paling tepat ialah memiliki sesuatu
harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar izin syara, sekedar memiliki
manfaatnya saja yang diperbolehkan syara untuk selamanya yang demikian itu
harus dengan melalui pembayaran yang berupa uang (alGhazzi, t.th:30).
c. Menurut Imam Taqiyuddin dalam kitab Kiffayatul alAkhyar
Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab
qobul, dengan cara yang sesuai dengan syara (Taqiyuddin, t.th:329).
d. Syeikh Zakaria al Anshari dalam kitabnya fath AlWahab
Tukar-menukar benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan) (Zakariya,
t.th:157).
e. Menurut Sayyid Sabiq dalam Kitabnya Fiqh Sunnah
Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling atau memindahkan
hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang diperbolehkan (Sabiq,
t.th:126).
f. Ada sebagian ulama memberikan pemaknaan tentang jual beli (bisnis),
diantaranya; ulamak Hanafiyah “ Jual beli adalah pertukaran harta dengan
harta (benda) berdasarkan cara khusus (yang di bolehkan) syara’ yang
disepakati”. Menurut Imam nawawi dalam al-majmu’ mengatakan “Jual beli
adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”. Menukar barang
dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik
atas dasar saling merelakan (Suhendi, 2007: 69-70).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka diantara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.S. An-Nisa: 29).
Allah mengharamkan kepada umat Islam memakan harta sesama dengan jalan
batil, misalnya dengan cara mencuri, korupsi, menipu, merampok, memeras, dan
dengan jalan lain yang tidak dibenarkan Allah., kecuali dengan jalan perniagaan atau
jual beli dengan didasari atas dasar suka sama suka dan saling menguntungkan.
Telah terjadi ijma’ oleh orang-orang Islam tentang kebolehan jual beli dan hikmah
jual beli adalah kebutuhan manusia tergantung pada sesuatu yang ada ditangan
pemiliknya terkadang tidak begitu saja memberikan kepada orang lain (al-Asqalani,
t.th:287).
Berdasarkan dalil tersebut diatas, maka jelaslah bahwa hukum jual beli adalah
jaiz ( boleh ). Namun tidak menutup kemungkinan perubahan status jual beli itu
sendiri, semuanya tergantung pada terpenuhi atau tidaknya syarat dan rukun jual beli.
Ketiga, ma’kud ‘alaih (objek) untuk menjadi sahnya jual beli harus ada
ma’qud alaih yaitu barang menjadi objek jual beli atau yang menjadi sebab terjadinya
perjanjian jual beli (Chairuman dan Suhwardi, 1996: 37). Barang yang dijadikan
sebagai objek jual beli ini harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
a) Bersih barangnya, maksudnya yaitu barang yang diperjual belikan bukanlah
benda yang dikualifikasikan kedalam benda najis atau termasuk barang yang
digolongkan diharamkan.
b) Dapat dimanfaatkan, maksudnya yaitu barang yang diperjual belikan harus ada
manfaatnya sehingga tidak boleh memperjual belikan barang-barang yang
tidak bermanfaat.
c) Milik orang yang melakukan aqad, maksudnya bahwa orang yang melakukan
perjanjian jual beli atas sesuatu barang adalah pilihan sah barang tersebut dan
atau telah mendapat izin dari pemilik sah barang tersebut. Dengan demikian
jual beli barang yang dilakukan oleh yang bukan pemilik atau berhak
berdasarkan kuasa si pemilik dipandang sebagai perjanjian yang batal (alJaziri,
2003:.103).
d) Mengetahui, maksudnya adalah barang yang diperjual belikan dapat diketahui
oleh penjual dan pembeli dengan jelas, baik zatnya, bentuknya, sifatnya dan
harganya. Sehingga tidak terjadi kekecewaan diantara kedua belah pihak.
e) Barang yang di aqadkan ada ditangan, maksudnya adalah perjanjian jual beli
atas sesuatu barang yang belum ditangan (tidak berada dalam kekuasaan
penjual) adalah dilarang, sebab bisa jadi barang sudah rusak atau tidak dapat
diserahkan sebagaimana telah diperjanjikan (Chairuman dan Suhwardi, 1996:
40).
f) Mampu menyerahkan, maksudnya adalah keadaan barang haruslah dapat
diserah terimakan. Jual beli barang tidak dapat diserah terimakan, karena
apabila barang tersebut tidak dapat diserah terimakan, kemungkinan akan
terjadi penipuan atau menimbulkan kekecewaan pada salah satu pihak.
Benda yang diperjual belikan dapat mencakup barang atau uang, sifat benda
harus dapat dinilai, yakni benda-benda yang berharga dan dapat dibenarkan
penggunaanya menurut syara’. Benda-benda seperti alkohol, babi, dan barang
terlarang lainnya haram diperjual belikan sehingga jual beli tersebut dipandang batal
jika dijadikan harga tukar menukar, maka jual beli tersebut dianggap fasid (Masduki,
1987:5).
Keempat, ada nilai tukar pengganti barang, nilai tukar pengganti barang, yaitu
sesuatu yang memenuhi tiga syarat; bisa menyimpan nilai (store of value), bisa
menilai atau menghargakan suatu barang (unit of account) dan bisa dijadikan alat
tukar (medium of exchange).
Empat rukun tersebut, memuat beberapa syarat yang harus di penuhi dalam
juala beli (bisnis), yaitu syarat sahnya ijab qobul dalam kitab fiqh disebutkan minimal
ada tiga; (a) Jangan di selingi dengan kata–kata lain antar ijab qobul, (b) Orang –
orang yang berakad (penjual dan pembeli ) dan (c) Jangan ada yang memisahkan
maksudnya penjual dan pembeli masih ada interaksi tentang ijab qobul.
Syarat sahnya penjual dan pembeli sebagai berikut; (a) baligh berakal agar
tidak mudah ditipu orang. “Dan janganlah kamu berikan hartamu kepada orang-orang
yang bodoh”. (an-Nisaa’/4 : 5), (b) beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli
dalam benda benda tertentu. Misalnya, dilarang menjual hamba yang beragama Islam
kepada orang kafir, karena di takutkan pembeli merandahkan orang yang beragama
Islam. Sebagimana firman Allah: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan
kepada orangorang kafir untuk memusnakan orang-orang yang
beriman”.(anNisaa’/4:141), (c) ada benda atau barang yang di perjualkan belikan
(ma’kud alaih) dan (d) tidak mubazir (pemborosan) dan kehendak sendiri tidak ada
paksaan dari pihak lain.
Syarat sahnya barang yang dijual belikan diantaranya; (a) harus suci dan tidak
terkena dengan najis, seperti anjing, babi dan kotoran hewan, kecuali kondisi dharurah
dan ada asas manfaatnya. Misalanya, kotoran hewan untuk pupuk tanaman, anjing
untuk keamanan, (b) tidak boleh mengkait–kaitkan dengan sesuatu, seperti, apabila
ayahku meninggal, aku akan menjual motor ini, (c) tidak boleh di batasi waktunya,
penjual tidak boleh mensyaratkan atau ketentuan untuk membayar tetapi hak itu
merupakan hak dari pembeli karena itu salah satu sebab kepemilikan, (d) barang dapat
diserahkan setelah kesepakatan akad, (e) barang yang diperjual belikan milik sendiri,
akad jual beli tidak akan sah apabila barang tersebut hasil mencuri atau barang titipan
yang tidak diperintahkan untuk menjualkan, (f) barang yang diperjual belikan dapat
diketahui (dilihat), (g) barang yang diperjual belikan harus diketahui kualitasnya,
beratnya, takarannya dan ukurannya, supaya tidak menimbulkan keraguan.
D. Pengertian Hadiah
Seperti yang dibahas sebelumnya bahwasannya hadiah adalah penyerahan hak
milik harta benda tanpa ganti rugi yang umumnya dikirimkan kepada penerima untuk
memuliakannya.Secara sederhana hadiah dapat diartikan sebagai pemberian dari
seseorang kepada orang lain tanpa adanya penggantian dengan maksud
memuliakan.Hadiah adalah pemberian yang dimaksudkan untuk mengagungkan atau
rasa cinta.Menurut istilah fikih, hadiah didefinisikan sebagai berikut:
1. Zakariyya Al-Anshari
Hadiah adalah penyerahan hak milik harta benda tanpa ganti rugi yang umumnya
dikirimkan kepada penerima untuk memuliakannya.
2. Sayyid Sabiq
Hadiah itu seperti hibah dalam segi hukum dan maknanya. Dalam pengertian ini,
Sayyid Sabiq tidak membedakan antara hadiah dengan hibah dalam segi hukum
dan segi makna. Hibah dan hadiah adalah dua istilah dengan satu hukum dan satu
makna. Sehingga ketentuan yang berlaku bagi hibah berlaku juga bagi hadiah.
3. Muhammad Qal‘aji
Hadiah adalah pemberian sesuatu tanpa imbalan untuk menyambung
talisilaturrahim, mendekatkan hubungan, dan memuliakan.
Dalam pengertian ini, Muhammad Qal‘aji menegaskan bahwa dalam hadiah
tidak murni memberikan tanpa imbalan, namun ada tujuan tertentu yakni ada kalanya
untuk menyambung tali silaturrahim, mendekatkan hubungan, dan memuliakan.
Kalau dipahami, ada titik temu antara ketiga definisi di atas, yakni hadiah adalah
pemberian tanpa imbalan, sama seperti hibah. Sayyid Sabiq menganggap hibah dan
hadiah adalah sama persis, sedangkan Zakariyya Al-Ansari dan Muhammad Qal‘aji
membedakannya. Hibah murni pemberian tanpa imbalan, sedangkan hadiah bertujuan
untuk memuliakan. Mayoritas fuqaha cenderung membedakan antara hibah dan
hadiah. Yang jelas, hadiah merupakan pemindahan pemilikan atas suatu harta dan
bukan hanya manfaatnya. Kalau yang diberikan adalah manfaatnya sementara zatnya
tidak maka itu merupakan pinjaman (i’j>rah). Karenanya hadiah haruslah merupakan
tamli>kan li al-’ayn (pemindahan/penyerahan pemilikan atas suatu harta kepada pihak
lain).
Maka, hadiah merupakan pemberian harta kepada seseorang untuk membuat
senang tanpa adannya paksaan dari keduannya. Adapun yang menjadi landasan dalam
pemberian hadiah yaitu terdapat dalam firman Allah dalam surah Al-Mudatstsir ayat 6
yang rtinya: “Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan)
yang lebih banyak”.
Adapun keutamaan dalam pemberian hadiah dapat dilihat dari efek positif
dalam jiwa penerimanya. Seperti hilangnya rasa dendam dan permusuhan serta
timbulnya kasih sayang antar sesame
E. Hukum dan Dalil Hadiah
Tahukah kamu apa hukum hadiah? Hukum hadiah adalah Mubah, artinya
boleh saja dilakukan atau boleh ditinggalkan. Sabda Rasulullah saw yang artinya
“Sekiranya aku diundang makan sepotong lengan atau kaki binatang, pasti akan
penuhi undangan tersebut. Begitu juga jika sepotong lengan atau kaki dihadiahkan
kepadaku, pasti aku akan menerimanya.” (HR. Bukhari).
Terdapat perintah untuk menerima hadiah apabila tidak ada padanya sesuatu
yang syubhat atau haram. Nabi Muhammad Saw. Bersabda yang Artinya: “Penuhilah
panggilan orang yang mengundangmu, janganlah engkau menolak hadiah dan
jangan pula memukul orang Islam” (HR. Muslim)
Dalam hadits lain, Nabi bersabda yang Artinya: “Barang siapa yang
diberikan oleh Allah harta tanpa memintanya maka hendaklah dia menerimanya
karna hal itu adalah rizki yang diberikan oleh Allah kepadanya". (HR. AlBukhari dan
Muslim)
F. Rukun Hadiah
Menurut Ulama Hanafiah, rukun hadiah adalah ijab dan kabul sebab keduanya
termasuk akad seperti halnya jual-beli. Dalam kitab Al- Mabsuth, mereka
menambahkan dengan qadbhu (pemegang/penerima). Alasannya, dalam hadiah harus
ada ketetapan dalam kepemilikan.
Adapun yang menjadi rukun dalam hadiah yaitu wahib (pemberi), mauhub lah
(penerima), mauhub (barang yang dihadiahkan), shighat (ijab dan qabul)
1. Wahib (pemberi)
Wahib (pemberi) adalah orang yang memberikan hadiah atau pemindahan
kepemilikan. Wahib (pemberi) hadiah sebagai salah satu pihak pelaku dalam
transaksi hadiah disyaratkan
a. Ia mestilah sebagai pemilik sempurna atas sesuatu benda yang
dihadiahkan. Karena hadiah mempunyai akibat perpindahan hak milik,
otomatis pihak pemberi hadiah dituntut sebagai sebagai pemilik yang
mempunyai hak penuh atas benda yang dihadiahkan itu.
b. Pihak pemberi hadiah mestilah seorang yang cakap bertindak secara
sempurna (kami>lah), yaitu baliq dan berakal. Orang yang sudah cakap
bertindaklah yang bisa dinilai bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah
sah, sebab ia sudah mempunyai pertimbangan yang sempurna.
c. Pihak pemberi hadiah hendaklah melakukan perbuatannya itu atas
kemauan sendiri dengan penuh kerelaan, dan bukan dalam keadaan
terpaksa, orang-orang yang dipaksa menghadiahkan sesuatu miliknya,
bukan dengan ikhtiyarnya, sudah pasti perbuatannya itu tidak sah.
2. Mauhub Lah (penerima)
Karena hadiah itu merupakan transaksi langsung, maka penerima hadiah
disyaratkan sudah wujud dalam artinya yang sesungguhnya ketika akad hadiah
dilakukan. Oleh sebab itu, hadiah tidak boleh diberikan kepada anak yang
masih dalam kandungan. Dalam persoalan ini, pihak penerima hadiah tidak
disyaratkan supaya baliq berakal. Kalau sekiranya penerima hadiah belum
cakap bertindak ketika pelaksanaan transaksi, ia diwakili oleh walinya.
3. Mauhub (barang yang dihadiahkan)
Mauhub (barang yang dihadiahkan) adalah barang yang dihadiahkan kepada
penerima hadiah. Adapun syarat dalam mauhub (barang yang dihadiahkan)
yang akan diberikan yaitu:
a. Benda yang dihadiahkan tersebut mestilah milik yang sempurna dari pihak
pemberi hadiah. Ini berarti bahwa hadiah tidak sah bila sesuatu yang
dihadiahkan itu bukan milik sempurna dari pihak pemberi hadiah.
b. Barang yang dihadiahkan itu sudah ada dalam arti yang sesungguhnya
ketika transaksi hadiah dilaksanakan. Tidak sah menghadiahkan sesuatu
yang belum berwujud.
c. Objek yang dihadiahkan itu mestilah sesuatu yang boleh dimiliki oleh
agama. Tidaklah dibenarkan menghadiahkan sesuatu yang tidak boleh
dimiliki, seperti menghadiahkan minuman yang memabukan.
d. Harta yang dihadiahkan tersebut mestilah telah terpisah secara jelas dari
harta milik pemberi hadiah.
4. Shighat (ijab dan qabul)
Dalam pemberian hadiah yang menjadi sasaran ialah kepada shighat dalam
transaksi tersebut sehingga perbuatan itu sunguh mencerminkan terjadinya
pemindahan hak milik melalui hadiah. Ini berarti bahwa walaupun tiga unsur
pertama sudah terpenuhi dengan segala persyaratannya, hadiah dinilai tidak
ada bila transaksi hadiah tidak dilakukan.
G. Syarat-syarat Hadiah
Adapun syarat-syarat hadiah yaitu berkaitan dengan syarat wahib (pemberi
hadiah) dan maudhub (barang). Ulama Hanabilah menetapkan 11 (sebelas) syarat
diantaranya:
1. Hadiah dari harta yang boleh di-tasharruf-kan
2. Terpilih dan sunguh-sunguh
3. Harta yang diperjualbelikan
4. Tanpa adanya penganti
5. Orang yang sah memilikinya.
6. Sah menerimanya.
7. Walinya sebeum pemberi dipandang cukup waktu.
8. Menyempurnakan pemberian.
9. Tidak disertai syarat waktu.
10. Pemberi sudah sudah mampu tasharruf (merdeka, mukallaf, dan rashid).
11. Mauhub harus berupa harta yang khusus untuk dikeluarkan.
Adapun yang menjadi syarat untuk wahib (pemberi hadiah) dan mauhub
(barang) yaitu:
1. Syarat Wahib (pemberi hadiah) Wahib disyaratkan harus ahli tabarru (derma),
yaitu berakal, baliqh, rasyid (pintar).
2. Syarat mauhub (barang)
a. Harus ada waktu hadiah
b. Harus berupa harta yang kuat dan bermanfaat
c. Milik sendiri
d. Menyendiri, menurut Ulama Hanafiah, hadiah tidak dibolehkan terhadap
barang bercampur dengan milik orang lain, sedangkan menurut ulama’
Malikiyah, Hambali dan Syafi’iyah, hal itu dibolehkan
e. Mauhub terpisah dari yang lain, barang yang dihadiahkan tidak boleh bersatu
dengan barang yang tidak dihadiahkan, sebab akan menyulitkan untuk
memanfaatkan mauhub
f. Mauhub telah diterima atau dipegang oleh penerima.
g. Penerima memegang hadiah atas seizin wahib
H. Hikmah Hadiah
Saling membantu dengan cara memberikan hadiah dianjurkan oleh Allah SWT
dan Rasul-Nya. Hikmah atau manfaat disyari’atkannya adalah sebagai berikut:
1. Memberi hadiah dapat menghilangkan penyakit dengki, yakni penyakit yang
terdapat dalam hati dan dapat merusak nilai-nilai keimanan. Hadiah dilakukan
sebagai penawar racun hati yaitu dengki. Sebuah hadis yang diriwayatkan Imam
Bukhari dan tirmidzi dari Abi Hurairah r.a Nabi saw bersabda yang artinya:
“Beri-memberilah kamu, karena pemberian itu dapat menghilangkan sakit hati
(dengki) ”.
2. Pemberian hadiah dapat mendatangkan rasa saling mengasihi, mencintai, dan
menyayangi. Abu Ya’la telah meriwayatkan sebuah hadis dari Abi Hurairah
bahwa Nabi Saw bersabda yang Artinya :“saling memberi hadiah lah kamu,
karena ia dapat menumbuhkan rasa kasih saying”
3. Hadiah atau pemberian dapat menghilangkan rasa dendam, dalam sebuah hadis
dari Anas r.a Rasullah Saw bersabda yang Artinya:”Saling memeberi hadialah
kamu, karena sesunguhnya hadiah itu dapat mencabut rasa dendam”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”. Menukar
barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik
atas dasar saling merelakan.
Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa
manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain.
Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus
diganti dengan barang lainnya yang sesuai dengan kesepakatan antara penjual dengan
pembeli atau dengan alat tukar menukar yaitu dengan uang ataupun yang lainnya.
Rukun jual beli ada empat, adanya akad ( ijab qobul), orang yang berakad
(subjek), ma’kud ‘alaih (objek), ada nilai tukar pengganti barang.
Syarat sahnya penjual dan pembeli sebagai berikut; (a) baligh berakal (b)
beragama Islam (c) ada benda atau barang yang di perjualkan belikan (ma’kud alaih)
dan (d) tidak mubazir (pemborosan) dan kehendak sendiri tidak ada paksaan dari
pihak lain.
Syarat sahnya barang yang dijual belikan diantaranya; (a) harus suci dan tidak
terkena dengan najis, (b) tidak boleh mengkait–kaitkan dengan sesuatu, (c) tidak
boleh di batasi waktunya, penjual tidak boleh mensyaratkan atau ketentuan untuk
membayar tetapi hak itu merupakan hak dari pembeli karena itu salah satu sebab
kepemilikan, (d) barang dapat diserahkan setelah kesepakatan akad, (e) barang yang
diperjual belikan milik sendiri, (f) barang yang diperjual belikan dapat diketahui
(dilihat), (g) barang yang diperjual belikan harus diketahui kualitasnya, beratnya,
takarannya dan ukurannya, supaya tidak menimbulkan keraguan.
hadiah merupakan pemberian harta kepada seseorang untuk membuat senang
tanpa adannya paksaan dari keduannya. Hukum hadiah adalah Mubah, artinya boleh
saja dilakukan atau boleh ditinggalkan. Adapun yang menjadi rukun dalam hadiah
yaitu wahib (pemberi), mauhub lah (penerima), mauhub (barang yang dihadiahkan),
shighat (ijab dan qabul)
B. Saran
Sebagai penutup dari makalah ini, tak luput pula kami ucapkan ribuan terima
kasih pada semua rekan-rekan yang telah banyak membantu dalam pembuatan
makalah ini. Di samping itu, masih banyak kekurangan serta jauh dari kata
kesempurnaan, tetapi kami semua telah berusaha semaksimal mungkin dalam
pembutan makalah yang amat sederhana ini. Maka dari pada itu kami semua sangat
berharap kepada semua rekan-rekan untuk memberi kritik atau sarannya, sehingga
dalam pembuatan makalah selanjutnya bisa menjadi yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
file:///C:/Users/HP/Downloads/1494-4935-1-SM.pdf
Al-Qur’an, 1999, al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara penterjemeh /
penafsiran al-Quran, Departemen Agama RI. Al-Shan’ani, Muhammad Bin Ismail al-Amir al-Yamani,
t.th, Subul as Salam, Juz X, Beirut: Darul Fikr. Al-Ansari, Syeikh Abi Zakaria, t.th, Fath al-Wahab, Juz 1,
Singapura: Sulaiman Mar’I. Al-Zuhaily, Wahbah, t.th, al-Fiqh al islami wa adilah, Juz IV, Mesir: Dar
Fikr.