Di susun Oleh :
Wintarsi (16.01.0046)
Smester III. A
KATA PENGANTAR
Puji syukur, Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya yang telah diberikan. Sehingga dengan izin-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
agung Muhammad SAW, semoga kita mendapatkan syafa’atnya di Yaumul Kiamah nanti.
Kami selaku penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini, masih jauh dari bentuk
kesempurnaan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari bapak maupun ibu dan
juga para pembaca sekalian, adapun kritik dan sarannya, semoga menjadi motivasi bagi kami.
Dengan hasil yang tak seberapa ini, semoga menjadi segudang manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan yang luas bagi kami dan pembaca. Selain itu, semoga
makalah ini dapat diterima dan menjadi amal ibadah yang ditempatkan di sisi Allah SWT.
Amin.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...... i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang...................................................................................1
b. Rumusan Masalah..............................................................................1
c. Tujuan Pembahasan............................................................................1
A. Kesimpulan....................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna. Seluruh aktifitas di dalamnya telah diatur
dengan hukum Islam, baik itu dalam hal ibadah, munkahat, muamalah maupun
jinayat. Dalam karya ilmiah ini, penulis akan mendeskribsikan kajian tentang bab
pinjam meminjam dan utang piutang. Bab ini merupakan salah satu pokok
pembahasan yang masuk dalam wilayah fiqh muamalah. Muamalah sendiri berarti
“saling berbuat” atau berbuat secara timbal balik. Sederhananya dapat diartikan
dengan “hubungan antar orang dengan orang”. Maka, dalam kajian fiqh mengandung
arti aturan yang mengatur hubungan antara seseorang dengan orang lain dalam
pergaulan hidup di dunia (dalam bagian ini berkaitan dengan harta).
Hubungan antara sesama manusia berkaitan dengan harta ini dibicarakan dan
diatur dalam kitab-kitab fiqh karena kecenderungan manusia kepada harta itu begitu
besar dan sering menimbukan persengketaan sesamanya, sehingga jika tidak diatur,
dapat menimbulkan ketidak stabilan dalam pergaulan hidup sesama manusia. Di
samping itu penggunaan harta dapat bernilai ibadah bila digunakan sesuai dengan
kehendak Allah.
B. Rumusan Masalah
BAB II
1. Q.S An-Nisaa’ : 29
يَا َأيّهَا الّ ِذينَ آ َمنُ ْ ْأ
ٍ ِإالّ َأن تَ ُكونَ تِ َجا َرةً عَن تَ َر وا الَ تَ ُكلُ َو ْا َأ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل
اض
ّْم ْن ُكم
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. [QS. An-Nisaa’ : 29].
َوَأ َح ّل هّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح ّر َم ال ّربَا ك بَِأنّهُ ْم قَالُ َو ْا ِإنّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل ال ّربَا
َ َِذل
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. [QS. Al-Baqarah : 275].
Dari kandungan ayat-ayat Al-quran di atas, para ulama fiqh mengatakan bahwa
hukum asal dari jual beli yaitu mubah (boleh). Akan tetapi, pada situasi-situasi
tertentu.Menurut Imam al-Syathibi (w. 790 h), pakar fiqh Maliki, hukumnya boleh berubah
menjadi wajib.Imam al-Syathibi memberi contoh ketika terjadi praktik ihtikar (penimbunan
barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik). Apabila seorang melakukan
ihtikar dan mengakibatkan melonjaknya harga barang yang ditimbun dan disimpan itu, maka
menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual barangnya itu sesuai
dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga. Dalam hal ini menurutnya, pedagang itu
wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah. Hal ini sama prinsipnya
dengan al-Syathibi bahwa yang mubah itu apabila ditinggalkan secara total , maka hukumnya
boleh menjadi wajib. Apabila sekelompok pedagang besar melakukan boikot tidak mau
menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka untuk berdagang beras dan
pedagang ini wajib melaksanakannya .demikian pula, pada kondisi-kondisi lainnya.
Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu :
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama
diatas sebagai berikut :
1) Berakal sehat.
5) Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka jual beli
tidak sah.
1. Suci, dalam islam tidak sah melakukan transaksi jual beli barang najis, seperti bangkai,
babi, anjing, dan sebagainya.
2. Barang yang diperjualbelikan merupakan milik sendiri atau diberi kuasa orang lain yang
memilikinya.
3. Barang yang diperjualbelikan ada manfaatnya. Contoh barang yang tidak bermanfaat
adalah lalat, nyamauk, dan sebagainya. Barang-barang seperti ini tidak sah
diperjualbelikan. Akan tetapi, jika dikemudian hari barang ini bermanfaat akibat
perkembangan teknologi atau yang lainnya, maka barang-barang itu sah diperjualbelikan.
5. Barang yang diperjualbelikan dapat diketahui kadarnya, jenisnya, sifat, dan harganya.
D. Pengertian Ijarah
Secara sederhana, ijarah diartikan sebagai transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan
tertentu. Dalam Bahasa Arab ijarah berasal dari kata َأ َج َر, yang memiliki sinonim dengan: َأ ْك َري
yang artinya: menyewakan, seperti dalam kalimah ( َأجْ َرال َّشىءmenyewakan sesuatu).
Ali Fikri mengartikan ijarah menurut bahasa dengan: ال َك َرا ُءَأوْ بَ ْي ُع ال َم ْنفَ َع• ِةyang artinya:
sewa-menyewa atau jual beli manfaat. Bila yang menjadi objek adalah transaksi manfaat atau
jasa dari suatu benda, disebut ijarah al-‘ain atau sewa menyewa. Seperti menyewa rumah
untuk ditempati. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari tenaga
seseorang, disebut ijarah al-zimmah atau upah mengupah, seperti upah menjahit pakaian.
Pendapat yang sama juga juga disampaikan oleh Idris Ahmad dalam bukunya yang
berjudul Fiqh Syafi’i, bahwa ijarah berarti upah-mengupah. Sedangkan Sayyid Sabiq dalam
Fiqh Sunnahnya, menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa. Ijarah baik dalam bentuk
sewa menyewa maupun dalam bentuk upah mengupah itu merupakan muamalah yang telah
disyari’atkan dalam Islam.
Dalam pengertian istilah, para ulama berbeda pendapat akan hal ini:
a. Ulama Hanafiyah
b. Ulama Malikiyah
Ijarah adalah suatu akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu barang yang
mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat.
c. Ulama Syafi’iyah
Definisi akad ijarah adalah suatu akad akan manfaat yang dimaksud dan tertentu yang
bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.
d. Ulama Hanabilah
Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ijarah dan kara’ dan
semacamnya.
Pada ijarah (sewa menyewa), pihak yang menyewakan sesuatu di sebut muajjir dan
pihak yang menyewakan di sebut musta’jir.
َّ َ) قَ••ا َل إنِّ ْي ُأ ِر ْي• ُد َأ ْن ُأ ْن ِك َح••كَ ِإحْ• دَى ا ْبنَت26( ُ•ويُّ اَأْل ِميْن
ى هَ•ا تَ ْي ِن َعلَى َأ ْن ْأ
ِ •َاس•تَْئ ِجرْ هُ ِإ َّن َخي َْر َمنِ ْس•تَ َجرْ تَ ْالق
ْ تِ َت ِإحْ دَاهُ َمايََأب
ْ َقَال
)27( َك َستَ ِج ُدنِ ْى ِإ ْن َشا َءهّللا ُ ِمنَ الصَّالِ ِح ْين َ ق َعلَ ْي َّ ك َو َما ُأ ِر ْي ُد َأ ْن َأ ُش
َ ج فَِإ ْن َأ ْت َم ْمتَ َع ْشرًا فَ ِم ْن ِع ْن ِد ْأ
ِ تَ ج َُرنِى ثَ َمانِ َي ِح َج
Salah seorang di antara kedua anak perempuan itu berkata: “Hai bapakku upahlah dia,
sesungguhnya orang yang engkau upah itu adalah kuat dan terpercaya”. Si bapak ber-kata:
“Saya bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang anak perempuanku dengan
ketentuan kamu menjadi orang upahan saya selama delapan musim haji”.
ُصلَّى هّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوَأ ْعطَى ْال ُحجَّا َم َأجْ َره
َ اِحْ ت ََج َم النَّبِ ُّي:ض َي هّللا ُ َع ْنهُ َما قَا َل ٍ َع ِن ا ْب ِن َعبَّا
ِ س َر
Dari Ibnu Abbas r.a. Nabi saw. Berbekam dan beliau memberikan kepada tukang
bekam itu upahnya. (HR. Al-Bukhari)
َّ َأ ْعطُوْ اَأَأْل ِجي َْرَأجْ َرهُ قَ ْب َل َأن يَ ِج:صلَّى هّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم
ُف ع ََرقُه َ ِ قَا َل َرسُوْ ُل هّللا:ض َي هّللا ُ َع ْنهُ َما قَا َل
ِ َو َع ِن ا ْب ِن ُع َم َر َر.
Dari Ibnu ‘Umar r.a. ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: berikanlah kepada tenaga
kerja itu upahnya sebelum keringatnya kering. (HR. Ibnu Majah).
Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis tersebut sudah jelas bahwa akad ijarah
diperbolehkan dalam Islam, karena hal seperti ini juga dibutuhkan dalam masyarakat.
Tujuan disyariatkannya ijarah adalah untuk memberikan keringanan kepada umat dalam
pergaulan hidup. Seseorang mempunyai uang tetapi tidak dapat bekerja, dan di lain pihak ada
yang mempunyai tenaga dan membutuhkan uang. Dengan adanya ijarah keduanya saling
mendapat keuntungan.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’I yang menurut
etimologi berarti menjual atau mengganti. . Wahbah al-Zuhaily mengartikan secara
bahasa dengan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Secara sederhana, ijarah diartikan sebagai transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan
tertentu. Dalam Bahasa Arab ijarah berasal dari kata َأ َج َر, yang memiliki sinonim dengan: َأ ْك َري
yang artinya: menyewakan, seperti dalam kalimah ( َأجْ َرال َّشىءmenyewakan sesuatu).
Hukum asal ijarah adalah mubah atau boleh, yaitu apabila dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
https://zahrasysyauqillah.wordpress.com/2015/05/25/makalah-ijarah-sewa-menyewa