Anda di halaman 1dari 13

JUAL BELI DAN SEWA MENYEWA

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok

Mata Kuliah :Fiqih Muamalah

Dosen Pengampu : Masyhari, Lc.M.H.I

Di susun Oleh :

Agis Tuti (16.01.0004)

Wintarsi (16.01.0046)

Smester III. A

Sekolah Tinggi Agama Islam Cirebon


(STAIC)

Koplek Islamic Center Jl.Tuparev 111


Telp.(2031) 231816 Cirebon 45153

KATA PENGANTAR

Puji syukur, Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya yang telah diberikan. Sehingga dengan izin-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
agung Muhammad SAW, semoga kita mendapatkan syafa’atnya di Yaumul Kiamah nanti.

Dengan pertolongan Allah dan usaha yang sungguh-sungguh, kami dapat


menyelesaikan tugas makalah yang berjudul : “Jual beli dan sewa menyewa”.

Kami selaku penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini, masih jauh dari bentuk
kesempurnaan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari bapak maupun ibu dan
juga para pembaca sekalian, adapun kritik dan sarannya, semoga menjadi motivasi bagi kami.

Dengan hasil yang tak seberapa ini, semoga menjadi segudang manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan yang luas bagi kami dan pembaca. Selain itu, semoga
makalah ini dapat diterima dan menjadi amal ibadah yang ditempatkan di sisi Allah SWT.
Amin.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...... i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang...................................................................................1

b. Rumusan Masalah..............................................................................1

c. Tujuan Pembahasan............................................................................1

BAB II PEMBAHASAN MUDHARABAH

a. Pengertian Jual Beli....................................................................... 2


b. Dasar Hukum Jual Beli................................................................. 3
c. Rukun dan syarat jual beli............................................................. 4
d. Pengertian Ijarah........................................................................... 5
e. Dasar Hukum Ijarah..................................................................... 6
BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan....................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................10
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang sempurna. Seluruh aktifitas di dalamnya telah diatur
dengan hukum Islam, baik itu dalam hal ibadah, munkahat, muamalah maupun
jinayat. Dalam karya ilmiah ini, penulis akan mendeskribsikan kajian tentang bab
pinjam meminjam dan utang piutang. Bab ini merupakan salah satu pokok
pembahasan yang masuk dalam wilayah fiqh muamalah. Muamalah sendiri berarti
“saling berbuat” atau berbuat secara timbal balik. Sederhananya dapat diartikan
dengan “hubungan antar orang dengan orang”. Maka, dalam kajian fiqh mengandung
arti aturan yang mengatur hubungan antara seseorang dengan orang lain dalam
pergaulan hidup di dunia (dalam bagian ini berkaitan dengan harta).

Hubungan antara sesama manusia berkaitan dengan harta ini dibicarakan dan
diatur dalam kitab-kitab fiqh karena kecenderungan manusia kepada harta itu begitu
besar dan sering menimbukan persengketaan sesamanya, sehingga jika tidak diatur,
dapat menimbulkan ketidak stabilan dalam pergaulan hidup sesama manusia. Di
samping itu penggunaan harta dapat bernilai ibadah bila digunakan sesuai dengan
kehendak Allah.

B. Rumusan Masalah

A. Apa pengertian jual beli

B. Apa dasar hukum jual beli


C. Bagaimana rukun dan syarat jual beli

D. Apa pengertian ijarah

E. Apa hukum ijarah

C. Tujuan Pembahasan Masalah

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih muamalah

2. Untuk memahami bab jual beli dan sewa menyewa

BAB II

PEMBAHASAN MUDHARABAH (JUAL BELI)

A. Pengertian Jual Beli


Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’I yang menurut
etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikan secara bahasa
dengan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-Ba.i dalam bahasa Arab
terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata al-Syira (beli).Dengan
demikian, kata al-ba’I berarti jual, tetapi sekalius juga berarti beli.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli, sebagian ulama lain
memberi pengertian :
a. Ulama Sayyid Sabiq
Ia mendefinisikan bahwa jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar
saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Dalam
definisi tersebut harta dan, milik, dengan ganti dan dapat dibenarkan.Yang dimaksud
harta dalam definisi diatas yaitu segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan
yang bukan milik dan tidak bermanfaat.Yang dimaksud dengan ganti agar dapat
dibedakan dengan hibah (pemberian), sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan
(ma’dzun fih) agar dapat dibedakan dengan jual beli yang terlarang.
b. Ulama hanafiyah
Ia mendefinisikan bahwa jual beli adalah saling tukar harta dengan harta lain
melalui cara yang khusus. Yang dimaksud ulama hanafiyah dengan kata-kata tersebut
adalah melalui ijab qabul, atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga
dari penjual dan pembeli.
c.Ulama Ibn Qudamah
Menurutnya jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk
pemindahan milik dan pemilikan.Dalam definisi ini ditekankan kata milik dan
pemilikan, karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki
seperti sewa menyewa.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu
perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di
antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain
menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan
disepakati. Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan
mengandung hal-hal antara lain :
a.Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar.
b.Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang
yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
c.Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak
memilikisesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli
dengan kepemilikan abadi.
B. Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia
mempunyai landasan yang kuat dalam al-quran dan sunah Rasulullah saw. Terdapat
beberapa ayat al-quran, yang berbicara tentang jual beli, antara lain :

1. Q.S An-Nisaa’ : 29
‫يَا َأيّهَا الّ ِذينَ آ َمنُ ْ ْأ‬
ٍ ‫ِإالّ َأن تَ ُكونَ تِ َجا َرةً عَن تَ َر‬ ‫وا الَ تَ ُكلُ َو ْا َأ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل‬
‫اض‬

ْ‫ّم ْن ُكم‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. [QS. An-Nisaa’ : 29].
‫ َوَأ َح ّل هّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح ّر َم ال ّربَا‬ ‫ك بَِأنّهُ ْم قَالُ َو ْا ِإنّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل ال ّربَا‬
َ ِ‫َذل‬

Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. [QS. Al-Baqarah : 275].

Dari kandungan ayat-ayat Al-quran di atas, para ulama fiqh mengatakan bahwa
hukum asal dari jual beli yaitu mubah (boleh). Akan tetapi, pada situasi-situasi
tertentu.Menurut Imam al-Syathibi (w. 790 h), pakar fiqh Maliki, hukumnya boleh berubah
menjadi wajib.Imam al-Syathibi memberi contoh ketika terjadi praktik ihtikar (penimbunan
barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik). Apabila seorang melakukan
ihtikar dan mengakibatkan melonjaknya harga barang yang ditimbun dan disimpan itu, maka
menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual barangnya itu sesuai
dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga. Dalam hal ini menurutnya, pedagang itu
wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah. Hal ini sama prinsipnya
dengan al-Syathibi bahwa yang mubah itu apabila ditinggalkan secara total , maka hukumnya
boleh menjadi wajib. Apabila sekelompok pedagang besar melakukan boikot tidak mau
menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka untuk berdagang beras dan
pedagang ini wajib melaksanakannya .demikian pula, pada kondisi-kondisi lainnya.

C. Rukun dan syarat jual beli


Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu
dpat dikatakan sah oleh syara’. Dalam menentukan rukun jual beli terdapat perbedaan
pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah
hanya satu, yaitu ijab qabul, ijab adalah ungkapan membeli dari pembeli, dan qabul adalah
ungkapan menjual dari penjual. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu
hanyalah kerelaan (ridha) kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi,
karena unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diindra sehingga tidak
kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak.
Indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli
menurut mereka boleh tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling memberikan
barang dan harga barang.

Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu :

1. Ada orang yang berakad (penjual dan pembeli).

2. Ada sighat (lafal ijab qabul).

3. Ada barang yang dibeli (ma’qud alaih)

4. Ada nilai tukar pengganti barang

Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama
diatas sebagai berikut :

1) Berakal sehat.

2) Atas dasar suka sama suka.

3) Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda

4) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.

5) Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka jual beli
tidak sah.

Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan

Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan sebagai berikut :

1. Suci, dalam islam tidak sah melakukan transaksi jual beli barang najis, seperti bangkai,
babi, anjing, dan sebagainya.

2. Barang yang diperjualbelikan merupakan milik sendiri atau diberi kuasa orang lain yang
memilikinya.

3. Barang yang diperjualbelikan ada manfaatnya. Contoh barang yang tidak bermanfaat
adalah lalat, nyamauk, dan sebagainya. Barang-barang seperti ini tidak sah
diperjualbelikan. Akan tetapi, jika dikemudian hari barang ini bermanfaat akibat
perkembangan teknologi atau yang lainnya, maka barang-barang itu sah diperjualbelikan.

4. Barang yang diperjualbelikan jelas dan dapat dikuasai.

5. Barang yang diperjualbelikan dapat diketahui kadarnya, jenisnya, sifat, dan harganya.

6. Boleh diserahkan saat akad berlangsung .

D. Pengertian Ijarah

Secara sederhana, ijarah diartikan sebagai transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan
tertentu. Dalam Bahasa Arab ijarah berasal dari kata ‫َأ َج َر‬, yang memiliki sinonim dengan: ‫َأ ْك َري‬
yang artinya: menyewakan, seperti dalam kalimah ‫( َأجْ َرال َّشىء‬menyewakan sesuatu).

Ali Fikri mengartikan ijarah menurut bahasa dengan: ‫ ال َك َرا ُءَأوْ بَ ْي ُع ال َم ْنفَ َع• ِة‬yang artinya:
sewa-menyewa atau jual beli manfaat. Bila yang menjadi objek adalah transaksi manfaat atau
jasa dari suatu benda, disebut ijarah al-‘ain atau sewa menyewa. Seperti menyewa rumah
untuk ditempati. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari tenaga
seseorang, disebut ijarah al-zimmah atau upah mengupah, seperti upah menjahit pakaian.

Pendapat yang sama juga juga disampaikan oleh Idris Ahmad dalam bukunya yang
berjudul Fiqh Syafi’i, bahwa ijarah berarti upah-mengupah. Sedangkan Sayyid Sabiq dalam
Fiqh Sunnahnya, menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa. Ijarah baik dalam bentuk
sewa menyewa maupun dalam bentuk upah mengupah itu merupakan muamalah yang telah
disyari’atkan dalam Islam.

Dalam pengertian istilah, para ulama berbeda pendapat akan hal ini:

a. Ulama Hanafiyah

Ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan berupa harta.

b. Ulama Malikiyah
Ijarah adalah suatu akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu barang yang
mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat.

c. Ulama Syafi’iyah

Definisi akad ijarah adalah suatu akad akan manfaat yang dimaksud dan tertentu yang
bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.

d. Ulama Hanabilah

Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ijarah dan kara’ dan
semacamnya.

Pada ijarah (sewa menyewa), pihak yang menyewakan sesuatu di sebut muajjir dan
pihak yang menyewakan di sebut musta’jir.

E. Dasar Hukum Ijarah


Hukum asal ijarah adalah mubah atau boleh, yaitu apabila dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan Islam. Berikut adalah beberapa dasar hukum yang membolehkan
ijarah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis Nabi.

1. QS. Ath-Thalaq ayat 6:

‫ض ْعنَ لَ ُك ْم فَئاَتُوْ ه َُّن ُأجُو َره َُّن‬


َ ْ‫فَِإ ْن َأر‬

Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada


mereka upahnya.

2. QS. Al-Qashash ayat 26 dan 27:

َّ َ‫) قَ••ا َل إنِّ ْي ُأ ِر ْي• ُد َأ ْن ُأ ْن ِك َح••كَ ِإحْ• دَى ا ْبنَت‬26( ُ‫•ويُّ اَأْل ِميْن‬
‫ى هَ•ا تَ ْي ِن َعلَى َأ ْن‬ ‫ْأ‬
ِ •َ‫اس•تَْئ ِجرْ هُ ِإ َّن َخي َْر َمنِ ْس•تَ َجرْ تَ ْالق‬
ْ ‫ت‬ِ َ‫ت ِإحْ دَاهُ َمايََأب‬
ْ َ‫قَال‬
)27( َ‫ك َستَ ِج ُدنِ ْى ِإ ْن َشا َءهّللا ُ ِمنَ الصَّالِ ِح ْين‬ َ ‫ق َعلَ ْي‬ َّ ‫ك َو َما ُأ ِر ْي ُد َأ ْن َأ ُش‬
َ ‫ج فَِإ ْن َأ ْت َم ْمتَ َع ْشرًا فَ ِم ْن ِع ْن ِد‬ ‫ْأ‬
ِ ‫تَ ج َُرنِى ثَ َمانِ َي ِح َج‬
Salah seorang di antara kedua anak perempuan itu berkata: “Hai bapakku upahlah dia,
sesungguhnya orang yang engkau upah itu adalah kuat dan terpercaya”. Si bapak ber-kata:
“Saya bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang anak perempuanku dengan
ketentuan kamu menjadi orang upahan saya selama delapan musim haji”.

3. Hadis Ibnu Abbas:

ُ‫صلَّى هّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوَأ ْعطَى ْال ُحجَّا َم َأجْ َره‬
َ ‫ اِحْ ت ََج َم النَّبِ ُّي‬:‫ض َي هّللا ُ َع ْنهُ َما قَا َل‬ ٍ ‫َع ِن ا ْب ِن َعبَّا‬
ِ ‫س َر‬

Dari Ibnu Abbas r.a. Nabi saw. Berbekam dan beliau memberikan kepada tukang
bekam itu upahnya. (HR. Al-Bukhari)

4. Hadis Ibnu ‘Umar

َّ ‫ َأ ْعطُوْ اَأَأْل ِجي َْرَأجْ َرهُ قَ ْب َل َأن يَ ِج‬:‫صلَّى هّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
ُ‫ف ع ََرقُه‬ َ ِ ‫ قَا َل َرسُوْ ُل هّللا‬:‫ض َي هّللا ُ َع ْنهُ َما قَا َل‬
ِ ‫ َو َع ِن ا ْب ِن ُع َم َر َر‬.

Dari Ibnu ‘Umar r.a. ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: berikanlah kepada tenaga
kerja itu upahnya sebelum keringatnya kering. (HR. Ibnu Majah).

Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis tersebut sudah jelas bahwa akad ijarah
diperbolehkan dalam Islam, karena hal seperti ini juga dibutuhkan dalam masyarakat.

Tujuan disyariatkannya ijarah adalah untuk memberikan keringanan kepada umat dalam
pergaulan hidup. Seseorang mempunyai uang tetapi tidak dapat bekerja, dan di lain pihak ada
yang mempunyai tenaga dan membutuhkan uang. Dengan adanya ijarah keduanya saling
mendapat keuntungan.
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan

Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’I yang menurut
etimologi berarti menjual atau mengganti. . Wahbah al-Zuhaily mengartikan secara
bahasa dengan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.

rukun jual beli itu ada empat, yaitu :

1. Ada orang yang berakad (penjual dan pembeli).


2. Ada sighat (lafal ijab qabul).

3. Ada barang yang dibeli (ma’qud alaih)

4. Ada nilai tukar pengganti barang

Secara sederhana, ijarah diartikan sebagai transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan
tertentu. Dalam Bahasa Arab ijarah berasal dari kata ‫َأ َج َر‬, yang memiliki sinonim dengan: ‫َأ ْك َري‬
yang artinya: menyewakan, seperti dalam kalimah ‫( َأجْ َرال َّشىء‬menyewakan sesuatu).

Hukum asal ijarah adalah mubah atau boleh, yaitu apabila dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. KarimHelmi, M.A, 2002, “FiqihMuamalah”,Jakarta : PT. Raja Grafindo persada.

NasrunHaroen, 2007, “fiqhMuamalah”, Jakarta : Gaya Media Pratama.

SuhendiHendi, 1997, “FiqhMuamalah”,Jakarta : PT. Raja GrafindoPersada.

https://zahrasysyauqillah.wordpress.com/2015/05/25/makalah-ijarah-sewa-menyewa

Anda mungkin juga menyukai