Anda di halaman 1dari 24

Kelompok 3

JUAL-BELI (BA’I)

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah: Fikih Muamalat


Dosen Pengampu: Norwili, M.H.I.

Disusun Oleh:

Maulida (2212130031)

Nadya Nurul Ilma (2212130028)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA

FAKULTAS SYARIAH JURUSAN SYARIAH

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

TAHUN 2023 M/1444 H


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi penulis kesempatan serta
kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan
waktu yang di tentukan. Tanpa pertolongan-Nya tentunya penulis tidak akan bisa
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas
Mata kuliah Fikih Muamalat dengan judul “Jual Beli Ba’i”.

Kami selaku penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan. Untuk itu,
kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, agar
makalah ini nantinya bisa menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian,
apabila ada kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak.
Demikian, semoga makalah ini bermanfaat, Terima kasih.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Palangka Raya, 11 April 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1

C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli ................................................................................... 3

B. Rukun Jual Beli ......................................................................................... 4

C. Syarat Sah Ijab Kabul ................................................................................ 4

D. Khiyar Dalam Jual Beli ............................................................................. 6

E. Badan Perantara (Samsarah) ..................................................................... 9

F. Lelang ..................................................................................................... 11

G. Jual Beli yang Dilarang Dalam Islam ...................................................... 14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................. 18

B. Saran ....................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang
mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, dimana pihak
yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerima sesuai dengan
perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan secara syara’ dan
disepakati. Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi
persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal lain yang ada kaitanya dengan jual
beli, sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak
sesuai dengan kehendak syara’.
Jual beli merupakan akad yang sangat umum digunakan oleh
masyarakat, karena dalam setiap pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya,
masyarakat tidak bisa berpaling untuk meninggalkan akad ini. Dari akad
jual beli ini masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti
kebutuhan pokok (primer), kebutuhan tambahan (sekunder) dan kebutuhan
tersier.

B. Rumusan Masalah

Rumusan dari penulisan makalah dengan judul “Jual-Beli (Ba’i)” ini


adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian jual beli?
2. Apa saja rukun jual beli?
3. Apa saja syarat sah ijab kabul?
4. Apa itu khiyar dalam jual beli?
5. Apa itu badan perantara (samsarah)?
6. Apa itu lelang?
7. Apa saja jual beli yang dilarang dalam Islam?

1
C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah disampaikan diatas, adapun


tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari jual beli.
2. Untuk mengetahui rukun jual beli.
3. Untuk menegtahui syarat sah ijab kabul.
4. Untuk mengetahui khiyar dalam jual beli.
5. Untuk mengetahui badan perantara (samsarah).
6. Untuk mengetahui lelang.
7. Untuk mengetahui jual beli yang dilarang dalam Islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli

Secara terminilogi fiqh jual beli disebut dengan al-ba’i yang berarti
menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal
al-ba’i dalam terminology fiqh terkadang terpakai untuk pengertian
lawannya, yaitu lafal al-Syira yang berarti membeli. Dengan demikian, al-
ba’i mengandung arti menjual sekaligus membeli atau jual beli. Menurut
Hanifah pengertian juakk beli (al-bay) secara definitif yaitu tukar-menukar
harta benda atau sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang sepadan
melalui cara tertentu yang bermanfaat. Adapun menurut Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah, bahwa jual beli (al-ba’i) yaitu tukar menukar
harta dengan harta pula dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan.
Dan menurut Pasal 20 ayat 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ba’i
adalah jual beli antara benda dan benda,atau pertukaran antara dengan uang.
Berdasarkan definisi di atas, maka pada intinya jual beli itu adalah tukar
menukar barang. Hal ini telah dipraktikan oleh masyarakat primitif ketika
uang belum digunakan sebagai alat tukar-menukar barang, yaitu dengan
sistem barter yang dalam terminology fiqh disebut dengan ba’i al-
muqayyadah. Meskipun jual beli dengan sistem barter telah ditinggalkan,
diganti dengan sistem mata uang, tetapi terkadang esensi jual beli deperti
itu masih berlaku, sekalipun untuk menentukan jumlah barang yang ditukar
tetapi diperhitungkan dengan nilai mata uang tertentu, misalnya, Indonesia
membeli spare part kendaraan ke Jepang, maka barang yang diimpor itu
dibayar. 1

1
Mardani, FIQH Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana Prenadmedia Group,
2012), 101.

3
B. Rukun Jual Beli

Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab
(ungkapan membeli dari pembeli) dan kabul (ungkapan penjual dari
menjual). Menurut mereka yang menjadi rukun dalam jual beli itu
hanyalah kerelaan (rida/taradhi) krdua belah pihak untuk melakukan
transaksi jual beli. Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan unsur
hati yang sulit untuk diindra sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan
indikasi yang menunjukan kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi
yang menunjukan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi
jual beli menurut mereka boleh tergambar dalam ijab dan kabul, atau
melalui cara saling memberikan barang dan harga barang (ta’athi).
Akan tetapi, jumhur ulama menyatakn bahwa rukun jual beli itu ada
empat, yaitu:
1. Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli).
2. Ada shighat (lafal ijab dan kabul).
3. Ada barang yang dibeli.
4. Ada nilai tukar pengganti barang.
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli,
dan nilai tukar barang termasuk ke dalam syarat-syarat jual beli, bukun
rukun jual beli. 2

C. Syarat Sah Ijab Kabul

Suatu jual beli tidak sah bila tidak tepenuhi dalam suatu akad tujuh
syarat, yaitu:
1. Saling rela antara kedua belah pihak. Kerelaan antara kedua belah pihak
untuk melakukan transaksi syarat mutlak keabsahannya, berdasarkan

2
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, and Sapiudin Shidiq, FIQH MUAMALAT,
Pertama (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2010), 70–71.

4
firman Allah dalam QS. An-Nisaa’/4: 29, dan Hadist Nabi Riwayat Ibnu
Majah: “Jual beli haruslah atas dasar kerelaan (suka sama suka).”
2. Pelaku akad adalah orang yang dibolehkan melakukan akad, yaitu
orang yang telah balig, berakal, dan mengerti. Maka, akad yang
dilakukan oleh anak dibawah umur, orang gila, atau idiot tidak sah
kecuali dengan seizin walinya, kecuali akad yang bernilai rendah
seperti membeli kembang gula, korek api dan lain-lain. Hal ini
berdasarkan kepada firman Allah QS. An-Nisaa’/4: 5 dan 6.
3. Harta yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya oleh
kedua pihak. Maka, tidak sah jual beli barang yang belum dimiliki tanpa
seizin pemiliknya. Hal ini berdasarkan Hadist Nabi SAW Riwayat Abu
Daud dan Tirmidzi, sebagai berikut: “Janganlah engkau jual barang
yang bukan milikmu.”
4. Objek transaksi adalah barang yang dibolehkan agama. Maka, tidak
boleh menjual barang haram seperti khamar (minuman keras) dan lain-
lain. Hal ini berdasarkan Hadis Nabi SAW Riwayat Ahmad:
“Sesungguhnya Allah bila mengharamkan sesuatu barang juga
mengharamkan nilai jual barang tersebut.”
5. Objek transaksi adalah barang yang biasa diserahterimakan. Maka tidak
sah jual mobil hilang, burung di angkasa karena tidak dapat
diserahterimakan. Hal ini berdasarkan Hadist Nabi Riwayat Muslim:
“Dari Abu Hurairah r.a bahwa Nabi Muhammad SAW melarang jual
beli gharar (penipuan).”
6. Objek jual beli diketahui oleh kedua belah pihak saat akad. Maka tidak
sah menjual barang yang tidak jelas. Misalnya, pembeli harus melihat
terlebuh dahulu barang tersebut dan/atau spesifikasi barang tersebut.
Hal ini berdasarkan Hadist Riwayat Muslim tersebut.
7. Harga harus jelas saat transaksi. Maka tidak sah jual beli dimana penjual
mengatakan: “Aku jual mobil ini kepadamu dengan harga yang akan

5
kita sepakati nanti.” Hal ini berdasarkan Hadist Riwayat Muslim
tersebut.3

D. Khiyar Dalam Jual Beli

Dalam jual beli berlaku khiyar. Khiyar menurut Pasal 20 ayat 8


Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yaitu hak pilih bagi penjual dan
pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan akad jual beli yang
dilakukan. 4
Jumlah khiyar sangat banyak dan di antara para ulama telah terjadi
pebedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiyah, jumlahnya ada 17.
Ulama Malikiyah membagi khiyar menjadi dua bagian, yaitu khiyar
al-taammul (melihat, meneliti), yakni khiyar secara mutlak dan khiyar
naqish (kurang), yakni apabila terdapat kekurangan atau ‘aib pada barang
yang dijual (khiyar al-hukmy). Ulama Malikiyah berpendapat bahwa khiyar
majlis itu batal.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa khiyar terbagi dua, khiyar at-
tasyahi adalah khiyar yang menyebabkan pembeli memperlama transaksi
sesuai dengan seleranya terhadap barang, baik dalam majlis maupun syarat.
Kedua adalah khiyar naqishah yang disebabkan adanya perbedaan dalam
lafazh atau adanya kesalahan dalam perbuatan atau adanya penggantian.
Adapun khiyar yang didasarkan pada syara’ menuurt ulama Syafi’iyah ada
16 (enam belas) dan menurut ulama Hanabilah jumlah khiyar ada 8
(delapan) macam. 5
Namun demikian, diantara beragam hak khiyar tersebut, terdapat 3
macam hak khiyar yang sangat masyhur dikalangan ulama fiqh, yakni khiyat
syara, khiyar ‘aib, dan khiyar ru’yah.

3
Mardani, FIQH Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, 104–5.

4
Mardani, 105.

5
Rachmat Syafei, FIQIH Muamalah (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001), 103–4.

6
1. Khiyar Syarat
Khiyar syarat adalah hak untuk meneruskan atau membatalkan
akad jual beli dengan adanya syarat tertentu.
Madzhab Hanabalah membolehkan khiyar syarat dengan batas
waktu yang disepakati kedua pihak, kurang atau lebih dari 3 hari.
Madzhab Malikiyah memberikan rincian berdasarkan objek transaksi.
Jika berupa buah-buahan, maka batas waktunya tidak lebih dari 1 hari,
untuk pakaian atau kendaraan bisa dalam jangka waktu 3 hari, dan
untuk rumah atau tanah bisa lebih dari 1 bulan. Jika jangka waktu telah
habis, maka akad jual beli menjadi lazim. 6
2. Khiyar ‘Aib
Merupakan hak untuk meneruskan atau membatalkan akad jual beli
karena adanya unsur aib dalam objek akad.
Dalam transaksi ini, pembeli memiliki kebebasan untuk
meneruskan atau membatalkan akad. Khiyar ‘aib bisa dijalankan
dengan syarat sebagai berikut:
1. Cacat sudah ada ketika atau setelah akad dilakukan sebelum terjadi
serah terima, jika 'aib muncul setelah serah terima, maka tidak ada
hak khiyar.
2. ‘Aib tetap melekat pada objek setelah diterima oleh pembeli
3. Pembeli tidak mengetahui adanya 'aib atas objek transaksi, baik
ketika melakukan akad atau setelah menerima barang. Jika pembeli
mengetahui sebelumnya, maka tidak ada hak khiyar, karena itu
berarti ia telah meridlainya (cacat).
4. Tidak adanya persyaratan bara'ah (cuci tangan) dari ‘aib dalam
kontrak jual beli, jika dipersyaratkan, maka hak khiyar gugur.
5. ‘Aib masih tetap ada sebelum terjadinya pembatalan akad.

6
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar FIQH MUAMALAH, ed. Saifuddin zuhri Qudsy
(Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2008), 97–98.

7
Jika barang yang terdapat cacat masih berada dalam genggaman
penjual, maka akad akan menjadi batal dengan penolakan dari pembeli.
Namun jika sudah berpindah kepada pembeli, akad jual beli tidak batal
kecuali terdapat putusan dari hakim atau kesepakatan antara penjual dan
pembeli.7
3. Khiyar Ru’yah
Hanafiyah membolehkan khiyar ru'yah dalam transaksi jual beli, di
mana pembeli belum melihat secara langsung objek akad. Jika pembeli
telah melihat objek barang, maka ia me miliki hak untuk memilih,
meneruskan akad dengan harga yang disepakati, atau menolak dan
mengembalikan kepada penjual.
Di antara hadits yang dijadikan sebagai dasar keabsahan hiyar
ru’yah adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah dan Ibnu Abbas:
"Barang siapa membeli barang yang belum dilihatnya, maka ia
memiliki hak khiyar ketika telah melihatnya". Dalam konteks ini, ulama
membolehkan menjual barang yang ghaib (tidak ada di tempat akad)
tanpa menyebutkan spesifikasinya, dengan catatan pembeli memiliki
hak khiyar.
Hanabalah dan Malikiyah membolehkan jual beli barang dengan
spesifikasi (bai' al wasf) tanpa harus ada ketika kontrak dilakukan,
namun pembeli memiliki khiyar wasf (termasuk di dalamnya khiyar
ru'yah). Jika barangnya sesuai dengan spesifikasi, maka akad jual beli
menjadi lazim.
Jika pembeli membatalkan akad jual beli sebelum melihat barang,
ulama berbeda pendapat. Sebagian menyatakan. pembeli tidak
memiliki hak untuk membatalkannya, dan sebagian lainnya
membolehkan karena akad jual beli atas barang yang belum dilihatnya
bersifat ghair lazim (tidak mengikat).

7
Djuwaini, 98–99.

8
Akad jual beli atas barang yang belum dilihat oleh pem beli,
hukumnya tidak mengikat (ghair lazim). Pembeli memiliki kebebasan
untuk meluluskan atau membatalkan jual beli ketika ia telah melihat
objek transaksi. Menurut Malikiyah Hanabalah dan Syi'ah, akad jual
beli mengikat bagi pembeli jika barangnya sesuai dengan spesifikasi
yang disebutkan penjual. Begitu juga dengan pendapat Dzahiriyah.
Adapun jika barangnya sesuai dengan spesifikasi yang disebutkan
hukum jual beli dengan khiyar ru'yah sama dengan akad jual-beli
barang yang bela beli lainnya yang tanpa khiyar.
Pembeli akan memiliki hak khiyar ru'yah dengan syarat-syarat
sebagai berikut:
1) Objek akad harus berupa real asset ('ain, dzat, barang) dan bisa
dispesifikasi. Jika tidak, pembeli tidak memiliki hak khiyar, seperti
dalam transaksi pertukaran valas.
2) Pembeli belum pernah melihat objek transaksi sebelum melakukan
kontrak jual beli.
Mayoritas ulama sepakat akan keabsahan jual beli barang menjadi
lazim. dengan menggunakan sample (contoh) atas transaksi barang
dalam jumlah partai. Akad jual beli ini bersifat mengikat (lazim), jika
sample yang diperlihatkan sesuai dengan akad jual beli belu
(merefleksikan) barang secara keseluruhan. 8

E. Badan Perantara (Samsarah)

Perantara atau broker yang dalam istilah Hukum Islam disebut dengan
simsar ialah orang yang menjadi penghubung atau perantara yang
memperlancar proses jual beli antara penjual dengan pembeli (Suhrawardi,
2012).

8
Djuwaini, 98–101.

9
Samsarah (simsar) adalah perantara perdagangan (orang yang
menjualkan barang atau mencarikan pembeli), atau perantara antara penjual
dan pembeli untuk memudahkan jual beli (Ali dan Hasan, 2004).
Menurut Sayid Sabiq perantara (simsar) adalah orang yang menjadi
perantara antara pihak penjual dan pembeli guna melancarkan transaksi jual
beli. Dengan adanya perantara maka pihak penjual dan pembeli akan lebih
mudah dalam bertransaksi, baik transaksi berbentuk jasa atau berbentuk
barang.
Menurut Hamzah Ya'qub samsarah (makelar) adalah pedagang
perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil
upah tanpa menanggung resiko. Dengan kata lain makelar (simsar) ialah
penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual-beli. Jadi
samsarah adalah perantara antara biro jasa dengan pihak yang memerlukan
jasa mereka (produsen, pemilik barang), untuk memudahkan terjadinya
transaksi jual-beli dengan upah yang telah disepakati sebelum terjadinya
akad kerja sama tersebut. Dalam hal ini Yusuf Qardhawi berpendapat
makelar bagi orang luar daerah dibolehkan, karena dapat melancarkan
keluar masuknya barang dari luar ke dalam daerah dengan perantaraan si
makelar tersebut dengan demikian mereka akan mendatangkan keuntungan
bagi kedua belah pihak.
Menurut Sayyid Sabiq, Simsar adalah sebutan bagi orang yang
bekerja untuk orang lain dengan upah, baik untuk keperluan menjual
maupun membelikan. Sebutan ini juga layak dipakai untuk orang yang
mencarikan (menunjukkan) orang lain sebagai patrnernya sehingga pihak
simsar tersebut mendapat komisi dari orang yang menjadi partnernya.
Menurut Abdullah Alwi Haji Hassan, Al-simsar (jamak dari al-
simsarah) adalah perantara antara penjual dan pembeli dalam pelaksanaan
jual beli, atau pedagang perantara yang bertindak sebagai penengah antara
penjual dan pembeli, yang juga dikenal sebagai aldallah. Al-simsar dari
bahasa arab, yang berarti juga tiga dalil yang baik, orang yang mahir.
Pedagang sudah disebut alsamasirah pada masa sebelum Islam tetapi Rasul

10
menyebut mereka al-tujjar. Pada masa sebelum Islam, perbedaan
alsamsarah (perdagangan perantara) biasanya terjadi pada orang kota dan
orang yang tinggal di gurun, hal ini dipraktekkan dalam semua aspek
transaksi bisnis.
Orang yang menjadi simsar dinamakan pula komisioner, makelar atau
agen, tergantung persyaratanpersyaratan atau ketentuan-ketentuan menurut
Hukum Dagang yang berlaku dewasa ini. Walaupun namanya simsar,
komisioner dan lain-lain, namun mereka bertugas sebagai badan perantara
dalam menjualkan barang-barang dagangan, baik atas namanya sendiri
maupun atas nama perusahaan yang memiliki barang.
Menurut Agustianto, Pekerjaan samsarah/simsar berupa makelar,
distributor, agen dan sebagainya dalam fiqih Islam termasuk akad ijarah,
yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang lain dengan imbalan.
Menurut Muhammad Abu Zahra, Al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang
berarti al-iwadhu (ganti). Dari sebab itu ats tsawab (pahala) dinamai ajru
(upah). Berdagang secara simsar dibolehkan berdasarkan agama asal dalam
pelaksanaannya tidak terjadi penipuan dari yang satu terhadap yang
lainnya.9

F. Lelang

Lelang Merupakan suatu bentuk penawaran barang kepada penawar


yang pada awalnya membuka lelang dengan harga rendah kemudian
semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan
harga tertinggi sehinga pada akhirnya penawar dengan harga yang paling
tinggi mendapatkan barang yang dilelangkan.
Lelang juga dapat berupa penawaran barang pada mulanya membuka
lelang dengan harga tinggi, kemudian semakin menurun sampai akhirnya

9
Ficha Melina and Hendra Eka Saputra, “Tinjauan Fiqh Muamalah Kontemporer Tentang
Badan Perantara (Samsarah) Dan Jual Beli Lelang (Bay Al-Muzayaddah),” Syarikat: Jurnal
Rumpun Ekonomi Syariah 5, no. 1 (2022): 98–109,
https://doi.org/10.25299/syarikat.2022.vol5(1).9662.

11
diberikan kepada calon pembeli dengan tawaran tertinggi yang disepakati
penjual melalui juru lelang (auctioneer) sebagai kuasa penjual untuk
melakukan lelang, dan biasanya ditandai dengan ketukan (disebut lelang
turun). Lelang ini dipakai pula dalam praktik penjualan saham di bursa efek
di mana penjual dapat menawarkan harga yang diinginkan, tetapi jika tidak
ada pembeli, penjual dapat menurunkan harganya sampai terjadi
kesepakatan (Rafiqatul dan Hanniah, 2012).
Dalam perspektif syariah, transaksi yang melibatkan proses lelang ini
disebut sebagai bay` muzayadah, yang diartikan sebagai suatu metode
penjualan barang dan/ atau jasa berdasarkan harga penawaran tertinggi.
Menurut Suheri, pada Bay` muzayadah ini, penjual akan menawarkan
barang dengan sejumlah pembeli yang akan bersaing untuk menawarkan
harga yang tertinggi. Proses ini berakhir dengan dilakukannya penjualan
oleh penjual kepada penawar yang tertinggi dengan terjadinya akad dan
pembeli tersebut mengambil barang dari penjual.
Penjualan seperti ini dibolehkan oleh agama Islam karena dijelaskan
dalam satu keterangan (Suhendi, 2010): “Dari Anas r.a, ia berkata,
Rasulullah Saw.menjual sebuah pelana dan sebuaah mangkok air dengan
berkata siapa yang mau membeli pelana dan mangkok ini? Seorang laki-laki
menyahut; aku bersedia membelinya seharga satu dirham. Lalu Nabi
berkata lagi, siapa yang berani menambahi? Maka diberi dua dirham oleh
seorang laki-laki kepada beliau, lalu dijuallah kedua benda itu kepada laki-
laki tadi” (Riwayat Tirmidzi).
Jual-beli secara lelang tidak termasuk praktik riba meskipun ia
dinamakan bai’ muzayyadah dari kataziyadah yang bermakna tambahan
sebagaimana makna riba, namun pengertian tambahan di sini berbeda.
Dalam muzayyadah yang bertambah adalah penawaran harga lebih dalam
akad jual beli yang dilakukan oleh penjual atau bila lelang dilakukan oleh
pembeli maka yang bertambah adalah penurunan tawaran. Sedangkan
dalam praktik riba tambahan haram yang dimaksud adalah tambahan yang

12
tidak diperjanjikan dimuka dalam akad pinjam-meminjam uang atau barang
ribawi lainnya.
Lebih jelasnya, praktik penawaran sesuatu yang sudah ditawar orang
lain dapat diklasifikasi menjadi tiga kategori: Pertama; Bila terdapat
pernyataan eksplisit dari penjual persetujuan harga dari salah satu penawar,
maka tidak diperkenankan bagi orang lain untuk menawarnya tanpa seizin
penawar yang disetujui tawarannya. Kedua; Bila tidak ada indikasi
persetujuan maupun penolakan tawaran dari penjual, maka tidak ada
larangan syariat bagi orang lain untuk menawarnya maupun menaikkan
tawaran pertama, sebagaimana analogi hadits Fathimah binti Qais ketika
melaporkan kepada Nabi bahwa Mu’awiyah dan Abu Jahm telah
meminangnya, maka karena tidak ada indikasi persetujuan darinya terhadap
pinangan tersebut, beliau menawarkan padanya untuk menikah dengan
Usamah bin Zaid. Ketiga; Bila ada indikasi persetujuan dari penjual
terhadap suatu penawaran meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, maka
menurut Ibnu Qudamah tetap tidak diperkenankan untuk ditawar orang lain.
Dalam transaksi keuangan Islam, harga ditentukan atas dasar
keinginan pembeli dan penjual. Dalam banyak hal, barang akan terjual
kepada pembeli yang menawar dengan harga yang tertinggi. Dalam
perspektif syariah, transaksi yang melibatkan proses lelang ini disebut
sebagai bay` muzayadah, yang diartikan sebagai suatu metode penjualan
barang dan atau jasa berdasarkan harga penawaran tertinggi.
Pada Bay` muzayadah ini, penjual akan menawarkan barang dengan
sejumlah pembeli yang akan bersaing untuk menawarkan harga yang
tertinggi. Proses ini berakhir dengan dilakukannya penjualan oleh penjual
kepada penawar yang tertinggi dengan terjadinya akad dan pembeli tersebut
mengambil barang dari penjual.
Lelang ada dalam Islam dan hukumnya boleh (mubah). Ibnu Abdil
Barr berkata, “Sesungguhnya tidaklah haram menjual barang kepada orang
yang menambah harga, demikianlah menurut kesepakatan ulama. “(innahu
laa yahrumu al-bai’u mimman yaziidu ittifaaqan) (Subulus Salam, Juz

13
III/23). Sebagian ulama seperti an-Nakha`i memakruhkan jual beli lelang,
dengan dalil hadits dari Sufyan bin Wahab bahwa dia berkata, “Aku
mendengar Rasulullah SAW melarang jual beli lelang.” (sami’tu rasulallah
SAW nahaa ‘an bai’ almuzayadah). (HR Al-Bazzar).
Hukum lelang Dalam syariat Islam masih dalam tahap kontropersi
yaitu ada diantaranya yang menyatakan boleh dan ada juga yang
Mengatakan makruh hukumnya (Rafiqatul dan Hanniah, 2012).10

G. Jual Beli yang Dilarang Dalam Islam

Jumhur Ulama' membagi jual-beli menjadi dua macam, yaitu jual-beli


yang dikategorikan sah (sahih) dan jual-beli yang dikategorikan tidak sah.
Jual-beli sahih adalah Jual beli yang memenuhi ketentuanrt syara', baik
rukun maupun syaratnya. Sedangkan jual-beli tidak sah adalah jual-beli
yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual-beli menjadi
rusak (fasad) atau batal.
Adapun menurut Ulama' Hanafiyah, dalam masalah muamalah
terkadang ada suatu kemaslahatan yang tidak ada ketentuannya dari syara'
sehinggatidak sesuai atau ada kekurangan dengan ketentuan syari'at. Akad
seperti itu adalah rusak, tetapi tidak batal. Dengan kata lain ada akad yang
batal saja dan juga ada akad tanpa harus batal.
Maka dari itu Ulama' Hanafiyah membagi menjadi tiga macam, yaitu:
jual-beli sah (sahih), batal dan rusak (fasid). Jual-beli yang sahih adalah
apabila jual-beli itu disyari'atkan memenuhi ketentuan rukun dan syarat
yang ditentukan, barang itu bukan milik orang lain, dan tidak terikat dengan
khiyar lagi, maka jual beli tersebut sahih dan mengikat kedua belah pihak.
Jual beli yang batal (batil) adalah apabila jual-beli itu salah satu atau seluruh
rukunnya tidak terpenuhi, atau jual-beli pada dasarnya dan sifatnya tidak

10
Ficha Melina and Hendra Eka Saputra.

14
disyari'atkan, maka jual-beli itu batil. Seperti jual beli yang dilakukan oleh
anak kecil atau orang gila.
Jual-beli rusak (fasid) adalah jual-beli yang sesuai dengan ketentuan
syari'at pada asalnya, tetapi tidak sesuai dengan syari'at pada sifatnya,
seperti jual- beli yang dilakukan oleh orang mumayyiz. tetapi bodoh
sehingga menimbulkan pertentangan. Adapun dalam masalah ibadah,
Ulama Hanafiyah sepakat dengan jumhur Ulama' bahwa batal dan fasad
adalah sama.
Dari ketiga macam jual-beli tersebut, jual-beli batil dan rusak (fasid)
masih banyak diperselisihkan dikalangan Ulama' madzhab bahkan ada juga
yang dilarang oleh Islam secara mutlak. Berkenaan dengan jual-beli yang
dilarang dalam Islam, Wahbah Al-Zuhaili meringkasnya sebagai berikut:
1. Terlarang sebab ahliyah (ahli akad)
Ulama' telah sepakat bahwa jual-beli yang dikategorikan sahih
adalah apabila dilakukan oleh orang baligh, berakal, dapat memilih, dan
mampu ber-tasharruf secara bebas dan baik. Jadi mereka yang tidak
dianggap sah jual belinya yaitu:
a. Jual beli orang gila, Ulama' sepakat tidak sah.
b. Jual-beli anak kecil, Ulama' Syafi'iyah berpendapat bahwa jual-beli
anak yang belum baligh, tidak sah. Karena tidak ada ahliah.
Sedangkan menurut Ulama'malikiyah, Hanafiyah dan Hanabilah
anak kecil dianggap sah bila mendapatkan izin dari walinya.
c. Jual-beli orang buta, Ulama' Syafi'iyah menganggap tidak sah dan
menurut Jumhur Ulama' dikategorikan jual-beli sahih, bila sifat
dari barangnya disebutkan.
d. Jual-beli terpaksa, tidak atas kemauan sendiri.
e. Jual-beli Fudhul (jual-beli milik orang tanpa seizin pemiliknya).
Menurut Ulama' Hafiyah dan Malikiyah, jual-belinya
ditangguhkan. sampai dapat izin pemiliknya. Sedangkan menurut
Ulama' Hanabilah dan Syafi'iyah tidak sah.

15
f. Jual-beli Malja (jual-beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni
menghindar dari perbuatan zhalim). Jual-beli tersebut fasid
menurut Ulama Hanafiyah dan batal menurut Ulama' hanabilah
2. Terlarang sebab shighat
Ulama' Fiqih sepakat atas sahnya yang didasarkan pada keridhaan
diantara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian diantara ijab dan
qobul berada disatu tempat, dan tidak terpisah oleh suatu pemisah. Jual-
beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak sah,
Beberapa jual-beli yang dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan
oleh para Ulama' adalah sebagai berikut:
a. Jual-beli Mu'athah (jual-beli yang disepakati oleh pihak akad,
berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai
ijab-qobul). Jumhur Ulama' menyatakan sahih apabila ada ijab dari
salah satunya.
b. Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad, sebab tidak
memenuhi syarat terjadinya akad.
c. Jual-beli Munjiz (jual-beli yang dikaitkan dengan suatu syarat atau
ditangguhkan pada waktu yang akan datang).
3. Terlarang sebab ma'qud alaih (barang jualan)
Secara umum ma'qud alaih adalah harta yang dijadikan alat
pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa disebut dengan barang
jualan dan harga. Ulama' fiqih sepakat bahwa jual-beli dianggap sah
apabila ma'qud alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat,
berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang akad,
tidak bersangkutan dengan milik orang lain, dan tidak ada larangan dari
syara'.
Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian
Ulama', tetapi diperselisihkan oleh Ulama' lain. Diantaranya yaitu:
a. Jual-beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada.
b. Jual-beli barang yang najis dan terkena Najis.
c. Jual-beli barang yang tidak jelas (majhul).

16
d. Jual-beli buah-buahan atau tumbuhan yang belum kelihatan
matangnya.
e. Jual-beli barang yang tidak dapat dilihat (ghaib), dan jual-beli 24
sesuatu sebelum dipegang
4. Terlarang sebab syara'
Diantara jual-beli ini yang masih diperselisihkan sebagian Ulama',
antara lain:
a. Jual-beli Riba
b. Jual beli anggur untuk dijadikan khamr
c. Jual-beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain.
d. Jual-beli barang dari hasil pencegatan barang dijalan.
e. Jual-beli memakai syarat Jual-beli dengan uang dari barang yang
diharamkan.
Yang menyebabkan perselisihan disitu adalah karena mereka para
Ulama' Madzhab ada yang membedakan antara pengertian batal dan
fasad (rusak), dan ada juga yang menyatakan bahwa batal dan fasad itu
sama. Maka dari itu para ulama madzhab ada yang melarang secara
mutlak, juga ada yang masih membolehkan tapi harus memenuhi
beberapa syarat. Sedangkan masalah yang terakhir kenapa jual beli itu
dilarang menurut Wahbah Al-Juhaili adalah jual beli yang terlarang
sebab syara',karena tidak sesuai dengan ketentuan yang sudah
disyari'atkan oleh agama. Ketidaksesuaiannya bisa kita lihat dengan
tidak terpenuhinya syarat-syarat dari barang ataupun harga dari
pelaksanaan jual-beli tersebut.11

11
LA Subrata, “BAB II KAJIAN TEORI,” Uin Malang, 2015, http://etheses.uin-
malang.ac.id/2694/6/10220010_Bab_2.pdf.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Jual beli itu adalah tukar menukar barang. Hal ini telah dipraktikan oleh
masyarakat primitif ketika uang belum digunakan sebagai alat tukar-
menukar barang, yaitu dengan sistem barter yang dalam terminology fiqh
disebut dengan ba’i al-muqayyadah. Meskipun jual beli dengan sistem
barter telah ditinggalkan, diganti dengan sistem mata uang, tetapi
terkadang esensi jual beli deperti itu masih berlaku, sekalipun untuk
menentukan jumlah barang yang ditukar tetapi diperhitungkan dengan
nilai mata uang tertentu, misalnya, Indonesia membeli spare part
kendaraan ke Jepang, maka barang yang diimpor itu dibayar.
2. Jumhur ulama menyatakn bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu:
a. Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan
pembeli).
b. Ada shighat (lafal ijab dan kabul).
c. Ada barang yang dibeli.
d. Ada nilai tukar pengganti barang.
3. Suatu jual beli tidak sah bila tidak tepenuhi dalam suatu akad tujuh
syarat, yaitu:
a. Saling rela antara kedua belah pihak
b. Pelaku akad adalah orang yang dibolehkan melakukan akad
c. Harta yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya oleh
kedua pihak
d. Objek transaksi adalah barang yang dibolehkan agama
e. Objek transaksi adalah barang yang biasa diserahterimakan
f. Objek jual beli diketahui oleh kedua belah pihak saat akad
g. Harga harus jelas saat transaksi

18
4. Ulama Malikiyah membagi khiyar menjadi dua bagian, yaitu khiyar al-
taammul (melihat, meneliti), yakni khiyar secara mutlak dan khiyar
naqish (kurang), yakni apabila terdapat kekurangan atau ‘aib pada barang
yang dijual (khiyar al-hukmy). Namun demikian, diantara beragam hak
khiyar tersebut, terdapat 3 macam hak khiyar yang sangat masyhur
dikalangan ulama fiqh, yakni khiyat syara, khiyar ‘aib, dan khiyar ru’yah.
5. Perantara atau broker yang dalam istilah Hukum Islam disebut dengan
simsar ialah orang yang menjadi penghubung atau perantara yang
memperlancar proses jual beli antara penjual dengan pembeli
(Suhrawardi, 2012). Samsarah (simsar) adalah perantara perdagangan
(orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli), atau
perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli (Ali
dan Hasan, 2004). Jadi samsarah adalah perantara antara biro jasa dengan
pihak yang memerlukan jasa mereka (produsen, pemilik barang), untuk
memudahkan terjadinya transaksi jual-beli dengan upah yang telah
disepakati sebelum terjadinya akad kerja sama tersebut. Menurut
Abdullah Alwi Haji Hassan, Al-simsar (jamak dari al-simsarah) adalah
perantara antara penjual dan pembeli dalam pelaksanaan jual beli, atau
pedagang perantara yang bertindak sebagai penengah antara penjual dan
pembeli, yang juga dikenal sebagai aldallah.
6. Lelang Merupakan suatu bentuk penawaran barang kepada penawar yang
pada awalnya membuka lelang dengan harga rendah kemudian semakin
naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan harga
tertinggi sehinga pada akhirnya penawar dengan harga yang paling tinggi
mendapatkan barang yang dilelangkan.
7. Jumhur Ulama' membagi jual-beli menjadi dua macam, yaitu jual-beli
yang dikategorikan sah (sahih) dan jual-beli yang dikategorikan tidak
sah. Jual-beli sahih adalah Jual beli yang memenuhi ketentuanrt syara',
baik rukun maupun syaratnya. Sedangkan jual-beli tidak sah adalah jual-
beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual-beli
menjadi rusak (fasad) atau batal.

19
B. Saran

Saran dari tim penulis untuk makalah ini kepada para pembaca agar
mengkaji dan mempelajari dengan lebih mendalam lagi mengenai materi
yang terkait agar dapat menambah wawasan anda lebih luas lagi. Meskipun
penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini, tetapi
pada kenyataannya masih banyak kekurangan dan kesalahan yang perlu
penulis dan tim perbaiki, hal ini di karenakan masih minimnya pengetahuan
penulis. Penulis dan tim sangat mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca supaya dapat berkembang dan menjadi lebih baik lagi kedepannya
dalam penyusunan makalah sehingga dapat menghasilkan karya tulis dan
yang bermanfaat bagi banyak orang.

20
DAFTAR PUSTAKA

Djuwaini, Dimyauddin. Pengantar FIQH MUAMALAH. Edited by Saifuddin zuhri


Qudsy. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2008.

Ghazaly, Abdul Rahman, Ghufron Ihsan, and Sapiudin Shidiq. FIQH MUAMALAT.
Pertama. Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2010.

Mardani. FIQH Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana Prenadmedia


Group, 2012.

Syafei, Rachmat. FIQIH Muamalah. Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001.

Ficha Melina, and Hendra Eka Saputra. “Tinjauan Fiqh Muamalah Kontemporer
Tentang Badan Perantara (Samsarah) Dan Jual Beli Lelang (Bay Al-
Muzayaddah).” Syarikat: Jurnal Rumpun Ekonomi Syariah 5, no. 1 (2022):
98–109. https://doi.org/10.25299/syarikat.2022.vol5(1).9662.

Subrata, LA. “BAB II KAJIAN TEORI.” Uin Malang, 2015. http://etheses.uin-


malang.ac.id/2694/6/10220010_Bab_2.pdf.

21

Anda mungkin juga menyukai