Anda di halaman 1dari 10

JUAL BELI PENGERTIAN DAN PEMBAGIANNYA

OLEH:
Afif Al-Ayubi Islamudin (B91217059)
Indri Wachidah Wahyuni Trisna (B91217122)
Kelas A1

Dosen Pengampu:
H. Fahrur Razi, S.Ag, M.HI

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirrabbilalamin, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah


swt., berkat rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas
penyusunan makalah Fqh Muamalah dan Munakahah yang berjudul, “Jual Beli
Pengertian dan Pembagiannya”
Tujuan dari penyusunan makalah ini, selain untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Fiqh Muamalah dan Munakahah, kami susun sebagai bahan
pembelajaran bagi mahasiswa lain untuk mengetahui lebih dalam lagi mengenai
yang terkandung dalam Fiqh Muamalah itu sendiri.
Namun disamping itu, kami menyadari betul bahwa dalam makalah ini
masih terdapat banyak kekurangan. Dan untuk itu kami mengarapkan kritik dan
saran yang sekiranya membangun daru para pwmbaca sekalian agar kekurangan
dalam makalah ini dapat diperbaiki dan menjadi lebih sempurna untuk proses
penambahan wawasan kita semua.

Surabaya, 9 Maret 2018

Penyusun
Jual Beli

A. Pengertian Jual Beli


Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-ba’I yang berarti
menjual mengganti, dan menukar sesuatu dengan yang lain. Secara
terminologi jual beli adalah,
1. Menurut Sayid Sabiq jual beli adalah tukar menukar harta
dengan jalan suka sama suka. Atau memindahkan kepemilikan
dengan adanya penggantian, dengan prinsip tidak melanggar
syari’ah.
2. Menurut kompilasi hokum ekonomi syari’ah, ba’i adalah jual
beli antara benda dengan benda atau pertukaran benda dengan
barang.1
3. Menurut Ulama Hanafiyah yaitu saling tukar menukar harta
dengan harta melalui cara tertentu, atau tukar menukar sesuatu
yang diinginkan dengan yang sepadan melalui cara tertentu
yang bermanfaat.
4. Menurut Ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabiyah yaitu
saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan
milik dan kepemilikian.2
Dari pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan jual beli yaitu tukar
menukar (harta) sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu (harta) yang lain melalui
ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qabul (pernyataan menjual dari
penjual).
B. Dasar Hukum Jual Beli
1. Firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah (2):275
‫اح َّل هّللا ُ البَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا‬
َ
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”
2. Firman Allah dalam Q.S. An-Nisa’ (4): 29
‫و َن‬Q ِ Q‫ا ِط‬QQَ‫يَاَيّهَا الّ ِذي َْن ا َمنُ ْو الَتْأ ُكلُوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِاالب‬
ْ Q‫ل االَّ اَ ْن تَ ُك‬Q
‫اض ِّم ْن ُك ْم‬
ٍ ‫تِ َجا َرةً َع ْن تَ َر‬....
“Wahai orang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam
perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara
kamu..”

1
Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam cet. 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Pustaka, 2015), h. 167
2
Muhammad Yazid, Hukum Ekonomi Islam (Fiqh Muamalah), (Surabaya: UIN SA Press, 2014),
h. 18
3. Hadis Nabi: “Dari Rifa’ah ibn Rafi’, bahwa Rasulullah saw. ditanya
salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang paling
baik, Rasulullah Saw., menjawab: usaha tangan manusia sendiri dan
jual beli yang diberkati. (HR. Al-Bazzah dan Al-Hakim)
4. Dalam riwayat At-Tirmidzi Rasulullah bersabda:
Pedagang yang jujur dan terpercaya itu sejajar (tempatnya di surga)
dengan para Nabi, para shadiqqin, dan para syuhada’.
C. Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun jual beli menurut jumhur ulama’ yaitu:3
1. Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli)
2. Ada sighat (lafadz ijab dan qabul)
3. Ada barang yang dibeli
4. Ada nilai tukar pengganti barang
Syarat jual beli yaitu:4
1. Syarat orang yang berakad
a. Berakal. Jumhur ulama berpendirian bahwa orang yang melakukan
jual beli itu harus telah baligh dan berakal.
b. Yang melakukan akad adalah orang yang berbeda. Artinya sesorang
tidak bisa bertindak menjadi pembeli dan penjual sekaligus dalam
waktu yang sama.
2. Syarat yang terkait dengan ijab dan qabul
Kerelaan kedua belah pihak terhadap sesuatu dapat dilihat dari ijab
dan qabul yang dilangsungkan. Apabila ijab dan qabul telah
dilangsungkan maka kepemilikan barang atau uang telah berpindah dari
pemilik semula. Para ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab dan
qabul itu adalah sebagai berikut:
a. Orang yang mengucapkan telah baligh dan berakal.
b. Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dengan qabul
tidak sesuai, maka jual beli tidak sah.
c. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Artinya, kedua
belah pihak hadir dan membicarakan topik yang sama.
3. Syarat barang yang diperjualbelikan
a. Barang tersebut ada, atau tidak ada ditempat tetapi pihak penjual
menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
b. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
c. Milik seseorang.
d. Boleh diserahkan ketika akad berlangsung atau saat waktu yang
disepakati bersama saat akad berlangsung.
e. Barang yang diperjualbelikan halal.
3
Muhammad Yazid, Hukum Ekonomi Islam (Fiqh Muamalah), (Surabaya: UIN SA Press, 2014),
h. 21
4
4. Syarat nilai tukar (harga barang)
a. Harga yang disepakati kedua belah pihak, harus jelas jumlahnya.
b. Boleh diserahkan waktu akad.
c. Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang,
maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharapkan
syara’.
E. Bentuk-bentuk Jual Beli
Jumhur ulama’ membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi dua
bentuk, yaitu:
1. Jual beli yang shahih
Jual beli dikatakan sebagai jual beli yang shahih apabila jual beli itu
disyariatkan, memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan; bukan milik orang
lain, tidak tergantung pada hak khiyar lagi. Jual beli ini dikatakan sebagai jual
beli shahih. Misalnya, seseorang membeli mobil. Seluruh rukun dan syarat jual
beli telah terpenuhi, mobil itu telah diperiksa oleh pembeli dan tidak ada cacat,
tidak ada yang rusak, tidak terjadi manipulasi harga,dan harga mobil itu pun
telah diserahkan, serta tidak ada lagi hak khiyar dalam jual beli itu. Jual beli
seperti ini hukumnya shahih dan mengikat kedua belah pihak.
2. Jual beli yang batal
Jual beli dikatakan sebagai jual beli yang batal apabila salah satu atau seluruh
rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasarnya dan sifatnya tidak
disyariatkan, seperti jual beli yang dilakukan oleh anak-anak, orang gila, atau
barang yang dijual diharamkan syara’, seperti bangkai, darah, babi, dan
khamar.

Jenis-jenis jual beli yang batil adalah:


1. Jual beli sesuatu yang tidak ada, seperti memperjualbelikan buah-buahan yang
putiknya belum muncul dipohonnya atau anak sapi yang belum ada, sekali pun
di perut ibunya telah ada.
2. Menjual barang yang tidak bisa diserahkan kepada pembeli, seperti menjual
barang yang hilang atau burung piaraan yang lepas dan terbang di udara.
3. Jual beli yang ada unsur penipuan, awalnya baik, tetapi di baalik itu semua ada
unsur penipuan. Misalnya menjual kurma yan ditumpuk, di bagian atas bagus
dan manis, tetapi dalam tupukan itu banyak terdapat yang busuk.
4. Jual beli benda-benda najis, seperti babi, khamar dan darah.
5. Menjual air sungai, air danau, air laut, dan air yang tidak boleh dimiliki
seseorang, karena air tersebut milik bersama.

G. Macam-macam Jual Beli


Ulama’ membagi macam-macam Jual beli sebagai berikut:
1. Dilihat dari sisi objek yang diperjualbelikan, jual beli dibagi kepada tiga
macam, yaitu:
a. Jual beli muthlaqah, pertukaran antara barang atau jasa dengan uang.
b. Jual beli sharf, Jual beli antara satu mata uang dan mata uang lain.
c. Jual beli muqayyadah, pertukaran antara barang dengan barang (barter).
2. Dilihat dari segi cara menetapkan harga, jual beli dibagi kepada empat macam,
yaitu:
a. Jual beli musawwamah (tawar menawar), yaitu jual beli biasa ketika
penjual tidak memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapat.
b. Jual beli amanah, yaitu penjual memberitahukan modal jualnya (harga
perolehan barang). Jual beli amanah ada tiga macam, yaitu:
1) Jual beli murabahah, yaitu ketika penjual menyebutkan harga beli
barang dan keuntungan yang di dapat.
2) Jual beli muwadha’ah (discount), yaitu dengan harga di bawah harga
modal dengan jumlaah kerugian yang diketahui untuk penjulan barang
atau aktiva yang nilai bakunya sudah sangat rendah.
3) Jual beli tauliyah, yaitu dengan harga modal tanpa keuntungan dan
kerugian.
c. Jual beli dengan harga tangguh, ba’i bitsaman ajil, yaitu dengan penerapan
harga yang akan dibayar kemudian. Harga tangguh ini boleh lebih tinggi
dari harga tunai dan bisa dicicil.
d. Jual beli muzayyadah (lelang), yaitu dengan penawaran dari penjual dan
para pembeli menawar. Penawar tertinggi terpilih sebagai pembeli.
kebalikan dari munaqadhah, yaitu jual beli dengan penawaran pembeli
untuk membeli barang dengan spesifikasi tertentu dan penjual berlomba
menawarkan dagangannya, kemudian pembeli akan membeli dari penjual
yang menawarkan harga termurah.
3. Dilihat dari segi pembayaran, jual beli dibagi empat, yaitu:
a. Jual beli tunai dengan penyerahan barang dan pembayaran langsung.
b. Jual beli dengan pembayaran tertunda (bai muajjal), yaitu penyerahan
barang secara langsung (tunai) tetapi pembayaran dilakukan kemudian
dan bisa dicicil.
c. Jual beli dengan penyerahan barang tertunda (deferred delivery),
meliputi:
1) Jual beli salam, yaitu ketika pembeli membayar tunai di muka atas
barang yang dipesan (biasanya produk pertanian) dengan
spesifikasi yang harus diserahkan kemudian.
2) Jual beli istishna’, yaitu pembelinya membayar tunai atau bertahap
atas barang yang dipesan( biasanya produk manufaktur) dengan
spesifikasi yang harus diproduksi dan diserahkaan kemudian.
d. Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran saama-sama
tertunda.

F. Hak Khiyar (Hak Opsional) dalam jual beli


Secara etimologi khiyar mempunyai arti memilih mana yang lebih baik
dari dua hal atau lebih. Sedangkan secara terminologi, menurut Wabbah
Zuhaili, khiyar adalah suatu keadaan yang menyebabkan ‘aqid memiliki hak
untuk memutuskan akadnya, yakni menjadikan atau membatalkannya jika
khiyar tersebut berupa khiyar syarat, aib dan ru’yah, atau hendaknya memilih
di antara dua barang, jika khiyar ta’yin
Ulama’ membagi khiyar menjadi beberapa macam, yaitu:
1. Khiyar Majlis, yaitu antara penjual dan pembeli boleh memilih akan
melanjutkan jual beli atau membatalknnya, selama keduanya masih ada
dalam satu tempat (majelis). Khiyar majelis dapat dilakukan dalam
berbagai jual beli.
2. Khiyar Syarat, yaitu penjualan yang di dalamnya disyariatkan sesuatu baik
oleh penjual maupun pembeli, seperti: seseorang berkata, “saya jual rumah
ini dengan harga Rp100.000.000,- dengan syarat khiyar selama tiga hari”.
Rasulullah saw, bersabda: “kamu boleh khiyar pada setiap benda yang
telah dibeli selama tiga hari tiga malam”. (HR.Baihaqi)
3. Khiyar ‘Aib artinya dalam jual beli ini disyariaatkan kesempurnaan
benda-benda yang dibeli, seperti seseorang berkata” saya beli mobil ini
dengan harga sekian, bila mobil ini cacat akan saya kembalikan”.
4. Khiyar Ta’yin, yaitu hak memilih antara barang-barang yang diperjual
belikan. Apabila seseorang mengadakan akad jual beli yang objeknya
tidak hanya sebuah barang, tetapi sebenarnya yang akan menjadi objek
hanya salah satu saja, dan pihak penjual, pembeli diperbolehkan mana
yang disenangi, hak pembeli untuk menentukan pilihan salah satu barang
tersebut disebut khiyar ta’yin.
5. Khiyar Ru’yah, yaitu hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku
atas batalnya jual beli yang ia lakukan terhadap suatu objek yang belum ia
lihat ketika akad berlangsung. Rasulullah Saw, bersabda. “siapa yang
membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah
melihat barang itu”. (HR. Ad-Daruquthnidari Abu Hurairah)
6. Khiyar Naqd yaitu dilakukan oleh dua orang dengan syarat bila pembeli
tidak melakukan khiyar dalam waktu tertentu, maka tidak terjadi jual beli
antara keduanya. Dengan ungkapan lain,menjual sesuatu barang
berdasarkan bahwa si pembeli akan membayar harga harga tersebut pada
masa yang disetujui semasa akad. Kemudian tiba-tiba pembeli gagal
membayar pada masa yang ditetapkan, maka penjual berhak membatalkan
jual beli tersebut, begitu juga sekiranya pembeli meninggal dalam masa
berjalannya khiyar naqd, maka akad tersebut dengan sendirinya batal.
7. Khiyar Wasf yaitu memilih membatalkan (fasakh) atau meneruskan jual
beli pada saat ditemukan baha barang yang dibeli tersebut tidak sesuai
dengan sifat-sifat yang dikehendakinya. Dalam hal yang demikian, si
pembeli boleh memilih antara membatalkan akad jual beli itu atau
meneruskannya dengan harga yang ditetapkannya semasa akad.
Menurut para ahli fiqih, khiyar wasf boleh diwarisi. Karena ketika
pembeli meninggal sebelum melihat barang yang dibelinya, kemudiaan
barang itu diserahkan kepada ahli warisnya dan terdapat sifat-sifat yang
tidak sesuai dengan yang telah disepakati oleh meninggal, maka ahli waris
berhak membatalkan akad jual beli tersebut. Dengan demikian, hak khiyar
wasf dengan sendirinya batal sekiranya pembeli bertindak terhadap barang
tersebut sebagaimana hak miliknya sendiri.
Adanya hak khiyar dimaksudkan guna menjamin agar akad yang diadakan
benar-benar terjadi atas kerelaan penuh pihak-pihak bersangkutan, karena adanya
kerelaan itu merupakan asas bagi sahnya suatu akad.
KESIMPULAN
Jual beli adalah tukar menukar barang, benda, atau harta dengan benda,
barang, atau harta yang bermanfaat yang dilakukan dengan kesepakatan antara
penjual dan pembeli. Dalam jual beli ada syarat dan rukun yang harus dipenuhi.
Jika rukun jual beli tidak terpenuhi, maka tidak sah jual beli tersebut. Ada banyak
jenis-jenis jual beli, ada yang bathil ada yang shahih dan lain sebagainya.
Kita sebagai umat muslim harus memperhatikan syarat dan rukun jual beli
agar tidak terjadi kekeliruan dan menjadikan jual beli tersebut tidak sah. Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, dengan begitu jual beli itu
hukumnya mubah (boleh) asalkan sesuai dengan syari’at islam. Dalam
melaksanakan jual beli barang-barang atau benda yang diperjualbelikan haruslah
barang yang halal dan mempunyai manfaat ketika menggunakannya. Kita dilarang
jual beli barang yang haram dan tidak ada manfaatnya, contohnya narkoba,
minuman keras, dan lainnya. Karena barang-barang tersebut tidak membawa
manfaat untuk kita.
DAFTAR PUSTAKA
Mardani. Hukum Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2015
Sharif Chaudhry, Muhammad. Sistem Ekonomi Islam. Jakarta:
KENCANA PRENADAMEDIA GROUP, 2014
Yazid, Muhammad. Hukum Ekonomi Islam (Fiqh Muamalah). Surabaya:
UIN SA Press, 2014

Anda mungkin juga menyukai