OLEH:
Afif Al-Ayubi Islamudin (B91217059)
Indri Wachidah Wahyuni Trisna (B91217122)
Kelas A1
Dosen Pengampu:
H. Fahrur Razi, S.Ag, M.HI
Penyusun
Jual Beli
1
Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam cet. 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Pustaka, 2015), h. 167
2
Muhammad Yazid, Hukum Ekonomi Islam (Fiqh Muamalah), (Surabaya: UIN SA Press, 2014),
h. 18
3. Hadis Nabi: “Dari Rifa’ah ibn Rafi’, bahwa Rasulullah saw. ditanya
salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang paling
baik, Rasulullah Saw., menjawab: usaha tangan manusia sendiri dan
jual beli yang diberkati. (HR. Al-Bazzah dan Al-Hakim)
4. Dalam riwayat At-Tirmidzi Rasulullah bersabda:
Pedagang yang jujur dan terpercaya itu sejajar (tempatnya di surga)
dengan para Nabi, para shadiqqin, dan para syuhada’.
C. Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun jual beli menurut jumhur ulama’ yaitu:3
1. Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli)
2. Ada sighat (lafadz ijab dan qabul)
3. Ada barang yang dibeli
4. Ada nilai tukar pengganti barang
Syarat jual beli yaitu:4
1. Syarat orang yang berakad
a. Berakal. Jumhur ulama berpendirian bahwa orang yang melakukan
jual beli itu harus telah baligh dan berakal.
b. Yang melakukan akad adalah orang yang berbeda. Artinya sesorang
tidak bisa bertindak menjadi pembeli dan penjual sekaligus dalam
waktu yang sama.
2. Syarat yang terkait dengan ijab dan qabul
Kerelaan kedua belah pihak terhadap sesuatu dapat dilihat dari ijab
dan qabul yang dilangsungkan. Apabila ijab dan qabul telah
dilangsungkan maka kepemilikan barang atau uang telah berpindah dari
pemilik semula. Para ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab dan
qabul itu adalah sebagai berikut:
a. Orang yang mengucapkan telah baligh dan berakal.
b. Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dengan qabul
tidak sesuai, maka jual beli tidak sah.
c. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Artinya, kedua
belah pihak hadir dan membicarakan topik yang sama.
3. Syarat barang yang diperjualbelikan
a. Barang tersebut ada, atau tidak ada ditempat tetapi pihak penjual
menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
b. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
c. Milik seseorang.
d. Boleh diserahkan ketika akad berlangsung atau saat waktu yang
disepakati bersama saat akad berlangsung.
e. Barang yang diperjualbelikan halal.
3
Muhammad Yazid, Hukum Ekonomi Islam (Fiqh Muamalah), (Surabaya: UIN SA Press, 2014),
h. 21
4
4. Syarat nilai tukar (harga barang)
a. Harga yang disepakati kedua belah pihak, harus jelas jumlahnya.
b. Boleh diserahkan waktu akad.
c. Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang,
maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharapkan
syara’.
E. Bentuk-bentuk Jual Beli
Jumhur ulama’ membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi dua
bentuk, yaitu:
1. Jual beli yang shahih
Jual beli dikatakan sebagai jual beli yang shahih apabila jual beli itu
disyariatkan, memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan; bukan milik orang
lain, tidak tergantung pada hak khiyar lagi. Jual beli ini dikatakan sebagai jual
beli shahih. Misalnya, seseorang membeli mobil. Seluruh rukun dan syarat jual
beli telah terpenuhi, mobil itu telah diperiksa oleh pembeli dan tidak ada cacat,
tidak ada yang rusak, tidak terjadi manipulasi harga,dan harga mobil itu pun
telah diserahkan, serta tidak ada lagi hak khiyar dalam jual beli itu. Jual beli
seperti ini hukumnya shahih dan mengikat kedua belah pihak.
2. Jual beli yang batal
Jual beli dikatakan sebagai jual beli yang batal apabila salah satu atau seluruh
rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasarnya dan sifatnya tidak
disyariatkan, seperti jual beli yang dilakukan oleh anak-anak, orang gila, atau
barang yang dijual diharamkan syara’, seperti bangkai, darah, babi, dan
khamar.