Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH FIQIH

JUAL BELI

OLEH KELOMPOK 6 :
HANIFAH (17232004150)
MERISHA KHAIRANI (17232004172)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM (YPI)
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)
PAYAKUMBUH
2024
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
dengan ini kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya , yang telah melimpahkan rahmat-
Nya kepda kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah FIQIH yang berjudul “Jual
Dan Beli”.
Adapun makalah FIQIH tentang “ Jual Dan Beli” ini telah kami usahakan semaksimal
mungkin dan tentunya dengan bantuan dari banyak pikah, sehingga dapat mempelancar
proses pembuatan makalah ini. Oleh sebab itu, kami juga ingin menyampaikan rasa
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
pembuatan makalah FIQIH ini
Akhirnya penyusunan mengharapkan semoga dari makalah FIQIH tentang “Jual Dan
Beli” ini dapat diambil manfaatnya sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap pembaca
setelah itu, kritik dan saran dari Anda kami tunggu untuk perbaikan makalah ini nantinya.

Payakumbuh, 27 April 2024

Penyusun

DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jual beli (bisnis) dimasyarakat merupakan kegiatan rutinitas yang dilakukan setiap
waktu oleh semua manusia. Tetapi jual beli yang benar menurut hukum Islam belum tentu
semua orang muslim melaksanakannya. Bahkan ada pula yang tidak tahu sama sekali tentang
ketentutanketentuan yang di tetapkan oleh hukum Islam dalam hal jual beli (bisnis).
Di dalam al-Qur’an dan Hadist yang merupakan sumber hukum Islam banyak
memberikan contoh atau mengatur bisnis yang benar menurut Islam. Bukan hanya untuk
penjual saja tetapi juga untuk pembeli. Sekarang ini lebih banyak penjual yang lebih
mengutamakan keuntungan individu tanpa berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum
Islam. Mereka Cuma mencari keuntungan duniawi saja tanpa mengharapkan barokah kerja
dari apa yang sudah dikerjakan.
Setiap manusia yang lahir di dunia ini pasti saling membutuhkan orang lain, aka
selalu melakukan tolong–menolong dalam menghadapi berbagai kebutuhan yang beraneka
ragam, salah satunya dilakukan dengan cara berbisnis atau jual beli. Jual beli merupakan
interaksi sosial antar manusia yang berdasarkan rukun dan syarat yang telah di tentukan. Jual
beli diartikan “al-bai’, al-Tijarah dan alMubadalah”. Pada intinya jual beli merupakan suatu
perjanjian tukar menukar barang atau benda yang mempunyai manfaat untuk penggunanya,
kedua belah pihak sudah menyepakati perjanjian yang telah dibuat.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Jual Dan Beli ?
2. Menjelaskan Dasar hukum Jual Dan Beli?
3. Jelaskan Rukun dan Syarat Jual Dan Beli?
4. Jelaskan Bentuk-Brntuk barang yang di Jual Belikan?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Jual Dan Beli
2. Untuk mengetahui dasar hukum Jual Dan Beli
3. Untuk mengetahui Rukun dan Syarat Jual Dan Beli
4. Untuk mengetahui bentuk-bentuk barang yang di jual belikan

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Jual Beli

Jual beli berarti pertukaran mutlak, kata al-bai ( jual) dan as-syira (beli),
penggunaan yang disamakan antara keduanya. Dua kata terlambat tersebut masing-
masing memiliki pengertian lafaz yang sama dan pengertian yang berbeda.

Menurut bahasa, jual beli diartikan dengan muqabalatus syayi bid syayi, yaitu
pertukaran sesuatu yang lain. Kata lain dari bai’ adalah asy-syira’, al-mubadalah dan at-
tijarah. Adapun menurut istilah adalah mubadalatu malin bin malin apa wajibin makhsusin
yaitu pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang di bolehkan).
Dalam pandangan islam, jual beli adalah pertukaran harta tertentu dengan harta lain
berdasarkan keridaan antar keduanya atau dengan kata lain memindahkan hak milik dengan
hak milik lain berdasarkan persetujuan dan perhitungan materi. Pihak ke satu menerima
benda-benda dan pihak ke dua yang menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan
yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
Begitu juga seperti yang dikatakan Rachmat Syafei, secara termonilogi jual beli dapat
diartikan sebagai pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Namun dari segi
terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan jual beli, antara lain: 1
A. Menurut ulama Hana>fiyah, jual beli adalah pertukaran harta (benda) dengan
harta berdasarkan cara khusus (yang diperbolehkan).
B. Menurut Imam Nawawi, dalam al-majmu yang dimaksud dengan jual beli adalah
pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.
C. Menurut Ibnu Qudamah, dalam kitab al-muqhni, yang dimaksud dengan jual beli
adalah pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.

2. Dasar Hukum Jual Beli

Jual beli ialah perkara hukum yang hukumnya boleh (muba) berdasarkan dalil
al-quran, sunnah serta ijma’ oleh para ulama, ini artinya setiap orang berhak
melakukan akad jual beli ataupun tidak, tanpa ada efek hukum apapun.

Berikut ini di jelaskan beberapa dasar hukum yang berkaitan dengan jual beli :

 Surat al Baqarah :275

‫َو َاَح َّل ُهّٰللا اْلَب ْي َع َو َح َّر َم الِّر ٰب وۗا‬

Artinya: “…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan


mengharamkan riba…”

1
Rachmat Syafei, Penimbunan dan monopoli Dagang Dalam Kajian Fiqih Islam, (Jakarta: Departemen Agama-
Mimbar Hukum, 2004), 73
 Surat an-nisa ayat : 29

‫ٰٓي َاُّيَه ا اَّلِذْي َن ٰا َم ُنْو ا اَل َت ْأُك ُلْٓو ا َاْم َو اَلُك ْم َب ْي َن ُك ْم ِباْلَباِط ِل ِآاَّل َاْن َت ُك ْو َن ِتَج اَر ًة َع ْن َت َر اٍض ِّم ْنُكْۗم‬

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling


memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka diantara kamu.”

 hadist yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn Rafi’:

Artinya: “Rifa’ah bin Rafi’fi berkata bahwa Nabi SAW ditanya, “ Apa
mata pencaharian yang paling baik? “Nabi menjawab, “Usaha tangan
manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkahi. “ (HR Bazzar no
3731 dan dinilai shahih oleh al Hakim. Bulughul Maram no 784).

 Ijma
Ijma ialah kesepaktan para ulama. Menurut syaikh ibnu qudamah Ra.
Bahwasanya orang muslim telah sepakat di perbolehkanya jual beli
(bai’) karena jual beli mengandung hikmah yang mendasar. Hikmah
tersebut ialah setiap manusia pasti memiliki ketergantungan terhadap
apa yang dimiliki orang lain. Padahal orang lain tidak akan memberi
Cuma-Cuma benda tersebut tanpa adanya kompensasi.2

Hukum jual beli bisa menjadi haram, mubah, sunat dan wajib atasketentuan sebagai berikut: 3
i. Hukum jual beli menjadi wajib pada saat darurat atau terpaksa
yang sangat membutuhkan sekali terhadap makanan atau minuman
sedangia mampu untuk melakukan jual beli.
ii. Hukum jual beli menjadi haram, jika menjual belikan sesuatu yang
diharamkan oleh syara’ seperti menjual babi, khamar dan lain-lain.
iii. Jual beli hukumnya sunat apabila seorang bersumpah untuk
menjual barang yang tidak membahayakan, maka melaksankan
yang demikian itu sunat.
iv. Jual beli dihukumi makruh, apabila transaksi dilakukan pada saat
dilakukan sesudah dikumandangkan adzan jum’at, kemudian masih
melakukan jual beli.
v. Pada dasarnya jual beli itu selalu sah jika dilakukan atas dasar suka
sama suka di antara keduanya. Adapun asas suka sama suka ini
menyatakan bahwa setiap bentuk muamalah antar individu atau
antar pihak harus berdasarkan kerelaan masing-masing. Kerelaan di
2
Ubaidillah, Fikih Madrasah Tsanawiyah kelas IX. Hal. 41
3
Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqh Empat .Mazhab, (Bandung:HasyimiPress, 2004) .
disi dapat berarti kerelaan melakukan bentuk muamalah, maupun
kerelaan.

3. Rukun dan syarat Jual Beli

A.Rukun jual beli

1.Ba’i (penjual) dan musytari (pembeli)


Persyaratan yang harus dipenuhi penjual sama dengan persyaratan yang harus
dipenuhi pembeli. Syarat-syarat tersebut sebagau berikut:

1. keduanya telah cukup melakukan perbuatan hukum yaitu


balig dan berakal sehat, maka jual beli anak di bawah
umur dan orang gila dinggap tidak sah. Namun menurut
mazhab Hanafi, balig tidak menjadi syarat sah jual beli.
Oleh karena itu, anak di bawah umur, tetapi sudah dapat
membedakan mana yang baik dan buruk di anggap sah
dalam jual beli, selama jual beli itu tidak memudarkan
dirinya dan mendapat izin atau persetujuan walinya.
2. Hukum jual beli berdasarkan Al-quran, assunah dan ijma
ulama dibolehkan dana telah dipraktikkan sejak zaman
rasullah sampai sekarang Allah berfirman:
"Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan tiba"
( Al-Baqarag[2]:275).
sebagaimana rasullah saw bersabda:
"Usaha yang paling utama (Afdal) adalah hasil usaha seseorang
dengan tangannya sendiri dan hasil dari jual beli yang mabrur".
(H.R. Bazzan dan Ahmad).
3. Keduanya melakukan akad atas kehendak sendiri. Oleh
karena itu, apabila akad jual beli dilakukan karena terpaksa,
baik secara fisik maupun mental, maka menurut jumhur
ulama jual beli itu tidak sah.
Hal ini didasarkan kepada firman Allah SWT yang artinya
"..... kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku atas dasar
suka sama suak" (Q.S. al-Nisa[4]:29).
Ulama Mazhab Maliki menyatakan bahwa jual beli tidak
mempunyai kekuatan hukum apabila terdapat unsur paksaan
tanpa hak. Pakasaan tanpa hak menurut mereka ada 2 macam.
a. Paksaan untuk menjual, seperti seorang lalim memaksa
orang lain untuk menjual semua atau sebagian barangnya.
jual beli semacam ini tidak mempunyai akibat hukum.
Penjual boleh minta dikembalikan barang yang dijualnya
dan harus mengembalikan harga barang tersebut, selama
barang ini tidak d rusak di tangan pembeli.
b. Paksaan karena suatu alasan yang akhirnya memaksa
seseorang untuk menjual barangnya, seperti seseorang
memaksa orang lain menyerahkan sejumlah uang yang
tidak mampu ia berikan .Akhirnya, ia menjual barang
miliknya untuk mendapatkan uang dimaksud. Hukum jual
beli ini tidak memiliki kekuatan hukum.
Ulama Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa jual beli
yang di dalamnya ada unsur paksaan di anggap tidak
sah.Namun menurut mereka, paksaan menjua barang
terbagi menjadi dua, yaitu paksaan tanpa suatu hak, artinya
seseorang memaksa orang lain padahal ia tidak punyak hak
untuk memaksa dan paksaan karena suatu hak, seperti
seorang hakim atau yang mempunyai wewenang memaksa
orang lain untuk menjual badanya guna membayar
utangnya. Pemaksaan ini tidak mencacatkan akad jual beli
dan hukum akad tersebut adalah sah.

2. Sigat (ijab kabul)

Ijab dalam jual beli dapat dilakukan oelh pembeli atau penjual sebagaimana kabul pun
dapat dilakukan oleh penjual atau pembeli. Yang lahir pertama kali dari salah seorang yang
berakad disebut ijab dan yang kemudian disebut kabul.

Menurut imam Hanafi, untuk terlaksananya ijab dan kabul tidak diharuskan
mengucapkan kata-kata tertentu, sebab dalam hukum perikatan yang dijadikan ukuran adalah
tujuan dan makna yang dihasilkannya. Ukuran ijab dan kabul adalah kerelaan kedua belah
pihak melakukan transaksi dan adanya tindakan memberi dan menerima atau indikasi dalam
bentuk apapun yang menunjukkan kerelaan mereka dalam memindahkan kepemilikan. Kata-
kata seperti bi’tu (saya jual), mallaktu ( saya miliki), isytaraitu (saya beli), dan akhadztu (saya
ambil), merupakan contoh lafaz akad jual beli yang jelas menunjukkan kerelaan.

Menurut mahzab syafi’i, kerelaan kedua belah pihak harus dilaksanakan dalam sigat
ijab dan kabul yang berupa ucapan tertentu atau cara lain yang menggantikan ucapan tertentu
atau cara lain yang menggantikan ucapan, seperti jual beli dengan tulisan, utusan orang, atau
isyarat tunawicara yang sungguh sudah dimengerti.

3. Ma'qud 'alaih (benda atau barang yang di penjualbelikan)

Para ahli hukum islam kontemporer berbeda pendapat tentang jumlah syarat yang
harus dipenuhi pada benda yang di penjualbelikan o mi ini. Wahbah az-Zuhaili menyebutkan
empat syarat, yaitu sebagai berikut.
1. Barang yang di jual ada dan dapat diketahui ketika akad
berlangsung. Apabila barang tersebut tidak di ketahui, jual
beli tidak sah, kecuali pada jual beli salam. Karena jual beli
salam sekalipun tidak di ketahui barangnya, tetapi sifatnya
diketahui sehingga pembeli menjadi yakin. Apabila barang
tersebut sesuai dengan yang pernah disiftkannya, jual beli
tersebut sah jika ternyata berbeda dengan yang pernah
disiftkannya. Oleh karena itu, dapat di lakukan khiyar yaitu
pilihan meneruskan akad atau membatalkannya. Sabda
Nabi saw yang artinya "siapa yang membeli suatu barang
yang tidak dilihatnya, mempunyai hak khiyar apabila ia
telah melihatnya " (H. R. Daruquthni dan Al-Kitab Baihaqi
dari Abu Hurairah).
2. Benda yang di penjualbelikan itu harus barang yang suci
dan halal ditinjau dari aturan agama islam mempunyai
manfaat bagi manusia. Sebagaimana hadis Rasullah saw
yang artinya "sesungguhnya Allah mengharamkan jual
beli khmar (minuman keras), bangkai, babi, dan berhala.
Rasul di tanya, 'Bagaimana dengan minyak bangkai untuk
kapal,melicinkan kulit dan untuk penerangan bagi
manusia? ' Nabi Saw menjawab 'tidak halal',itu perbuatan
haram"
Menurut jumhur ulama, barang tersebut diharamkan
karena dianggap najis. Hanafiyah dan Zahiriyah
mengatakan bahwa menjual barang yang ada manfaatnya
halal menurut Syara'. Oleh karena itu, menurut mereka,
boleh menjual kotoran najis yang benar-benar diperlukan
untuk digunakan sebagai pupuk dilahan pertanian, bukan
untuk dimakan dan diminum. Barang yang dijual di
samping harus halal dan suci juga harus jelas manfaatnya.
3. Benda yang diperjualbelikan itu merupakan milik penjual.
Karena itu, tidak sah menjual benda yang bukan milik
penjual. Dianggap sebagai pemilik benda apabila penjualan
benda tersebut telah diizinkan oleh pemiliknya. Suatu jual
beli tanpa izin pemilik disebut jual beli fuduli. Misalnya,
seorang suami menjual barang milik istrinya tanpa izin dari
istrinya. Menurut mahzab Maliki, akad fuduli dianggap
sebagai akad yang sah menurut hukum, tetapi kepastian
hukumnya ditangguhkan sampai dibolehkan atau diizinkan
oleh pemilik atau walinya. Apabila ia membolehkannya,
maka jual beli tersebut sah, tetapi apabila tidak, jual beli
tersebut menjadi batal.
4. Benda yang dijual dapat diserahterimakan pada waktu akad.
Artinya, benda yang dijual harus konkret dan ada pada
waktu akad. Oleh karena itu, ikan di air tidak boleh dijual
karena tidak dapat diserahterimakan dan mengandung
ketidakpastian.
Adapun menurut ulama Hanafiyah bahwa rukun jual beli
hanyalah ijab dan kabul. Bagi mahzab ini, jual beli baru
dianggap sah apabila ada ijab dan kabul dari kedua belah
pihak.

B. SYARAT SAH JUAL BELI

Adapun syarat-syarat jual beli adalah sebagai berikut:

1) Syarat Orang yang Berakad

Para ulama fiqih sepakat bahwa orang yang melakukan akad

jual beli harus memenuhui syarat-syarat sebagai berikut:

a) Berakal. Oleh karena itu, tidak sah bagi orang gila dan anak kecil

yang dibawah umur belum mumayyiz untuk melakukan akad.

b) Orang yang melakukan akad adalah orang yang berbeda. Tidak

sah hukumnya seseorang yang melakukan akad pada saat yang

bersamaan maksudnya seseorang sebagai penjual sekaligus

pembeli.

b) Orang yang melakukan akad adalah orang yang berbeda. Tidak

sah hukumnya seseorang yang melakukan akad pada saat yang

bersamaan maksudnya seseorang sebagai penjual sekaligus

pembeli.

2) Syarat yang Berkaitan dengan Ijab dan Qabul

a) Orang yang mengucapkan Ijab dan Qabul ia telah baliqh dan

berakal.

b) Qabul sesuai dengan ijab. Misalnya, penjual berkata: “saya

menjual buah ini dengan harga sekian”, lalu pembeli menjawab


“saya membeli buah ini dengan harga sekian”.

c) Ijab dan Qabul dilakukan dalam satu majelis. Artinya kedua

belah pihak saling bertatap muka dalam transaksi

Anda mungkin juga menyukai