Sedangkan menurut istilah yang dimaksud jual beli adalah menukarkan barang
dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang
satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan. 2
Adapun definisi lain yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah yang dikutip
oleh Wahbah Al-Zuhaily, jual beli adalah “saling tukar harta dengan harta melalui cara
tertentu”. Atau, “tukar menukar sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan
melalui cara tertentu yang bermanfaat”.3
1
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta, KENCANA PREDANA
MEDIA GROUP, 2010) hal 67
2
Wati Susiawati, “Jual Beli dalam Konteks Kekinian”. Jurnal Ekonomi Islam, Vol.8 No.2 Tahun 2017, hal.2
3
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta, KENCANA PREDANA
MEDIA GROUP, 2010) hal 67-68
4
Ibid hal 68
5
Ibid hal 68
B. DASAR HUKUM JUAL BELI
Jual beli sebagai sarana tolong - menolong antara sesama umat manusia
mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW. Terdapat
beberapa ayat Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW yang berbicara tentang jual beli,
diantara salah satunya yaitu :
1. Surat Al-Baqarah ayat 275 :
َأَح َّل ُهَّللا اْلَبْيَع َو َح َّر َم الِّر َبا
Artinya :
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Q.S Al-Baqarah : 275)
2. Hadis dari Al-Baihaqi, Ibn Majah dan Ibn Hibban, Rasulullah bersabda :
Setelah diketahui pengertian dan dasar hukumnya, bahwa jual beli merupakan
pertukaran harta atas dasar saling rela dan atas kesepakatan bersama. Supaya bisnis
yang kita lakukan itu halal, maka perlu memperhatikan rukun jual beli. Rukun secara
bahasa adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan.7
Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan
membeli dari pembeli) dan kabul (ungkapan menjual dari penjual). Menurut mereka,
yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (ridha) kedua belah pihak
untuk melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan
unsur hati yang sulit untuk diindra sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi
yang menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang menujukkan
kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli menurut mereka boleh
tergambar dalam ijab dan kabul, atau melalui cara saling memberikan barang dan
harga barang.
Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat,
yaitu:
6
Ibid Hal 68 - 69
7
Shobirin, “Jual Beli dalam Pandangan Islam”. Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam, Vol.3 No.2 Tahun 2015,
hal.7
8
Ibid Hal 71
4. SYARAT JUAL BELI
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai
tukar barang termasuk ke dalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan
jumhur ulama di atas sebagai berikut:
a) Syarat – syarat orang yang berakad
1. Berakal, yaitu dimana jual beli yang dilakukan anak kecil yang
belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah. Anak kecil
yang telah mumayiz, menurut ulama Hanafiyah, apabila akad
yang dilakukannya membawa keuntungan bagi dirinya, seperti
menerima hibah, wasiat, dan sedekah, maka akadnya sah.
Sebaliknya, apabila akad itu membawa kerugian bagi dirinya,
seperti meminjamkan hartanya kepada orang lain, mewakafkan,
atau menghibahkannya, maka tindakan hukumnya ini tidak
boleh dilaksanakan. Apabila transaksi yang dilakukan anak
kecil yang telah mumayiz mengandung manfaat dan mudarat
sekaligus, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan perserikatan
dagang, maka transaksi ini hukumnya sah jika walinya
mengizinkan. Dalam kaitan ini, wali anak kecil yang telah
mumayiz ini benar-benar mempertimbangkan kemaslahatan
anak kecil itu.
2. Yang melakukan akad itu orang yang berbeda, artinya
seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan
sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli. Misalnya, Ahmad
menjual sekaligus membeli barangnya sendiri, maka jual
belinya tidak sah.
9
Ibid Hal 71 - 77