Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar belakang

Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba
dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan
dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Nah, hubungan dengan sesama
inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah.
Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat
satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu
transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli
membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua
belah pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua
belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja.Dengan
kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi
dengan lancar.

Sebenarnya bagaimana pengertian jual beli menurut Fiqih muamalah?Apa saja syaratnya?
Lalu apakah jual beli yang dipraktekkan pada zaman sekarang sah menurut fiqih muamalah? Tentu
ini akan menjadi pambahasan yang menarik untuk dibahas.

2. Rumusan masalah

Dari beberapa uraian diatas tentang perdagangan atau jual beli yang sebagian telah
dipaparkan,maka beberapa pertanyaan yang perlunya untuk di jawab agar tidak ada keraguan lagi.

1. Apa yang di maksud dengan perdagangan atau jual beli ?


2. Apa hukum jual beli ?
3. Apakah anak-anak diperbolehkan jual beli ?
4. Apa Hukum Jual beli barang timbunan ?
5. Apa Hukum Jual beli barang yang belum layak petik ?

3. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan perdagangan atau jual beli
2. Untuk mengetahui apa hukum jual beli
3. Untuk mengetahui apakah anak-anak diperbolehkan jual beli
4. Untuk mengetahui Hukum Jual beli barang timbunan
5. Untuk mengetahui Hukum Jual beli barang yang belum layak petik

Page | 1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Jual beli

Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’I yang menurut etimologi berarti
menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikan secara bahasa dengan menukar sesuatu
dengan sesuatu yang lain. Kata al-Ba.i dalam Arab terkadang digunakan untuk pengertian
lawannya, yaitu kata al-Syira (beli).Dengan demikian, kata al-ba’I berarti jual, tetapi sekalius juga
berarti beli.[1]

Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang masing definisi sama.

Sebagian ulama lain memberi pengertian :

a) Ulama Sayyid Sabiq

Ia mendefinisikan bahwa jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling
merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Dalam definisi tersebut
harta dan, milik, dengan ganti dan dapat dibenarkan.Yang dimaksud harta harta dalam definisi
diatas yaitu segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan milik dan tidak
bermanfaat.Yang dimaksud dengan ganti agar dapat dibedakan dengan hibah (pemberian),
sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan (ma’dzun fih) agar dapat dibedakan dengan jual beli
yang terlarang.

b) Ulama hanafiyah

Iamendefinisikan bahwa jual beli adalah saling tukar harta dengan harta lain melalui Cara yang
khusus. Yang dimaksud ulama hanafiyah dengan kata-kata tersebut adalah melalui ijab qabul, atau
juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli

c) Ulama Ibn Qudamah

Menurutnya jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik
dan pemilikan.Dalam definisi ini ditekankan kata milik dan pemilikan, karena ada juga tukar
menukar harta yang sifatnya tidak haus dimiliki seperti sewa menyewa.[2]

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar
menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang
satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan
yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai
kesamaan dan mengandunghal-hal antara lain :

a) Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar.

b) Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang, yakni
kemanfaatan dari kedua belah pihak.

c) Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk
diperjualbelikan.

d) Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak memilikisesuatu
yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan kepemilikan abadi.

Page | 2
- Dasar Hukum Jual Beli

Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan
yang kuat dalam al-quran dan sunah Rasulullah saw. Terdapat beberapa ayat al-quran dan sunah
Rasulullah saw, yang berbicara tentang jual beli, antara lain :

A. Al-Quran

1. Allah berfirman Surah Al-Baqarah ayat 275 “Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”
2. Allah berfirman Surah Al-Baqarah ayat 198 “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia
(rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”
3. Allah berfirmanSurah An-Nisa ayat 29 “…kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kamu…”

B. Sunah Rasulullah saw

1. Hadist yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn Rafi’ : “Rasulullah saw, ditanya salah seorang
sahabat mengenai pekerjaan apa yang paling baik. Rasulullah sawa, menjawab usaha tangan
manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati (H.R Al-Bazzar dan Al-Hakim). Artinya
jual beli yang jujur, tanpa diiringi kecurangan-kecurangan mendapat berkah dari Allah
SWT.
2. Hadist dari al-Baihaqi, ibn majah dan ibn hibban, Rasulullah menyatakan : “Jual beli itu
didasarkan atas suka sama suka”
3. Hadist yang diriwayatkan al-Tirmizi, Rasulullah bersabda : “Pedagang yang jujur dan
terpercaya sejajar (tempatnya disurga) dengan para nabi,shadiqqin, dan syuhada”.[3]

2. Hukum jual beli

Dari kandungan ayat-ayat Al-quran dan sabda-sabda Rasul di atas, para ulama fiqh
mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli yaitu mubah (boleh). Akan tetapi, pada situasi-situasi
tertentu. Menurut Imam al-Syathibi (w. 790 h), pakar fiqh Maliki, hukumnya boleh berubah
menjadi wajib.Imam al-Syathibi memberi contoh ketika terjadi praktik ihtikar (penimbunan barang
sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik).

Apabila seorang melakukan ihtikar dan mengakibatkan melonjaknya harga barang yang
ditimbun dan disimpan itu, maka menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk
menjual barangnya itu sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga. Dalam hal ini
menurutnya, pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah. Hal ini
sama prinsipnya dengan al-Syathibi bahwa yang mubah itu apabila ditinggalkan secara total , maka
hukumnya boleh menjadi wajib. Apabila sekelompok pedagang besar melakukan boikot tidak mau
menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka untuk berdagang beras dan pedagang
ini wajib melaksanakannya .demikian pula, pada kondisi-kondisi lainnya.[4]

3. Apakah Anak-Anak diperolehkan Jual Beli ?

Bolehkah anak kecil melakukan jual beli? Anak yang boleh melakukan jual beli hanyalah
yang sudah mencapai tamyiz, itu pun masih perlu ada rincian.
Kita tahu bersama bahwa di antara syarat jual beli mesti dilakukan oleh orang yang diizinkan oleh
syari’at untuk melakukan jual beli. Siapakah orang yang diizinkan?
Ada 5 orang yang harus memenuhi syarat ini yang diizinkan untuk melakukan jual beli:
1. Baligh (dewasa)
2. Berakal
3. Merdeka, bukan budak
4. Ar rusydu, yaitu bisa membelanjakan harta dengan baik[1]
Page | 3
5. Orang yang memiliki atau mendapatkan izin dari si pemilik
Salah satu syarat di atas disebutkan baligh. Apa berarti anak kecil tidak boleh melakukan jual beli?
Perlu diketahui bahwa anak kecil tidak lepas dari dua keadaan :

1. Belum tamyiz
Anak yang belum tamyiz jika melakukan akad jual beli, tidaklah sah. Kapan usia tamyiz?
Para ulama berkata bahwa usia tamyiz yaitu saat seorang anak sudah mengenal mana bahaya dan
mana yang manfaat. Karena kata tamyiz berarti bisa membedakan mana yang baik dan buruk
setelah mengenalnya.[2] Yang jadi standar seseorang dibebani syari’at (beban takflif) jika sudah
mencapai baligh, patokannya bukanlah telah mencapai tamyiz. Seorang anak yang masih tamyiz
(tetapi belum baligh) jika meninggalkan kewajiban atau melakukan suatu keharaman, tidaklah
mendapatkan hukuman karena pena catatan amal terangkat dari dirinya.[3]

2. Anak yang sudah tamyiz


Ada beberapa rincian dalam hal ini :
a) Jika akad yang dilakukan adalah akan yang murni manfaat seperti menerima hibah, wakaf,
dan wasiat, maka sah akad anak tersebut tanpa mesti izin pada wali atau orang tuanya. Begitu
pula sah melakukan akad yang secara ‘urf sepele atau sedikit.
b) Jika akad yang dilakukan murni mengandung mudhorot (bahaya), maka tidak sah akad
tersebut walaupun diizinkan oleh wali.
c) Jika masih samar akad tersebut, ada manfaat ataukah bahaya, maka harus dengan izin wali.
[4]

4. Hukum Jual Beli Barang Timbunan

Bukankah barang ini sudah aku beli? Apa hak anda melarang saya menimbunnya?
Pertanyaan seperti ini sering menjadi acuan oleh sejumlah penimbun komoditas, khususnya bahan
makanan bilamana diberitahu tentang keharaman ihtikâr. Mereka bertanya untuk maksud menolak
diberlakukannya hukum haram. Apakah penolakan ini dibenarkan? Tentu saja ada benarnya,
meskipun tidak seluruhnya serta merta bisa disebut benar. menumpuk harta/monopoli/ihtikâr
terhadap bahan makanan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat, dengan niat menaikkan
harganya, hukumnya adalah haram. Turut disertakan pula dalam tulisan tersebut beberapa dasar
dalil yang terdiri atas hadits dan pendapat ulama. Persoalannya adalah apakah monopoli atau
tindakan menimbun makanan ini bisa diputus sebagai haram secara mutlak dan berlaku untuk
semua jenis penimbunan bahan makanan? Inilah masalah pokoknya.

Praktik di lapangan, ada masyarakat yang sengaja menimbun bahan makanan untuk maksud
berjaga-jaga menghadapi paceklik, atau musim kemarau. Ada juga masyarakat yang menimbun
makanan karena memang sengaja niat akan dijual pada saat harga mulai merangkak naik,
disebabkan kalau dijual sekarang maka ia bisa tekor. Ongkos produksinya bisa tidak kembali, dan
lain sebagainya. Dan alasan ini memang riil ada di masyarakat. Untuk itu, perlu dilakukan perincian
hukum terhadap hakikat monopoli itu sendiri.

Jika kita mencermati nash-nash yang menjelaskan hukum ihtikâr, memang kita akan
menemukan sejumlah batasan-batasan hukum. Ada beberapa dasar nash yang mendukung bagi
keputusan tidak mutlak haramnya monopoli/ihtikâr ini. Hujjah yang dipergunakan adalah dengan
memakai dhahir teks nash yang bersifat muqayyad – berlaku terbatas pada jenis komoditas tertentu
saja. Misalnya hadits riwayat Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu:

Artinya : “Siapa menimbun makanan kaum Muslimin selama empat puluh malam maka terlepas
dari naungan Allah dan Allah melepaskan naungan darinya.” (HR. Ahmad).

Page | 4
Dalam riwayat yang lain disampaikan :

Artinya: “Abu Umamah al-Bahili meriwayatkan bahwa Nabi ‫ ﷺ‬telah melarang penimbunan
makanan.” (HR. Hakim).

Lafal kedua hadits ini menunjukkan pengertian umum sehingga mafhum-nya yang dinamakan
ihtikâr adalah bila memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Sesuatu yang ditimbun adalah barang yang dibeli.


2. Menimbun dengan niat untuk dijual kembali pada waktu harga melambung
3. Menimbun pada waktu barang dibutuhkan oleh banyak orang.
4. Sesuatu yang ditimbun melebihi kebutuhannya.
5. Sesuatu yang ditimbun adalah berupa bahan makanan.
6. Menimbun pada waktu tertentu.

Menurut fuqaha’ Syafi‘iyah, Isma‘iliyah dan sebagaian Imamiyah, ihtikâr sebagaimana di atas tidak
serta merta diputuskan sebagai haram. Mereka lebih memilih bahwa ihtikâr hukumnya adalah
makruh. Alasan yang disampaikan adalah ada kontradiksi antara maksud menimbun ini dengan hak
seseorang untuk mendapatkan keuntungan melalui jual beli.

Barang yang ditumpuk adalah sudah menjadi hak milik pedagang dan berada di bawah kekuasaan
mereka. Dengan kata lain, sah-sah saja bagi mereka menjual barang tersebut dengan harga berapa
pun seiring halalnya keuntungan dari jual beli. Toh, yang dimaksudkan untuk jual beli adalah untuk
mendapatkan keuntungan. Namun, karena kebolehan jual beli ini bertabrakan dengan maqashid
syariah, maka kebolehan jual belinya menjadi dibatasi oleh teks larangan ihtikâr. Untuk itulah
ditetapkan status makruh secara umum terhadap praktik ihtikâr.

Illat (alasan dasar) hukum yang menyatakan haramnya ihtikâr adalah bilamana disertai adanya
unsur tadlyîq – yaitu mempersulit ruang gerak kaum Muslimin. Selagi tidak ada niatan tadlyîq,
maka hukum ihtikâr bahan makanan sebagaimana hal di atas adalah berstatus makruh, demikian
menurut kajian fiqih Syafi’i.

Mencermati terhadap pendapat terakhir ini, maka hukum ihtikâr menurut mazhab Syafi’i, menjadi
dapat lebih diperinci lagi. Ada kemungkinan suatu ketika ihtikâr ini hukumnya adalah boleh (jaiz),
atau bahkan sunnah. Belum lagi apabila melihat objek ihtikâr-nya yang bukan terdiri atas bahan
makanan, maka bisa jadi hukumnya adalah boleh.

Untuk itu penting kiranya dibuat perincian hukum. Secara umum, kita klafisikan hukum ihtikâr
sebagai berikut:

1. Haram. Keharaman ihtikâr yang disepakati berdasarkan nash, adalah:


 Barang yang ditimbun adalah terdiri dari bahan makanan pokok negara atau tempat
penimbun
 Barang dibeli dari pasaran dengan niat menghilangkan dari pasaran sehingga dapat
menambah tingginya harga
 Penimbunan terjadi melebihi kebutuhan keluarganya
2. Makruh. Kemakruhan ihtikâr adalah terjadi bilamana:
 Menimbun tanpa tujuan untuk maksud menghilangkan komoditas dari pasaran
 Barang yang ditimbun terdiri atas bahan pokok makanan • Menimbun pada waktu barang itu
ada dalam jumlah banyak.
 Menimbun untuk keperluannya dan keluarganya.

3. Jaiz. Jaiz atau boleh melakukan ihtikâr, apabila:


 Barang yang ditimbun terdiri atas bahan pokok makanan Negara

Page | 5
 Menimbun pada waktu lapang.
 Niat menimbun adalah bukan untuk mempengaruhi harga di pasaran
 Seseorang menyimpan untuk kebutuhannya dan keluarganya.
 Menimbun di negara yang penduduknya musyrik

4. Sunnah. Kesunnahan melakukan ihtikâr, adalah apabila:


 Objek yang ditimbun adalah bahan pokok makanan
 Penimbunan dilakukan saat harga barang itu sedang surplus dan murah
 Dalam kondisi surplus, barang tidak sedang sangat dibutuhkan masyarakat
 Barang akan dikeluarkan kembali sampai ia dibutuhkan
 Menimbun dengan niat menjaga kemaslahatan masyarakat

5. Hukum Jual Beli Buah yang Belum Layak Petik

Oleh Syaikh ‘Isa bin Ibrahim ad-Duwaisy Yaitu menjual buah-buahan dan biji-bijian sebelum
masak (matang).

Jual beli ini dilarang oleh syari’at, berdasarkan hadits dalam kitab Shahiih yang datang dari
‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata:

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual buah-buahan sampai (buah-buahan)


tersebut nampak ma-saknya. Beliau melarang penjual maupun pembelinya.”

Imam Muslim meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata:

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual sesuatu yang masih bertangkai
sampai ia memutih dan aman dari cacat.”

Masaknya buah dapat diketahui dari beberapa hal:

1. Untuk buah kurma tanda masaknya ialah dengan memerah atau menguning, karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Melarang menjual buah-buahan sampai ia masak. Dikatakan kepada
Anas Radhiyallahu anhu, ‘Apa tanda masaknya buah tersebut?’ Ia menjawab, ‘Yaitu dengan
memerah atau menguning.’” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Untuk buah anggur tanda masaknya, yaitu manis rasanya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam,

“Melarang menjual anggur sampai anggur tersebut manis rasanya.”

Sedangkan tanda kematangan buah-buahan yang lain ialah buah tersebut nampak matang dan enak
untuk dimakan. Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu
anhuma ia berkata:

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual buah-buahan sampai (buah-buahan)
tersebut bagus (matang).”

Masuk dalam larangan ini semua jenis buah-buahan.

2. Sedangkan untuk biji-bijian tanda matangnya ialah dengan semakin menua dan memutih, Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila dalam sebuah pohon sudah nampak buah-buahan yang
sudah masak, maka boleh dijual semuanya.”

Semua hadits-hadits yang sudah disebutkan menunjukkan adanya larangan menjual buah-buahan
sebelum matang.

Page | 6
Beberapa catatan penting:

1. Boleh menjual buah-buahan sebelum masak dengan syarat harus dipetik untuk orang yang ingin
mengambil manfaat darinya.

Contohnya: Seorang pedagang ataupun yang lainnya membutuhkan anggur yang belum masak atau
kurma yang belum masak ataupun buah-buahan lainnya, maka hal itu tidak apa-apa.

2. Apabila seseorang membeli kurma (yang belum masak) dan sebelum dipanen tiba-tiba kurma
tersebut tertimpa musibah sehingga memberi mudharat baginya, maka hukumnya si pembeli wajib
untuk tidak menerima kurma tersebut dan boleh meminta uangnya kembali dari si penjual.

Contohnya: Buah-buahan yang siap untuk dipanen tertimpa musibah atau bencana yang tidak
disebabkan oleh perbuatan manusia seperti cuaca dingin atau angin, diserang hama ataupun
penyakit tanaman lainnya sehingga buah-buahan tersebut menjadi rusak, maka dalam kondisi
seperti ini si pembeli berhak menarik kembali uangnya dari si penjual atau ia boleh menuntutnya.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah
Radhiyallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika engkau menjual kurma kepada saudaramu (sesama muslim), lalu kurma tersebut tertimpa
musibah /wabah, maka tidak halal bagimu untuk mengambil (harga) darinya sedikit pun. Karena
engkau tidak dibenarkan mengambil harta saudaramu sendiri.”

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab I’laa-mul Muwaqqi’iin, “Maksud dilarangnya jual
beli buah-buahan yang belum masak, yaitu agar tidak terjadi kasus memakan harta si pembeli tanpa
hak yang dibenarkan, karena buah-buahan tersebut kemungkinan bisa rusak. Allah telah
melarangnya dan Allah pun menguatkan tujuan dari larangan ini dengan memberi pembelaan
kepada si pembeli yang barangnya rusak karena terkena musibah setelah terjadinya jual beli yang
dibolehkan. Semuanya ini dimaksudkan agar si pembeli tidak merasa dizhalimi dan hartanya tidak
dimakan tanpa adanya hak yang dibenarkan.”

Page | 7
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu diperbolehkan dalam
Islam.Hal ini dikarenakan jual beli adalah sarana manusia dalam mencukupi kebutuhan mereka, dan
menjalin silaturahmi antara mereka. Namun demikian, tidak semua jual beli diperbolehkan.Ada
juga jual beli yang dilarang karena tidak memenuhi rukun atau syarat jual beli yang sudah
disyariatkan. Rukun jual beli adalah adanya akad (ijab kabul), subjek akad dan objek akad yang
kesemuanya mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan itu semua telah dijelaskan di
atas.Walaupun banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam menentukan rukun dan
syarat jual beli, namun pada intinya terdapat kesamaan, yang berbeda hanyalah perumusannya saja,
tetapi inti dari rukun dan syaratnya hampir sama.

Pertanyaan pedagang sebagaimana yang diungkapkan pada awal tulisan ini memang ada
benarnya. Sebagai pedagang, mereka berhak untuk mendapatkan keuntungan. Efeknya, tidak serta
merta praktik monopoli/menimbun bahan makanan bisa diputus sebagai haram secara mutlak. Ada
beberapa illat lain yang turut diperhatikan. Keharaman praktik penimbunan/monopoli/ihtikâr adalah
bilamana ada unsur tadlyîq–menyulitkan–terhadap masyarakat karena mereka harus menebus
pembelian dengan harga yang tinggi.

2. Saran

Jual beli merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh setiap manusia, namun pada zaman
sekarang manusia tidak menghiraukan hukum islam. Oleh karena itu, sering terjadi penipuan
dimana-mana. Untuk menjaga perdamaian dan ketertiban sebaiknya kita berhati-hati dalam
bertransaksi dan alangkah baiknya menerapkan hukum islam dalam interaksinya.

Allah SWT telah berfirman bahwasannya Allah memperbolehkan jual beli dan
mengharamkan riba. Maka dari itu, jauhilah riba dan jangan sampai kita melakukun riba. Karena
sesungguhnya riba dapat merugikan orang lain.

Page | 8
DAFTAR PUSTAKA

https://almanhaj.or.id/4039-jual-beli-mukhadharah-jual-beli-habalah-jual-beli-talji-ah.html

https://rumaysho.com/6028-bolehkah-anak-kecil-melakukan-jual-beli.html

NasrunHaroen, 2007, “fiqhMuamalah”, Jakarta : Gaya Media Pratama.

SuhendiHendi, 1997, “FiqhMuamalah”,Jakarta : PT. Raja GrafindoPersada.

Drs. GhufronIhsan. MA, 2008, “FiqhMuamalat”, Jakarta :Prenada Media Grup.

http://kacangturki.blogspot.com/2013/03/hukum-jual-beli-dalam-islam.html

http://www.Hukum-jual-beli-dalam-islam.com

https://islam.nu.or.id/ekonomi-syariah/macam-macam-hukum-menimbun-barang-dalam-fiqih-jual-
beli-YPas3

Page | 9

Anda mungkin juga menyukai