Dosen Pengampu:
Disusun Oleh :
FAKULTAS USHULUDDIN
2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Berkat rahmat dan karunia-nya lah saya dapat
menyelesaikan makalah ini.
Terimakasih saya ucapakan kepada Bapak Dosen Drs. Harun Rasyid M.Ag. mata
kuliah Hadist Ahkam yang telah memberikan arahan terkait tugas makalah ini. Makalah ini
berisi mengenai “Hukum Jual Beli dalam Islam”.
Saya menyadari makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan. Oleh sebab itu,
keritik dan saran demi kesempurnaan makalah untuk kedepannya sangat di harapka sekali.
Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi peneliti dan pembaca.
Kelompok 6
i
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang
hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula
hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Nah, hubungan
dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan
Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau
hubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa,
hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan
suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si
pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak. Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung
dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak
terbatas pada satu ruang saja. Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan
internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.
Sebenarnya bagaimana pengertian jual beli menurut Fiqih muamalah? Apa saja
syaratnya? Lalu apakah jual beli yang dipraktekkan pada zaman sekarang sah menurut fiqih
muamalah? Tentu ini akan menjadi pambahasan yang menarik untuk dibahas.
B. Rumusan masalah
Dari beberapa uraian diatas tentang perdagangan atau jual beli yang sebagian telah
dipaparkan, maka beberapa pertanyaan yang perlunya untuk di jawab agar tidak ada keraguan
lagi.
1. Apa yang di maksud dengan perdagangan atau jual beli ?
2. Apa saja rukun-rukun dan syarat-syarat jual beli ?
3. Sebutkan macam-macam jual beli ?
C. Tujuan penulisan
1. Mahasiswa dapat memahami ruang lingkup jual beli dalam fiqh muamalah
2. Untuk memperdalam materi jual beli agar bisa menerapkan keluar.
3. Memenuhi tugas mata kuliah Hadist Ahkam
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Al-Zuhaily Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus, 2005), juz 4.
2
Ibid
3
perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati. Inti dari beberapa
pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan mengandunghal-hal antara lain :
a) Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar.
b) Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang,
yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
c) Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah
untuk diperjualbelikan.
d) Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak
memilikisesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli
dengan kepemilikan abadi.
4
2. Hadist dari al-Baihaqi, ibn majah dan ibn hibban, Rasulullah menyatakan: “Jual beli
itu didasarkan atas suka sama suka”
3.
ِق ِب ِم ِج
َو الُّش َه َد اَء، َو الِّصِّد ْي ْيَن، الَّتا ُر الَّصُد ْو ُق اَأْل ْيُن َمَع الَّن ِّيْيَن
Hadist yang diriwayatkan al-Tirmizi, Rasulullah bersabda: “Pedagang yang jujur dan
terpercaya sejajar (tempatnya disurga) dengan para nabi, shadiqqin, dan syuhada”.3
3
Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Beirut: Daral-ma’rifah, 1975), hal. 56.
4
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 26.
5
kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak.
Indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli
menurut mereka boleh tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling memberikan
barang dan harga barang.5
Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu:
1. Ada orang yang berakad (penjual dan pembeli).
2. Ada sighat (lafal ijab qabul).
3. Ada barang yang dibeli (ma’qud alaih)
4. Ada nilai tukar pengganti barang.
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar
barang termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan
jumhur ulama diatas sebagai berikut:
a) Syarat-syarat orang yang berakad
Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus
memenuhi syarat, yaitu:
1) Berakal sehat, oleh sebab itu seorang penjual dan pembeli harus memiliki akal yang
sehat agar dapat meakukan transaksi jual beli dengan keadaan sadar. Jual beli yang
dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.
2) Atas dasar suka sama suka, yaitu kehendak sendiri dan tidak dipaksa pihak manapun.
3) Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, maksudnya seorang tidak dapat
bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli.
b) Syarat yang terkait dalam ijab qabul
1) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
2) Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka jual beli
tidak sah.
3) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah pihak yang
melakukan jual beli hadir dan membicarakan topic yang sama.6
5
Nasrun Haroen, fiqh muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama. 2007), hlm. 7.
6
Ibid, hlm. 9.
6
1) Suci, dalam islam tidak sah melakukan transaksi jual beli barang najis, seperti
bangkai, babi, anjing, dan sebagainya.
2) Barang yang diperjualbelikan merupakan milik sendiri atau diberi kuasa orang lain
yang memilikinya.
3) Barang yang diperjualbelikan ada manfaatnya. Contoh barang yang tidak bermanfaat
adalah lalat, nyamauk, dan sebagainya. Barang-barang seperti ini tidak sah
diperjualbelikan. Akan tetapi, jika dikemudian hari barang ini bermanfaat akibat
perkembangan tekhnologi atau yang lainnya, maka barang-barang itu sah
diperjualbelikan.
4) Barang yang diperjualbelikan jelas dan dapat dikuasai.
5) Barang yang diperjualbelikan dapat diketahui kadarnya, jenisnya, sifat, dan harganya.
6) Boleh diserahkan saat akad berlangsung.7
d) Syarat-syarat nilai tukar (harga barang)
Nilai tukar barang yang dijull (untuk zaman sekarang adalah uang) tukar ini para
ulama fiqh membedakan al-tsaman dengan al-si’r. Menurut mereka, al-tsaman adalah harga
pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara actual, sedangkan al-si’r adalah
modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke konsumen
(pemakai).Dengan demikian, harga barang itu ada dua, yaitu harga antar pedagang dan harga
antar pedagang dan konsumen (harga dipasar).
Syarat-syarat nilai tukar (harga barang) yaitu:
1) Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
2) Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukumseperti pembayaran
dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang)
maka pembayarannya harus jelas.
3) Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang maka barang
yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara’, seperti babi,
dan khamar, karena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut syara’.8
7
MS. Wawan Djunaedi, Fiqih, (Jakarta: PT. Listafariska Putra, 2008), hlm. 98
8
Drs. Ghufron Ihsan. MA, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2008), hlm. 35
7
1) Jual beli benda yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad, barangnya ada di
hadapan penjual dan pembeli.
2) Jual beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli ini harus
disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang ditempat akad berlangsung.
3) Jual beli benda yang tidak ada, Jual beli seperti ini tidak diperbolehkan dalam agama
Islam.
b. Ditinjau dari segi pelaku atau subjek jual beli:
1) Dengan lisan, akad yang dilakukan dengan lisan atau perkataan. Bagi orang bisu dapat
diganti dengan isyarat.
2) Dengan perantara, misalnya dengan tulisan atau surat menyurat. Jual beli ini
dilakukan oleh penjual dan pembeli, tidak dalam satu majlis akad, dan ini dibolehkan
menurut syara’.
3) Jual beli dengan perbuatan, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab
kabul. Misalnya seseorang mengambil mie instan yang sudah bertuliskan label
harganya. Menurut sebagian ulama syafiiyah hal ini dilarang karena ijab kabul adalah
rukun dan syarat jual beli, namun sebagian syafiiyah lainnya seperti Imam Nawawi
membolehkannya.
c. Dinjau dari segi hukumnya
Jual beli dinyatakan sah atau tidak sah bergantung pada pemenuhan syarat dan rukun jual beli
yang telah dijelaskan di atas. Dari sudut pandang ini, jumhur ulama membaginya menjadi
dua, yaitu:
1) Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya.
2) Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukunnya.
Sedangkan fuqaha atau ulama Hanafiyah membedakan jual beli menjadi tiga, yaitu:
1) Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya
2) Bathil, adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, dan ini tidak
diperkenankan oleh syara’. Misalnya:
a. Jual beli atas barang yang tidak ada (bai’ al-ma’dum), seperti jual beli janin di dalam
perut ibu dan jual beli buah yang tidak tampak.
b. Jual beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti babi, bangkai dan khamar.
c. Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat
tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli.
d. Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung, salib atau buku-
buku bacaan porno.
8
e. Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram, seperti
menjual anak binatang yang masih bergantung pada induknya.
3) Fasid yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun
terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya. Misalnya:
a) jual beli barang yang wujudnya ada, namun tidak dihadirkan ketika berlangsungnya
akad.
b) Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota atau pasar, yaitu menguasai
barang sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya dengan harga murah
c) Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika
harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
d) Jual beli barang rampasan atau curian.
e) Menawar barang yang sedang ditawar orang lain.9
9
tuntut berhubungan satu sama lainnya. Dalam hubungan ini, taka da satu hal pun yang lebih
sempurna daripada saling tukar, dimana seorang memberikan apa yang ia miliki untuk
kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhannya
masing-masing.10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu diperbolehkan
dalam Islam.Hal ini dikarenakan jual beli adalah sarana manusia dalam mencukupi kebutuhan
mereka, dan menjalin silaturahmi antara mereka. Namun demikian, tidak semua jual beli
diperbolehkan. Ada juga jual beli yang dilarang karena tidak memenuhi rukun atau syarat jual
beli yang sudah disyariatkan. Rukun jual beli adalah adanya akad (ijab kabul), subjek akad
dan objek akad yang kesemuanya mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan itu
semua telah dijelaskan di atas. Walaupun banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama
dalam menentukan rukun dan syarat jual beli, namun pada intinya terdapat kesamaan, yang
berbeda hanyalah perumusannya saja, tetapi inti dari rukun dan syaratnya hampir sama.
B. Saran
Jual beli merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh setiap manusia, namun pada
zaman sekarang manusia tidak menghiraukan hukum islam. Oleh karena itu, sering terjadi
penipuan dimana-mana. Untuk menjaga perdamaian dan ketertiban sebaiknya kita berhati-
hati dalam bertransaksi dan alangkah baiknya menerapkan hukum islam dalam interaksinya.
Allah SWT telah berfirman bahwasannya Allah memperbolehkan jual beli dan
mengharamkan riba. Maka dari itu, jauhilah riba dan jangan sampai kita melakukun riba.
Karena sesungguhnya riba dapat merugikan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
10
Drs. Gufron Ihsan, M.A, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2008), hlm. 89.
10
Al-Zuhaily Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus, 2005)
11