Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

JUAL BELI DAN GADAI

Mata Kuliah: Fikih

Dosen Pengajar: Muhammad Anwar, SS, M.Pd.I

kelompok 12

Nor Aidah (2022122680)

Raudhatul Jannah (2022122664)

Ahmad Khairin Nu'man (2022122658)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

DARUL ULUM KANDANGAN

2022 M / 1444 H
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur senantiasa selalu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan limpahan Rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa kita
curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan jalan kebaikan
dan kebenaran di dunia dan akhirat kepada umat manusia.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah fikih dari Bapak
Muhammad Anwar, SS, M.Pd.I yang berjudul “Jual Beli dan Gadai” dan juga
untuk teman-teman sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan serta informasi
yang semoga bermanfaat.

Tak ada gading yang tak retak, kerja keras usaha maksimal yang kami
lakukan demi selesainya makalah ini, tetap akan selalu ada kekurangan di
dalamnya. Untuk itu kami sebagai penyusun makalah ini mohon kritik, saran dan
pesan dari semua yang membaca makalah ini terutama Dosen Mata Kuliah Fikih
yang kami harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami guna perbaikan makalah
berikutnya agar lebih baik. Besar harapan kami semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua Aamiin yaa Rabbal’Aalamiin..Terima kasih.

Kandangan, 24 November 2022

Kelompok 12
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................

A. Latar Belakang Masalah ..............................................................................

B. Rumusan Masalah .........................................................................................

C. Tujuan ............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................

A. Pengertian Jual
Beli ...........................................................................................

B. Dali Jual Beli ....................................................................

C. Hukum Jual Beli ..................................................................................

D. Syarat dan Rukun Jual Beli

E. Pengertian Gadai

F. Dalil Gadai

G. Hukum Gadai

H. Syarat dan Rukun Gadai

BAB III PENUTUP ............................................................................................

A. Kesimpulan ....................................................................................................

B. Saran ...............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sosial antara manusia, Islam sudah menata secara
sempurna sebuah aturan (hukum) yang di dalamnya terdapat adab/ etika dalam
hidup bermasyarakat yang semuanya terangkum dalam hukum muamalah salah
satunya jual beli dan gadai.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian jual beli?
2. Apa dalil jual beli?
3. Apa hukum jual beli?
4. Apa syarat dan rukun jual beli?
5. Apa pengertian gadai?
6. Apa dalil gadai?
7. Apa hukum gadai?
8. Apa syarat dan rukun gadai?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian jual beli
2. Untuk mengetahui dalil jual beli
3. Untuk mengetahui hukum jual beli
4. Untuk mengetahui syarat dan rukun jual beli
5. Untuk mengetahui pengertian gadai
6. Untuk mengetahui dalil gadai
7. Untuk mengetahui hukum gadai
8. Untuk mengetahui rukun dan syarat gadai

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli


Menurut bahasa jual beli berasal dari kata ba’a, yabi’u, bai’an artinya
tukar menukar sesuatu dengan sesuatu, menurut istilah jual beli adalah suat
transaksi tukar menukar barang atau harta yang mengakibatkan pemindahan
hak milik sesuai dengan Syarat dan Rukun tertentu.
Di dalam kitab Kifâyatul Akhyar oleh Syekh Taqiyuddin Al-Husny
menjelaskan pengertian jual beli menurut Islam, bahwa Jual beli secara bahasa
adalah bermakna memberikan suatu barang untuk ditukar dengan barang lain
(barter). Sedangkan, jual beli menurut syara’ bermakna pertukaran harta
dengan harta untuk keperluan tasharruf/ pengelolaan yang disertai dengan
lafadh ijab dan qabul menurut tata aturan yang diidzinkan (sah).
Sementara, secara terminologi atau istilah terdapat beberapa definisi
jual beli menurut syara’, sebagai berikut:
a) Al-Syilbi dari kalangan Hanafiyyah mendefinisikan jual beli sebagai
“pertukaran harta yang bernilai dengan harta yang bernilai dengan cara
menyerahkan kepemilikan sesuatu untuk menerima kepemilikan sesuatu
yang lain”. Apabila harta ditukar dengan manfaat maka disebut adalah
sewa-menyewa, atau nikah. Apabila harta didapat secara cuma-cuma tanpa
ganti (kompensasi) disebut hibah. Yang dimaksud dengan harta menurut
kalangan Hanafiyyah adalah segala sesuatu yang memiliki nilai materi
menurut manusia.
b) Imam Nawawi mengatakan jual beli adalah tukar menukar barang atau
sejenisnya.
c) Al-Qalyubi dari kalangan Syafi’iyyah mendefinisikan jual beli adalah
“akad saling mengganti dengan harta yang berakibat kepada kepemilikan
terhadap satu benda atau manfaat untuk tempo waktu selamanya dan
bukan untuk bertaqarrub kepada Allah”.
d) Menurut al-Bahuti dari kalangan Hanabilah jual beli adalah “pertukaran
harta meskipun masih berupa tanggungan, atau pertukaran manfaat yang
mubah yang bersifat mutlak dengan salah satu dari keduanya (harta atau
manfaat yang mubah), bukan dalam bentuk riba, bukan juga qardh”. al-
Bahuti memasukkan salam (pesanan, inden) ke dalam definisi jual beli,
karena salam merupakan jual beli terhadap sesuatu yang masih berada
dalam tanggungan; sewa-menyewa, karena sewa-menyewa adalah jual beli
atas manfaat barang. Manfaat yang dimaksudkan adalah manfaat yang
memang dihalalkan, bukan manfaat yang dihalalkan karena darurat. al-
Bahuti mengeluarkan riba dan qardh dari definisi jual beli.
B. Dalil Jual Beli
Dalil yang mendasari legalitas transaksi jual beli adalah
1. Firman Allah swt. QS. Al-Baqarah [2]: 275
 ‫  َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّر ٰبوا‬
‘’Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
2. Sabda Rasulullah saw.
ْ ‫ب َأ‬
‫طيَبُ ؟‬ ِ ‫ َأيُّ ْال َك ْس‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ُسِئ َل‬ َّ ِ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َأ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬ ِ ‫ع َْن ِرفَا َعةَ ْب ِن َرافِ ٍع َر‬
ٍ ‫ َو ُكلُّ بَي ٍْع َم ْبر‬، ‫ َع َم ُل ال َّر ُج ِل بِيَ ِد ِه‬: ‫ال‬
‫ُور‬ َ َ‫ق‬

Dari Rifa'ah bin Rafi' ra. : bahwasanya Nabi saw, ditanya: pencarian
apakah yang paling baik? Beliau menjawab ‘’ialah orang yang
bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang baik" (H.
R. Al-Bazzar dan disahkan Hakim)
C. Hukum Jual Beli
Hukum jual beli dalam Islam ada lima macam yaitu sebagai
berikut:
a. Mubah, artinya boleh. Hukum asal jual beli adalah mubah (boleh),
artinya setiap orang Islam boleh mencari nafkahnya dengan cara jual
beli dan juga boleh tidak melakukannya.
b. Wajib, artinya harus dikerjakan, yaitu harus mencari nafkah dengan
cara jual beli. Hukum ini berlaku untuk orang yang mempertahankan
hidupnya dengan cara berdagang atau jual beli.
c. Haram, artinya tidak boleh dikerjakan, yaitu jual beli secara tegas
dilarang oleh Islam seperti jual beli narkotika, babi, berhala, dan jual
beli yang mengandung unsur kezaliman (menipu, dusta, curang, riba
dan sejenisnya).
d. Sunah, artinya jual beli yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan
ditinggalkan tidak apa-apa. Jua beli ini di niatkan untuk membantu
orang lain, contohnya orang kaya yang menjual barang di koperasi
sekolah dengan tujuan untuk membantu dan memenuhi kebutuhan
siswa di sekolah. Andai orang tersebut tidak berjualan di koperasi, dia
tetap memiliki penghasilan yang besar.
e. Makruh, artinya jual beli yang apabila dikerjakan tidak mendapat
pahala dan sebaliknya, seperti jual beli saat azan pertama shalat jum’at.
D. Rukun dan Syarat Jual Beli
a. Rukun jual beli
1) Ada penjual.
2) Ada pembeli.
3) barang atau harta yang diperjual belikan.
4) Ada uang atau alat bayar yang digunakan sebagai penukar barang.
5) Ada lafal ijab qabul, yaitu sebagai bukti akan adanya kerelaan dari
kedua belah pihak.
b. Syarat penjual dan pembeli
1) Berakal sehat; tidak sah jual beli orang gila
2) Dengan kehendaknya sendiri; tidak sah jual beli orang yang
dipaksa dengan tidak benar. Adapun orang yang dipaksa dengan
benar misalnya oleh Hakim menjual hartanya untuk membayar
hutangnya, maka penjualannya itu sah.
3) Sudah dewasa (Baligh), artinya akad jual beli yang dilakukan oleh
anak-anak jual belinya tidak sah, kecuali pada hal-hal yang sifatnya
sederhana atau sudah menjadi adat kebiasaan. Seperti jual beli es,
permen dan lain-lain.
4) Keadaan penjual dan pembeli itu bukan orang pemboros terhadap
harta, karena keadaan mereka yang demikian itu hartanya pada
dasarnya berada pada tanggung jawab walinya.
c. Syarat barang yang diperjual belikan
1) Barang itu suci, artinya bukan barang najis.
2) Barang itu bermanfaat.
3) Barang itu milik sendiri atau milik orang lain yang telah
mewakilkan untuk menjualnya.
4) Barang itu dapat diserahterimakan kepemilikannya.
5) Barang itu dapat diketahui jenis, ukuran, sifat dan kadarnya.
d. Syarat ijab qabul
Ijab artinya perkataan penjual, misalnya: "Saya jual barang ini
sekian, sedang qabul artinya kata si pembeli, misalnya: "Saya terima
(saya beli) dengan harga sekian".
Syarat sah ijab qabul:
1) Jangan ada yang membatas/memisahkan, misalnya pembeli diam
saja setelah si penjual menyatakan ijab, atau sebaliknya.
2) Jangan disela dengan kata-kata lain.
3) Jangan berta'liq, yaitu seperti kata penjual: "Aku jual sepeda motor
ini pada saudara dengan harga Rap. 110.000,- setelah kupakai
sebulan lagi".
4) Jangan pula memakai jangkau waktu, yakni seperti katanya: "Aku
jual sepeda ini dengan harga Rp. 10.000,- kepada saudara dalam
waktu sebulan/ seminggu dan sebagainya.
E. Pengertian Gadai
Gadai dalam islam disebut Ar-Rahn secara bahasa artinya bisa ats-
tsubuut dan ad-Dawaam (tetap), dikatakan, “maa’un raahinun (air yang
diam, menggenang, tidak mengalir),” “haalatun raahinatun (keadaan yang
tetap)”, atau ada kalanya berarti al-Habsu dan al-Luzuum (menahan). Dan
Allah swt. berfirman:
ٌ‫ت َر ِه ْينَة‬ ٍ ‫  ُكلُّ نَ ْف‬
ْ َ‫س بِۢ َما َك َسب‬
"Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya,"
(QS. Al-Muddassir 74: Ayat 38)
Maksudnya, setiap diri itu tertahan. Maka ini lebih dekat dengan
makna yang pertama (yakni tetap) karena sesuatu yang bertahan itu
bersifat tetap ditempatnya.
Sedangkan gadai (rahn) secara terminologis adalah menjadikan
harta benda sebagai jaminan utang agar utang itu dilunasi (dikembalikan)
atau dibayarkan harganya jika tidak dapat mengembalikannya.
Adapun gadai (Rahn) menurut istilah syara’, yang dimaksud
dengan gadai ialah:
a) Gadai adalah penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga
dapat dijadikan sebagai pembayar dari barang tersebut.
b) Gadai adalah menyendera sejumlah harta yang diserahkan sebagai
jaminan hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.
c) Gadai ialah menjadikan harta benda sebagai jaminan atas utang.
d) Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat
kepercayaan dalam utang piutang.
e) Gadai adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
Adapun penggadaian dalam pengertian syariat, para ulama
mendefinisikan dengan, penetapan suatu barang yang memiliki nilai dalam
pandangan syariat sebagai jaminan atas utang, yang mana utang tersebut
atau sebagian darinya dapat dibayar dengan barang yang digadaikan. Jika
seseorang berutang kepada orang lain dan sebagai jaminannya dia
menyerahkan kepada orang yang akan memberinya utangan sebuah rumah
atau seekor binatang yang terikat, sampai dia melunasi utangnya, maka
itulah yang disebut dengan penggadaian dalam syariat.

Pemilik barang yang berutang dinamakan rahin. Orang yang


memberi utang disebut dengan murtahin dan barang yang digadaikan
dinamakan rahn (gadai).

Sedangkan menurut para ulama, rahn atau gadai adalah sebagai


berikut:

a. Menurut ulama Syafi’iyah, “rahn adalah menjadikan suatu benda


sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika
berhalangan dalam membayar utang”.
b. Menurut ulama Hanabilah, “rahn adalah harta yang dijadikan jaminan
utang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang berutang
berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi
pinjaman”.
c. Menurut ulama Malikiyah, mengatakan bahwa “rahn adalah sesuatu
yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk
dijadikan pengikat atasutang yang tetap (mengikat)”.
d. Menurut ulama Hanafi, menjelaskan yang disebut “rahn adalah
menjadikan suatu sebagai tebusan dengan hak yang memungkinkan
pengambilan kembali dari harta yang digadaikan seperti utang”.

Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam


Kitab al-Mughni adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari
suatu utang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang berutang tidak
anggup membayarnya dari orang yang berpiutang. Sedangkan Imam Abu
Zakaria al-Anshary, dalam kitabnya Fathul Wahab, mendefinisikan rahn
adalah menjadikan benda yang bersifat harta benda sebagai kepercayaan
dari suatu yang dapat dibayarkan dari harta benda itu bila utang tidak
dibayar.

Rahn menurut syariah adalah menahan sesuatu dengan cara yang


dibenarkan yang memungkinkan ditarik kembali. Rahn juga bisa diartikan
menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan
syariah sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh
mengambil hutangnya semuanya atau sebagian. Dengan kata lain rahn
adalah akad berupa menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak
lain, dengan utang sebagai gantinya.

Adapun rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam


sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, barang yang ditahan
tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan
memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau
sebagian piutangnya.

Pengertian menurut KUHPer tentang gadai dalam Pasal 1150,


menjelaskan bahwa:

“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas


suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang
atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan
kepada si berpiutang itu untuk mengambil peelunasan dari barang tersebut
secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya, dengan
kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah
dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan,
biaya-biaya mana harus didahulukan”.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa
gadai merupakan suatu sistem dalam mu’amalah dimana pihak yang satu
memberikan pinjaman dan pihak yang kedua menyimpan barang berharga
atau bernilai sebagai jaminan atas pinjaman terhadap orang yang
menerima gadai.

Secara garis besar rahn memberikan suatu barang untuk ditahan


atau dijadikan sebagai jaminan/ pegangan ketika salah satu peminjam tidak
dapat mengembalikan pijamannya sesuai dengan waktu yang disepakati
dan juga sebagai pengikat kepercayaan diantara keduanya, agar murtahin
tidak ragu atas pengembalian barang yang dipinjamnya. Praktik gadai
menggadai boleh dikatakan kegiatan yang tidak pernah sepi di
Masyarakat, pelaksanaannya sepatutnya memenuhi dan memperhatikan
ketentuan yang telah ditetapkan.

F. Dalil Gadai
Dalil yang mengenai disyariatkannya gadai adalah:
a. Firman Allah swt. QS. Al-Baqarah [2]: 283
‫ض ُك ْم بَ ْعضًا فَ ْليَُؤ ِّد الَّ ِذى‬ ُ ‫ضةٌ ۗ فَا ِ ْن اَ ِمنَ بَ ْع‬ َ ْ‫َواِ ْن ُك ْنتُ ْم ع َٰلى َسفَ ٍر َّولَ ْم تَ ِج ُدوْ ا َكا تِبًا فَ ِر ٰه ٌن َّم ْقبُو‬
َ‫ۗ و هّٰللا ُ بِ َما تَ ْع َملُوْ ن‬ ۤ
َ   ٗ‫ق َ َربَّهٗ  ۗ  َواَل تَ ْكتُ ُموا ال َّشهَا َدةَ ۗ  َو َم ْن يَّ ْكتُ ْمهَا فَا ِ نَّهٗ ٰاثِ ٌم قَ ْلبُه‬
‫اْؤ تُمنَ اَما نَـتَهٗ و ْليتَّ هّٰللا‬
ِ َ َ َ ِ
‫َعلِ ْي ٌم‬
"Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan
seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.
Tetapi, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain,
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah
kamu menyembunyikan kesaksian karena barang siapa
menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
b. Sabda Rasulullah saw.
‫ي ِإلَى َأ َج ٍل َو َرهَنَهُ ِدرْ عًا ِم ْن َح ِديد‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ا ْشتَ َرى‬
ٍّ ‫ط َعا ًما ِم ْن يَهُو ِد‬ َّ ِ‫َأ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli makanan dari
orang Yahudi secara tidak tunai (berutang), lalu beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam memberikan gadaian berupa baju besi.” (HR.
Bukhari, no. 2068 dan Muslim, no. 1603).
G. Hukum Gadai

H. Rukun dan Syarat Gadai


1. Rukun gadai
Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun ar-
rahn. Menurut Jumhur Ulama rukun ar-rahn yaitu:
a) Orang yang berakad (ar-rahin dan al-murtahin).
b) Sighat (lafadz ijab dan qabul).
c) Utang (al-marhun bih).
d) Harta yang dijadikan jaminan (al-marhun).
Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ar-rahn itu
hanya ijab dan qabul. Di samping itu, menurut mereka untuk sempurna
dan mengikatnya akad rahn ini, maka diperlukan adanya penguasaan
barang oleh pemberi utang. Adapun kedua orang yang melakukan
akad(ar-rahin dan al-murtahin), harta yang dijadikan jaminan (al-
marhun) dan utang (al-marhun bih) menurut ulama hanafiyah hanya
termasuk syarat-syarat ar-rahn, bukan rukunnya.
2. Syarat gadai
Dalam gadai (rahn) disyaratkan beberapa syarat sebagai
berikut:
a) Persyaratan Aqid (syarat yang berkaitan dengan orang yang
berakad ar-rahin dan al-murtahin)
Kedua orang yang akan akad harus memenuhi kreteria al-
ahliyah. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah
sah untuk jual beli, yakni berakal dan mumayyiz, tetapi tidak
disyariatkan harus baligh. Dengan demikian, anak kecil yang sudah
mumayyiz, dan orang yang bodoh berdasarkan izin dari walinya
dibolehkan melakukan rahn.
Menurut ulama Hanafiyah, ahliyah dalam rahn seperti
pengertian ahliyah dalam jual beli dan derma. Rahn tidak boleh
dilakukan oleh orang yang mabuk, gila bodoh, atau anak kecil yang
belum baligh. Begitu pula seorang wali tidak boleh menggadaikan
barang orang yang dikuasainya, kecuali jika dalam keadaan
madarat dan meyakini bahwa pemegangnya yang dapat dipercaya.
b) Syarat yang terkait dengan Shighat
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shighat dalam rahn
tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini
karena, sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat
tersebut batal dan rahn tetap sah.
Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, syarat dalam rahn
ada yang shahih dan ada yang rusak. Uraiannya adalah sebagai
berikut.
a. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa syarat dalam rahn yaitu:
1) Syarat sahih, seperti mensyaratkan agar murtahin cepat
membayar sehingga jaminan tidak disita.
2) Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti
mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminannya diberi
makanan tertentu. Syarat seperti itu batal, tetapi akadnya
sah. Syarat yang merusak akad, seperti mensyaratkan
sesuatu yang akan merugikan murtahin.
b. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa syarat rahn terbagi dua,
yaitu rahn sahih, dan rahn fasid. Rahn fasid adalah rahn yang
didalamnya mengandung persyaratan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan atau dipalingkan pada sesuatu yang haram, seperti,
mensyaratkan barang harus berada di bawah tanggung jawab
rahin.
c. Ulama Hanabilah berpendapat seperti pendapat Ulama
Malikiyah di atas, yakni rahn terbagi dua, sahih dan fasid. Rahn
sahih adalah rahn yang mengandung unsur kemaslahatan dan
sesuai dengan kebutuhan.
c) Syarat yang berkaitan dengan Marhun Bih (utang)
Marhun Bih adalah hak yang diberikan ketika rahn. Ulama
Hanafiyah memberikan beberapa syarat, yaitu:
1) Marhun bih hendaklah barang yang wajib diserahkan
Menurut ulama selain Hanafiyah, marhun bih hendaklah berupa
utang yang wajib diberikan kepada orang yang menggadaikan
barang, baik berupa uang ataupun berbentuk benda.
2) Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan
Jika marhun bih tidak dapat dibayarkan, rahn menjadi tidak sah
sebab menyalahi maksud dan tujuan dan disyariatkannya rahn.
3) Hak atas marhun bih harus jelas
Dengan demikian, tidak boleh memberikan dua marhun bih
tanpa dijelaskan utang mana menjadi rahn.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah memberikan tiga syarat
bagi marhun bih:
1) Berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan.
2) Utang harus lazim pada waktu akad.
3) Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
d) Syarat marhun (Borg)
Marhun adalah barang yang dijadikan jaminan oleh rahin.
Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana
persyaratan barang dalam jual beli, sehingga barang tersebut dapat
dijual untuk memenuhi hak murtahin.
Ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:
1) Dapat diperjualbelikan.
2) Bermanfaat.
3) Jelas.
4) Milik rahin.
5) Bisa diserahkan.
6) Tidak bersatu dengan harta lain.
7) Dipegang (dikuasai) oleh rahin.
8) Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.

Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang


digadaikan itu memiliki tiga syarat: pertama, berupa utang, karena
barang nyata itu tidak digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena
sebelumnya tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seorang
menerima gadai dengan imbalan sesuatu yang dipinjamnya. Tetapi
imam Malik membolehkan hal ini. Ketiga, mengikatnya gadai
tidak sedang dalam proses penantian terjadi dan tidak menjadi
wajib, seperti gadai dalam kitabah.

Anda mungkin juga menyukai