Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Tentang
JUAL BELI DALAM ISLAM

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK
1. AULIA
2. RUSWATI
3. FITRIYANINGSIH
4. FITRIYANI IRFAN
5. GUNAWAN
6. SISIL
7. MARYANI
8. RIKO

DIBIMBING OLEH :

SMK KESEHATAN YAHYA BIMA


TAHUN AJARAN 2018 / 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat,
Inayah, taufik dan hinayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini
dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca dalam memahami konsep pinjam meminjam dalam Islam.

Penulis mengakui masih banyak kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu
diharapkan kepada pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Bima, April 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba
dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula
hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Nah, hubungan
dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan
Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau
hubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa,
hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu
transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli
membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan
bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada
satu ruang saja.Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah
pihak dapat bertransaksi dengan lancar.
Sebenarnya bagaimana pengertian jual beli menurut Fiqih muamalah?Apa saja syaratnya?
Lalu apakah jual beli yang dipraktekkan pada zaman sekarang sah menurut fiqih muamalah?
Tentu ini akan menjadi pambahasan yang menarik untuk dibahas.

B. Rumusan masalah

Dari beberapa uraian diatastentang perdagangan atau jual beli yang sebagian telah
dipaparkan,maka beberapa pertanyaan yangperlunya untuk di jawab agar tidakada keraguan
lagi.

1. Apa yang di maksud dengan perdagangan atau jual beli ?


2. Apa saja rukun-rukun dan syarat-syarat jual beli ?
3. Sebutkan macam-macam jual beli ?
C. Tujuan penulisan
1. Mahasiswa dapat memahami ruang lingkup jual beli dalam fiqh muamalah
2. Untuk memperdalam materi jual beli agar bisa menerapkan keluar.
3. Memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muamalah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual beli

            Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’I  yang menurut etimologi
berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikan secara bahasa dengan
menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-Ba.i dalam Arab terkadang digunakan
untuk pengertian lawannya, yaitu kata al-Syira (beli).Dengan demikian, kata al-ba’I berarti
jual, tetapi sekalius juga berarti beli.
            Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang masing definisi sama.
Sebagian ulama lain memberi pengertian :

1. Ulama Sayyid Sabiq

Ia mendefinisikan bahwa jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar
saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Dalam
definisi tersebut harta dan, milik, dengan ganti dan dapat dibenarkan.Yang dimaksud
harta harta dalam definisi diatas yaitu segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka
dikecualikan yang bukan milik dan tidak bermanfaat.Yang dimaksud dengan ganti agar
dapat dibedakan dengan hibah (pemberian), sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan
(ma’dzun fih) agar dapat dibedakan dengan jual beli yang terlarang.

2. Ulama hanafiyah       

Iamendefinisikan bahwa jual beli adalah saling tukar harta dengan harta lain
melalui Cara yang khusus. Yang dimaksud ulama hanafiyah dengan kata-kata tersebut
adalah melalui ijab qabul, atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga
dari penjual dan pembeli

3. Ulama Ibn Qudamah

Menurutnya jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk
pemindahan milik dan pemilikan.Dalam definisi ini ditekankan kata milik dan pemilikan,
karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak haus dimiliki seperti sewa
menyewa.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu
perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara
kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai
dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.Inti dari
beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan mengandunghal-hal antara lain :

a. Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar.
b. Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang,
yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
c. Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah
untuk diperjualbelikan.
d. Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak
memilikisesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli
dengan kepemilikan abadi.

B. Dasar hukum jual beli

Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia
mempunyai landasan yang kuat dalam al-quran dan sunah Rasulullah saw. Terdapat
beberapa ayat al-quran dan sunah Rasulullah saw, yang berbicara tentang jual beli,
antara lain :

1. Al-Quran
a. Allah berfirman Surah Al-Baqarah ayat 275 “Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”
b. Allah berfirman Surah Al-Baqarah ayat 198 “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari
karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”
c. Allah berfirmanSurah An-Nisa ayat 29 “…kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…”

2. Sunah Rasulullah saw


a. Hadist yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn Rafi’ : “Rasulullah saw, ditanya salah
seorang sahabat mengenai pekerjaan apa yang paling baik. Rasulullah sawa,
menjawab usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati (H.R Al-
Bazzar dan Al-Hakim).
Artinya jual beli yang jujur, tanpa diiringi kecurangan-kecurangan mendapat berkah
dari Allah SWT.
b. Hadist dari al-Baihaqi, ibn majah dan ibn hibban, Rasulullah menyatakan : “Jual beli
itu didasarkan atas suka sama suka”
c. Hadist yang diriwayatkan al-Tirmizi, Rasulullah bersabda : “Pedagang yang jujur dan
terpercaya sejajar (tempatnya disurga) dengan para nabi,shadiqqin, dan syuhada”.

C. Hukum jual beli

            Dari kandungan ayat-ayat Al-quran dan sabda-sabda Rasul di atas, para ulama fiqh
mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli yaitu mubah (boleh).Akan tetapi, pada situasi-
situasi tertentu.Menurut Imam al-Syathibi (w. 790 h), pakar fiqh Maliki, hukumnya boleh
berubah menjadi wajib.Imam al-Syathibi memberi contoh ketika terjadi praktik ihtikar
(penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik).Apabila
seorang melakukan ihtikar dan mengakibatkan melonjaknya harga barang yang ditimbun dan
disimpan itu, maka menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual
barangnya itu sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga.Dalam hal ini
menurutnya, pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah. Hal
ini sama prinsipnya dengan al-Syathibi bahwa yang mubah itu apabila ditinggalkan secara
total , maka hukumnya boleh menjadi wajib. Apabila sekelompok pedagang besar melakukan
boikot tidak mau menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka untuk
berdagang beras dan pedagang ini wajib melaksanakannya .demikian pula, pada kondisi-
kondisi lainnya.

D. Rukun dan syarat jual beli

             Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu
dpat dikatakan sah oleh syara’.Dalam menentukan rukun jual beli terdapat perbedaan
pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah
hanya satu, yaitu ijab qabul, ijab adalah ungkapan membeli dari pembeli, dan  qabul adalah
ungkapan menjual dari penjual. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu
hanyalah kerelaan (ridha) kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli.Akan tetapi,
karena unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diindra sehingga tidak
kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak.
Indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli
menurut mereka boleh tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling memberikan
barang dan harga barang.[5]
             Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu :

1. Ada orang yang berakad (penjual dan pembeli).


2. Ada sighat (lafal ijab qabul).
3. Ada barang yang dibeli (ma’qud alaih)
4. Ada nilai tukar pengganti barang.

Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai
tukar barang termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama
diatas sebagai berikut :

a. Syarat-syarat orang yang berakad

Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus
memenuhi syarat, yaitu :

1) Berakal sehat, oleh sebab itu seorang penjual dan pembeli harus memiliki akal yang
sehat agar dapat meakukan transaksi jual beli dengan keadaan sadar. Jual beli yang
dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.
2) Atas dasar suka sama suka, yaitu kehendak sendiri dan tidak dipaksa pihak manapun.
3) Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, maksudnya seorang tidak dapat
bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli.

b. Syarat yang terkait dalam ijab qabul


1) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
2) Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka jual beli
tidak sah.
3) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah pihak yang
melakukan jual beli hadir dan membicarakan topic yang sama.

c. Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan

Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan sebagai berikut :

1) Suci, dalam islam tidak sah melakukan transaksi jual beli barang najis, seperti bangkai,
babi, anjing, dan sebagainya.
2) Barang yang diperjualbelikan merupakan milik sendiri atau diberi kuasa orang lain yang
memilikinya.
3) Barang yang diperjualbelikan ada manfaatnya. Contoh barang yang tidak bermanfaat
adalah lalat, nyamauk, dan sebagainya. Barang-barang seperti ini tidak sah
diperjualbelikan. Akan tetapi, jika dikemudian hari barang ini bermanfaat akibat
perkembangan tekhnologi atau yang lainnya, maka barang-barang itu sah
diperjualbelikan.
4) Barang yang diperjualbelikan jelas dan dapat dikuasai.
5) Barang yang diperjualbelikan dapat diketahui kadarnya, jenisnya, sifat, dan harganya.
6) Boleh diserahkan saat akad berlangsung

d. Syarat-syarat nilai tukar (harga barang)

Nilai tukar barang yang dijull (untuk zaman sekarang adalah uang) tukar ini
para ulama fiqh membedakan al-tsaman dengan al-si’r.Menurut mereka, al-tsaman
adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara actual,
sedangkan al-si’r adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang
sebelum dijual ke konsumen (pemakai).Dengan demikian, harga barang itu ada dua,
yaitu harga antar pedagang dan harga antar pedagang dan konsumen (harga dipasar).
Syarat-syarat nilai tukar (harga barang) yaitu :
1) Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
2) Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukumseperti pembayaran dengan
cek dan kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang) maka
pembayarannya harus jelas.
3) Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang maka barang yang
dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara’, seperti babi, dan
khamar, karena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut syara’.

D. Macam-macam jual beli

             Jual beli dapat ditinjau dari berbragai segi, yaitu:

1. Ditinjau dari segi bendanya dapat dibedakan menjadi:


a. Jual beli benda yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad, barangnya ada
di hadapan penjual dan pembeli.
b. Jual beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli ini harus
disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang ditempat akad berlangsung.
c. Jual beli benda yang tidak ada,  Jual beli seperti ini tidak diperbolehkan dalam
agama Islam.

2. Ditinjau dari segi pelaku atau subjek jual beli:


a. Dengan lisan,  akad yang dilakukan dengan lisan atau perkataan. Bagi orang bisu
dapat diganti dengan isyarat.
b. Dengan perantara, misalnya dengan tulisan atau surat menyurat. Jual beli ini
dilakukan oleh penjual dan pembeli, tidak dalam satu majlis akad, dan ini dibolehkan
menurut syara’.
c. Jual beli dengan perbuatan, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab
kabul. Misalnya seseorang mengambil mie instan yang sudah bertuliskan label
harganya. Menurut sebagian ulama syafiiyah hal ini dilarang karena ijab kabul adalah
rukun dan syarat jual beli, namun sebagian syafiiyah lainnya seperti Imam Nawawi
membolehkannya.
3. Dinjau dari segi hukumnya

Jual beli dinyatakan sah atau tidak sah bergantung pada pemenuhan syarat dan
rukun jual beli yang telah dijelaskan di atas. Dari sudut pandang ini, jumhur ulama
membaginya menjadi dua, yaitu:

a. Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya.


b. Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukunnya.

Sedangkan fuqaha atau ulama Hanafiyah membedakan jual beli menjadi tiga, yaitu:

a. Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya


b. Bathil, adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, dan ini tidak
diperkenankan oleh syara’. Misalnya:
1) Jual beli atas barang yang tidak ada ( bai’ al-ma’dum ), seperti jual beli janin di
dalam perut ibu dan jual beli buah yang tidak tampak.
2) Jual beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti babi, bangkai dan khamar.
3) Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat-
syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli.
4) Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung, salib atau
buku-buku bacaan porno.
5) Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram,
seperti menjual anak binatang yang masih bergantung pada induknya.[9]
c. Fasid yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun
terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya. Misalnya :
1) jual beli barang yang wujudnya ada, namun tidak dihadirkan ketika
berlangsungnya akad.
2) Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota atau pasar, yaitu menguasai
barang sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya dengan harga murah
3) Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual
ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
4) Jual beli barang rampasan atau curian.
5) Menawar barang yang sedang ditawar orang lain.
E. Manfaat dan Hikmah Jual Beli
1. Manfaat jual beli :

Manfaat jual beli banyak sekali, antara lain :

a. Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai
hak milik orang lain.
b. Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan atau suka
sama suka.
c. Masing-masing pihak merasa puas. Penjual melepas barang dagangannya dengan
ikhls dan menerima uang, sedangkan pembeli memberikan uang dan menerima
barang dagangan dengan puas pula. Dengan demikian, jual beli juga mampu
mendorong untuk saling bantu antara keduanya dalam kebutuhan sehari-hari.
d. Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram.
e. Penjual dan pembeli mendapat rahmat dari Allah swt.
f. Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
2. Hikmah jual beli

Hikmah jual beli dalam garis besarnya sebagai berikut :


            Allah swt mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan
kepada hamba-hamba-Nya, karena semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan
berupa sandang, pangan, dan papan.Kebutuhan seperti ini tak pernah putus selama manusia
masih hidup. Tak seorang pun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu manusia di
tuntut berhubungan satu sama lainnya. Dalam hubungan ini, taka da satu hal pun yang lebih
sempurna daripada saling tukar, dimana seorang memberikan apa yang ia miliki untuk
kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhannya
masing-masing.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

            Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu diperbolehkan
dalam Islam.Hal ini dikarenakan jual beli adalah sarana manusia dalam mencukupi kebutuhan
mereka, dan menjalin silaturahmi antara mereka.Namun demikian, tidak semua jual beli
diperbolehkan.Ada juga jual beli yang dilarang karena tidak memenuhi rukun atau syarat jual
beli yang sudah disyariatkan. Rukun jual beli adalah adanya akad (ijab kabul), subjek akad
dan objek akad yang kesemuanya mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan itu
semua telah dijelaskan di atas.Walaupun banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama
dalam menentukan rukun dan syarat jual beli, namun pada intinya terdapat kesamaan, yang
berbeda hanyalah perumusannya saja, tetapi inti dari rukun dan syaratnya hampir sama.

B. Saran

            Jual beli merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh setiap manusia, namun pada
zaman sekarang manusia tidak menghiraukan hukum islam. Oleh karena itu, sering terjadi
penipuan dimana-mana. Untuk menjaga perdamaian dan ketertiban sebaiknya kita berhati-
hati dalam bertransaksi dan alangkah baiknya menerapkan hukum islam dalam interaksinya.
            Allah SWT telah berfirman bahwasannya Allah memperbolehkan jual beli dan
mengharamkan riba.Maka dari itu, jauhilah riba dan jangan sampai kita melakukun riba.
Karena sesungguhnya riba dapat merugikan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

NasrunHaroen, 2007, “fiqhMuamalah”, Jakarta : Gaya Media Pratama.


SuhendiHendi, 1997, “FiqhMuamalah”,Jakarta : PT. Raja GrafindoPersada.
Drs. GhufronIhsan. MA, 2008, “FiqhMuamalat”, Jakarta :Prenada Media Grup.
http://kacangturki.blogspot.com/2013/03/hukum-jual-beli-dalam-islam.html
http://www.Hukum-jual-beli-dalam-islam.com

Anda mungkin juga menyukai