Anda di halaman 1dari 14

Makalah Tafsir Ahkam

TAFSIR Q.S. YUSUF: 72


( JI’ALAH )
DI
S
U
S
U
N
OLEH

NAMA : VALIAS THATIUNUS


NURATUL IKRAMAH
PUTRI NAZILA
NAFISA
SEM/UNIT : VI/I
DOSEN : SALMAN AL-FARISI, MA

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH


AL-HILAL SIGLI
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan limpahan karunia yang
tidak terhingga sehingga penyusunan makalah ini terselesaikan dengan baik selawat
dan salam kepada janjungan alam nabi besar Muhammad Saw. pembawa risalah
Allah swt mengandung pedoman hidup yang terang bagi umat manusia didunia dan
diakhirat.
Makalah ini mengkaji mengenai “ Tafsir Ahkam: Q.S Yusuf Ayat 72 ”.
Kami sadar bahwa penyusun makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan, maka
dari ini kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Mudah-mudahan
makalah ini bermasyarakat bagi para pembaca khususnya mahasiswa/i. Semoga juga
menjadi amal yang baik dan diterima disisi Allah SWT. Amiin.

Sigli, 10 Juli 2018

KELOMPOK 8

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I : PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 1

BAB II : PEMBAHASAN.............................................................................. 2
A. Lafadz Surat Yusuf ayat 72 dan terjemahannya................................... 2
B. Tafsir..................................................................................................... 2
C. Pengertian Ji’alah.................................................................................. 4
D. Rukun dan Syarat Ji’alah..................................................................... 5
E. Operasional Hukum Ji’alah.................................................................. 6
F. Pelaksanaan Jialah................................................................................ 8
G. Pembatalan Jialah................................................................................. 8
H. Hikmah Ji’alah...................................................................................... 9

BAB III : PENUTUP...................................................................................... 10


A. Kesimpulan........................................................................................... 10
B. Saran..................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam sebagai agama terakhir yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah
SWT, berisi tentang segala aturan hukum dan moral dengan tujuan membimbing dan
mengarahkan umat-Nya menuju terbentuknya komunitas manusia yang mampu
melaksanakan peranannya sebagai khalifatullah dimuka planet bumi. Khalifatullah
bukanlah suatu tugas ringan yang bisa dengan sendirinya terlaksana tanpa adanya
kreasi dan inovasi yang dinamis untuk menggali semua potensi yang telah disediakan
oleh Allah. Guna menggali untuk memanfaatkan potensi alam secara maksimal inilah
manusia kemudian perlu mengadakan interaksi dengan sesamanya yang tidak
mustahil terjadi kesenjangan yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, Islam
menganjurkan kepada umatnya untuk tolong-menolong dengan sesamanya.
Akad ji’alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan
yang belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan maka ia
berhak mendapat hadiah atau upah. Secara harfiah ji’alah bermakna sesuatu yang
dibebankan kepada orang lain untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan
kepada seseorang untuk dijalankan.

B. Rumusan Masalah
1. Lafadz Surat Yusuf ayat 72 dan terjemahannya
2. Tafsir
3. Pengertian Ji’alah
4. Rukun dan Syarat Ji’alah
5. Operasional Hukum Ji’alah
6. Pelaksanaan Jialah
7. Pembatalan Jialah
8. Hikmah Ji’alah

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Lafadz Surat Yusuf ayat 72 dan terjemahannya

٧٢ ‫يم‬ٞ ‫ير َوأَنَ ۠ا بِ ِهۦ َز ِع‬ ِ ِ‫وا نَ ۡفقِ ُد ص َُوا َع ۡٱل َمل‬
ٖ ‫ك َولِ َمن َجٓا َء بِِۦه ِحمۡ ُل بَ ِع‬ ْ ُ‫قَال‬
Artinya: penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta,
dan aku menjamin terhadapnya".1

B. Tafsir
Sabda nabi saw. kepada para sahabat yang mendapatkan jialah berupa
sekawanan kambing karena mengobati orang yang tersengat,” Ambillah ji’alah
(upah) dan berikanaku satu bagian bersama kalian”.(HR. Bukhari)
Dalil dari As Sunnah adalah hadits Abu Sa'id berikut, ia berkata:

Artinya : "Sebagian sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pergi dalam


suatu safar yang mereka lakukan. Mereka singgah di sebuah perkampungan Arab,
lalu mereka meminta jamuan kepada mereka (penduduk tersebut), tetapi penduduk
tersebut menolaknya, lalu kepala kampung tersebut terkena sengatan, kemudian
penduduknya telah bersusah payah mencari sesuatu untuk mengobatinya tetapi
belum juga sembuh. Kemudian sebagian mereka berkata, "Bagaimana kalau kalian
mendatangi orang-orang yang singgah  itu (para sahabat). Mungkin saja mereka
mempunyai sesuatu (untuk menyembuhkan)?" Maka mereka pun mendatangi para
sahabat lalu berkata, "Wahai kafilah! Sesungguhnya pemimpin kami terkena
sengatan dan kami telah berusaha mencari sesuatu untuk(mengobati)nya, tetapi
tidak berhasil. Maka apakah salah seorang di antara kamu punya sesuatu (untuk
mengobatinya)?" Lalu di antara sahabat ada yang berkata, "Ya. Demi Allah, saya
bisa meruqyah. Tetapi, demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kamu namun

1
Al-Maragi,Ahmad Mustafa,1994.Terjemah Tafsir Al-Maragi. PT. Karya Toha Putra
Semarang ; Semarang

2
kamu tidak memberikannya kepada kami. Oleh karena itu, aku tidak akan meruqyah
untuk kalian sampai kalian mau memberikan imbalan kepada kami." Maka mereka
pun sepakat untuk memberikan sekawanan kambing, lalu ia pun pergi (mendatangi
kepala kampung tersebut), kemudian meniupnya dan membaca "Al Hamdulillahi
Rabbil 'aalamiin," (surat Al Fatihah), maka tiba-tiba ia seperti baru lepas dari
ikatan, ia pun dapat berjalan kembali tanpa merasakan sakit. Kemudian mereka
memberikan imbalan yang mereka sepakati itu, kemudian sebagian sahabat berkata,
"Bagikanlah." Tetapi sahabat yang meruqyah berkata, "Jangan kalian lakukan
sampai kita mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu kita sampaikan
kepadanya masalahnya, kemudian kita perhatikan apa yang Beliau perintahkan
kepada kita." Kemudian mereka pun datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam dan menyebutkan masalah itu. Kemudian Beliau bersabda, "Dari mana
kamu tahu, bahwa Al Fatihah bisa sebagai ruqyah?" Kemudian Beliau bersabda,
"Kamu telah bersikap benar! Bagikanlah dan sertakanlah aku bersama kalian dalam
bagian itu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Begitu juga dengan sabda Rasulullah dalam sebuah hadist yang diriwayatkan
oleh Imam al-Jama’ah kecuali Imam Nasa’I dari Abu Sa’id al-Khudri. Suatu ketika
sahabat Rasulullah mendatangkan sebuah perkampungan Arab. Namun mereka tidak
dilayani layaknya seorang tamu. Tiba-tiba pemimpin merka terserang penyakit,
kemudian penduduk desa meminta sahabat untuk menyembuhkannya. Sahabat Rasul
meng-iya-kan dengan catatan mereka diberi upah. Syarat ini disetujui, kemudian
seorang sahabat membaca al-Fatihah, maka akhirnya pemimpin tersebut sembuh.
Kemudian, hadiah pun diberikan. Akan tetapi sahabat tidak mau menerima sebelum
lapor dari Rasulullah, maka Rasulullah tersenyum melihat atas laporan kejadian itu.
Menurut ulama’ Malikiyah, Syafi’iyah, dan hanabilah, secara syar’i, akad
ji’alah diperbolehkan. Dengan landasan kisah Nabi Yusuf beserta saudaranya.
Kedudukan transaksi upah (al-ju’l) adalah segala bekerja bentuk pekerjaan (jasa),
yang pemberi upah tidak mengambil sedikitpun dari upah (hadiah) itu. Sebab, jika
pemberi upah mengambil sebagian dari upah itu, berarti ia harus terikat dengan jasa
dan pekerjaan itu. Padahal jika calon penerima upah itu (al-maj’ul) gagal
mendatangkan manfaat, seperti ditetapkan dalam transaksi upah (al-ju’l), ia tidak

3
akan mendapatkan apa-apa. Jika pemberi upah (al-ja’il) mengambil hasil kerja calon
penerima upah (al-maj’ul), tanpa imbalan kerja atau jasa tertentu, berarti ia telah
melakukan suatu kezaliman.

C. Pengertian Ji’alah
Akad ji’alah, ju’l atau ju’liyah secara bahasa dapat diartikan sebagai sesuatu
yang disiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil melakukan perbuatan
tertentu,  atau juga diartikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada sesorang karena
telah melakukan pekerjaan tertentu. Dan menurut para ahli hukum, akad ji’alah dapat
dinamakan janji memberikan hadiah (bonus, komisi atau upah tertentu), maka ji’alah
adalah akad atau komitmen dengan kehendak satu pihak. Sedangkan menurut syara’,
akad ji’alah adalah komitmen memberikan imbalan yang jelas atau suatu pekerjaan
tertentu atau tidak tertentu yang sulit diketahui. Ji’alah boleh juga diartikan sebagai
sesuatu yang mesti diartikan sebagai pengganti suatu pekerjaan dan padanya terdapat
suatu jaminan, meskipun jaminan itu tidak dinyatakan,ji’alah dapat diartikan pula
upah mencari benda-benda hilang.2
Ji’alah secara etimologis yaitu memberikan upah atau (ja’l) kepada orang
yang telah melakukan pekerjaan untuknya, misalnya orang mengembalikan hewan
yang tersesat (dhalalah), mengembalikan budak yang kabur, membangun tembok,
mejahit pakaian, dan setiap pekerjaan yang mendapatkan upah. Menurut Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah, ji’alah adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak
pertama kepada pihak kedua  atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan
oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.
Ulama Malikiyah mendefinisikan akad ji’alah sebagai akad sewa atas
manfaat yang diduga dapat tercapai. Hal ini seperti perkataan seseorang, “Barang
siapa yang bisa mengembalikan binatang tunggangan saya yang kabur atau lari, atau
barang milik saya yang hilang, atau yang bisa mengurus kebun saya ini, atau
menggali sumur untuk saya hingga saya menemukan air, atau menjahit baju atau
kemeja untuk saya, maka dia akan mendapatkan sekian.

Ar-Rifa’i,Muhammad Nasib,1999.Kemudahan dari Allah : Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir /


2

Muhammad Nasib Ar-Rifa’i:Penerjemah,Syihabuddin.—Cet.1 Jakarta : Gema Insani

4
Di antara contoh akad ji’alah adalah hadiah yang khusus diperuntukan bagi
orang-orang berprestasi, atau para pemenang dalam sebuah perlombaan yang
diperbolehkan atau bagian harta rampasan perang tertentu diberikan oleh panglima
perang kepada orang yang mampu menembus benteng musuh, atau dapat
menjatuhkan pesawat-pesawat.
Termasuk didalam akad ji’alah juga, komitmen membayar sejumlah uang
pada dokter yang dapat menyembuhkan penyakit tertentu, atau pada guru yang bisa
membimbing anaknya menghapal Al-Qur’an. Para fuqaha biasa memberikan contoh
untuk akad ini dengan kasus orang yang dapat mengembalikan binatang tunggangan
yang tersesat atau hilang dan budak yang lari atau kabur.

D. Rukun dan Syarat Ji’alah


1. Rukun pengupahan (ju’alah) adalah sebagai berikut:
a. Lafal (akad). Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja
dan tidak ditentukan waktunya. Jika mengerjakan jialah tanpa seizin
orang yang menyuruh (punya barang) maka baginya tidak berhak
memperoleh imbalan jika barang itu ditemukan. Ada 2 orang yang
berakad dalam jialah yaitu :
1) Ja'il yaitu orang yang mengadakan sayembara. Disyaratkan bagi ja'il
itu orang yang mukallaf dalam arti baligh, berakal, dan cerdas
2) 'Amil adalah orang yang melakukan sayembara. Tidak disyaratkan
'amil itu orang-orang tertentu (bebas).
b. Orang yang menjanjikan memberikan upah. Dapat berupa orang yang
kehilangan barang atau orang lain.
c. Pekerjaan (sesuatu yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta
dalam sayembara tersebut).
d. Upah harus jelas, telah ditentukan dan diketahui oleh seseorang sebelum
melaksanakan pekerjaan (menemukan barang).
2. Syarat Jialah
a. Pihak-pihak yang berji'alah wajib memiliki kecakapan bermu'amalah
(ahliyyah al-tasharruf), yaitu berakal, baligh, dan rasyid (tidak sedang

5
dalam perwalian). Jadi ji'alah tidak sah dilakukan oleh orang gila atau
anak kecil.
b. upah (ja’il) yang dijanjikan harus disebutkan secara jelas jumlahnya. Jika
upahnya tidak jelas, maka akad ji’alah batal adanya, karena ketidak
pastian kompensasi. Seperti, barang siapa yang menemukan mobil saya
yang hilang, maka ia berhak mendapatkan baju. Selain itu, upah yang
diperjanjikan itu bukanlah barang haram, seperti minuman keras.
c. Aktivitas yang akan diberi kompensasi wajib aktivitas yang mubah, bukan
yang haram dan diperbolehkan secara syar’i. Tidak diperbolehkan
menyewa tenaga paranormal untuk mengeluarkan jin, praktek sihir, atau
praktek haram lainnya. Kaidahnya adalah, setiap asset yang boleh
dijadikan sebagai obyek transaksi dalam akad ji’alah
d. Kompensasi (materi) yang diberikan harus jelas diketahui jenis dan
jumlahnya (ma'lum), di samping tentunya harus halal.3
Kalau orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum,” Siapa
yang memndapatkan barangku akan ku beri uang sekian,”. Kemudian dua orang
bekerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama,
maka upah yang dijanjikan tadi berserikat antara keduanya.

E. Operasional Hukum Ji’alah


Pelaksanaan dalam sistem pengupahan di antaranya mengandung hukum-
hukum pengupahan (ji’alah) yaitu sebagai berikut:
1. Pengupahan (ji’alah) adalah akad yang diperbolehkan. Kedua belah pihak
yang bertransaksi dalam pengupahan diperbolehkan membatalkannya. Jika
pembetalan terjadi sebelum pekerjaan dimulai maka pekerja tidak
mendapatkan apa-apa. Jika pembatalan terjadi di tengah-tengah proses
pekerjaan maka pekerja berhak mendapatkan upah atas pekerjaan.
2. Dalam pengupahan (ji’alah), masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui.
Jika seseorang berkata,” Barangsiapa bisa menemukan untaku yang hilang, ia

3
Muhammad, Abu Ja’far bin al Hasan at Thusy, At Thibyan fi Tafsiiri al Qur’an, Maktabah
al A’lam al Islamy tahun 1209 H. jilid: III.

6
akan mendapatkan hadiah satu dinar”. Orang yang berhasil menemukannya
berhak atas hadiah tersebut walaupun menemukannya setelah sebulan atau
setahun.
3. Jika pengerjaan dilakukan sejumlah orang maka upah atau hadiahnya dibagi
secara merata antara mereka.
4. Pengupahan (ji’alah) tidak boleh pada hal-hal yang diharamkan. Jadi,
seseorang tidak boleh berkata,”Barang siapa menyakiti atau memukuli si
Fulan atau memakinya, ia mendapatkan upah (ji’alah) sekian”.
5. Barang siapa menemukan barang tercecer atau barang hilang atau
mengerjakan suatu pekerjaan dan sebelumnya ia tidak mengetahui kalua di
dalamnya terdapat upah (ji’alah), ia tidak berhak atas upah tersebut kendati ia
telah menemukan barang yang tercecer tersebut, karena perbuatannya itu ia
lakukan secara suka rela sejak awal. Jadi, ia tidak berhak mendapatkan ji’alah
tersebut kecuali jika ia berhasil menemukan budak yang melarikan diri dari
tuannya, sebagai balas budi atas perbuatannya tersebut.
6. Jika seseorang berkata,”Barang siapa makan dan minum sesuatu yang
dihalalkan, ia berhak atas upah(ji’alah),” maka ji’alah seperti itu
diperbolehkan , kecuali jika ia berkata,”Baranng siapa makan dan tidak
memakan sesuatu daripadanya, ia berhak atasji’alah,” ji’alah seperti ini tidak
sah.
7. Jika pemilik ji’alah dan pekerja tidak sependapat
tentang  besarnya ji’alah maka ucapan yang diterima adalahucapan
pemilik ji’alah dengan disuruh bersumpah.jika kedua berbeda pendapat
tentang pokok ji’alah maka ucapan yang diterima ialah ucapan pekerja
dengan disuruh bersumpah.4

F. Pelaksanaan Jialah
Teknis pelaksanaan jialah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1. Ditentukan oleh orangnya.
Misalnya : si Budi dengan sendirinya mencari barang yang hilang.

4
Ghazaly,H. Abdul Rahman, 2010. Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup

7
2. Secara umum, artinya orang yang diberi pekerjaan mencari barang bukan satu
orang, tetapi bersifat umum yaitu siapa saja.
Misalnya : seseorang berkata “Siapa saja yang dapat mengembalikan
barangku yang hilang maka akan aku beri upah sekian”.

G. Pembatalan Jialah
Madzhab Malikiyah menyatakan, akad ji’alah boleh dibatalkan ketika
pekerjaan belum dilaksanakan oleh pekerja (‘amil). Sedangkan menurut Syafi’iyah
dan Hanabilah, akad ji’alah boleh dibatalkan kapanpun, sebagaimana akad-akad lain,
seperti syirkah dan wakalah, sebelum pekerjaan diselesaikan secara sempurna. Jika
akad dibatalkan di awal, atau di tengah berlangsungnya kontrak, maka hal itu tidak
masalah, karena tujuan akad belum tercapai. Jika akad dibatalkan setelah
dilaksanakannya pekerjaan, maka ’amil boleh mendapatkan upah sesuai yang
dikerjakan.
Pembatalan jialah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (orang yang
kehilangan barang dengan orang yang dijanjikan jialah atau orang yang mencari
barang) sebelum bekerja. Jika pembatalan datang dari orang yang bekerja mencari
barang, maka ia tidak mendapatkan upah sekalipun ia telah bekerja. Tetapi, jika yang
membatalkannya itu pihak yang menjanjikan upah maka yang bekerja berhak
menuntut upah sebanyak pekerjaan yang telah dilakukan.5

H. Hikmah Ji’alah
Ji’alah merupakan pemberian penghargaan kepada orang lain berupa materi
karena orang itu telah bekerja dan membantu mengembalikan sesuatu yang berharga.
Baik itu berupa materi (barang yang hilang) atau mengembalikan kesehatan atau
membantu seseorang menghafal al-Qur’an. Hikmah yang dapat dipetik adalah
dengan ji’alah dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap
saling menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang saling tolong-
menolong dan bahu-membahu. Dengan ji’alah, akan terbangun suatu semangat dalam
melakukan sesuatu bagi para pekerja.

5
Rasjid, H. Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo,2008

8
Terkait dengan ji’alah sebagai sesuatu pekerjaan yang baik, Islam
mengajarkan bahwa Allah selalu menjanjikan balasan berupa syurga bagi mereka
yang mau melaksanakan perintahnya, seseorang akan memperoleh pahala dari
pekerjaan yang baik yang ia kerjakan. Allah berfirman dalam surat al-Zalzalah ayat
7 Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya
Dia akan melihat (balasan)nya.”

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ji’alah diartikan sebagai sesuatu yang disiapkan untuk diberikan kepada
seseorang yang berhasil melakukan perbuatan tertentu,  atau juga diartikan sebagai
sesuatu yang diberikan kepada sesorang karena telah melakukan pekerjaan
tertentu. Ji’alah juga dapat dinamakan janji memberikan hadiah (bonus, komisi atau
upah tertentu), maka ji’alah adalah akad atau komitmen dengan kehendak satu pihak.
Dan berdasarkan landasan hukum tentang ji’alah, maka ji’alah hukumnya yaitu
mubah atau dengan kata lain boleh dilakukan akan tetapi dengan syarat-syarat
tertentu juga yang telah di tentukan ilmu fiqih yang diajarkan dalam agama islam.
Hikmah yang dapat dipetik adalah dengan ji’alah dapat memperkuat
persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya
tercipta sebuah komunitas yang saling tolong-menolong dan bahu-membahu. Dengan
ji’alah, akan terbangun suatu semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.
Terkait dengan ji’alah sebagai sesuatu pekerjaan yang baik, Islam
mengajarkan bahwa Allah selalu menjanjikan balasan berupa syurga bagi mereka
yang mau melaksanakan perintahnya, seseorang akan memperoleh pahala dari
pekerjaan yang baik yang ia kerjakan.

B. Saran
Demikianlah isi pembahasan makalah kami ini, tentunya masih ada kesalahan
atau kesilapan baik dalam penuturan maupun penulisan. Oleh karena itu, kritikan dan
saran yang bersifat membangun jiwa pemakalah sangat kami harapkan supaya
kedepan nanti kami dapat tampil lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi kami sebagai pemakalah sendiri.
Aminn...

10
DAFTAR PUSTAKA

Ar-Rifa’i,Muhammad Nasib,1999.Kemudahan dari Allah : Ringkasan Tafsir Ibnu


Katsir/ Muhammad Nasib Ar-Rifa’i:Penerjemah,Syihabuddin.—Cet.1
Jakarta : Gema Insani
Al-Maragi,Ahmad Mustafa,1994.Terjemah Tafsir Al-Maragi. PT. Karya Toha Putra
Semarang ; Semarang
Muhammad, Abu Ja’far bin al Hasan at Thusy, At Thibyan fi Tafsiiri al Qur’an,
Maktabah al A’lam al Islamy tahun 1209 H. jilid: III.
Ghazaly,H. Abdul Rahman, 2010. Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup
Rasjid, H. Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo,2008

11

Anda mungkin juga menyukai