Anda di halaman 1dari 12

TALFIQ DAN TATABBU’ AR - RUKHSAH

Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Pada


Mata Kuliah : Ushul Fiqih III
Dosen Pembimbing : Azhar, MA
Semester : IV Unggulan

DISUSUN
O
L
E
H

KELOMPOK XII

Khairul Bariah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


JAM’IYAH MAHMUDIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
TANJUNG PURA
LANGKAT
T.A 2018
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-
nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Ushul Fiqih III,
yang berjudul “T a l f i q d a n T a t a b b u ’ A r - R u k h s a h ”.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya ucapan terimakasih kami sampaikan kepada dosen selaku pembimbing mata
kuliah Ushul Fiqih III dan teman-teman yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini.
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan, kesalahan dan masih
sangat jauh dari sempurna, Serta banyak kekurangan baik dari segi tata bahasa maupun
penyusunannya oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari seluruh pihak demi perbaikan makalah selanjutnya.
Akhir kata wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Tanjung Pura, 15 Juni 2019


Disusun Oleh

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah .........................................................................................1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan .....................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................2


A. Pengertian Talfiq .....................................................................................................2
B. Ruang Lingkup Talfiq .............................................................................................3
C. Landasan Talfiq ......................................................................................................4
D. Hukum Talfiq ..........................................................................................................5
E. Talfiq Yang Dilarang ..............................................................................................7

BAB III PENUTUP ...........................................................................................................8


A. Kesimpulan ............................................................................................................8
B. Saran .......................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................9

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Dalam memahami suatu masalah (hukum), sangat dibutuhkan suatu pemahaman yang
kuat agar tetap di jalan yang lurus. Untuk itu, ilmu ushul fiqih yang merupakan suatu metode
dalam menetapkan suatu hukum yang berguna dalam membimbing para mujtahid untuk
mengistimbatkan hukum syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya.
Banyak masalah-masalah yang dikaji dalam ushul fiqih ini, salah satunya yaitu talfiq.
Wacana taqlid yang semakin berkembang memunculkan persoalan-persoalan perpaduan
ajaran diantara madzhab (talfiq) yang muncul seiring dengan berkembangnya pola pikir
taqlid yang semakin meluas. Dalam persoalan talfiq ini, tidak pernah ditemukan dalam kitab-
kitab lama maupun dibicarakan secara serius, talfiq merupakan masalah yang baru kita
jumpai dalam permasalahan fiqih dewasa ini, yang sengaja dibuat ulama khalaf.
Dengan berbagai macam pendapat mengenai pandangannya terhadap talfiq, dimana ada
pendapat yang megatakan bahwa yang memilih salah satu madzhab tidak boleh berpindah ke
madzhab lain dan ada yang mengatakan memilih salah satu madzhab boleh berpindah ke
madzhab lain. Makalah ini mencoba memaparkan mengenai pengertian talfiq, ruang lingkup
talfiq, landasan talfiq, hukum talfiq dan talfiq yang dilarang.
B. Rumusan Masalah
Ada pun rumusan masalah pembuatan makalah ini adalah:
1. Apakah Pengertian Talfiq
2. Bagaimana Ruang Lingkup Talfiq
3. Bagaimana Landasan Talfiq
4. Bagaimana Hukum Talfiq
5. Apa Saja Talfiq Yang Dilarang
C. Tujuan Penulisan
Ada pun tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1. Untuk Mengetahui Pengertian Talfiq
2. Untuk Mengetahui Ruang Lingkup Talfiq
3. Untuk Mengetahui Landasan Talfiq
4. Untuk Mengetahui Hukum Talfiq
5. Untuk Mengetahui Talfiq Yang Dilarang

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Talfiq
Kata Talfiq dalam bahasa Arab merupakan isim masdar :‫ﺘﻠﻔﻴﻘﺎ‬ - ‫ﻴﻠﻔﻖ‬-‫ ﻠﻔﻖ‬yang secara
etimologi berarti mencampurkan atau menggabungkan satu persoalan dengan persoalan
lain. Misalnya seperti ungkapan (‫ )لﻔَّ ْﻘت الث َّ ْوب‬yang artinya, saya menggabungkan antara kedua
ujung baju (pakaian/kain), satu dengan yang lain, lalu menjahitnya. Sedangkan Talfiq
menurut terminologinya berarti: ‫ اﻠﻌﻣﻞ ﻔﻲ اﻠﻣﺴﺌلﺔ ﺑﺤﻜﻢ ﻤﺆلﻑ ﻤﻦ ﻣﺟﻤوﻉ ﻣﺬﻫﺑﻴﻦ ﻔﺎﻛﺛﺮ‬Artinya:
“menyelesaikan satu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri atas kumpulan
(gabungan) dua madzhab atau lebih”.1
Sebagian ulama ada yang mendefinisikan talfiq yaitu mengikuti suatu hukum dengan
suatu peristiwa dengan mengambilnya dari berbagai madzhab dan ada juga yang
mendefinsikan talfiq yaitu mengikuti atau bertaqlid kepada dua imam mujtahid atau lebih
dalam melaksanakan suatu amal ibadah, sedangkan kedua imam yang bersangkutan tidak
mengakui sahnya amal ibadah tersebut karena tidak sesuai dengan pendapat masing-masing.
Jelasnya, talfiq adalah melakukan sesuatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan
gabungan dua madzhab atau lebih.2
Contohnya sebagai berikut: Dalam masalah berwudhu, seseorang mengikuti madzhab
Imam Syafi’i. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyah (bukan mahramnya), setelah
itu dia langsung melaksanakan shalat tanpa berwudhu kembali dengan alasan mengikuti
madzhab Imam Hanafi yang menyatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyah (bukan
mahramnya) tidak membatalkan wudhu. Contoh perbuatan tersebut adalah talfiq, dengan
adanya gabungan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hanafi. Talfiq semacam inilah yang
dilarang oleh agama. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Tanwir al Qulub: Talfiq dalam
satu masalah dilarang, seperti ikut pada Imam Syafi’i dan imam Hanafi. “Adapun tujuan
pelarangan itu agar tidak Tatabbu’ al-Rukhsah (mencari yang gampang-gampang), tidak
memanjakan umat Islam mengambil yang ringan-ringan. Sehingga tidak akan tala’ub (main-
main) di dalam hukum agama. Sikap fanatisme terhadap madzhab yang akhirnya
memonopoli kebenaran harus dihindari, karena sikap ini akan menimbulkan perpecahan dan
akhirnya menjadi kelemahan umat islam. Karenanya Rasul bersabda: “Barang siapa

1
Akhmad Azzel Muhaimin, Ushul Fiqih Jilid 1 (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011) h. 122
2
Ibid,h.123

2
berijtihad dan benar maka baginya dua pahala dan barang siapa berijtihad dan ternyata salah
maka baginya satu pahala”.
Pada dasarnya talfiq ini dibolehkan oleh agama, selama tujuan melaksanakan talfiq
semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar dalam arti setelah meneliti
dasar hukum dari pendapat-pendapat itu dan mengambil apa yang dianggap lebih kuat
hukumnya. Seseorang boleh mengikuti madzhab lain apabila ada alasan yang kuat, bukan
sekedar coba-coba dan menuruti hawa nafsu. Tetapi atas dasar adanya situasi yang darurat
dan ketidak sanggupan melakukan seperti apa yang telah difatwakan oleh madzhabnya.
B. Ruang Lingkup Talfiq
Para ulama` fiqih sepakat bahwa ruang lingkup talfiq ini terbatas pada pada masalah-
masalah furu`iyah ijtihadiyah dhonniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi yg masih perkiraan).
Adapun pada masalah ushuliyyah (pokok dasar agama) seperti masalah iman atau aqidah itu
bukanlah ruang lingkup talfiq . Dikarnakan bertaklid saja dalam masalah ini tidak dibenarkan
apalagi bertalfiq. Serta tidak di perbolehkan bertalfiq lagi ketika hasilnya akan menghalalkan
sesuatu yang jelas-jelas keharamannya dengan adanya nash qoth’i, seperti zina dan minuman
keras. Mengenai hukum-hukum furu`iyah yang menjadi ajang-ajang bahasan talfiq di atas,
ulama` fiqih telah mengelompokkan menjadi tiga bagian sebagai berikut:
1. Hukum yang berdasar pada kemudahan dan kelapangan yang berbeda-beda sesuai
perbedaan kondisi setiap manusia. Hukum-hukum seperti inilah yang termasuk
kemurnian ibadah, karena dalam masalah ibadah seperti ini tujuannnya adalah kepatuhan
dan kepasrahan diri seorang hamba kepada Allah SWT.
2. Hukum yang didasarkan pada sikap wira’i dan ke-ihtiyatan. Hukum-hukum seperti ini
biasanya berkaitan dengan sesuatu yang dilarang Allah SWT, karena membuat
mudharat. Dalam hukum ini tidak dibenarkan mengambil kemudahan dan bertalfiq
kecuali dalam keadaan darurat. Misalnya larangan memakan bangkai. Dalam hal ini
Rasul bersabda : “Segala sesuatu yang aku larang tinggalkanlah, dan segala yang aku
perintahkan kerjakanlah sesuai kemampuanmu”.
3. Hukum yang didasarkan pada kemaslahatan dan kebahagiaan bagi manusia. Misalnya,
pernikahan, had-had dan transaksi sosial ekonomi.3

3
Zen Amiruddien, Ushul Fiqih (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009) h. 57

3
C. Landasan Talfiq
Pendapat Para Ulama’ Madzhab Tentang Kebolehan Talfiq
1. Pendapat Hanafiyah: Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah, Dikatakan oleh Kamal bin
Himam dan muridnya Amir al-Haj dalam tahrir dan penjelasannya: “Sesungguhnya seorang
muqallid (orang yang bertaqlid) diberi kebebasan untuk mengikuti siapa saja, dan orang
awam dalam setiap perkara ketika bertaqlid terhadap perkataan mujtahid (orang yang
berijtihad) akan memudahkan baginya karena mereka tidak mengerti hal-hal yang dilarang
menurut nash atau akal”. Karena Rasulpun menyukai keringanan yang dibebankan kepada
umatnya.4
2. Pendapat Malikiyah. Yang paling kuat menurut ulama mutaakhirin dari pengikut
Malikiyah adalah dibolehkannya talfiq, yang dibenarkan pula kebolehannya menurut Urfah
al-Maliki dalam penjelasannya syarhu al-Kabir oleh Addairi, dan berfatwa pula Alamah al-
Adwiy tentang kebolehan talfiq.
3. Pendapat Syafi’iyah: Menurut pendapat sebagian Syafi’iyah menyatakan larangan
talfiq, dan sebagian yang lain berpendapat tentang kebolehan talfiq, apabila dalam
permasalahan yang memenuhi syarat terhadap madzhab yang diikuti.
4. Pendapat Hambali: Dibolehkannya talfiq karena tidak adanya dalil syar’i atas ketidak
bolehan talfiq dalam bermadzhab, baik dalam perkara mengambil perkara yang mudah dan
ringan ataupun dengan mengikuti rukhsah (keringanan).5
Dengan demikian dapat disimpulkan, tentang dibolehkannya talfiq dengan beberapa
alasan, diantaranya:
a. Tidak adanya dalil atau nash yang menyatakan larangan terhadap talfiq, karena itulah
jalan yang termudah untuk sampai kepada pelaksanaan ibadah yang telah ditetapkan oleh
Allah kepada hambaNya, kecuali kalau hukum tersebut telah paten hukum dan ketentuannya
keharamannya. Dengan demikian, kita masih punya kesempatan untuk bertaqlid kepada ahli
ijtihad itu melakukan sebuah perkara.
b. Pendapat selanjutnya tentang kebolehan talfiq dengan alasan pada zaman seperti saat
ini kita sudah tidak dapat membedakan lagi apakah seseorang telah mengikuti madzhab
mereka secara murni tanpa adanya campur aduk dengan pendapat yang lain, kecuali mereka
yang memang secara khusus belajar dalam bidang dan ilmu syari’at. Jika adanya larangan

4
Sunaryo Dinata Karta, Islam Dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer (Bandung: Gava Media,
2011) h.68
5
Ibid,h.69

4
tentang adanya talfiq, maka semua orang akan dihukumi berdosa lantaran telah
melakukannya.
c. Adanya sebuah hadis yang menyatakan: ketika nabi dihadapkan pada dua buah pilihan
yang sama-sama benar berdasarkan dalil secara syar’i, maka nabi akan memilih dan
mengerjakan hal yang lebih ringan dan mudah. Sebagaimana hadis Aisyah r.a. “Nabi tidak
pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut
bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling
menjauhi hal tersebut”. (H.R. Bukhari)
d. Alasan selanjutnya adalah tidak banyaknya para ahli fiqih ataupun para ahli agama
yang menjawab berbagai permasalahan hanya terpacu pada satu madzhab saja, mereka masih
membuka rujukan dan pendapat para imam yang lainnya. Karena agama Islam memberikan
sebuah keringanan, dengan catatan tidak adanya niat main-main dalam melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan yang telah diharamkan kepada seorang hamba. Sebagaimana
dijelaskan tentang tasamuh (toleransi) yang ada dalam agama Islam, dengan tidak adanya
penekanan dan menyulitkan suatu perkara. “Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah.
Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”.

Allah Azza wa Jalla berfirman :

“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan”. (Q.S Al Hajj : 78)

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah”.
(Q.S An Nisa’: 28)

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (Q.S Al
Baqarah : 185)

D. Hukum Talfiq
Sebagaimana yang terungkap sebelumnya, talfiq hanyalah bermuara pada permasalahan-
permasalahan ijtihadi yang bersifat zhanni. Sedangkan dalam permasalahan-permasalahan
dasar syari’at, sebagaimana teologi, etika dan permasalahan agama yang bersifat qath’i, tidak
termasuk dalam talfiq. Sebab dalam semua permasalahn tersebut, tidak berlaku taqlid, bahkan
juga bukan termasuk dalam ruang lingkup ijtihad yang sehingga akan memunculkan

5
kontroversi pendapat. Permasalahan-permasalahan tersebut dikelompokkan menjadi tiga
bagian, yaitu sebagai berikut:
1. Permasalahan-permasalahan yang berdasarkan kemudahan dan toleran, yang berubah-
ubah kadarnya sesuai dengan perubahan kondisi seseorang. Permasalahan seperti ini
adalah permasalahan yang termasuk ibadah mahdhah, karena dalam ibadah ini tujuannya
adalah kepatuhan dan kepasrahan diri seorang hamba kepada Allah SWT.6
2. Permasalahan-permasalahan yang berlandasan dengan wara’ (kehati-hatian), seperti
ketetapan syara’ yang bersifat larangan. Karena Allah tidak melarang sesuatu
kecuali didalamnya terdapat unsur merugikan. Maka hal ini tidak tepat bila diterapkan
talfiq, kecuali dalam keadaan darurat, sebagaimana dalam kaidah fiqih:

‫اﻠﻀﺮوﺭات ﺘﺑﻴﺢ اﻠﻣﺤﻈوﺭات‬

Artinya: “keterpaksaan memperbolehkan sesuatu yang dilarang.”


Dalam sebuah hadits ini, Rasulullah SAW. Bersabda:
‫ﻣﺎ ﻨﻬﻴﺘﻜﻢ ﻋﻨﻪ ﻔﺎﺠﺘﻨﺑوﻩ وﻤﺎ ﺃﻤﺮﺘﻜﻢﺑﻪ ﻔﺎﻔﻌﻠوا ﻤﻨﻪ ﻤﺎ اﺴﺘﻂﻌﺘﻢ‬
)‫( ﺮواﻩ اﻠﺑﺨﺎﺮﻯ ﻭﻤﺴﻠﻢ‬
Artinya: “Apa yang telah aku larang, maka jauhilah dan apa yang aku perintahkan
kepadamu maka laksanakanlah semampumu.” (HR. Bukhari dan Muslim).7
Dalam hadits diatas, pelaksanaan perintah adalah sebatas kemampuan, sementara dalam
larangan tanpa ada pembatasan (mutlak), karena untuk mengantisipasi dampak negatif pada
hal-hal yang dilarang karenanya dalam pelarangan, tidak boleh dilakukan talfiq.
3. Permasalahan-permasalahan yang terbangun atas dasar kemaslahatan manusia. Misalnya
dalam masalah pernikahan, muamalah, dan pidana. Dalam pernikahan tujuan hendak
yang dicapai adalah kebahagian suami isteri beserta keturunannya. Oleh sebab itu segala
cara yang dapat dicapai tujuan perkawinan tersebut boleh dilakukan, sekalipun terkadang
harus dengan talfiq. Namun talfiq yang diambil tersebut tidak bertujuan untuk
menghilangkan esensi perkawinan itu sendiri. Oleh sebab itu ulama fiqih mengatakan
bahwa nikah dan talak tidak bisa dipermainkan. Sedangkan dalam permasalahan-

6
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995) h.230
7
Asymuni Mu’in Rahman, Ushul Fiqh II (Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad) (Jakarta: Departemen
Agama, 1986) h.68

6
permasalahan sosial seperti muamalah pengeluaran 10 persen harta, sanksi pidana dan
lain-lain, dari setiap tuntutan syari’at yang berasaskan kemaslahatn manusia dan
kemanfaatan yang penting artinya bagi kehidupan, haruslah memilih antara pendapat-
pendapat dari madzhab, suatu pendapat yang lebih memberikan kemaslahatan manusia,
akan terjadi praktik talfiq. Karena kemaslahatan manusia bisa berubah selaras dengan
perubahan zaman, tradisi dan peradaban.8
E. Talfiq Yang Dilarang
Dalam kenyataannya, statemen para ulama’ yang memperbolehkan pelaksanaan talfiq
tidaklah secara mutlak, akan tetapi pada batasan-batasan tertentu. Dalam hal ini terdapat dua
bentuk ketidak bolehan talfiq:
1. Talfiq yang secara subtansi (al-dzaty) merupakan perbuatan haram, seperti talfiq yang
akan menimbulkan penghalalan hal-hal haram, seperti khamr, zina, dan lain-lain.
2. Talfiq dipandang dari aspek negatif yang muncul kemudian. Pada bagian ini
diklasifikasikan menjadi tiga hal:
a. Talfiq dengan kesengajaan untuk mencari keringanan saja. Artinya memilih pendapat
yang mudah tanpa ada undzur dan darurat. Talfiq dalam konteks ini dilarang, dengan
tujuan menutup dampak negatif dengan anggapan seseorang bahwa dirinya bebas dari
tututan syara’. Dalam hal ini imam ghazali berpendapat bahwa talfiq tidak boleh
didasarkan pada keinginan mengambil yang termudah dengan dorongan hawa nafsu dan
hanya boleh apabila disebabkan adanya undzur.
b. Talfiq yang akan berdampak pembatalan terhadap keputusan hakim, apabila hakim telah
menentukan suatu pilihan hukum dari beberapa pendapat tentang suatu masalah, maka
hukumnya wajib ditaati, hal ini sejalan dengan kaidah fiqih “keputusan hakim itu
menghapuskan segala perbedaan pendapat”.
c. Talfiq yang akan mengakibatkan pencabutan sebuah perbuatan yang telah terlaksana,
yang timbul dari taqlid pada madzhab lain. Atau talfiq yang akan mengakibatkan
pelanggaran terhadap hasil ijma’.9

8
Muhammad Salam, Ensiklopedia Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994) h.45
9
Sholihin Usman, Ushul Fiqh II (Bandung: CV Pustaka Setia, 1989) h.37

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Talfiq secara bahasa adalah mencampur adukkan atau menggabungkan. Sedangkan
menurut istilah talfiq adalah mengikuti atau bertaqlid kepada dua imam mujtahid atau lebih
dalam melaksanakan suatu amal ibadah, sedangkan kedua imam yang bersangkutan tidak
mengakui sahnya amal ibadah tersebut karena tidak sesuai dengan pendapat masing-masing.
Sebab sebab terjadinya talfiq ini, melihat persoalan talfiq yang tidak ditemukan didalam kitab
ulama salaf bahkan tidak pernah dibicarakan serius. Bahwa talfiq sebenarnya adalah masalah
yang baru dikenal di dalam permasalahan fiqh dewasa ini yang sengaja dibuat oleh ulama
khalaf. Disinilah muncul pendapat bahwa seseorang harus terikat dengan salah satu madzhab
lain baik secara keseluruhan maupun sebagian.
Talfiq yang dilarang yaitu yang pertama secara subtansi merupakan perbuatan haram dan
yang kedua dipandang dari aspek negatif yang muncul kemudian, bagian ini apat
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: sengaja mencari keringanan, yang berdampak pada
pembatalan terhadap keputusan hukum, dan mengakibatkan pencabutan sebuah perbuatan
yang telah terlaksana.
B. Saran
Bagi orang awam yang tidak mengetahui seluk beluk sumber hukum berikut metode
penggaliannya, ulama mengeluarkan ijma’ bahwa mereka wajib hukumnya bertaqlid kepada
imam mujtahid atau madzhab. Ini diatur demi keselamatan dan jaminan kebenaran segala hal
yang berkaitan dengan ritual peribadatan yang dilakukannya. Kemudian dengan adanya
makalah ini diharapkan pembaca dapat menerapkannya dan mampu membangun islam yang
berlandasan Al-qur’an dan hadis. Dari segi penyusunan kami sangat mengharapkan saran dan
kritik yang bersifat membangun dari seluruh pihak demi perbaikan makalah kedepannya.

8
DAFTAR PUSTAKA

Azzel, Muhaimin Akhmad. Ushul Fiqih Jilid 1, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011

Amiruddien, Zen. Ushul Fiqih, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009

Dinata, Karta Sunaryo. Islam Dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer, Bandung: Gava
Media, 2011

Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995
Mu’in, Rahman Asymuni. Ushul Fiqh II (Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad), Jakarta:
Departemen Agama, 1986
Salam, Muhammad. Ensiklopedia Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994
Usman, Sholihin. Ushul Fiqh II, Bandung: CV Pustaka Setia, 1989

Anda mungkin juga menyukai