Ad-dhararu Yuzalu
Dosen Pengampu :
M. ADIB HAMZAWI, M. HI
Disusun Oleh :
FAKULTAS SYARI’AH
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa sebagai pencipta atas segala
kehidupan yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Kaidah Kulliyah Kubro Keempat Ad-
dhararu Yuzalu” dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Qawaid Al-Fiqhiyah,
selain itu makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang pengertian puasa
dan hal lainnya yang berkaitan dengan Kaidah Kulliyah Kubro bagi pembaca dan juga
penulis.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga Tuhan senantiasa
membalas dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun diharapkan dari
semua pihak demi perbaikan pembuatan makalah selanjutnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 9
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam qawaid fiqhiyyah terdapat lima kaidah pokok, yang harus dipelajari dan
digunakan untuk dasar hidup sehari-hari sesuai dengan kegunaan kaidah tersebut.
Kelima kaidah tersebut ialah:
Dari kelima kaidah pokok tersebut penulis menyajikan kaidah yang ketiga yaitu
"Kemudharatan itu harus dihilangkan" atau adh-Dhararu Yuzalu. Kaidah tentang
adh-Dhararu Yuzalu. Dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya banyak terdapat
masalah-masalah yang memerlukan suatu penyelesaian, maka dari itu para Ulama
membuat suatu kaidah-kaidah demi menyelesaikan masalah tersebut. Dimana salah
satu kaidahnya adalah kaidah adh-Dhararu Yuzalu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Dasar Kaidah adh-Dhararu Yuzalu?
2. Apa Definisi dan Klasifikasi dharar ?
3. Bagaimana Mekanisme dan teknis menghilangkan dharar?
4. Apa saja Kaidah-Kaidah Turunannya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Dasar Kaidah adh-Dhararu Yuzalu
2. Untuk mengetahui Definisi dan Klasifikasi dharar
3. Untuk mengetahui Mekanisme dan teknis menghilangkan dharar
4. Untuk mengetahui Kaidah-Kaidah Turunan adh-Dhararu Yuzalu
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Kaidah
Dasar kaidah ini diambil dari hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu
Majah, yaitu;
َضرَار
ِ َضرَرَوَال
َ َال
Artinya: Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta kerusakan pada
orang lain. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas). 1
Para ulama berbeda tentang makna masing-masing dari dharar dan dhirar.
ُالضرَرُُيزَال
َّ
"Kemudharatan harus dihilangkan." (as-Suyuti, TT:59)
Menurut etimologi, kata (dharar) berarti kekurangan yang terdapat pada sesuatu,
batasan adalah keadaan yang membahayakan yang dialami manusia atau
masyaqqah yang parah yang tak mungkin mampu dipikul olehnya. 2 Kata J (yuzaal)
1 Muclis Usman, Kaidah-kaidah Istinbat Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Perseda, 2002), h. 132
2 Ahmad Warson Munawwir. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, cet. 14. (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif,
1997), h. 819.
2
berasal dari kata zaala-yaziilu-zaalatan kata ini dalam bentuk majhul dengan wazan
fu 'al yang berarti dihilangkan Maksudnya ialah jika sesuatu itu dianggap sedang
atau akan bahkan memang menimbulkan kemadharatan, maka keberadaanya wajib
dihilangkan.3 Sedangkan Dharar secara terminologi menurut para ulama ada
beberapa pengertian diantaranya adalah 4:
1. Menurut Al-Dardiri, dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan
yang teramat sangat.
2. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, dharar ialah mengkhawatirkan
diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.
3. Menurut Al-Suyuti, dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana
kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau
nyaris binasa.5
4. Abu Bakar Al Jashas, mengatakan "Makna Dharar di sini adalah ketakutan
seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota
badannya karena ia tidak makan".
Pada dasarnya, secara umum kemudharatan terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu:
2. Kemudharatan yang menimpa banyak orang dan susah dihindari ( الْثَلْىَي )ذَعُنُّ تِ ِه.
Seperti, asap kendaraan dan bunyi klakson di jalan raya, ini merupakan
kemudharatan yang juga dimaafkan karena hampir tidak mungkin
menghilangkannya. Atau contoh lain, dalam jual beli, seorang penjual yang
menjual apel 1 keranjang maka tidak bisa dijamin 100% pasti bagus semua.
3. Kemudharatan dimana orang yang ditimpa kemudharatan itu telah memafkan.
Contoh, seorang wanita yang akan menikah dengan lelaki miskin, sehingga dia
(si istri tersebut) akan mendapat kemudharatan. Namun jika walinya ridha maka
hal ini tidak masalah.
4. Kemudharatan yang diharamkan, yaitu selain dari tiga jenis kemudharatan di
atas.
3 4 Muhamad Mas'ud Zein, Sitematika Teori Hukum Islam (Qawa'id-Fiqhiyyah), (Jawa Timur: Al-Syarifah Al-
Khadizah, 2006), h. 60
4 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 58.
5 Hasbi Ash-Shiddiqie. Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1963),
3
Catatan : Dalam kaidah َُلضرَرُ ُيزَال
َّ ا ini, yang menjadi pokok pembahasan adalah
6 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1982), h. 247
4
yang belum berpengalaman dalam transaksi jual beli, sehingga ia rentan
menjadi korban penipuan.
b) Khiyar ru'yah mengandung unsur menghilangkan bahaya (kerugian) yang
muncul dari kondisi barang yang tidak sesuai dengan sifat-sifat (spesifikasi)
yang disebutkan pada saat transaksi.
c) Khiyar aib, unsur menghilangkan bahaya (kerugian) di dalamnya sudah
sangat jelas.
2. Al-hijr (pembatasan wewenang dalam mentasharuffkan hak milik) mempunyai
banyak faktor yang melatarbelakanginya, di antaranya si pemilik masih anak-
anak, gila, sembrono, dan idiot. Mekanisme al-hijr yang diterapkan pada
mereka sesungguhnya diberlakukan untuk memelihara kemashlahatan mereka
sendiri dan menghindari bahaya pengeksplotasian mereka.
3. Syuf'ah (hak membeli pertama), ditetapkan sebagai milik partner kongsian (asy-
syirk) untuk menepis bahaya pembagian barang kongsian, sedangkan hak
syuf'ah bagi seorang tetangga dimaksudkan untuk menepis bahaya perlakuan
buruk bertetangga (suu al jiwar) yang mungkin ia terima dari tetangga baru
yang dapat jadi berkelakuan buruk.
4. Qishash, dalam konteks jiwa dan hudud disyariatkan untuk menepis bahaya
yang menyeluruh dari masyarakat dan memelihara kelima prinsip umum.
Sedangkan qishash dalam konteks selain jiwa ditetapkan untuk menyingkirkan
unsur bahaya dari pihak korban tindak kejahatan dengan mengobati rasa
dendamnya terhadap orang yang melanggar haknya sesuai dengan watak
alamiah manusia. Dari sisi lain, pelaku kejahatan pun terlindungi dengan
mekanisme qishash ini dari tindak balas dendam yang lebih hebat dari pihak
korban. Pensyariatan qishash juga menjaga keamanan dan stabilitas
masyarakat.
5. Demi menjaga kemaslahatan umum, maka disyariatkanlah berbagai bentuk
hukuman ta'zir guna mencegah bahaya sosial maupun bahaya individual baik
sebagai tindakan preventif ataupun represif dengan cara yang mungkin dapat
menghilangkan bahaya bagi pihak korban ataupun menghapus pengaruh yang
ditimbulkan dalam bentuk hukuman yang setimpal.
6. Pembatasan (limitasi) kebebasan manusia dalam mempergunakan hak
utilitasnya, kepemilikannya, ataupun tasharrufnya pada hal-hal yang dapat
menimbulkan bahaya bagi orang lain juga termasuk kategori upaya
pencegahan bahaya yang mengerikan dengan segala cara jika ia memang
benar-benar terjadi.7
5
D. Kaidah-Kaidah Turunan
1. ِِالضرَر
َّ الضرَرُ الَُيزَالُ ت
َّ
Artinya “Kemudharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemudharatan yang
lain.” Maksud kaidah ini adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan
cara melakukan kemudharatan lain yang sebanding keadaannya.
Contoh:
a) Kasus tidak bolehnya orang tua membunuh anaknya hanya karena
takut kelaparan
b) Tidak dibolehkan seorang yang kelaparan memakan makanan seorang
yang sama dalam keadaan lapar juga.
6
Artinya “Sesuatu yang diperbolehkan karena kondisi dharurot harus
disesuaikan menurut batasan ukuran yang dibutuhkan dhorurot tersebut.”
Maksudnya sesuatu yang asalnya dilarang, lalu diperbolehkan lantaran
keadaan yang memaksa (dhorurot), harus disesuaikan dengan kadar ukuran
dhorurot yang sedang dideritanya, dan tidak boleh dinikmati sepuas-puasnya
atau seenaknya saja, sebab kaidah ini memberikan batasan pada kemutlakan
kaidah adh-Dharurotu Tubihu al-Mahdzurot.
Contoh: Orang yang haus sekali dan tidak ada minuman kecuali khamr
(minuman keras), maka baginya boleh meminumnya, tetapi hanya sekedar
untuk mempertahankan hidupnya yang sedang terancam lantaran
kehausan. Akan tetapi jika hausnya telah hilang, maka hukumnya kembali pada
asal, yaitu haram.
5. ب اَخَفِّهِوَا
ِ ضرَرّا تِارِِذكَا
َ ض الْوُفْسِدَذَاىِ رُ ِو ِع َي َاعِظَوُهُوَا
َ َِاذَا ذَعَا ر
Artinya “Jika ada dua bahaya berkumpul, maka yang dihindari adalah
bahaya yang lebih besar dengan mengerjakan yang bahayanya lebih ringan.”
Maksud ialah jika ditemukan adanya pertentangan antara dua macam madlarat,
maka yang harus diperhatikan adalah mana yang lebih besar bahayanya
dengan melakukan yang lebih ringan. Jadi, jika pada suatu saat terjadi secara
bersamaan dua bahaya atau lebih, maka yang harus diteliti adalah mafsadah
mana yang bobot nilainya lebih kecil dan lebih ringan efek sampingnya,
sehingga yang lebih besar ditinggalkan dan yang lebih ringan dikerjakan.
Contoh:
a) Membedah perut wanita yang sedang hamil, jika masih ada harapan bayi
yang ada di dalamnya hidup, maka hukum membedah adalah boleh.
7
b) Diperbolehkannya bagi seorang yang dalam keadaan dharurot mengambil
makanan seorang yang tidak dalam keadaan dharurot karena terpaksa.
6. ِة الْوَصَالِح
ِ دَرِءُالْوَفَا سِدِ هُقَدَّ ْم عَلًَ جَ ْل
Artinya “Mencegah bahaya itu lebih utama daripada menarik datangnya
kebaikan.” Maksudnya ketika dalam realitas ditemukan adanya bahaya dan
kebaikan berkumpul dalam satu kasus, maka yang harus diprioritaskan lebih
dahulu adalah menangkal bahaya dengan mengabaikan kebaikan. Artinya hal-
hal yang dilarang dan membahayakan itu lebih utama ditangkal daripada
berusaha meraih kebaikan dengan cara menjalankan perintah keagamaan,
sementara disisi lain dibiarkan terjadinya kerusakan.
Contoh: Diperbolehkannya meninggalkan shalat jum’at atau shalat jamaah
karena adanya faktor sakit
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesmpulan
9
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Al-Nadwi, Al-Qawa'id Al-Fiqhiyah, Beirut: Dar al-Qalam, 2000.
Ahmad Djazuli, Fiqh Siyasah, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Ahmad Djazuli, Hukum Perdata Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Ahmad Djazuli, Ilmu Fiqih: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,
Jakarta: Prenada Media. 2005.
Ahmad Djazuli, Kaidah-kaidah FIKIH. Jakarta: KENCANA, 2017
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya:Penerbit
Pustaka Progressif, 1997.
Asymuni A. Rahman. Qaidah-gaidah Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Muchlis Usman, Kaidah- Kaidah Istinbat Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002. Muchlis Usman, Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah
Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1993.
Muhamad Mas'udi Zein. Sitematika Teori Hukum Islam (Qawa'id Fiqhiyyah), Jawa
Timur: Al-Syarifah Al-Khadizah, 2006.
10