Anda di halaman 1dari 13

AL-QAWA’ID AL-FIQHIYAH

Kaidah Kulliyah Kubro Keempat

Ad-dhararu Yuzalu

Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas

Mata Kuliah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah

Dosen Pengampu :

M. ADIB HAMZAWI, M. HI

Disusun Oleh :

INDAH MARIA ULFAH (202148030052)

NADIA SARI SUATKAB (202148030066)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM HASANUDDIN PARE

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa sebagai pencipta atas segala
kehidupan yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Kaidah Kulliyah Kubro Keempat Ad-
dhararu Yuzalu” dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Qawaid Al-Fiqhiyah,
selain itu makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang pengertian puasa
dan hal lainnya yang berkaitan dengan Kaidah Kulliyah Kubro bagi pembaca dan juga
penulis.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga Tuhan senantiasa
membalas dengan kebaikan yang berlipat ganda.

Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun diharapkan dari
semua pihak demi perbaikan pembuatan makalah selanjutnya.

Kediri, 27 Februari 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................ i

Daftar Isi ....................................................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 1
C. Tujuan ............................................................................................................... 1

BAB II. PEMBAHASAN ............................................................................................... 2

A. Dasar Kaidah ..................................................................................................... 2


B. Definisi dan Klasifikasi dharar ........................................................................... 2
C. Mekanisme dan teknis menghilangkan dharar ................................................... 4
D. Kaidah-Kaidah Turunan ..................................................................................... 6

BAB III. PENUTUP ...................................................................................................... 9

A. Kesimpulan ........................................................................................................ 9

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 10

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam qawaid fiqhiyyah terdapat lima kaidah pokok, yang harus dipelajari dan
digunakan untuk dasar hidup sehari-hari sesuai dengan kegunaan kaidah tersebut.
Kelima kaidah tersebut ialah:

1. Segala sesuatu tergantung pada tujuannya.


2. Yang sudah yakin tidak dapat dihapus dengan keraguan.
3. Kesukaran itu menimbulkan adanya kemudahan
4. Kemudharatan itu harus di hilangkan.
5. Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum.

Dari kelima kaidah pokok tersebut penulis menyajikan kaidah yang ketiga yaitu
"Kemudharatan itu harus dihilangkan" atau adh-Dhararu Yuzalu. Kaidah tentang
adh-Dhararu Yuzalu. Dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya banyak terdapat
masalah-masalah yang memerlukan suatu penyelesaian, maka dari itu para Ulama
membuat suatu kaidah-kaidah demi menyelesaikan masalah tersebut. Dimana salah
satu kaidahnya adalah kaidah adh-Dhararu Yuzalu.

Kaidah adh-Dhararu Yuzalu yaitu kaidah yang membahas tentang kemudaratan


itu memang harus dilihungkan, terlebih dalam kondisi darurat, maka yang
diharamkan pun boleh dilakukan. Yang mana maksud dari keadaan darurat itu bisa
berakibat fatal bila mana tidak diatasi dengan cara-cara seperti itu. Oleh karena itu
hukum Islam membolehkan untuk meninggalkan ketentuan-ketentuan wajib bila
mana sudah dalam keadaan yang sangat darurat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Dasar Kaidah adh-Dhararu Yuzalu?
2. Apa Definisi dan Klasifikasi dharar ?
3. Bagaimana Mekanisme dan teknis menghilangkan dharar?
4. Apa saja Kaidah-Kaidah Turunannya?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Dasar Kaidah adh-Dhararu Yuzalu
2. Untuk mengetahui Definisi dan Klasifikasi dharar
3. Untuk mengetahui Mekanisme dan teknis menghilangkan dharar
4. Untuk mengetahui Kaidah-Kaidah Turunan adh-Dhararu Yuzalu

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar Kaidah

Dasar kaidah ini diambil dari hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu
Majah, yaitu;

َ‫ضرَار‬
ِ َ‫ضرَرَوَال‬
َ َ‫ال‬
Artinya: Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta kerusakan pada
orang lain. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas). 1

Para ulama berbeda tentang makna masing-masing dari dharar dan dhirar.

1. Dharar adalah memberi kemudharatan kepada orang lain agar dirinya


mendapatkan manfaat dengan hal tersebut. Seperti orang yang menanam
mangga di halaman rumahnya lalu tumbuh menjulang hingga ke halaman rumah
tetangganya. Tetapi yang boleh mengambil buah tersebut hanya dia, adapun
tetangganya tidak. Sedangkan dhirar adalah memberi kemudharatan kepada
orang lain tetapi dirinya tidak mendapat manfaat. Seperti ketika dia mengendarai
mobil di tengah jalan yang digenangi oleh air lalu terciprat sehingga mengenai
pejalan kaki yang lewat di jalan tersebut.
2. Dharar adalah memberikan kemudharatan kepada orang lain dengan status dia
yang memulai. Sedangkan dhirar adalah memberikan kemudharatan dengan
status membalas kemudharatan dari orang lain dengan kemudharatan yang lebih
parah.

Kesimpulan dari perbedaan-perbedaan pendapat ini yaitu walaupun para ulama


berbeda pendapat dalam memaknai dharar dan dhirar, intinya segala kemudharatan
apapun bentuknya adalah hal yang terlarang yang harus dihilangkan.

B. Definisi dan Klasifikasi dharar

ُ‫الضرَرُُيزَال‬
َّ
"Kemudharatan harus dihilangkan." (as-Suyuti, TT:59)
Menurut etimologi, kata (dharar) berarti kekurangan yang terdapat pada sesuatu,
batasan adalah keadaan yang membahayakan yang dialami manusia atau
masyaqqah yang parah yang tak mungkin mampu dipikul olehnya. 2 Kata J (yuzaal)

1 Muclis Usman, Kaidah-kaidah Istinbat Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Perseda, 2002), h. 132
2 Ahmad Warson Munawwir. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, cet. 14. (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif,
1997), h. 819.

2
berasal dari kata zaala-yaziilu-zaalatan kata ini dalam bentuk majhul dengan wazan
fu 'al yang berarti dihilangkan Maksudnya ialah jika sesuatu itu dianggap sedang
atau akan bahkan memang menimbulkan kemadharatan, maka keberadaanya wajib
dihilangkan.3 Sedangkan Dharar secara terminologi menurut para ulama ada
beberapa pengertian diantaranya adalah 4:
1. Menurut Al-Dardiri, dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan
yang teramat sangat.
2. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, dharar ialah mengkhawatirkan
diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.
3. Menurut Al-Suyuti, dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana
kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau
nyaris binasa.5
4. Abu Bakar Al Jashas, mengatakan "Makna Dharar di sini adalah ketakutan
seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota
badannya karena ia tidak makan".

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dharar


adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak
diselesaikan, maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan
manusia.

Pada dasarnya, secara umum kemudharatan terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu:

1. Kemudharatan yang memang diizinkan oleh syariat. Seperti praktek hudud,


hukum qishash, dan hukuman ta’zir dari ulil amri, secara dzhahir semua ini
adalah bentuk mudharat tetapi hakikatnya mendatangkan maslahat.

2. Kemudharatan yang menimpa banyak orang dan susah dihindari ( ‫الْثَلْىَي‬ ‫)ذَعُنُّ تِ ِه‬.
Seperti, asap kendaraan dan bunyi klakson di jalan raya, ini merupakan
kemudharatan yang juga dimaafkan karena hampir tidak mungkin
menghilangkannya. Atau contoh lain, dalam jual beli, seorang penjual yang
menjual apel 1 keranjang maka tidak bisa dijamin 100% pasti bagus semua.
3. Kemudharatan dimana orang yang ditimpa kemudharatan itu telah memafkan.
Contoh, seorang wanita yang akan menikah dengan lelaki miskin, sehingga dia
(si istri tersebut) akan mendapat kemudharatan. Namun jika walinya ridha maka
hal ini tidak masalah.
4. Kemudharatan yang diharamkan, yaitu selain dari tiga jenis kemudharatan di
atas.

3 4 Muhamad Mas'ud Zein, Sitematika Teori Hukum Islam (Qawa'id-Fiqhiyyah), (Jawa Timur: Al-Syarifah Al-
Khadizah, 2006), h. 60
4 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 58.
5 Hasbi Ash-Shiddiqie. Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1963),

3
Catatan : Dalam kaidah ُ‫َلضرَرُ ُيزَال‬
َّ ‫ا‬ ini, yang menjadi pokok pembahasan adalah

jenis kemudharatan yang ke empat yang mana merupakan kemudharatan yang


harus dihilangkan. Adapun tiga kemudharatan yang pertama, keluar dari
pembahasan kaidah ini
Dalam kaitan ini Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan
sesuatu dengan lima klasifikasi, yaitu:
1. Dharar; yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu
yang dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan
manusia, bila tidak dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi
semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang, seperti
memakai pakaian sutra bagi laki-laki yang telanjang, dan sebagainya.
2. Hajat; yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi
mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak
menghalalkan yang haram. Misalnya seorang laki-laki yang tidak mampu
berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan makanan
haram.
3. Manfaat; yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak.
Maka hukum diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu
mendatangkan manfaat. Misalnya makan makanan pokok seperti beras, ikan,
sayur-mayur, lauk-pauk, dan sebagainya.
4. Zienah; yaitu kepentingan manusia yang siftanya terkait dengan nilai-nilai
estetika.
5. Fudhul; yaitu kepentingan manusia hanya sekedar utuk berlebih-lebihan, yang
memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi
semacam ini dikenakan hukum saddu al-dzariah, yakni menutup segala
kemungkinan yang mendatangkan mafsadah. 6
Dharar di sini menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat
mudharat sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu
membolehkan sesuatu yang dilarang. Artinya dharar ini termasuk dalam
klasifikasi yang pertama di mana subtansinya sangat mendesak dan
berpengaruh kepada keberadaan dan kelanjutan hidup manusia.

C. Mekanisme dan teknis menghilangkan dharar


1. Khiyar dengan segala jenis dan bentuknya ditetapkan oleh syara' untuk
menghilangkan bahaya atau mudharat.
a) Khiyar syarth dalam transaksi jual beli misalnya diberlakukan untuk
menghilangkan kemungkinan terjadinya bahaya (kerugian) pada orang

6 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1982), h. 247

4
yang belum berpengalaman dalam transaksi jual beli, sehingga ia rentan
menjadi korban penipuan.
b) Khiyar ru'yah mengandung unsur menghilangkan bahaya (kerugian) yang
muncul dari kondisi barang yang tidak sesuai dengan sifat-sifat (spesifikasi)
yang disebutkan pada saat transaksi.
c) Khiyar aib, unsur menghilangkan bahaya (kerugian) di dalamnya sudah
sangat jelas.
2. Al-hijr (pembatasan wewenang dalam mentasharuffkan hak milik) mempunyai
banyak faktor yang melatarbelakanginya, di antaranya si pemilik masih anak-
anak, gila, sembrono, dan idiot. Mekanisme al-hijr yang diterapkan pada
mereka sesungguhnya diberlakukan untuk memelihara kemashlahatan mereka
sendiri dan menghindari bahaya pengeksplotasian mereka.
3. Syuf'ah (hak membeli pertama), ditetapkan sebagai milik partner kongsian (asy-
syirk) untuk menepis bahaya pembagian barang kongsian, sedangkan hak
syuf'ah bagi seorang tetangga dimaksudkan untuk menepis bahaya perlakuan
buruk bertetangga (suu al jiwar) yang mungkin ia terima dari tetangga baru
yang dapat jadi berkelakuan buruk.
4. Qishash, dalam konteks jiwa dan hudud disyariatkan untuk menepis bahaya
yang menyeluruh dari masyarakat dan memelihara kelima prinsip umum.
Sedangkan qishash dalam konteks selain jiwa ditetapkan untuk menyingkirkan
unsur bahaya dari pihak korban tindak kejahatan dengan mengobati rasa
dendamnya terhadap orang yang melanggar haknya sesuai dengan watak
alamiah manusia. Dari sisi lain, pelaku kejahatan pun terlindungi dengan
mekanisme qishash ini dari tindak balas dendam yang lebih hebat dari pihak
korban. Pensyariatan qishash juga menjaga keamanan dan stabilitas
masyarakat.
5. Demi menjaga kemaslahatan umum, maka disyariatkanlah berbagai bentuk
hukuman ta'zir guna mencegah bahaya sosial maupun bahaya individual baik
sebagai tindakan preventif ataupun represif dengan cara yang mungkin dapat
menghilangkan bahaya bagi pihak korban ataupun menghapus pengaruh yang
ditimbulkan dalam bentuk hukuman yang setimpal.
6. Pembatasan (limitasi) kebebasan manusia dalam mempergunakan hak
utilitasnya, kepemilikannya, ataupun tasharrufnya pada hal-hal yang dapat
menimbulkan bahaya bagi orang lain juga termasuk kategori upaya
pencegahan bahaya yang mengerikan dengan segala cara jika ia memang
benar-benar terjadi.7

7 Nashr Farid Muhammad, Qawa'id Fiqiyyah, (Jakarta: Amzah), 2009, h. 17-18.

5
D. Kaidah-Kaidah Turunan

1. ِ‫ِالضرَر‬
َّ ‫الضرَرُ الَُيزَالُ ت‬
َّ
Artinya “Kemudharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemudharatan yang
lain.” Maksud kaidah ini adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan
cara melakukan kemudharatan lain yang sebanding keadaannya.
Contoh:
a) Kasus tidak bolehnya orang tua membunuh anaknya hanya karena
takut kelaparan
b) Tidak dibolehkan seorang yang kelaparan memakan makanan seorang
yang sama dalam keadaan lapar juga.

2. ِ‫َلضرُورَاخ ذُثِيِ ُع الْ َوحِظُىِرَاخ‬


َّ ‫ا‬
Artinya “Kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang.” Kaidah ini
dapat disimpulkan, bahwa dalam keadaan (sangat) terpaksa, maka orang
diizinkan melakukan perbuatan yang dalam keadaan biasa terlarang, karena
apabila tidak demikian, mungkin akan menimbulkan suatu kemadhorotan pada
dirinya.
Tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun
keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan
lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka semua yang haram
dapat diperbolehkan memakainya. Misalkan seorang di hutan tiada makanan
sama sekali jika ia tidak makan maka dapat mengancam dirinya atau ia bisa
mati, namun yang ada disana hanya babi hutan maka babi hutan itu boleh
dimakan sebatas keprluannya.
Di kalangan ushul fiqih yang dimaksud dengan keadaan darurat yang
membolehkan seseorang melakukan hal-hal yang dilarang adalah keadaan
yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a) Kondisi darurat itu mengancam jiwa dan anggota badan.
b) Keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui
batas.
c) Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang.
Contoh: Kasus kelaparan dan ia sedang menemukan makanan bangkai,
jika tidak dimakan ia akan mati, maka baginya boleh memakannya.

3. ‫ِلضرُوِ َرجِ يُقَدَّرُ تِقَدَ ِرهَا‬


َّ ‫هَاأُتِيِحُ ل‬

6
Artinya “Sesuatu yang diperbolehkan karena kondisi dharurot harus
disesuaikan menurut batasan ukuran yang dibutuhkan dhorurot tersebut.”
Maksudnya sesuatu yang asalnya dilarang, lalu diperbolehkan lantaran
keadaan yang memaksa (dhorurot), harus disesuaikan dengan kadar ukuran
dhorurot yang sedang dideritanya, dan tidak boleh dinikmati sepuas-puasnya
atau seenaknya saja, sebab kaidah ini memberikan batasan pada kemutlakan
kaidah adh-Dharurotu Tubihu al-Mahdzurot.
Contoh: Orang yang haus sekali dan tidak ada minuman kecuali khamr
(minuman keras), maka baginya boleh meminumnya, tetapi hanya sekedar
untuk mempertahankan hidupnya yang sedang terancam lantaran
kehausan. Akan tetapi jika hausnya telah hilang, maka hukumnya kembali pada
asal, yaitu haram.

4. ً‫الضرُو َر ِج عَاهَّحًكَاَندِ أَوِخَاصَّح‬


َّ ‫احلَا جَحُ ذَِنزِلُ هَِنزِلَ َح‬
Artinya “Kebutuhan itu terkadang disetarakan dengan kondisi darurat, baik
kebutuhan umum atau khusus.” Maksudnya ialah kebutuhan terkadang
menempati posisi kemadlaratan, baik secara umum maupun khusus, yakni
dalam artian hajat (kebutuhan) yang dalam kondisi tertentu bisa menjadi salah
satu hal yang pada awalnya dilarang, kemudian berubah menjadi suatu hal
yang diperbolehkan untuk dikerjakan.
Contoh:Pemerintah yang memiliki rencana akan melakukan pelebaran jalan
demi mengurangi kecelakaan lalu lintas dikarenakan sudah sangat ramai, maka
dari itu pemerintah berencana akan membongkar sebagian rumah warga.
Dalam hal ini hal tersebut dibolehkan karena demi kepentingan orang banyak.

5. ‫ب اَخَفِّهِوَا‬
ِ ‫ضرَرّا تِارِِذكَا‬
َ ‫ض الْوُفْسِدَذَاىِ رُ ِو ِع َي َاعِظَوُهُوَا‬
َ َ‫ِاذَا ذَعَا ر‬
Artinya “Jika ada dua bahaya berkumpul, maka yang dihindari adalah
bahaya yang lebih besar dengan mengerjakan yang bahayanya lebih ringan.”
Maksud ialah jika ditemukan adanya pertentangan antara dua macam madlarat,
maka yang harus diperhatikan adalah mana yang lebih besar bahayanya
dengan melakukan yang lebih ringan. Jadi, jika pada suatu saat terjadi secara
bersamaan dua bahaya atau lebih, maka yang harus diteliti adalah mafsadah
mana yang bobot nilainya lebih kecil dan lebih ringan efek sampingnya,
sehingga yang lebih besar ditinggalkan dan yang lebih ringan dikerjakan.
Contoh:
a) Membedah perut wanita yang sedang hamil, jika masih ada harapan bayi
yang ada di dalamnya hidup, maka hukum membedah adalah boleh.

7
b) Diperbolehkannya bagi seorang yang dalam keadaan dharurot mengambil
makanan seorang yang tidak dalam keadaan dharurot karena terpaksa.

6. ِ‫ة الْوَصَالِح‬
ِ ‫دَرِءُالْوَفَا سِدِ هُقَدَّ ْم عَلًَ جَ ْل‬
Artinya “Mencegah bahaya itu lebih utama daripada menarik datangnya
kebaikan.” Maksudnya ketika dalam realitas ditemukan adanya bahaya dan
kebaikan berkumpul dalam satu kasus, maka yang harus diprioritaskan lebih
dahulu adalah menangkal bahaya dengan mengabaikan kebaikan. Artinya hal-
hal yang dilarang dan membahayakan itu lebih utama ditangkal daripada
berusaha meraih kebaikan dengan cara menjalankan perintah keagamaan,
sementara disisi lain dibiarkan terjadinya kerusakan.
Contoh: Diperbolehkannya meninggalkan shalat jum’at atau shalat jamaah
karena adanya faktor sakit

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesmpulan

Permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari- hari ragam


macamnya. Tentunya ini mengharuskan supaya didapati jalan keluar terhadap jalan
penyelesaiannya. Maka disusunlah suatu kaidah secara umum yang diikuti cabang-
cabang secara lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan kaidah
tersebut. Adanya kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap
pemecahan permasahalan yang muncul ditengah- tengah kehidupan.

Maka, hendaklah seorang muslim memahami secara baik tentang konsep


disiplin ilmu ini karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum Islam.
Masih jarang diantara kaum muslim yang memahami secara baik tentang pedoman
penyelesaian hukum Islam. Menjadi kewajiban sebagai seorang muslim untuk lebih
memahami dan meyikapi persoalan hukum dalam Islam karena proses kehidupan
tidak terlepas dari kegiatan hukum.

9
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Al-Nadwi, Al-Qawa'id Al-Fiqhiyah, Beirut: Dar al-Qalam, 2000.
Ahmad Djazuli, Fiqh Siyasah, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Ahmad Djazuli, Hukum Perdata Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Ahmad Djazuli, Ilmu Fiqih: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,
Jakarta: Prenada Media. 2005.
Ahmad Djazuli, Kaidah-kaidah FIKIH. Jakarta: KENCANA, 2017
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya:Penerbit
Pustaka Progressif, 1997.
Asymuni A. Rahman. Qaidah-gaidah Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Muchlis Usman, Kaidah- Kaidah Istinbat Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002. Muchlis Usman, Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah
Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1993.
Muhamad Mas'udi Zein. Sitematika Teori Hukum Islam (Qawa'id Fiqhiyyah), Jawa
Timur: Al-Syarifah Al-Khadizah, 2006.

10

Anda mungkin juga menyukai