Anda di halaman 1dari 11

Taufiq Akbar Wardiana

Magister Ekonomi Syariah


Universitas Islam Bandung

KAIDAH AL-MASYAQQOTU TAJLIBUT TAISIR

A. Definisi, Kualifikasi, dan Sebab Masyaqqah

Al-masyaqqoh menurut ahli bahasa (etimologi) adalah al-ta’ab, yaitu kelelahan, kepayahan,
kesulitan, dan kesukaran, seperti yang pernah kita temukan dalam Qs An-Nahl 7:

‫وتحمل أثقالكم إلى بلد لم تكون بالغيه إال بشق األنفس‬

“Dan ia memikul beban-bebanmu kesuatu negeri yang tidak sampai ketempat tersebut kecuali
dengan kelelahan diri (kesukaran)”

Sedangkan Al-Taysir menurut ahli bahasa adalah kemudahan, seperti yang terkandung dalam hadits
berikut ini :

‫الدين يسر أحب الدين إلى هللا الحنيفة للسمحة‬

“Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah” (HR.
Bukhari dari Abu Hurairah)

Kaidah ini setidaknya terdiri dari 7 macam :

1. Sedang dalam safar, yaitu boleh qasar sholat, buka puasa, dan meninggalkan sholat jumat
2. Keadaan sakit. Antara lain boleh tayammum jika sulit memakai air, sholat fardhu bisa sambil duduk,
berbuka puasa ramadhan dengan kewajiban meng-qadhanya setelah sehat, ditundanya pelaksanaan
had sampai terpidana sembuh, wanita yang sedang menstruasi.
3. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya. Setiap akad yang
dilakukan dalam keadaan terpaksa tidak sah seperti jual beli, gadai, sewa menyewa, karena
bertentangan dengan prinsip ridha
4. Lupa (Al-nisyan). Lupa makan saat puasa, lupa membayar hutang tidak diberi sanksi (tidak pura-
pura lupa)
5. Al-jahl atau ketidaktahuan. Orang yang baru masuk islam karena tidak tahu, kemudian makan
makanan yang diharamkan. Ada kaidah lain bahwa ketidaktahuan tentang hukum tidak bisa diterima
di negeri muslim.

‫ال يقبل يي دار اإلسالم العذر بجهل األحكام‬


6. Umum Al-balwa, misalnya kebolehan bai al-salam (uangnya dahulu, barangnya belum ada).
Kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya demi untuk mengobati, percikan air dari tanah
yang mengenai sarung untuk shalat.
7. Kekurangmampuan bertindak hukum (al-naqsh), misalnya anak kecil, orang gila, orang mabuk.

Pembagian Kaidah Al-Masyaqqoh:


1. Al-Masyaqqoh Al’adzimah, kesulitan yang sangat berat. Yaitu kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan
atau rusaknya anggota badan. Contoh: pengobatan yang harus terbuka aurat demi keselamatan
nyawa
2. Al-Masyaqqoh Al-Mutawassithoh, kesulitan yang pertengahan, ia tidak terlalu berat tapi juga tidak
ringan. Masyaqqah semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang
sangat berat, maka ada kemudahan di situ. Apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang ringan, maka
tidak ada kemudahan disitu
3. Al-Masyaqqah Al-Khafifah yaitu kesulitan ringan yang bisa diatasi tanpa mengurangi pelaksanaan
ibadah tersebut. seperti terasa lapar waktu puasa, terasa capek waktu tawaf dan sa’i, terasa pening
waktu rukuk dan sujud, dan lain sebagainya

B. Rukhsah, Takhfif, dan Azimah

Rukhshah

Secara bahasa rukhshah adalah ‫هولة‬55‫ر والس‬55‫اليس‬yang berarti keringanan dan kemudahan.
Sebagaimana yang terdapat dalam ungkapan ‫رخص لنا الشارع في كذا ترخيصا‬. (Abdul Karim bin
Ali bin Muhammad al-Namlah: 2001, 11)

Secara Istilahi ada beberapa defenisi yang diberikan oleh ulama ushul tentang rukhshah, diantaranya:

1. Menurut Ulama Syafi’iyyah. Rukhshah adalah: (Wahbah Al-Zuhaily: 1996; 110)

‫هي الحكم الثابت على خالف الدليل لعذر‬

2. Menurut Al-Thufi Rukhshah adalah: (Abdul Karim bin Ali bin Muhammad al-Namlah: 2001, 31)

‫ما ثبت على خالف دليل شرعي لمعارض راجع‬

Dari dua defenisi di atas dapat dipahami bahwa Rukhshah adalah ketetapan hukum yang menyalahi
atau berbeda dari hukum yang ditetapkan secara kulli atau dalam istilah ushul disebut dengan
‘azimah. Rukhshah lebih bermakna adanya pengecualian dari hukum-hukum yang ditetapkan secara
global dan berlaku umum

‘Azimah

Secara bahasa ‘Azimah adalah ‫( القصد المؤكد‬kehendak untuk mengokohkan) (Abdul Karim bin
Ali bin Muhammad al-Namlah: 2001, 46). Secara istilahi ‘Azimah adalah:

‫من شرع من االحكام الكلية ابتداء‬

Kata-kata ‫ ابتداء‬dalam defenisi diatas mengandung arti bahwa pada mulanya pembuat hukum
bermaksud menetapkan hukum kepada hamba-Nya yang tidak didahului oleh hukum yang lain.
Seandainya ada hukum yang mendahuluinya maka hukum tersebut telah di nasakh. Dengan demikian
hukum ‘Azimah berlaku sebagai hukum pemula dan sebagai pengantar kepada kemaslahatan yang
umum. Contoh : Azimah dari Sholat adalah berdiri mau dalam keadaan apapun, azimah daging babi
bagaimanapun adalah haram hukumnya.

Takhfif

Takhfif adalah salah satu bentuk dari Rukhshah, terdiri dari beberapa bagian :

1. ) Takhfif isqath. Yaitu Rukhshah yang berbentuk menggugurkan kewajiban. Contohya boleh
meninggalkan shalat jumat, haji, umrah dan jihad. Semua perbuatan itu tidak dapat dilakukan jika
terdapat uzur dengan ketentuan ketentuan tertentu.

2. ) Takhfif tanqish. Yaitu Rukhshah yang berupa pengurangan kuantitas pekerjaan. Contohnya
seperti kebolehan mengqasar shalat bagi musafir.

3. ) Takhfif ibdal. Yaitu Rukhshah yang berbentuk penggantian kewajiban. Contohnya mandi dan
wudhu diganti dengan tayamum. Kewajiban berdiri dalam shalat dapat di ganti dengan duduk,
berbaring dan dengan isyarat. Begitu juga kewajiban memerdekan budak dalam kaffarat dapat diganti
dengan puasa dua bulan berturutturut dan memberi makan fakir miskin. Kewajiban mengganti puasa
bagi orang yang sudah tua yang tidak mampu berpuasa dapat diganti dengan membayar fidyah.

4. ) Takhfif taqdim. Yaitu Rukhshah dalam bentuk mendahulukan kewajiban. Contohnya membayar
zakat fitrah pada awal Ramadhan padahal waktu wajibnya adalah ketika akhir Ramadhan.
Mengerjakan shalat Asar pada waktu Dzuhur dalam jamak taqdim, juga membayarkan zakat maal
sebelum haulnya.

5. ) Takhfif Ta’khir. yaitu Rukhshah berupa penundaan kewajiban. Seperti penangguhan puasa
Ramadhan ke waktu sesudahnya, melaksanakan shalat Dzuhur pada waktu Ashar.

6. ) Takhfif tarkhis. Yaitu Rukhshah berbentuk peringanan. Rukhshah berbentuk peringanan.


Contohnya diperbolehkan memakan bangkai saat kelaparan, berobat dengan obat-obatan atau
makanan yang najis atau haram, dan meminum khamar bagi orang yang tersekat tenggorokannya.
Seluruh jenis rukhshah ini dapat dilakukan jika sudah menjadi keharusan dan satu-satunya jalan bisa
ditempuh untuk menyelamatkan penderita.

7. ) Takhfif taghyir. Yaitu Rukhshah dalam bentuk mengubah kewajiban. Contohya cara shalat dalam
kondisi peperangan, shalat dalam kondisi ini bisa dilakukan sesuai kemampuan dan gerakan yang
mungkin bisa dilakukan. (Amir Syarifuddin, 2000: 326, Abdul Haq, 2006: 183-185)

C. Hukum, Bentuk, dan Objek Rukhsoh

Ulama Hanafiyah membagi hukum Rukhshah kepada empat bagian:

1. ) Kebolehan melakukan perbuatan yang diharamkan karena kondisi darurah atau hajah. Contohnya:
kebolehan mengucapkan kata-kata kufur tetapi hati tetap dalam keimanan jika berada kondisi
terpaksa seperti akan dibunuh. Atau kebolehan memakan bangkai dalam kondisi sangat lapar serta
kebolehan meminum khamar dalam kondisi sangat haus.

2. ) Kebolehan meninggalkan yang wajib apabila pelaksanaannya amat berat karena adanya kesulitan.
Contohnya boleh berbuka puasa Ramadhan bagi orang yang sakit dan musafir. Kondisi sakit dan safar
tidak mewajibkan berbuka. Demikian juga dengan mengqasar salat yang empat rakaat ketika dalam
perjalanan dan menyapu sepatu ketika berwudhu.

3.) Kebolehan melakukan akad atau melakukan sesuatu yang dibutuhkan manusia dengan menyalahi
kaidah-kaidah yang bersifat umum. Seperti akad salam dan ijarah.

4.) Kebolehan meninggalkan syariat umat sebelum kita karena jika tidak ditinggalkan akan
menimbulkan kesulitan. Contohnya membayar zakat 25% dari harta, bunuh diri sebagi cara untuk
taubat, memotong pakaian yang terkena najis sebagai cara untuk membersihkannya. Bila
diperhatikan keringan hukum dalam hal ini dibandingkan yang berlaku sebelum ini lebih tepat disebut
nasakh, meskipun demikian dalam pengertian luas dapat juga disebut Rukhshah. Wahbah alZuhaily,
1996: 112-114, Abdul Aziz Dahlan (Ed), 1993:157-158, Amir Syarifuddin, 2000: 324-326, Mukhtar
Yahya, dkk, 1997: 151- 152)

Bila dilihat dari sisi bentuk bentuk keringanan yang terdapat dalam rukhshah maka rukhshah
terbagi kepada beberapa bentuk, di antaranya:

- Rukhshah yang berbentuk menggugurkan kewajiban (Takhfif isqath): Contohya boleh meninggalkan
shalat jumat, haji, umrah dan jihad. Semua perbuatan itu tidak dapat dilakukan jika terdapat uzur
dengan ketentuanketentuan tertentu.

- Rukhshah yang berupa pengurangan kuantitas pekerjaan (Takhfif tanqish): Contohnya seperti
kebolehan mengqasar shalat bagi musafir.
- Rukhshah yang berbentuk penggantian kewajiban (Takhfif ibdal): Contohnya mandi dan wudhu
diganti dengan tayamum. Kewajiban berdiri dalam shalat dapat di ganti dengan duduk, berbaring dan
dengan isyarat. Begitu juga kewajiban memerdekan budak dalam kaffarat dapat diganti dengan puasa
dua bulan berturutturut dan memberi makan fakir miskin. Kewajiban mengganti puasa bagi orang
yang sudah tua yang tidak mampu berpuasa dapat diganti dengan membayar fidyah.

- Rukhshah dalam bentuk mendahulukan kewajiban (Takhfif taqdim): Contohnya membayar zakat
fitrah pada awal Ramadhanpadahal waktu wajibnya adalah ketika akhir Ramadhan. Mengerjakan
shalat Asar pada waktu Dzuhur dalam jamak taqdim, juga membayarkan zakat maal sebelum haulnya.

- Rukhshah berupa penundaan kewajiban (Takhfif Ta’khir): Seperti penangguhan puasa Ramadhan
ke waktu sesudahnya, melaksanakan shalat Dzuhur pada waktu Ashar.

- Rukhshah berbentuk peringanan (Takhfif tarkhis): Rukhshah berbentuk peringanan. Contohnya


diperbolehkan memakan bangkai saat kelaparan, berobat dengan obat-obatan atau makanan yang
najis atau haram, dan meminum khamar bagi orang yang tersekat tenggorokannya. Seluruh jenis
rukhshah ini dapat dilakukan jika sudah menjadi keharusan dan satu-satunya jalan bisa ditempuh
untuk menyelamatkan penderita.

- Rukhshah dalam bentuk mengubah kewajiban (takhfif taghyir): Contohya cara shalat dalam kondisi
peperangan, shalat dalam kondisi ini bisa dilakukan sesuai kemampuan dan gerakan yang mungkin
bisa dilakukan. (Amir Syarifuddin, 2000: 326, Abdul Haq, 2006: 183-185)

Dalam perspektif fiqh sering ditegaskan bahwa setiap ada masyaqqah akan mendapat
rukhshah, tetapi tidak semua orang bisa mendapatkan rukhshah. Ada kategori yang bisa mendapat
rukhshah:

a. Ikrah ( pemaksaan)

Terpaksa yang dimaksud disini adalah menghendaki orang lain melakukan tindakan yang
bertentangan dengan keinginannya, atau dalam defenisi lain menyuruh orang lain untuk melakukan
perbuatan tertentu, sekaligus memberikan ancaman yang sangat mungkin untuk dijatuhkan sehingga
orang dipaksa mengalami ketakutan. Untuk sahnya sesuatu pekerjaan dapat dikategorikan terpaksa
maka ulama ushul memberikan berapa syarat yaitu:
1. Pemaksa mampu merealisasikan ancamannya, baik melalui sarana kekuasaan atau intimidasi.
2. Orang yang dipaksa tidak mampu menolak dengan cara apapun.
3. Orang yang dipaksa menduga kuat jika dia menolak maka ia akan melaksanakan ancamannya.
4. Objek paksaan adalah sesuatu yang diharamkan dan mengakibatkan kerusakan. (Muhammad Abu
Zahrah, t. th: 321, Amir Syarifuddin, 2000: 380, Abdul Haq, 2006: 186)

Kalangan ulama hanafiyah secara kualitatif membagi jenis paksaan dalam dua bentuk yaitu,
pertama; Ikrah Mulja’· yaitu suatu paksaan yang tidak mungkin melepaskan diri dari ancaman. Jenis
ancamannya berupa pembunuhan dan pemotongan tubuh. Kedua: ikrah Ghairu Mulja’, yaitu suatu
paksaan yang seseorang dapat menghindarkan diri dari paksaan tersebut, dalam artian bukan paksaan
dengan ancaman pembunuhan atau pemotongan anggota tubuh. Barangkali hanya dalam bentuk
pemukulan, pemenjaraan, perampasan harta benda. (Wahbah al-Zuhaily, 1996: 187, Abdul haq, 2006:
187)

Kalangan ulama Syafi’iyyah lebih sederhana membagi ikrah kepada dua jenis yang
mempunyai konsekwensi hukum yang berbeda. Pertama: ikrah bi al-haq (paksaan yang dibenarkan)
contohnya pemaksaan terhadap orang yang berhutang untuk menjual barang-barangnya agar dapat
melunasi hutangnya. Kedua; ikrah bi ghair al-haq (paksaan tanpa alasan yang benar) dalam hal ini
terbagi kepada dua yaitu: ikrah yang haram seperti membunuh dan berzina, kemudian ikrah yang
mubah memaksa seorang merusak harta orang lain. (Abdul haq, 2006: 188)

Dari beberapa penjelasan di atas dapat dipahami bahwa obyek paksaan dalam bentuk
membunuh dan berzina tetap diharamkan apapun kondisinya. Karena ini sangat terkait dengan
memelihara jiwa dan keturunan. Berbeda dengan paksaan seperti merusak harta orang lain,
meminum khamar dan memakan bangkai dalam hal ini keterpaksaan masih mendapat Rukhshah.

b. Nisyan (Lupa)

Nisyan (lupa) adalah tidak mampu menampilkan sesuatu dalam ingatan pada waktu
diperlukan. Ketidakmampuan ini menyebabkan tidak ingat akan beban hukum yang dipikulkan
kepadanya. Berkaitan dengan masalah rukhshah dan konseksekwensi hukumnya, nisyan dipilah
kepada tiga bagian:

1. ) Jika lupa dalam bentuk meninggalkan suatu kewajiban, maka hakikatnya kewajiban tersebut
belum gugur
2. ) Apabila lupa adalah melakukan suatu larangan, maka akan menimbulkan dua akibat: pertama;
jika berhubungan dengan perusakan harta benda maka tidak berdosa tetapi wajib membayar ganti
rugi. Kedua; jika tidak berkaitan dengan ganti rugi maka tidak ada dosa dan ganti rugi.

3. ) Lupa terjadi pada sesuatu yang berakibat fatal, seperti hukuman dera, maka dalam kondisi ini
lupa dianggap sebagai sesuatu yang subhat sehingga tidak dapat diterapkan hukuman. (Abdul haq,
2006:189)

c. Jahl (tidak tahu)

Ketidaktahuan adalah suatu hal yang sangat dilematis. Pada satu sisi Islam sangat
membencinya tetapi ia selalu ada. Karena itu, syariat yang mulia tidak serta merta menafikannya
tetapi memberikan klasifikasi pada aspek-aspek mana saja mendapatkan rukhshah.

Selanjutnya ulama ushul membagi ketidaktahuan kepada empat bagian:

1. ) Ketidaktahuan tentang hukum yang pelakunya tidak diberi uzur atau Rukhshah. Contohnya
murtad setelah masuk Islam

2. ) Ketidaktahuan yang pelakunya diberi keringanan, karena ketidak tahuannya tersebut berada
dalam hal-hal yang meragukan dari segi dalil hukum. Contohnya tidak tahu dalam masalah-masalah
yang pemahamannya memerlukan tafsir dan ta’wil. Ketidak tahuan tentang ta’wil tersebut maka
meyebabkan pelakunya menjadi kafir, maka tidak tahu dalam hal ini dapat dikategorikan rukhshah.

3. ) Ketidaktahuan dalam lapangan ijtihad. Dalam hal ini ada tiga bentuk; pertama, tidak tahu dalam
hal hukum yang memiliki dua dalil, kedua, tidak tahu tentang sebab yang menimbulkan larangan,
ketiga, tidak tahu tentang hukum yang dalil-dalil hukumnya itu berbeda.

4. ) Ketidaktahuannya karena berada di luar lingkungan Islam.(Muhammad Abu Zahrah, t. th: 315,
Wahbah al-Zuhaily, 1996: 177-178, Amir Syarifuddin, 2000: 377)

d. Safar (perjalanan)

Bepergian atau melakukan perjalanan sudah merupakan suatu kebutuhan bagi manusia.
Walaupun tidak masuk kategori primer bisa dikatakan ‘semi primer’. Dalam keadaan tertentu
terkadang perjalanan tersebut mengakibatkan kesulitan untuk melaksanakan kewajiban agama.

Pada dasarnya kesulitan dalam perjalanan tidak menghilangkan kecakapan untuk berbuat
hukum. Tetapi syariat yang mulia ini memberikan kemudahan (rukhshah) dalam perjalanan. Di antara
kemudahan (rukhshah) dalam perjalanan adalah: bolehnya menqasar shalat yang empat rakaat, boleh
berbuka puasa Ramadhan, bolehnya menyapu sepatu lebih dari malam, bolehnya meninggalkan
shalat jumat dan mengganti dengan salat zuhur, bolehnya menjama’ sholat, bolehnya memakan
bangkai dan sesuatu yang diharamkan, serta gugurnya kewajiban salat yang telah dilakukan walaupun
bersuci dengan tayamum. (Abdul haq, 2006: 192, Amir Syarifuddin, 2000: 384)
e. Maradl (sakit)

Sakit adalah sesuatu yang manusiawi yang dirasakan hampir bahkan seluruh manusia. Tetapi
yang menjadi persoalan apakah sakit menggugurkan beban hukum atau tidak. Berbicara tentang sakit
disini adalah terkait dengan penyakit yang menyulitkan seseorang untuk melaksanakan kewajibannya,
karena ternyata keadaan sakit tidak menghilangkan kecakapan dalam berbuat hukum. Karena cakap
terkait dengan akal.

Sementara orang yang sakit akalnya masih tetap utuh. Syariat yang mulia memberikan
keringanan kepada orang-orang yang sakit dalam menjalankan kewajibannya. Tetapi tidak semua
jenis penyakit mendapat keringanan dalam hukum. Karena itu fuqaha memberikan batasan bahwa
sakit yang mendapat keringanan adalah sakit yang membahayakan dirinya jika ia melakukan
kewajiban syariat sesuai dengan ketentuan umum yang berlaku. Contohya orang yang sakit boleh
berbuka puasa Ramadhan, boleh mengganti wudhu dengan tayammum, boleh duduk dalam shalat
atau berbaring, dan juga berobat dengan sesuatu yang najis.

f. Al’usr(kesulitan)

Kehidupan manusia tidak akan lepas dari keadaan yang mengharuskannya melakukan
pilihan-pilihan yang serba sulit dan dilematis. Hal ini pasti akan terjadi dalam dinamika kehidupan
sehari-hari. Hukum Islam bukanlah hukum yang ekstrim, hukum Islam memiliki elastisitas hukum yang
disesuaikan dengan konteks permasalahan yang terjadi.

Contohnya ketika turun hujan, biasanya percikan air akan bercampur dengan najis dan hal ini
sangat sulit untuk dihindarkan. Namun karena percikan ini timbul dari keadaan yang sulit untuk
dihindari maka hukumnya dimaafkan. Demikian juga dengan hal lain seperti darah bisul, lalat, jerawat
adalah hal yang sangat sulit untuk dihindari karena kadarnya sedikit sehingga kondisi ini masuk
kategori yang dimaafkan. (Abdul haq, 2006: 191)

g. Naqish (nilai minus)

Yang termasuk dalam kategori ini adalah anak-anak, orang gila, idiot (safih), dan hamba
sahaya. Ketidaksempurnaan yang dimaksud bukan berati cacat badan atau minusnya intelektualitas
melainkan nilai minus yang bersifat insting psikologis ( tabiat Kejiwaan).

Anak kecil, idiot dan orang gila nilai minusnya terletak pada daya pikir yang kurang memadai
dibanding daya nalar orang normal dan dewasa. Sementara nilai minus hamba sahaya terletak pada
kedudukannya yang masih berada di bawah kekuasaan orang lain. Syariat memberikan rukhshah bagi
mereka dalam pelaksanaan hukum. (Abdul haq, 2006: 194)

D. Kaidah-kaidah turunan

Kaidah-kaidah turunan yang dibahas pada artikel ini terbatas pada kaidah-kaidah khusus di
bidang Ibadah Mahdhah

Yang dimaksud dengan ibadah mahdhah adalah hubungan manusia dengan Tuhannya, yaitu
hubungan yang akrab dan suci antara seorang muslim dengan Allah SWT yang bersifat ritual
(peribadatan) seperti sholat, zakat, puasa, dan haji.

Kaidah fikih di bidang ini memiliki ciri khas tersendiri yang pada prinsipnya bahwa Allah tidak
bisa disembah kecuali dengan cara-cara yang telah ditentukan. Selain itu, di bidang ibadah ini harus
dilakukan dengan ekstra hati-hati, karena hubungan muslim dengan Allah memberikan kepuasan
batin, dan kepuasan batin hanya bisa dicapai dengan melakukan peribadatan secara benar, baik, dan
hati hati.

Banyak kaidah yang berhubungan dengan bidang fikih ibadah mahdhah, diantaranya :
1.

5‫االصل فى العبادة التوقيف واالتباع‬

“Hukum asal dalam ibadah adalah menunggu dan mengikuti tuntunan syariah”

Maksud kaidah ini adalah dalam melaksanakan ibadah mahdhah, harus ada dalil dan
mengikuti tuntunan. Selain itu, ada juga yang menggunakan kaidah :

‫االصل في العبادة البطالن حتي يقوم الدليل على االمر‬

“Hukum asal dalam ibadah mahdhah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya”

Kedua kaidah ini mengandung substansi yang sama, yaitu apabila kita melaksanakan ibadah
mahdhah harus jelas dalilnya, baik dari Al-Quran dan Al-Hadits Nabi. Sebab, ibadah mahdhah itu tidak
sah apabila tanpa dalil yang memerintahkannya atau menganjurkannya.

2.

‫طهارة االحداث التتوقت‬

“Suci dari hadas tidak ada batas waktu”

Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang telah suci dari hadas besar dan atau kecil, maka
dia tetap dalam keadaan suci sampai ia yakin batalnya baik dari hadas besar atau kecil.

3.

‫التلبس بالعبادة وجب اتمامها‬

“Percampuran dalam ibadah mewajibkan menyempurnakannya”

Yang dimaksud percampuran (al-talabus) adalah ada dua macam kemungkinan, yaitu
menyempurnakan ibadah atau berpindah kepada keringanan (rukhshah). Al-talabus ini menyebabkan
keserupaan, kebingungan dan kesulitan. Kaidah diatas menjelaskan bahwa dalam keadaan demikian
wajib menyempurnakannya.

Contohnya: apabila seseorang telah berniat untuk melaksanakan puasa ramadhan, kemudian
pada siang harinya dia mendadak harus bepergian jauh, apakah dia harus menyelesaikan puasanya
ataukah dia harus membatalkannya dengan alasan bepergian? Berdasarkan kepada kaidah di atas,
orang tersebut harus menyempurnakan puasanya, tidak boleh membatalkan puasanya. Apabila kita
kembalikan kasus tersebut kepada kaidah asasi “Al-Masyaqqatu Tajlibut Taisir” atau “al-dhararu
yuzal”, maka yang menyebabkan bolehnya membatalkan puasa adanya kesulitan atau kemudharatan,
seperti sakit atau bepergian jauh yang membawa kesulitan atau kemudharatan. Oleh karena itu,
apabila dalam bepergian tidak menyulitkan dan tidak memudharatkan, maka dia harus
menyempurnakan puasanya, sesuai dengan kaidah diatas.

4.

‫ال قياس فى العبادة غير معقل المعني‬

“Tidak bisa digunakan analogi (qiyas) dalam ibadah yang tidak bisa dipahami maksudnya”

Sudah barang tentu kaidah tersebut tidak akan disepakati oleh seluruh ulama, karena
masalah penggunaan qiyas sendiri tidak disepakati. Yang menyepakati adanya qiyas pun, dalam
menggunakannya ada yang menerapkannya secara luas, seperti pada umumnya madzhab Hanafi. Ada
pula yang menggunakan seperlunya.
Kaidah tersebut di atas membatasi penggunaan analogi dalam ibadah, hanya untuk kasus-
kasus yang bisa dipahami maknanya atau ‘illat hukumnya. Untuk kasus-kasus yang tidak bisa dipahami
‘illat hukumnya, tidak bisa dianalogikan. Contohnya, cara-cara sholat gerhana matahari atau gerhana
bulan tidak bisa diketahui ‘illat hukumnya. Oleh karena itu, ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah
melaksanakannya sebagai ta’abbudi. Kasus lainnya adalah tentang zakat tanaman yang bersifat
ta’aqquli, artinya bisa dipahami maksudnya. Meskipun kemudian dalam memahaminya, ulama
berbeda pendapat. Menurut madzhab Syafi’I, zakat tanaman yang wajib dikeluarkan adalah yang
menjadi makanan pokok dalam negeri. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, zakat tanaman yang wajib
dikeluarkan adalah tanaman yang bisa berkembang dan menghasilkan.

5.

‫تقديم العبادة قبل وجود سببها ال يصح‬

“Tidaklah sah mendahulukan ibadah sebelum ada sebabnya”

Contoh kaidah ini adalah tidak sah shalat, haji, puasa Ramadhan sebelum datang waktunya.
Kekeculiannya apabila ada cara-cara lain yang ditentukan karena ada kesulitan atau keadaan darurat,
seperti jama taqdim, misalnya melakukan shalat ashar pada waktu Zuhur.

6.

‫كل بقعة صحت فيها النافلة على االطالق صحت فيها الفريضة‬

“Setiap tempat yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak, sah pula digunakan shalat
fardhu”.

Contohnya sah shalat sunnah di Ka’bah, di Hijir Ismail, atau di Makam Ibrahim, maka sah pula
untuk digunakan shalat fardhu.

7.

‫االيثار فى القرب مكروه و في غيرها محبوب‬

“Mengutamakan orang lain pada urusan ibadah adalah makruh dan dalam urusan selainnya adalah
disenangi”

Kaidah ini banyak digunakan di kalangan ulama-ulama Syafi’iyyah. Contohnya,


mengutamakan orang lain pada shaf (barisan) pertama dalam shalat adalah makruh. Mendahulukan
orang lain dalam bersedekah daripada dirinya. Mendahulukan orang lain dalam menutup aurat
daripada dirinya sendiri. Akan tetapi, dalam masalah-masalah keduniaan, mendahulukan orang
daripada dirinya sendiri adalah disenangi. Misalnya, mendahulukan orang lain dalam membeli barang
dagangan daripada dirinya sendiri.

8.

‫الفضيلة المتعلقة بنفس العبادة اولى من المتعلقة بمكانها‬

“Keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan
tempatnya”.

Contohnya, shalat sendirian di lingkungan Ka’bah adalah lebih utama daripada di luar
lingkungan Ka’bah. Akan tetapi, apabila shalat di luar lingkungan Ka’bah ini berjamaah, maka lebih
utama daripada shalat sendirian di lingkungan Ka’bah. Demikian pula halnya, shalat sendirian di dalam
masjid lebih utama daripada di luar masjid. Akan tetapi shalat berjamaah di luar masjid lebih utama
dari shalat sendirian di dalam masjid. Dan masih banyak lagi kaidah-kaidah lain yang merupakan
cabang dari ibadah mahdhah.

E. Aplikasi dalam hukum Ekonomi Syariah/Perbankan Syariah

Berkaitan dengan implementasi kaidah masyaqqoh tajlibu at-taisir dalam perkonomian Islam
dan IJKS di Indonesia, setidaknya terdapat tujuh bentuk kemudahan yang dapat diaplikasikan,
diantaranya adalah:

1. Kategori mencapai kemudahan dengan penghapusan kesulitan. Dalam ketegori ini Islam wajibkan
untuk menghilangkan riba dari kegiatan muamalah keuangan dalam kehidupan sehari-hari. Riba dapat
dikategorikan sebagai hal yang membahayakan keberlangsungan ekonomi suatu negara karena
sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran bahwa orang-orang yang memakan riba bagaikan orang
yang kemasukan setan karena penyakit gila.Beriringan dengan itu, Ali Sakti menyatakan bahwa sejak
awal tahun 1990an dunia telah mengalami kurang lebih 20 kali krisis ekonomi akibat dari kegagalan
sistem perekonomian. Salah satu dari perbagai penyebab dari krisis ekonomi yang terjadi pada negara
negara dunia adalah masih suburnya sistem berbasis bunga. Oleh karena itu dengan adanya keadaan
dunia yang sering mengalami krisis diharuskan adanya solusi sistem perekonomian yang lebih mudah
dan aplikatif agar dapat terhindar dari terjadinya krisis ekonomi.

2. mencapai kemudahan dengan pengurangan kesulitan. Lembaga Keuangan Syariah (LKS) bank
memiliki setidaknya terdapat empat pola dalam pembiayaan pada bank Syariah, yaitu: Pertama, bagi
hasil untuk investment financing; kedua, pola jual beli untuk trading financing; ketiga, pola sewa
untuk trade financing dan; keempat, pola pinjaman untuk dana talangan. Bank Syariah melakukan
fungsinya sebagai intermediasi dalam perhimpunan dan penyaluran dana dengan prinsip syariah.
Dalam proses penyaluran dana dari bank kepada nasabah, pihak perbankan akan meminta kepada
calon nasabah pembiayaan untuk melangkapi syarat yang telah ditetapkan oleh perbankan. Setelah
proses kelengkapan berkas oleh calon nasabah akan dilakukan screening serta akan diwawancara,
rangkaian tersebut kemudian akan diputuskan oleh pihak perbankan berapa besaran dana yang
kemudian layak untuk diberikan kepada calon nasabah tersebut. Dalam konteks masyaqqoh tajlibu
taisir, apabila dalam tahapan proses yang dilakukan oleh pihak bank dan dalam pertimbangan pihak
bank bahwa calon nasabah tersebut akan menimbulkan kesulitan perbankan dan mengakibatkan
kerugian, maka pihak perbankan harus mengambil jalan yang lebih mudah untuk menghidari kesulitan
tersebut. Sebagai contoh dengan pertimbangan bank untuk mengurangi porsi pembiyaan yang
diajukan oleh calon nasabah untuk memperkecil tingkat kerugian yang kemudian akan terjadi.

3. mencapai kemudahan dengan penggantian kesulitan. Dalam dunia perbankan baik syariah maupun
konvensional sudah sangat akrab dengan pembiayaan bermasalah (Non-Performing Financing/NPF).
Berbagai cara yang dilakukan oleh pihak perbankan untuk mereduksi kemungkinan terjadinya moral-
hazard dalam pembiayaan. Diantara yang dilakukan oleh LKS adalah screening, monitoring, collateral
bahkan hukuman pinalti bagi yang terindikasi pembiayaan bermasalah. Sebagaimana yang dilakukan
oleh perbankan Malaysia yang memberi hukuman kepada mereka yang masuk dalam kategori
pembiayaan bermasalah. Dilain pihak, LKS di Indonesia terutama Lembaga Keuangan Mikro Syariah
(LKMS), dalam konteks aktualisasi kaidah masyaqqoh tajlibu taisir apabila terjadi pembiayaan
bermasalah yang dilakukan oleh nasabah sehingga merugikan operasional LKMS, maka LKMS tersebut
memberikan solusi dengan merestukrusisasi akad kontrak. Restrukturisasi akad ini bertujuan
menghilangkan akad lama yang menyulitkan nasabah dengan menggantinya dengan skema akad
kontrak yang cenderung lebih aplikatif bagi nasabah.

4. mencapai kemudahan dengan pendahuluan. Dalam konteks perekonomian Indonesia khususnya


dunia Industri Jasa Keuangan Syariah (IJKS) terdapat lembaga yang dikenal dengan takaful. Takaful
berasal dari kata Kafalah dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab seseorang yang dijamin
dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Konsep takaful mendapatkan
peranan yang sangat signifikan dalam menjaga keberlangsungan kehidupan di dunia maupun di
akhirat baik dari kebutuhan individu, keyakinan, kehidupan, kesehatan dan dari hal-hal yang tidak
diketahui. Dalam praktik takaful, perusahaan takaful akan mengumpulkan dana dari nasabah yang
kemudian dana tersebut didiversifikasi untuk investasi produktif dan sebagian lagi digunakan sebagai
cadangan apabila nasabah ada yang melakukan klaim. Kemudian, keuntungan dari investasi tidak
hanya dinikmati oleh perusahaan akan tetapi keuntungan tersebut kemudian akan dikembalikan
kepada nasabah. Dikarenakan takaful adalah lembaga pengumpulan dana kolektif untuk suatu tujuan
tertentu (jiwa, kesehatan, kebakaran dan bencana) dan ketika salah satu nasabah tertimpa
kemalangan maka dana tersebut digunakan untuk membantu nasabah klaim. Dalam konteks kaidah,
klaim nasabah yang mengalami kemalangan merupakan suatu kesulitan, sehingga dana perkumpulan
takaful dialokasikan terlebih dahulu kepada nasabah klaim dari pada yang tidak terkena kemalangan.
Dengan artian terdapat titik temu masyaqqoh tajlibu taisirdengan LKS takaful yaitu kemudahan yang
didahulukan untuk mengurangi atau menghindari kesulitan.

5. Mencapai kemudahan dengan pengakhiran. Sebagaimana disebutkan di atas tentang Non-


Performing Financing (pembiayaan bermasalah), tidak hanya terjadi dalam IJKS akan tetapi juga
terjadi dalam kehidupan muamalah sehari-hari. Ketidakmampuan seseorang untuk membayar hutang
kepada pemberi hutang dapat terjadi dikarenakan berbagai hal. Dalam keadaan ketidaksanggupan
membayar hutang ketika jatuh tempo dikarenakan kebutuhan doruri yang lebih mendesak, maka
Islam memperbolehkan untuk melakukan penagguhan pembayaran hutang tersebut. Maka
keterkaitan kaidah dengan masalah hutang ini adalah ketika sesorang yang terlilit hutang tidak
mampu untuk membayar ketika jatuh tempo dikarenakan kebutuhan doruri maka ia berhak untuk
mendapatkan penangguhan atau mengakhirkan pembayaran hutang tersebut, sehingga ia
mendapatkan kemudahan dalam penangguhan pembayaran hutang.

6. mendapatkan kemudahan dengan ruksah, perkembangan ekonomi Islam dunia ditandai dengan
diadakannya konferensi negera-negara Islam pada kisaran tahun 1970an dan pada saat yang tidak
telalu lama didirikan Islamic Development Bank (IDB). Sedangkan di Indonesia geliat pemikiran
tentang perekonomian Islam muncul pada dekade 1980an ditandai dengan berdirinya Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) di masjid Institut Teknologi Bandung (ITB) atas prakarsa para cendikiawan yang
tergabung dalam Ikatan Cendikiawan Muslim Indinesia (ICMI) di Bandung. Tidak berselang lama,
kemudian lahir perbankan syariah pertama yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992.
Berkaitan dengan adanya ruksah dalam kaidah masyaqqaoh tajlibu taisir, maka sebelum periode
tersebut, dibawah tahun 1980an ummat muslim di Indonesia diberikan ruksah untuk melakukan
transaksi pada perbankan konvensional yang berbasis riba dengan model akan kontrak apapun.
Keringanan yang diperoleh berupa ruksah ini sebabkan beberapa hal, seperti belum ada alternatif
umat muslim untuk bertransaksi keuangan pada bank syariah yang berbasis bagi hasil (Profit and Loss
Sharing). Kemudian keringanan yang diberikanuntuk menyimpan uang di bank konvensional agar
tidak timbul masalah apabila uang tersebut disimpan dirumah, misalnya terjadinya kasus pencurian.

7. adanya kemudahan dengan perubahan. Sebagaimana dijelaskan pada point ketiga tentang Non-
Performing Financing (NPF) yang terjadi pada nasabah perbankan syariah pada point ketujuh ini
memiliki kesamaan teknis dalam muamalah keuangan sehari-hari. Sebagai contoh apabila seorang
nasabah masuk dalam kategori NPF dimungkinkan bagi lembaga keuangan tersebut untuk merubah
skema akad kontrak antara nasabah dan bank apabila nasabah kesulitan untuk menyelesaikan akad
kontrak pertama. Oleh karena itu atas dasar menghilangkan kesulitan skema akan kontrak pertama
direkonsrtuksi ulang dengan skama yang lebih mudah dan tidak menimbul kesulitan bagi nasabah
untuk menyelesaikan pembiayaannya.Misalnya dengan memperpanjang jatuh tempo pembiayaan.

F. Daftar Pustaka

Sulastri Caniago, 2014. Azimah dan rukhshah suatu kajian dalam hukum islam,
Batusangkar

Prof. H. A. Djazuli, 2006. Kaidah-kaidah Fikih, Jakarta.


Eja Armaz Hardi, 2018. Kaidah al-masyaqqah tajlibu at-taisir dalam ekonomi islam,
Jambi.

https://media.neliti.com/media/publications/270184-azimahdanrukhshah-suatu-
kajian-dalam-huk-53f3a6ce.pdf

Anda mungkin juga menyukai