DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 2
MUHAMMAD HASBI NPM.467.2.18
SRI WAHYUNI NPM.480.2.18
Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah salah satu sunatullah yang umum berlaku pada semua mahluk Tuhan, baik
pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Allah swt berfirman:
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran
Allah.”
Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk
beranak pinak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya., setelah masing-masing pasangan
siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.
Allah swt berfirman:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak..” (QS. An-Nisa’ [4]: 1)
Manusia, demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliannya, Allah swt adakan hukum
sesuai yang dengan martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur
secara terhormat dan berdasarkan saling ridha meridhai, dan dengan upacara ijab qabul
sebagai lambang dari adanya rasa ridha meridhai tersebut.
Namun walaupun Allah swt menyunahkan kepada setiap manusia untuk menikah, disitu ada
aturan, dan batasan serta larangannya tersendiri. Allah swt menjelaskan dalam Firmannya :
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan saudara-
saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu
yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan…”
(Q.S. An-Nisa [4]: 23)
tidak semua yang wanita yang ada di dunia ini boleh untuk dinikahi (mahram) karena dengan
alasan-alasan tertentu. Untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini akan ditafsirkan surat An-nisa
tersebut yang menjelaskan wanita-wanita yang haram dinikahi.
B. Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
A . Ayat-Ayat Tentang Wanita Yang Haram Dinikahi
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian
dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan
keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS.
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu
mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya
kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?”
(QS. An-Nisa [4]: 20)
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. (QS. An-Nisa [4]: 20)
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. An-Nisa [4]: 21)
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan
Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu
untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri)
di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu
kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling
merelakannya, sesudah menentukan mahar itu[284]. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa [4]: 24)
Ayat-ayat dipermulaan surat an-Nisa ini, Allah melarang kita menirukan beberapa tradisi
jahiliyah perihal anak-anak yatim, hak anak yatim dan mengawini anak yatim tanpa mas
kawin. Juga kezaliman yang mereka lakukan dalam masalah warisan, dimana orang
perempuan dan anak kecil tidak diberi hak atas harta peninggalan, dengan alasan karena
mereka itu tidak dapat mempertahankan keluarga, tidak dapat memanggul senjata, dari
beberapa tugas sosial.
Maka ayat-ayat ini menerangkan satu macam lagi dari bentuk kezhaliman yang pernah
dialami oleh perempuan-perempuan jahiliyah.Itulah sebabnya, lalu Allah mengharamkan
semua itu dan memerintahkan untuk selalu berbuat baik terhadap perempuan, dengan
pergaulan dan persahabatan yang baik. Ia panggilnya kaum perempuan untuk menyadari
dirinya dari kezhaliman dan permusuhan yang nyata-nyata itu.
C. Asbabun Nuzul
2. Diriwayatkan, bahwa orang-orang jahiliyah dahulu, apabila ada seorang laki-laki yang
meninggal dunia, maka anak laki-lakinya dari perempuan lain atau walinya datang, lalu
mewarisi perempuan yang ditinggal mati suaminya itu, sebagaimana dia mewarisi hartanya.
Perempuan itu dilempari pakaian. Kemudian kalau ia mau, ia kawin sendiri dengan
mahar/mas kawin cukup dari suaminya yang pertama tadi, dan kalau mau, ia kawinkannya
dengan laki-laki lain sedang maskawinnya diambilnya. Begitulah, lalu cara-cara seperti itu
dilarang, yaitu dengan diturunkannya ayat (19) itu.
3. Diriwayatkan, bahwa Abu Qais bin Aslat ketika meninggal dunia, istrinya dipinang oleh
anaknya sendiri yaitu Qais. Lalu istri itu berkata : Engkau ku anggap sebagai anakku, dan
engkau adalah termasuk putera terbaik di kalangan kaummu. Tunggu dulu, aku akan datang
ketempat Rasulullah saw. Minta izin, seraya berkata : Kuanggap dia itu sebagai anak, maka
bagaimanakah pendapatmu ? Rasulullah saw. Menjawab : Kembalilah kerumah. Begitulah,
maka tidak lama kemudian turunlah ayat ‘’ Dan jangan kamu mengawini perempuan yan
pernah dikawini oleh ayah-ayahmu…’’(Ayat 22).
D. Tafsir Ayat
2. Dalam ayat 21 itu Allah menyebut “bercampur suami istri” dengan kinayah dengan
“satu sama lain sudah hidup bersatu”, adalah suatu kinayah (sindiran) yang halus sekali,
seperti kata: lamasa, massa, qaruba, dan ghasyia (menyentuh, meraba, mendekati, dan
menyelimuti). Semua itu adalah kinayah tentang bercampur. Ini memberikan didikan kepada
umatnya supaya membiasakan berlaku sopan dan berperangai dengan perangai Al-Quran.
Ibnu ‘Abbas mengatakan: Ifdha’ dalam ayat ini berarti jima’, tetapi Allah justru berbicara
dengan kinayah. sedang apa yang disebut “kinayah”, yaitu berbicara dengan cara yang tidak
terang-terangan.
Mendenagr khutbah itu, ada seorang perempuan berdiri seraya berkata: Hai ‘Umar! Allah
memperkenankan kepada kami begitu, tetapi justru engkau mengharamkanya? Bukankah
Allah telah berfirman: “…padahal kamu telah memberikan (maskawin) kepada seseorang
diantara mereka harta yang banyak… Maka janganlah kamu mengambil barang sedikit pun
dari padanya…”? Lalu ‘Umar berdiri lagi, seraya berkata: “Perempuan itu yang betul, ‘Umar
yang salah. Semua orang lebih mengerti dari padamu hai ‘Umar”, dan ia pun tidak
menyanggah bantahan perempuan tersebut.
4.Zamakhsyari berkata:
“Perjanjian yang keras itu ialah hak bersahabat dan tidur bersama. Disifatinya perjanjian itu
dengan keras, karena menunjukkan kuatnya dan besarnya perjanjian tersebut. Mereka
berkata: bersahabat 20 hari saja sudah menjadi kerabat, apabila persatuan dan percampuran
yang terjadi antara suami istri…”
Bersahabat satu hari, sudah menjadi nasab yang dekat serta tanggungan yang (hal itu) dikenal
oleh orang yang berfikir.
5.Ar-Razi berkata :
“Tingkat kejelekan itu ada tiga : kejelekan dalam akal, kejelekan dalam agama dan kejelekan
dalam tradisi. Maka perkataan “Sesungguhnya mengambil maskawin yang yelah diberikan
itu adalah suatu perbuatan yang keji’’ itu, berisyarat kepada kejelekan dalam akal. Sedang
perkataan “maqtan/dosa’’ itu menunjukkan kejelekan dalam agama, dan perkataan “dan jalan
yang jelek’’ itu menunjukkan kejelekan dalam tradisi. Kalau ketiga tingkatan kejelekan ini
sudah berkumpul menjadi satu, maka menunjukkan kejelekan yang luar biasa”..
Wanita-waanita yang haram dinikahi ada dua macam, yaitu: wanita haram dinikahi untuk
selamanya (tahrim muabad), maupun sementara (tahrim muwaqot).
Perempuan-perempuan yang haram dikawini untuk selamanya itu ada tiga macam:
Menurut isyarat ayat diatas, perempuan yang haram dikawini karena nasab itu ada 7
golongan, yaitu: ibu, anak, saudara, bibi dari bapak, bibi dari ibu, keponakan dari saudara
laki-laki, keponakan dari saudara perempuan. Semua ini haram dikawini untuk selama-
lamanya.
Termasuk ibu ialah nenek terus keatas, termasuk anak ialah cucu sampai kebawah, termasuk
saudara ialah sekandung, sebapak, dan seibu. Termasuk bibi ialah sampai keatas baik dari
ayah ataupun dari pihak ibu.
Yang haram karena susuan inipun ada tujuh orang, seperti yang berlaku pada haram karena
nasab. Ini didasarkan atas sabda Rasulullah saw. Sebagai berikut:
“Haram karena susuan, ialah apa-apa (perempuan) yang haram karena nasab.” (HR. Muslim)
Sedang dalam ayat diatas menyebutkan: Ibu dan Saudara. Ibu adalah pokok, sedangkan
saudara adalah cabang. Dari situ cobalah perhatikan yang menyangkut semua pokok dan
yang menyangkut semua cabang. Lalu hadist Nabi saw. Diatas menjelaskannya dengan nash
yang jelas dan tegas.
Dalam hadist yang shahih, tentang anak perempuannya Hamzah, oleh Rasulullah saw.
Dikatakan:
“Bahwa dia adalah anak perempuannya saudaraku sesusu.”
c. Yang haram karena semenda (perkawinan)
Yang haram karena semenda ini oleh ayat diatas disebutkan ada empat, yaitu:
a. Istrinya bapak, sebagaimana firman Allah: “dan janganlah kamu mengawini perempuan
yang pernah dikawini oleh bapak-bapakmu.”
b. Istri anak (menantu), sebagaimana difirmankan Allah: “dan istri-istrinya anak-anakmu
yang berasal dari sulbimu.”
c. Ibunya istri (mertua), sebagaimana difirmankan Allah: “dan ibu-ibunya istrimu.”
d. Anak perempuannya istri, apabila ibunya (istri) itu telah dicampuri, sebagaimana firman
Allah: “dan anak-anak perempuannya istrimu yang berada dipangkuanmu yang sudah kamu
campuri mereka itu. Tetapi jika belum kamu campuri mereka itu, maka tidak ada dosa atas
kamu.”
Yang pokok dalam masalah ini ialah: bahwa ibunya istri itu menjadi haram semata-mata
karena sudah ada aqad nikah dengan anaknya. Tetapi sebaliknya, si anak baru menjadi haram
karena ibunya sudah dicampuri, yaitu sebagaimana dikatakan oleh ayat diatas:”… yang kamu
telah campuri mereka itu”.
Dari sini para ‘ulama beristimbat, sehingga membuat suatu kaidah pokok:
“Aqad atas anak perempuan menyebabkan haramnya ibu. Sedangkan bercampurnya dengan
ibu menyebabkan haramnya anak.”
b. yang haram dikawini untuk sementara waktu (Tahrim Muwaqot)
Ayat Al-Quran diatas member isyarat akan adanya perempuan-perempuan yang haram
dikawini untuk sementara waktu. Mereka itu ada dua macam:
1. Memadu antara dua saudara,yaitu sebagaimana difirmankan Allah: “dan (haram atas
kamu) memadu antara dua saudara dengan bibinya, baik dari bapak ataupun dari ibu,”
Rasulullah saw bersabda:
“Dari Abu Hurairah: sesungguhnya Nabi saw. Melarang memadu seorang perempuan dengan
bibinya dari bapak dan antara perempuan dengan bibinya dari ibu.”
Adapun hikmahnya, sebagaimana diriwayatkan Ibnu ‘Abbas:
”Rasulullah saw. Melarang seorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan bersama bibi
dari bapak, atau bersama bibi dari ibu. Dan ia pun bersabda: sesungguhnya kamu jika
mengerjakan yang demikian itu, maka berarti kamu memutus kekeluargaanmu.
2. Kawin dengan istri orang lain atau perempuan yang masih dalam ‘iddah (dalam talak
raja’i) sebagai melindungi hak suami. Sebagaimana firman Allah:
Perempuan yang masih dalam ‘iddah (dalam talak raja’i) hukumnya sama dengan perempuan
yang masih bersuami, sebagaimana terdahulu dalam surat al-Baqarah, yaitu: “Dan jangan
kamu berazam untuk aqad nikah, hingga ketentuan (iddah) itu telah sampai pada waktunya”.
Disana telah kami terangkan juga segi hikmahnya.
Para ‘ulama berbeda pendapat tentang masalah seorang laki-laki yang berzina dengan ibunya
istri atau anaknya (anak tiri), apakah ini bisa menyebabkan haramnya perkawinan atau tidak?
Abu Hanifah dan dua orang rekannya berpendapat: menyebabkan haramnya perkawinan. Ini
adalah dua pendapat Tsauri, Auza’i, dan Qatadah.
Dan Syafi’i berpendapat: Tidak menyebabkan haramnya perkawinan. Sebab perbuatan haram
itu tidak dapat megharamkan yang halal. Ini, juga pendapat Laits, Zuhri, dan Madzhab Malik
dalam Muwath-tha’.
Adapun sebab terjadinya perbedaan pendapat itu, karena perbedaan dalam mengartikan kata
“nikah”, apakah dengan arti: setubuh ataukah sekedar aqad? Orang yang mengartikanya
“setubuh”, maka semata-mata setubuh menyebabkan haramnya perkawinan, sekalipun karena
berzina. Dan siapa yang mengartikan “aqad”, maka perzinaan itu tidak menyebabkan
haramnya perkawinan.
Hanafiah lebih condong kepada arti setubuh. Mereka mengatakan: Hakekat nikah itu ialah
setubuh. Sedangkan nikah dalam arti aqad, adalah majaz. Dan membawa kepada arti hakekat
lebih baik, sehingga ada dalil yang mengalihkan kepada arti majaz. Dan kalau diartikan
setubuh, maka tidak dibedakan antara setubuh yang halal dan setubuh yang haram.
Sedangkan Syafi’iyah lebih condong kepada arti aqad, seraya berkata: Diantara yang
menunjukkan kepada arti aqad itu, ialah dilihat dari segi analisa, bahwa Allah menjadikan
haramnya perkawinan karena semenda itu, adalah demi penghormatan kepada ibu,
sebagaimana halnya haramnya perkawinan karena nasab, adalah jugademi penghormatan
kepada nasab ini. Oleh karena itu, bagaimana mungkin zina itu dapat dijadikan sebagai
penghalang perkawinan, padahal dia adalah perbuatan yang jijik dan dosa.
Imam Syafi’I sendiri berkata dalam al-Umm: “Jika seorang laki-laki berzina dengan isteri
ayahnya (ibu tiri), atau dengan ibu isterinya (mertua), maka dia durhaka kepada Allah, tetapi
isterinya sendiri itu tidak menjadi haram atasnya, juga atas ayah dan anaknya. Sebab Allah
mengharamkan (sesuatu) dengan menghormat yang halal itu adalah untuk meninggikan
halalnya itu serta menambah ni’matyaapa yang dibolehkannya, di samping untuk menetapkan
hokum haram yang belum terjadi sebelumnya. Dan dengan itu Allah mewajibkan beberapa
kewajiban. Sedang haram tidak sama dengan halal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wanita-waanita yang haram dinikahi ada dua macam, yaitu: wanita haram dinikahi untuk
selamanya (tahrim muabad), maupun sementara (tahrim muwaqot).
2. Menikah dengan istri orang lain atau perempuan yang masih dalam
Dan yang menjadi dasar rujukan dalil atas wanita-wanita yang di haramkan menikah tersebut
adalah Surat An-Nisa' Ayat 19-24.
Kami sadar bahwa makalah yang kami buat jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami tetap
mengharapkan saran maupun kritik yang membangun demi perbaikan makalah-makalah kami
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sayyid Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Quran Jilid IV, Jakarta: Gema Insani, 2001
Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid
1,1999.
Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, M.A., Fikih Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group