Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

TAFSIR TENTANG WANITA YANG HARAM DI NIKAHI

MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH

MATA KULIAH : TAFSIR


DOSEN PENGAMPU : DIYAN YUSRI,M.TH
SEMESTER/PRODI : II/AHWAL AL-SYAKHSIYAH

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 2
MUHAMMAD HASBI NPM.467.2.18
SRI WAHYUNI NPM.480.2.18

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM JAM’IYAH


MAHMUDIAH TANJUNG PURA
LANGKAT
2019
Kata Pengantar

Assalamu ‘alaikum Wr.wb


Alhamdulillah Puji Syukur kepada Allah SWT yang atas segala limpahan rahmatnya
kita masih dapat merasakan berbagai kenikmatan, salah satunya nikmat dalam menuntut
ilmu. Shalawat beriring salam kita sampaikan kepada junjungan alam baginda Rasulullah
SAW beserta keluarga dan sahabatnya, semoga dengan terus bersalawat dan mengamalkan
sunnah nya kelak kita mendapat syafaat oleh beliau di Yaumul Mahsyar .
Rasa syukur kepada Allah kami ucapkan karena telah di beri kesempatan dalam
menyelesaikan makalah mengenai “ Wanita yang Haram di Nikahi ” ini sehingga menjadi
bahan pembelajaran kepada seluruh Mahasiswa Ahlul Syaksyiyah Semester II Sekolah tinggi
agama Islam Jam’iyah Mahmudiyah Tanjung Pura kab.Langkat. Semoga menjadi tambahan
wawasan bagi seluruh mahasiswa terkhusus bagi diri kami sendiri.
Ungkapan terima kasih sedalam dalam nya kepada seluruh sahabat mahasiswa Ahwal
Syaksyiyah Semester II yang telah banyak mendukung dan memberi semangat sehingga
makalah ini dapat terselesaikan sebagaimana yang di harapkan. Terima kasih juga kami
sampaikan terkhusus kepada dosen pembimbing bapak Diyan Yusri, M.Th yang telah banyak
memberi masukan berharga kepada kami, tanpa adanya arahan dari beliau mungkin makalah
ini tidak akan terselesaikan dengan baik.
Sebagai pemula dan manusia biasa, kami yakin banyak terdapat kekurangan baik pada
isi maupun penyusunan pada makalah ini. Kritik yang membangun sangat di harapkan demi
perbaikan dan kemajuan kedepannya.
Akhirnya, kami berharap dengan adanya makalah yang sederhana ini semoga mampu
memberikan manfaat pengetahuan kepada sahabat mahasiswa Ahwal Syaksyiyah Semester II
Sekolah Tinggi Agama Islam Jam’iyah Mahmudiyah Tanjung Pura seluruhnya, terutama demi
kemajuan keilmuan kami yang masih terbatas ini. Semoga Allah senantiasa memberi karunia-
Nya sehingga ilmu yang kita dapatkan menjadi keberkahan bagi diri kita dan masyarakat
sekitarnya. Amin ya robbal ‘alamin.
Billahi Fi Sabilil Haq
Wassalamu ‘alaikum Wr.Wb.

Tanjung Pura, 14 Juli 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...........................................................................................


DAFTAR ISI .........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………...
A. Latar Belakang ........................................................................................
B. Tujuan Penulisan......................................................................................
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………..
A. Ayat-Ayat Tentang Wanita Yang Haram di Nikahi…………………….
B. Korelasi Tiap-Tiap Ayat….…………………………………………….
C. Asbabun Nuzul………………………………………………………….
D. Tafsir Ayat……………………………………………………………...
E. Perempuan Yang Haram di Nikahi………………………………………

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan……………………………………………………………..
B. Kritik dan Saran………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perkawinan adalah salah satu sunatullah yang umum berlaku pada semua mahluk Tuhan, baik
pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Allah swt berfirman:
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran
Allah.”
Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk
beranak pinak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya., setelah masing-masing pasangan
siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.
Allah swt berfirman:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak..” (QS. An-Nisa’ [4]: 1)
Manusia, demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliannya, Allah swt adakan hukum
sesuai yang dengan martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur
secara terhormat dan berdasarkan saling ridha meridhai, dan dengan upacara ijab qabul
sebagai lambang dari adanya rasa ridha meridhai tersebut.
Namun walaupun Allah swt menyunahkan kepada setiap manusia untuk menikah, disitu ada
aturan, dan batasan serta larangannya tersendiri. Allah swt menjelaskan dalam Firmannya :
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan saudara-
saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu
yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan…”
(Q.S. An-Nisa [4]: 23)
tidak semua yang wanita yang ada di dunia ini boleh untuk dinikahi (mahram) karena dengan
alasan-alasan tertentu. Untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini akan ditafsirkan surat An-nisa
tersebut yang menjelaskan wanita-wanita yang haram dinikahi.

B. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui Ayat-ayat yang menjadi dasar wanita yang haram di nikahi


2. Mengetahui Korelasi tiap ayat yang menjadi dasar wanita yang haram di nikahi
3. Mengetahui Asbabun nuzul dari Ayat yang menjadi dasar wanita yang haram di nikahi
4. Mengetahui Tafsir dari ayat yang menjadi dasar wanita yang haram di nikahi
5. Mengetahui yang menjadi dasar wanita yang haram di nikahi

BAB II
PEMBAHASAN
A . Ayat-Ayat Tentang Wanita Yang Haram Dinikahi

Surat An-Nisa’: 19-24.

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian
dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan
keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS.

An-Nisa [4]: 19)

“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu
mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya
kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?”
(QS. An-Nisa [4]: 20)

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. (QS. An-Nisa [4]: 20)

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. An-Nisa [4]: 21)

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-


saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara
ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa [4]: 23)

“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan
Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu
untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri)

di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu
kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling
merelakannya, sesudah menentukan mahar itu[284]. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa [4]: 24)

B. Korelasi Tiap-Tiap Ayat.

Ayat-ayat dipermulaan surat an-Nisa ini, Allah melarang kita menirukan beberapa tradisi
jahiliyah perihal anak-anak yatim, hak anak yatim dan mengawini anak yatim tanpa mas
kawin. Juga kezaliman yang mereka lakukan dalam masalah warisan, dimana orang
perempuan dan anak kecil tidak diberi hak atas harta peninggalan, dengan alasan karena
mereka itu tidak dapat mempertahankan keluarga, tidak dapat memanggul senjata, dari
beberapa tugas sosial.

Maka ayat-ayat ini menerangkan satu macam lagi dari bentuk kezhaliman yang pernah
dialami oleh perempuan-perempuan jahiliyah.Itulah sebabnya, lalu Allah mengharamkan
semua itu dan memerintahkan untuk selalu berbuat baik terhadap perempuan, dengan
pergaulan dan persahabatan yang baik. Ia panggilnya kaum perempuan untuk menyadari
dirinya dari kezhaliman dan permusuhan yang nyata-nyata itu.

C. Asbabun Nuzul

1. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Orang-orang jahiliyah dahulu, apabila


seorang laki-laki meninggal dunia, maka keluarganyalah yang berhak mewarisi istrinya,
kalau suka akan dikawin sendiri, dan kalau tidak suka akan dikawinkan denagn laki-laki lain,
bahkan kalau ia mau tidak akan dikawinkan untuk selamanya. Dialah yang lebih berhak atas
segala-galanya dari pada keluarga perempuan itu sendiri.Begitulah, lalu diturunkan ayat ini:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagimu mewarisi perempuan dengan paksa….”
(Ayat 19).[6]

2. Diriwayatkan, bahwa orang-orang jahiliyah dahulu, apabila ada seorang laki-laki yang
meninggal dunia, maka anak laki-lakinya dari perempuan lain atau walinya datang, lalu
mewarisi perempuan yang ditinggal mati suaminya itu, sebagaimana dia mewarisi hartanya.
Perempuan itu dilempari pakaian. Kemudian kalau ia mau, ia kawin sendiri dengan
mahar/mas kawin cukup dari suaminya yang pertama tadi, dan kalau mau, ia kawinkannya
dengan laki-laki lain sedang maskawinnya diambilnya. Begitulah, lalu cara-cara seperti itu
dilarang, yaitu dengan diturunkannya ayat (19) itu.

3. Diriwayatkan, bahwa Abu Qais bin Aslat ketika meninggal dunia, istrinya dipinang oleh
anaknya sendiri yaitu Qais. Lalu istri itu berkata : Engkau ku anggap sebagai anakku, dan
engkau adalah termasuk putera terbaik di kalangan kaummu. Tunggu dulu, aku akan datang
ketempat Rasulullah saw. Minta izin, seraya berkata : Kuanggap dia itu sebagai anak, maka
bagaimanakah pendapatmu ? Rasulullah saw. Menjawab : Kembalilah kerumah. Begitulah,
maka tidak lama kemudian turunlah ayat ‘’ Dan jangan kamu mengawini perempuan yan
pernah dikawini oleh ayah-ayahmu…’’(Ayat 22).
D. Tafsir Ayat

1. Dalam firman Allah : “Kiranya ketidaksukaanmu tentang sesuatu, Allah akan


menjadikan padanya kebaikan yang banyak” itu memberikan dorongan kepada para suami
supaya sabar dalam menghadapi istrinya dan bergaul dengan cara yang baik, sampaipun
ketika dalam keadaan benci kepada mereka. Sebab sering kali terjadi sesuatu yang tidak
disukai oleh jiwa, namun didalamnya terkandung kebaikan yang besar. Ayat ini membimbing
kita ke satu kaidah yang umum, bukan hanya terhadap perempuan saja, bahkan meliputi
seluruh persoalan. Inilah rahasia firman Allah tersebut. Karena itu Allah tidak mengatakan :
”Kiranya kebencianmu kepada istri”, padahal utamanya ayat ini berkisar tentang persoalan
berbuat baik kepada istri. Perhatikanlah rahasia itu, karena dia sangat halus.

2. Dalam ayat 21 itu Allah menyebut “bercampur suami istri” dengan kinayah dengan
“satu sama lain sudah hidup bersatu”, adalah suatu kinayah (sindiran) yang halus sekali,
seperti kata: lamasa, massa, qaruba, dan ghasyia (menyentuh, meraba, mendekati, dan
menyelimuti). Semua itu adalah kinayah tentang bercampur. Ini memberikan didikan kepada
umatnya supaya membiasakan berlaku sopan dan berperangai dengan perangai Al-Quran.
Ibnu ‘Abbas mengatakan: Ifdha’ dalam ayat ini berarti jima’, tetapi Allah justru berbicara
dengan kinayah. sedang apa yang disebut “kinayah”, yaitu berbicara dengan cara yang tidak
terang-terangan.

3. Al-Qurthubi berkata: ‘Umar bin Khathab pernah berkhutbah, yaitu ia berbicara:

“Hai manusia!Jangan kamu berlebih-lebihan dalam memberikan maskawin kepada


perempuan, sebab kalau itu dipandang sebagai menghargai perempuan, niscaya Rasulullah
saw.-lah yang paling tinggi (penghargaannya kepada perempuan) daripada kalian, namun ia
pun tidak pernah memberi maskawin kepada istrinya seseorang terhadap anak perempuannya,
lebih dari 12 uqiyah”.

Mendenagr khutbah itu, ada seorang perempuan berdiri seraya berkata: Hai ‘Umar! Allah
memperkenankan kepada kami begitu, tetapi justru engkau mengharamkanya? Bukankah
Allah telah berfirman: “…padahal kamu telah memberikan (maskawin) kepada seseorang
diantara mereka harta yang banyak… Maka janganlah kamu mengambil barang sedikit pun
dari padanya…”? Lalu ‘Umar berdiri lagi, seraya berkata: “Perempuan itu yang betul, ‘Umar
yang salah. Semua orang lebih mengerti dari padamu hai ‘Umar”, dan ia pun tidak
menyanggah bantahan perempuan tersebut.

4.Zamakhsyari berkata:

“Perjanjian yang keras itu ialah hak bersahabat dan tidur bersama. Disifatinya perjanjian itu
dengan keras, karena menunjukkan kuatnya dan besarnya perjanjian tersebut. Mereka
berkata: bersahabat 20 hari saja sudah menjadi kerabat, apabila persatuan dan percampuran
yang terjadi antara suami istri…”

Asy-Syahab al-Khafaji berkata:


“Bahkan bersahabat satu hari saja sudah menjadi kerabat, seperti yang dikatakan oleh seorang
penyair”:

Bersahabat satu hari, sudah menjadi nasab yang dekat serta tanggungan yang (hal itu) dikenal
oleh orang yang berfikir.

5.Ar-Razi berkata :

“Tingkat kejelekan itu ada tiga : kejelekan dalam akal, kejelekan dalam agama dan kejelekan
dalam tradisi. Maka perkataan “Sesungguhnya mengambil maskawin yang yelah diberikan
itu adalah suatu perbuatan yang keji’’ itu, berisyarat kepada kejelekan dalam akal. Sedang
perkataan “maqtan/dosa’’ itu menunjukkan kejelekan dalam agama, dan perkataan “dan jalan
yang jelek’’ itu menunjukkan kejelekan dalam tradisi. Kalau ketiga tingkatan kejelekan ini
sudah berkumpul menjadi satu, maka menunjukkan kejelekan yang luar biasa”..

E. Perempuan yang haram di nikahi

Wanita-waanita yang haram dinikahi ada dua macam, yaitu: wanita haram dinikahi untuk
selamanya (tahrim muabad), maupun sementara (tahrim muwaqot).

a. Wanita yang haram dinikahi untuk selamanya (Tahrim muabad)

Perempuan-perempuan yang haram dikawini untuk selamanya itu ada tiga macam:

Ø Haram karena nasab

Ø Haram karena sesusuan

Ø Haram karena semenda

a. Yang haram karena nasab

Menurut isyarat ayat diatas, perempuan yang haram dikawini karena nasab itu ada 7
golongan, yaitu: ibu, anak, saudara, bibi dari bapak, bibi dari ibu, keponakan dari saudara
laki-laki, keponakan dari saudara perempuan. Semua ini haram dikawini untuk selama-
lamanya.

Termasuk ibu ialah nenek terus keatas, termasuk anak ialah cucu sampai kebawah, termasuk
saudara ialah sekandung, sebapak, dan seibu. Termasuk bibi ialah sampai keatas baik dari
ayah ataupun dari pihak ibu.

b. Yang haram karena susuan

Yang haram karena susuan inipun ada tujuh orang, seperti yang berlaku pada haram karena
nasab. Ini didasarkan atas sabda Rasulullah saw. Sebagai berikut:

“Haram karena susuan, ialah apa-apa (perempuan) yang haram karena nasab.” (HR. Muslim)

Sedang dalam ayat diatas menyebutkan: Ibu dan Saudara. Ibu adalah pokok, sedangkan
saudara adalah cabang. Dari situ cobalah perhatikan yang menyangkut semua pokok dan
yang menyangkut semua cabang. Lalu hadist Nabi saw. Diatas menjelaskannya dengan nash
yang jelas dan tegas.

Dalam hadist yang shahih, tentang anak perempuannya Hamzah, oleh Rasulullah saw.
Dikatakan:
“Bahwa dia adalah anak perempuannya saudaraku sesusu.”
c. Yang haram karena semenda (perkawinan)
Yang haram karena semenda ini oleh ayat diatas disebutkan ada empat, yaitu:
a. Istrinya bapak, sebagaimana firman Allah: “dan janganlah kamu mengawini perempuan
yang pernah dikawini oleh bapak-bapakmu.”
b. Istri anak (menantu), sebagaimana difirmankan Allah: “dan istri-istrinya anak-anakmu
yang berasal dari sulbimu.”
c. Ibunya istri (mertua), sebagaimana difirmankan Allah: “dan ibu-ibunya istrimu.”
d. Anak perempuannya istri, apabila ibunya (istri) itu telah dicampuri, sebagaimana firman
Allah: “dan anak-anak perempuannya istrimu yang berada dipangkuanmu yang sudah kamu
campuri mereka itu. Tetapi jika belum kamu campuri mereka itu, maka tidak ada dosa atas
kamu.”
Yang pokok dalam masalah ini ialah: bahwa ibunya istri itu menjadi haram semata-mata
karena sudah ada aqad nikah dengan anaknya. Tetapi sebaliknya, si anak baru menjadi haram
karena ibunya sudah dicampuri, yaitu sebagaimana dikatakan oleh ayat diatas:”… yang kamu
telah campuri mereka itu”.
Dari sini para ‘ulama beristimbat, sehingga membuat suatu kaidah pokok:
“Aqad atas anak perempuan menyebabkan haramnya ibu. Sedangkan bercampurnya dengan
ibu menyebabkan haramnya anak.”
b. yang haram dikawini untuk sementara waktu (Tahrim Muwaqot)
Ayat Al-Quran diatas member isyarat akan adanya perempuan-perempuan yang haram
dikawini untuk sementara waktu. Mereka itu ada dua macam:
1. Memadu antara dua saudara,yaitu sebagaimana difirmankan Allah: “dan (haram atas
kamu) memadu antara dua saudara dengan bibinya, baik dari bapak ataupun dari ibu,”
Rasulullah saw bersabda:
“Dari Abu Hurairah: sesungguhnya Nabi saw. Melarang memadu seorang perempuan dengan
bibinya dari bapak dan antara perempuan dengan bibinya dari ibu.”
Adapun hikmahnya, sebagaimana diriwayatkan Ibnu ‘Abbas:

”Rasulullah saw. Melarang seorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan bersama bibi
dari bapak, atau bersama bibi dari ibu. Dan ia pun bersabda: sesungguhnya kamu jika
mengerjakan yang demikian itu, maka berarti kamu memutus kekeluargaanmu.
2. Kawin dengan istri orang lain atau perempuan yang masih dalam ‘iddah (dalam talak
raja’i) sebagai melindungi hak suami. Sebagaimana firman Allah:

“Dan (haram atas kamu mengawini) perempuan-perempuan yang bersuami.”

Perempuan yang masih dalam ‘iddah (dalam talak raja’i) hukumnya sama dengan perempuan
yang masih bersuami, sebagaimana terdahulu dalam surat al-Baqarah, yaitu: “Dan jangan
kamu berazam untuk aqad nikah, hingga ketentuan (iddah) itu telah sampai pada waktunya”.
Disana telah kami terangkan juga segi hikmahnya.

4. Apakah bercampur dengan ibunya istri (mertua) menyebabkan haramnya perkawinan?

Para ‘ulama berbeda pendapat tentang masalah seorang laki-laki yang berzina dengan ibunya
istri atau anaknya (anak tiri), apakah ini bisa menyebabkan haramnya perkawinan atau tidak?

Abu Hanifah dan dua orang rekannya berpendapat: menyebabkan haramnya perkawinan. Ini
adalah dua pendapat Tsauri, Auza’i, dan Qatadah.

Dan Syafi’i berpendapat: Tidak menyebabkan haramnya perkawinan. Sebab perbuatan haram
itu tidak dapat megharamkan yang halal. Ini, juga pendapat Laits, Zuhri, dan Madzhab Malik
dalam Muwath-tha’.

Adapun sebab terjadinya perbedaan pendapat itu, karena perbedaan dalam mengartikan kata
“nikah”, apakah dengan arti: setubuh ataukah sekedar aqad? Orang yang mengartikanya
“setubuh”, maka semata-mata setubuh menyebabkan haramnya perkawinan, sekalipun karena
berzina. Dan siapa yang mengartikan “aqad”, maka perzinaan itu tidak menyebabkan
haramnya perkawinan.

Hanafiah lebih condong kepada arti setubuh. Mereka mengatakan: Hakekat nikah itu ialah
setubuh. Sedangkan nikah dalam arti aqad, adalah majaz. Dan membawa kepada arti hakekat
lebih baik, sehingga ada dalil yang mengalihkan kepada arti majaz. Dan kalau diartikan
setubuh, maka tidak dibedakan antara setubuh yang halal dan setubuh yang haram.

Sedangkan Syafi’iyah lebih condong kepada arti aqad, seraya berkata: Diantara yang
menunjukkan kepada arti aqad itu, ialah dilihat dari segi analisa, bahwa Allah menjadikan
haramnya perkawinan karena semenda itu, adalah demi penghormatan kepada ibu,
sebagaimana halnya haramnya perkawinan karena nasab, adalah jugademi penghormatan
kepada nasab ini. Oleh karena itu, bagaimana mungkin zina itu dapat dijadikan sebagai
penghalang perkawinan, padahal dia adalah perbuatan yang jijik dan dosa.

Imam Syafi’I sendiri berkata dalam al-Umm: “Jika seorang laki-laki berzina dengan isteri
ayahnya (ibu tiri), atau dengan ibu isterinya (mertua), maka dia durhaka kepada Allah, tetapi
isterinya sendiri itu tidak menjadi haram atasnya, juga atas ayah dan anaknya. Sebab Allah
mengharamkan (sesuatu) dengan menghormat yang halal itu adalah untuk meninggikan
halalnya itu serta menambah ni’matyaapa yang dibolehkannya, di samping untuk menetapkan
hokum haram yang belum terjadi sebelumnya. Dan dengan itu Allah mewajibkan beberapa
kewajiban. Sedang haram tidak sama dengan halal.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Wanita-waanita yang haram dinikahi ada dua macam, yaitu: wanita haram dinikahi untuk
selamanya (tahrim muabad), maupun sementara (tahrim muwaqot).

a. Wanita yang haram dinikahi untuk selamanya (Tahrim muabad) yaitu :

1. Yang haram karena nasab

2 Yang haram karena susuan

3. Yang haram karena semenda (perkawinan)

b. Yang haram dikawini untuk sementara waktu (Tahrim Muwaqot)

1. Memadu antara dua saudara.

2. Menikah dengan istri orang lain atau perempuan yang masih dalam

‘iddah (dalam talak raja’i) sebagai melindungi hak suami

Dan yang menjadi dasar rujukan dalil atas wanita-wanita yang di haramkan menikah tersebut
adalah Surat An-Nisa' Ayat 19-24.

B. .Kritik dan Saran

Kami sadar bahwa makalah yang kami buat jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami tetap
mengharapkan saran maupun kritik yang membangun demi perbaikan makalah-makalah kami
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Bandung: PT. Alma’arif

Sayyid Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Quran Jilid IV, Jakarta: Gema Insani, 2001

Mu’ammal Hamidy dan Imran A-Manan, Terjemah Tafsir Al-Ahkam Ash-Shabuni,


Surabaya: Bina Ilmu, 1982

Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid
1,1999.

Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, M.A., Fikih Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group

Anda mungkin juga menyukai