Anda di halaman 1dari 12

IJTIHAD DAN TANGGUNG JAWAB HAKIM

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hadits Ahkam Keluarga

Dosen Pengampu : Mohammad Sar’an

Oleh

Firda Nisa Syafitri (1173010057)


Thio Asshiddiqie (11730100…)
Alvi Alvani Riza Fauzi (1173010156)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (AKHWAL SYAKHSIYAH)


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, taufik,
hidayah dan inayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah
yang berjudul “Ijtihad dan Tanggung Jawab Hakim” dengan hadirnya makalah ini dapat
memberikan informasi bagi para pembaca tentang Ijtihad dan tanggung jawab hakim yang
berkaitan dengan Hadits Ahkam Keluarga.
Maksud penulis membuat makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hadits Ahkam Keluarga yang diamanatkan oleh Bapak Muhamad Sar’an. Makalah ini kami
buat berdasarkan sumber referensi yang saya dapatkan dan untuk mempermudahnya saya
juga menyertai berhubungan dengan kemajuan kedepan. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini banyak sekali kekurangannya baik dalam cara penulisan maupun
dalam isi.
Oleh karena itu, saya mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.  Mudah –mudahan makalah ini
dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis yang membuat dan umumnya bagi yang
membaca makalah  ini. Aamiin

Bandung, 15 November 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1


A. Latar Belakang .................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 1
C. Tujuan ...................................................................................................... …….. 1

BAB II TINJAUAN TEORI ........................................................................................... 2


A. Pengertian Jalur Non Litigasi ……………………...................................…….. 2
B. Dasar Yuridis Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Secara Non Litigasi … 2

BAB III PEMBAHASAN ....................................................................................... …….. 4


A. Jenis-Jenis dan Bentuk Penyelesaian Non Litigasi……........................... …….. 4
1. Musyawarah ………………………………………………………………. 4
2. Arbitrase…………………………………………………………………... 4
3. Negosiasi………………………………………………………………….. 5
4. Mediasi……………………………………………………………………. 7
5. Konsiliasi …………………………………………………………………. 8
B. Kekuatan Hukum Penyelesaian Sengketa Secara Non Litigasi ………………. 9
BAB IV PENUTUP ................................................................................................. ……. 10

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. …… iv


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menjadi hakim tidaklah mudah dalam Islam. Dia haruslah seorang yang berilmu, jujur,
berani dan istiqomah dalam kebenaran, karena dia harus memutuskan perkara dengan ilmu
dan kebenaran yang hakiki. Begitu beratnya menjadi hakim, sampai Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengingatkan di dalam hadits yang bersumber dari Abu
Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa diangkat sebagai hakim, ia telah disembelih dengan pisau." Riwayat Ahmad
dan Imam Empat (Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Nasa’i). Hadits shahih menurut
Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
Hadits di atas mengingatkan kepada siapapun yang menjadi hakim, bahwa tugasnya itu
merupakan amanat yang sangat berat. Apabila ia mampu memikulnya dengan benar, maka
ia selamat, tetapi bila ia tidak mampu, bahkan dia permainkan hukum itu dengan semena-
mena dan tidak memutuskan dengan benar maka ia telah menjerumuskannya kedalam
jurang api neraka.
Begitupun ijtihad dipergunakan untuk sesuatu yang berat atau tidak ringan dibidang
hukum. Jadi, apabila seorang hakim berijtihad dan hasil ijtihadnya itu sesuai dengan
kebenaran maka dia akan mendapat imbalan di sisi Allah dua pahala yaitu pahala ijtihad
dan pahala karena benar yang ia putuskan. Dan apabila seorang hakim hendak berijtihad
dan ia merasa telah benar namun ternyata salah maka pahalanya satu saja yaitu pahala
ijtihadnya, karena ibadah mencari kebenaran. Ijtihad dilakukan bagi perkara yang tidak
terdapat ketentuannya dalam Alquran dan Sunnah atau pemahaman dalil dari nash dalam
Alquran atau Sunnah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tanggung jawab hakim yang berhubungan dengan hadist ?
2. Bagaimana ijtihad hakim yang ada dalam hadits ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tanggung jawab hakim yang berhubungan dengan hadist.
2. Untuk mengethaui ijtihad hakim yang ada dalam hadits.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Hakim
Jabatan hakim merupakan jabatan yang mulia, karena hakimlah yang akan
mengadili dan menyelesaikan persengketaan yang terjadi dalam masyarkat. Namun, jabatan
itu tidak mudah dijalankan karena mengandung resiko yang berat.
Hakim dibagi dalam tiga kategori, satu saja yang masuk surge, sedangkan dua macam
lainnya akan menjadikan hakim masuk neraka. Hakim yang masuk surge yaitu hakim yang
mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara sesuai dengan kebenaran itu.
Hakim yang masuk neraka, yaitu hakim yang mengetahui kebenaran tetapi tidak
memutuskan perkara menurut kebenaran yang diketahuinya. Sedangkan hakim yang tidak
mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara berdasarkan kebodohannya, juga akan
masuk neraka, sekalipun putusannya itu ternyata benar.

Hakim juga diartikan dengan pejabat yang memimpin persidangan.  Hakim yang
memutuskan hukuman bagi terdakwa. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan.  Hakim
disebut pula pelaksana undang-undang atau hukum di suatu Negara Islam.  Hakim dalam
kaitan dengan peradilan Islam disebut qadhi, jamaknya qudhat, sebagai pelaksana hukum.
Qadhi berusaha menyelesaikan perkara yang diperhadapkan padanya, baik yang
menyangkut dengan hak-hak pribadi seseorang atau kepentingan umum.
Qadha’ menurut bahasa berarti menetapkan hukum suatu urusan dan penyelesaiannya.
Menurut Syariat berarti menjelaskan hukum syariat, melaksanakan dan menyelesaikan
berbagai macam perselisihan. Dasar pensyariatan qadha’ (pengadilan) ini adalah al-Kitab
(Alquran), al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Seperti firman Allah dalam As. Shad: 26.

‫ك َع ْن‬ ِ ‫َّاس بِاحْل ِّق واَل َتتَّبِ ِع اهْل وى َفي‬


َ َّ‫ضل‬ ُ ََ َ َ ِ ‫اح ُك ْم َبنْي َ الن‬ ْ َ‫ض ف‬ ِ ‫اك َخلِي َفةً يِف اأْل َْر‬َ َ‫يَ َاد ُاو ُد إِنَّا َج َع ْلن‬
ِ ‫اب َش ِدي ٌد مِب َا نَسوا يوم احْلِس‬
‫اب‬ ِ ِ ‫سبِ ِيل اللَّ ِه إِ َّن الَّ ِذ‬
ٌ ‫ين يَضلُّو َن َع ْن َسبِ ِيل اللَّه هَلُ ْم َع َذ‬
َ َ َْ ُ َ َ
“Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,
Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan.”

Begitu juga firman Allah dalam QS. Al-Maidah: 49

َ ‫ض َما أَْنَز َل اللَّهُ إِلَْي‬


‫ك‬ َ ُ‫اح َذ ْر ُه ْم أَ ْن َي ْفتِن‬
ِ ‫وك َع ْن َب ْع‬ ‫مِب‬
ْ ‫اح ُك ْم َبْيَن ُه ْم َا أَْنَز َل اللَّهُ َواَل َتتَّبِ ْع أ َْه َواءَ ُه ْم َو‬
ِ
ْ ‫َوأَن‬
“dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah
kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa
yang telah diturunkan Allah kepadamu….”

Dasarnya dalam al-Sunnah juga banyak sekali, di antaranya hadis yang  disebutkan
di atas, atau hadis tentang pahala ijtihad bagi hakim , jika benar mendapat dua pahala jika
salah mendapat satu pahala. Orang-orang Muslim juga sudah menyepakati pensyariatannya.
Qiyas juga mengharuskan keberadaannya, sebab berbagai keadaan tidak akan berjalan
normal kecuali dengan qadha’ dan ia merupakan fardhu kifayah.
Qadha’ memiliki keutamaan yang besar bagi orang yang mampu menegakkan dan
memenuhi kebenaran di dalam hukum. Karena itulah Allah tetap memberikan pahala
dalam  qadha’ meskipun ada kekeliruan dan memaafkan keputusan yang salah darinya,
karena di dalamnya ada perintah kepada yang ma’ruf, menolong orang yang dizhalimi,
memberikan hak kepada orang yang berhak mendapatkannya, mencegah kezhaliman orang
yang zhalim, memperbaiki keadaan manusia dan membebaskan sebagian mereka dari
sebagian yang lain.
Karena itulah Rasulullah saw. dan para nabi sebelumnya juga diangkat sebagai
qadhi, sehingga mereka membuat keputusan hukum bagi umatnya masing-masing.
Rasulullah juga mengutus ‘Ali bin Abi Thalib pergi ke Yaman dan juga Mu’adz bin Jabal
sebagai qadhi. Diriwayatkan bahwa Ibn Mas’ud pernah berkata, “Aku lebih suka duduk
sebagai qadhi di antara dua orang yang berselisih daripada mengerjakan ibadah selama
tujuh puluh tahun.”
Namun begitu, Qadhi juga tidak lepas dari bahaya dan dosa yang besar bagi yang
tidak menunaikan kebenaran hukum. Karena itulah banyak ulama salaf yang menolak keras
ketika diangkat menjadi qadhi, karena mereka tidak dapat menjamin tidak timbulnya
bahaya akibat keputusannya.
B. Ijtihad Hakim
Ijtihad menurut Ibn al-Hajib adalah : upaya sungguh-sungguh untuk menghasilkan
suatu ketetapan sesuai hukum syar’iy. Dan menurut al-Qadhy al-‘Iyadh  ijtihad adalah
usaha sungguh-sungguh dalam mencari kebenaran.
Dalam kaitan dengan pengertian menurut istilah, ijtihad menurut mayoritas ulama ushul
fiqh adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk
memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa (1) Pelaku ijtihad adalah seorang ahli
hukum bukan yang lain, (2) Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’iy yaitu
hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku atau perbuatan orang-orang mukallaf,
bukan hukum I’tiqadi atau hukum khuluqi, (3) Status hukum syar’iy yang dihasilkan oleh
ijtihad adalah dhanni.
Jadi apabila dipahami lebih jauh definisi ijtihad di atas maka dapat dinyatakan bahwa
ijtihad hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hal ini Jalal al-Din al-Mahalli dalam
Jama’u al-Jawami’ berkomentar bahwa yang ijtihad bila dimutlakkan maka ijtihad itu
hanya diperuntukkan pada bidang hukum fiqih/ hukum furu’.
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara orang yang mengatakan bahwa ijtihad
juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini dipelopori oleh al-Jahidh, salah seorang tokoh
mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini
bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap disiplin ushul fiqh, tetapi juga akan
berimplikasi pembenaran terhadap berbagai aqidah yang dhalal (sesat). Lantaran itulah
jumhur ulama telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum Islam dengan
ketentuan-ketentuan tertentu.
Dari uraian di atas menunjukkan ijtihad dipergunakan untuk sesuatu yang berat atau
tidak ringan dibidang hukum. Untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan. Di
antara sekian persyaratan yang terpenting adalah : (1) Memiliki  ilmu pengetahuan yang
luas tentang ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan hukum, bahwa ia mampu
membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum, (2) Mengetahui hadis-hadis Rasul
yang berhubungan dengan hukum, bahwa ia sanggup membahas  hadis-hadis tersebut untuk
menggali hukum, (3) Menguasai masalah yang berhubungan  dengan ijma’ agar ia tidak
berijtihad dengan hasil yang bertentangan dengan ijma’. (4) Mengetahui qiyas secara
mendalam dan dapat dipergunakan untuk menggali hukum. (5) Menguasai bahasa Arab
secara mendalam. (6) Mengetahui secara mandalam tentang nasikh-mansukh. (7)
Mengetahui asbab al-nuzul ayat dan asbab al-wurud al-hadits, agar via mampu melakukanb
istinbath hukum secara tepat. (8) Mengetahui sejarah para periwayat hadis, supaya ia dapat
menilai kualitas suatu hadis, apakah diterima atau ditolak. (9) Mengetahui ilmu
logika/manti1. (10) Mengetahui kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar ia mampu
mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu
masalahyang. Oleh karenanya tidak mungkin pekerjaan ijtihad itu dilakukan sembarang
orang.
Apabila seorang hakim berijtihad dan hasil ijtihadnya itu sesuai dengan kebenaran
maka dia akan mendapat imbalan di sisi Allah dua pahala yaitu pahala ijtihad dan pahala
karena benar yang ia putuskan. Dan apabila seorang hakim hendak berijtihad dan ia merasa
telah benar namun ternyata salah maka pahalanya satu saja yaitu pahala ijtihadnya, karena
ibadah mencari kebenaran. Ijtihad dilakukan bagi perkara yang tidak terdapat ketentuannya
dalam Alquran dan Sunnah atau pemahaman dalil dari nash dalam Alquran atau Sunnah.
Mengingat pentingnya berijtihad maka menurut Abu al-Fadhl Abady dalam syarah Awn
al-Ma’bud, tidak boleh seorang mujtahid bertaqlid terhadap hasil putusan hakim lain, dan
tidak boleh seorang Imam mempengaruhinya. Oleh karena itu menurutnya, untuk menjadi
seorang mujtahid paling tidak ia menguasai lima disiplin ilmu, yaitu:
Ilmu Kitab Allah (Ulum al-Qur’an), Ilmu Sunnah Rasul Allah (Ulum al-Hadis) dan
pendapat ulama salaf yang mereka sepakati dan diperselisihkan,
Ilmu Bahasa, Ilmu Qiyas, yaitu metode istinbat hukum dari Alquran al-Sunnah apabila
tidak diperoleh kejelasan nash dari Alquran-Sunnah atau ijma’,
Wajib juga mengetahui ilmu  lain yang berhubungan dengan Alquran yakni Ilmu
nasikh-mansukh, mujmal-mufassar, khash-‘am, muhkam-mutsyabih, makruh-haram,
mubah-nadab, juga yang berhubungan dengan Sunnah, yakni shahih-dha’if, musnad-
mursal, mengetahui sunnah yang menjelaskan Alquran atau sebaliknya, mengetahui sunnah
yang bernuansa hukum syari’ah, mengetahui uslub bahasa yang dipakai oleh Alquran dan
Sunnah,mengetahui aqwal al-shahabah, tabi’in mengenai hukum, mengetahui fatwa-fatwa
fuqaha sehingga putusannya tidak bertentangan dengan pandangan mereka, mengetahui
ijma’. Jika ia menguasai setiap aspek ini maka ia seorang mujtahid jika ia tidak menguasai
cukup baginya taqlid.
Dengan begitu , syarat ini menjadi tolok ukur berpahala atau tidaknya suatu ijtihad.
Memang kedengarannya ijtihad sebagai sesuatu yang amat eksklusif karena hanya boleh
dilakukan oleh orang-orang tertentu yang benar-benar memenuhi syarat. Syarat-syarat itu
sekarang boleh jadi dipandang kuno, namun menurut Nurcholish Madjid syarat itu dibuat
untuk menjamin adanya kewenangan (kompotensi) dan tanggungjawab
(accountability),sebuah produk hukum.Oleh karena itu ijtihad dapat dilakukan oleh siapa
saja asalkan memiliki persyaratan seperti yang dikemukakan di atas.
Akhirnya sebagaimana tercermin dalam hadis ini mengenai motivasi berijtihad
merupakan hal yang amat penting dalam perkembangan dan pertumbuhan masyarakat.
Sebab perkembangan dan pertumbuhan menunjukkan adanya vitalitas, sedangkan
kemandekan berarti berhentinya spirit ijtihad. Dengan begitu, dinamika ijtihad selalu
mengiringi dinamika dan perkembangan hukum, seiring dengan perkembangan zaman.
Dalam dinamika tersebut tidak perlu takut salah, karena salah pun masih dihargai sebagai
suatu pengabdian kepada Allah.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Hadits tentang Ijtihad dan Tanggung Jawab Hakim


1. Bulughul Maram 1410-1411
ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ «الْ ُق‬:‫ول اللَّه صلى اهلل عليه وسلم‬
:ٌ‫ضاةُ ثَاَل ثَة‬ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫َن بَُريْ َد َة رضي اهلل عنه قَ َال‬ ْ‫ع‬
‫ َو َر ُج ٌل‬.‫ َف ُه َو يِف اجْلَن َِّة‬,‫ضى بِِه‬
َ ‫ َف َق‬,‫ف احْلَ َّق‬ َ ‫ َر ُج ٌل َعَر‬.‫اح ٌد يِف اجْلَن َِّة‬
ِ ‫ وو‬,‫ان يِف النَّا ِر‬
ََ
ِ َ‫ا ْثن‬
ِ ‫ ورجل مَل يع ِر‬.‫ َفهو يِف النَّا ِر‬,‫ وجار يِف احْل ْك ِم‬,‫ض بِِه‬
,‫ف احْلَ َّق‬ َْ ْ ٌ ُ َ َ َُ ُ َ َ َ ِ ‫ َفلَ ْم َي ْق‬,‫ف احْلَ َّق‬ َ ‫َعَر‬
‫ص َّح َحهُ احْلَاكِ ُم‬ ِ ‫ضى لِلن‬
َ ‫ َو‬,ُ‫ َر َواهُ اأْل َْر َب َعة‬.»‫ َف ُه َو يِف النَّا ِر‬,‫َّاس َعلَى َج ْه ٍل‬ َ ‫ َف َق‬.
1410. Dari Buraidah. Ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw. “Qadli-
qadli1 itu ada tiga : Dua orang di neraka dan seorang di surga. Seorang
tahun kebenaran dan ia beri hukum dengannya, maka ia di surga; dan
seorang tahu kebenaran, tetapi ia tidak menghukum dengannya, dan ia zhalim
dalam menghukum, maka ia di neraka; dan seorang tidak tahu kebenaran
tetapi ia menghukum antara manusia dengan kebodohan, maka ia di neraka”.
Diriwayatkan dia oleh Empat dan di shahka olehn Hakim.
ِ ُ ‫ال رس‬
َ :‫ول اللَّه صلى اهلل عليه وسلم‬
‫«م ْن‬ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫َو َع ْن أَيِب ُهَر ْيَر َة رضي اهلل عنه ق‬
ٍ ‫ضاء َف َق ْد ذُبِح بِغَرْيِ ِس ِّك‬
‫ َوابْ ُن‬,َ‫ص َّح َحهُ ابْ ُن ُخَزمْيَة‬
َ ‫ َر َواهُ اخْلَ ْم َسةُ َو‬.»‫ني‬ َ َ َ ‫َويِل َ الْ َق‬
.‫ِحبَّا َن‬
1411. Dari Abi Hurairah. Ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw. :
“Barangsiapa diberi pekerjaan menghukum, berarti ia teah di sembelih
dengan tidak pakai pisau.” Diriwayatkan dia oleh Ahmad dan Empat dan
disahahkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban

2. Lu’lu Wal Marjan 1118 dan 1121

1
Qadli : Pemutus perkara, hakim.
‫ول اللَّ ِه صلى اهلل عليه وسلم‬ َ ‫اص رضي اهلل عنه أَنَّهُ مَسِ َع َر ُس‬
ِ ‫َو َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن الْ َع‬
ِ ‫ َفلَه أ‬,‫ مُثَّ أَصاب‬,‫ فَاجَته َد‬,‫ «إِ َذا ح َكم احْل اكِم‬:‫ول‬
ْ َ‫ ف‬,‫ َوإِ َذا َح َك َم‬.‫َجَران‬
,‫اجَت َه َد‬ ْ ُ َ َ َ ْ ُ َ َ َ ُ ‫َي ُق‬
‫َجٌر‬
ْ ‫ َفلَهُ أ‬,َ‫َخطَأ‬ ْ ‫»مُثَّ أ‬.
‫مَّت َف ٌق َعلَْي ِه‬.
ُ
1118. Dari ‘Amr bin Ash, bahwasanya ia dengar Rasulullah saw. bersabda :
“Apabila seorang hakim menghukum dengan ijtihadnya, dan setuju dengan
kebenaran, maka ia mendapat dua ganjaran, dan apabila ia menghukum
dengan ijtihadnya tetapi ia keliru, maka ia mendapat satu ganjaran.”
Muttafaq ‘alaihi.

:‫ول‬ُ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َي ُق‬ ِ َ ‫ أَنَّه مَسِ ع رس‬،‫حديث أَيِب هرير َة رضي اهلل عنه‬
َ ‫ول اهلل‬ ََُ ُ َْ َ ُ
ِ ‫ َف َقالَت ص‬،‫الذئْب فَ َذهب بِاب ِن إِح َدامُه ا‬
‫احبَُت َها‬ ِّ َ‫ َجاء‬،‫ان َم َع ُه َما ْابنَامُهَا‬ِ َ‫ت امرأَت‬ِ
َ ْ َ ْ ْ َ َ َ ْ َ‫َكان‬
‫ َف َقضى بِِه‬،‫ك؛ َفتَ َحا َك َمتَا إِىَل َد ُاو َد‬ ِ ِ‫ُخرى إِمَّنَا َذهب بِابن‬
ْ َ َ
ِ ِ ِ ِ ‫إِمَّنَا َذه‬
َ ْ ‫ َوقَالَت األ‬،‫ب بابْنك‬ َ َ
ِ ‫الس ِّك‬ِّ ِ‫ ا ْئتُويِن ب‬:‫ال‬ ِ
ُ‫َشقُّه‬
ُ ‫ني أ‬ ْ ‫ فَأ‬،‫ل ْل ُكْبَرى؛ فَ َخَر َجتَا َعلَى ُسلَْي َما َن بْ ِن َد ُاو َد‬
َ ‫َخَبَرتَاهُ َف َق‬
ُّ ِ‫ ُه َو ْابُن َها َف َقضى بِِه ل‬،ُ‫ك اهلل‬
‫لص ْغَرى‬ َ ُ‫ َي ْرمَح‬،‫ الَ َت ْف َع ْل‬:‫الص ْغَرى‬ ِ
ُ ‫ َف َقالَت‬،‫َبْيَن ُه َما‬
1121. Belum (Maktabah Shameela Gak Ada Terjemahnya) :((

B. Kandungan Hukum
1. Kandungan Hukum Hadits Bulughul Maram
2. Kandungan Hukum Hadits Lu’lu Wal Marjan

BAB IV
PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

Amriani, Nurniangsih. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan,


(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011).
Mujahidin, Ahmad Mujahidin. Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di
Indonesia. (Bogor: Ghalia Indonesia. 2010)

Winarta, Frans Hendra, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan
Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012).

Anda mungkin juga menyukai