MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hadits Ahkam Keluarga
Oleh
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, taufik,
hidayah dan inayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah
yang berjudul “Ijtihad dan Tanggung Jawab Hakim” dengan hadirnya makalah ini dapat
memberikan informasi bagi para pembaca tentang Ijtihad dan tanggung jawab hakim yang
berkaitan dengan Hadits Ahkam Keluarga.
Maksud penulis membuat makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hadits Ahkam Keluarga yang diamanatkan oleh Bapak Muhamad Sar’an. Makalah ini kami
buat berdasarkan sumber referensi yang saya dapatkan dan untuk mempermudahnya saya
juga menyertai berhubungan dengan kemajuan kedepan. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini banyak sekali kekurangannya baik dalam cara penulisan maupun
dalam isi.
Oleh karena itu, saya mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini. Mudah –mudahan makalah ini
dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis yang membuat dan umumnya bagi yang
membaca makalah ini. Aamiin
Penulis
DAFTAR ISI
Hakim juga diartikan dengan pejabat yang memimpin persidangan. Hakim yang
memutuskan hukuman bagi terdakwa. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan. Hakim
disebut pula pelaksana undang-undang atau hukum di suatu Negara Islam. Hakim dalam
kaitan dengan peradilan Islam disebut qadhi, jamaknya qudhat, sebagai pelaksana hukum.
Qadhi berusaha menyelesaikan perkara yang diperhadapkan padanya, baik yang
menyangkut dengan hak-hak pribadi seseorang atau kepentingan umum.
Qadha’ menurut bahasa berarti menetapkan hukum suatu urusan dan penyelesaiannya.
Menurut Syariat berarti menjelaskan hukum syariat, melaksanakan dan menyelesaikan
berbagai macam perselisihan. Dasar pensyariatan qadha’ (pengadilan) ini adalah al-Kitab
(Alquran), al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Seperti firman Allah dalam As. Shad: 26.
Dasarnya dalam al-Sunnah juga banyak sekali, di antaranya hadis yang disebutkan
di atas, atau hadis tentang pahala ijtihad bagi hakim , jika benar mendapat dua pahala jika
salah mendapat satu pahala. Orang-orang Muslim juga sudah menyepakati pensyariatannya.
Qiyas juga mengharuskan keberadaannya, sebab berbagai keadaan tidak akan berjalan
normal kecuali dengan qadha’ dan ia merupakan fardhu kifayah.
Qadha’ memiliki keutamaan yang besar bagi orang yang mampu menegakkan dan
memenuhi kebenaran di dalam hukum. Karena itulah Allah tetap memberikan pahala
dalam qadha’ meskipun ada kekeliruan dan memaafkan keputusan yang salah darinya,
karena di dalamnya ada perintah kepada yang ma’ruf, menolong orang yang dizhalimi,
memberikan hak kepada orang yang berhak mendapatkannya, mencegah kezhaliman orang
yang zhalim, memperbaiki keadaan manusia dan membebaskan sebagian mereka dari
sebagian yang lain.
Karena itulah Rasulullah saw. dan para nabi sebelumnya juga diangkat sebagai
qadhi, sehingga mereka membuat keputusan hukum bagi umatnya masing-masing.
Rasulullah juga mengutus ‘Ali bin Abi Thalib pergi ke Yaman dan juga Mu’adz bin Jabal
sebagai qadhi. Diriwayatkan bahwa Ibn Mas’ud pernah berkata, “Aku lebih suka duduk
sebagai qadhi di antara dua orang yang berselisih daripada mengerjakan ibadah selama
tujuh puluh tahun.”
Namun begitu, Qadhi juga tidak lepas dari bahaya dan dosa yang besar bagi yang
tidak menunaikan kebenaran hukum. Karena itulah banyak ulama salaf yang menolak keras
ketika diangkat menjadi qadhi, karena mereka tidak dapat menjamin tidak timbulnya
bahaya akibat keputusannya.
B. Ijtihad Hakim
Ijtihad menurut Ibn al-Hajib adalah : upaya sungguh-sungguh untuk menghasilkan
suatu ketetapan sesuai hukum syar’iy. Dan menurut al-Qadhy al-‘Iyadh ijtihad adalah
usaha sungguh-sungguh dalam mencari kebenaran.
Dalam kaitan dengan pengertian menurut istilah, ijtihad menurut mayoritas ulama ushul
fiqh adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk
memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa (1) Pelaku ijtihad adalah seorang ahli
hukum bukan yang lain, (2) Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’iy yaitu
hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku atau perbuatan orang-orang mukallaf,
bukan hukum I’tiqadi atau hukum khuluqi, (3) Status hukum syar’iy yang dihasilkan oleh
ijtihad adalah dhanni.
Jadi apabila dipahami lebih jauh definisi ijtihad di atas maka dapat dinyatakan bahwa
ijtihad hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hal ini Jalal al-Din al-Mahalli dalam
Jama’u al-Jawami’ berkomentar bahwa yang ijtihad bila dimutlakkan maka ijtihad itu
hanya diperuntukkan pada bidang hukum fiqih/ hukum furu’.
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara orang yang mengatakan bahwa ijtihad
juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini dipelopori oleh al-Jahidh, salah seorang tokoh
mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini
bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap disiplin ushul fiqh, tetapi juga akan
berimplikasi pembenaran terhadap berbagai aqidah yang dhalal (sesat). Lantaran itulah
jumhur ulama telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum Islam dengan
ketentuan-ketentuan tertentu.
Dari uraian di atas menunjukkan ijtihad dipergunakan untuk sesuatu yang berat atau
tidak ringan dibidang hukum. Untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan. Di
antara sekian persyaratan yang terpenting adalah : (1) Memiliki ilmu pengetahuan yang
luas tentang ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan hukum, bahwa ia mampu
membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum, (2) Mengetahui hadis-hadis Rasul
yang berhubungan dengan hukum, bahwa ia sanggup membahas hadis-hadis tersebut untuk
menggali hukum, (3) Menguasai masalah yang berhubungan dengan ijma’ agar ia tidak
berijtihad dengan hasil yang bertentangan dengan ijma’. (4) Mengetahui qiyas secara
mendalam dan dapat dipergunakan untuk menggali hukum. (5) Menguasai bahasa Arab
secara mendalam. (6) Mengetahui secara mandalam tentang nasikh-mansukh. (7)
Mengetahui asbab al-nuzul ayat dan asbab al-wurud al-hadits, agar via mampu melakukanb
istinbath hukum secara tepat. (8) Mengetahui sejarah para periwayat hadis, supaya ia dapat
menilai kualitas suatu hadis, apakah diterima atau ditolak. (9) Mengetahui ilmu
logika/manti1. (10) Mengetahui kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar ia mampu
mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu
masalahyang. Oleh karenanya tidak mungkin pekerjaan ijtihad itu dilakukan sembarang
orang.
Apabila seorang hakim berijtihad dan hasil ijtihadnya itu sesuai dengan kebenaran
maka dia akan mendapat imbalan di sisi Allah dua pahala yaitu pahala ijtihad dan pahala
karena benar yang ia putuskan. Dan apabila seorang hakim hendak berijtihad dan ia merasa
telah benar namun ternyata salah maka pahalanya satu saja yaitu pahala ijtihadnya, karena
ibadah mencari kebenaran. Ijtihad dilakukan bagi perkara yang tidak terdapat ketentuannya
dalam Alquran dan Sunnah atau pemahaman dalil dari nash dalam Alquran atau Sunnah.
Mengingat pentingnya berijtihad maka menurut Abu al-Fadhl Abady dalam syarah Awn
al-Ma’bud, tidak boleh seorang mujtahid bertaqlid terhadap hasil putusan hakim lain, dan
tidak boleh seorang Imam mempengaruhinya. Oleh karena itu menurutnya, untuk menjadi
seorang mujtahid paling tidak ia menguasai lima disiplin ilmu, yaitu:
Ilmu Kitab Allah (Ulum al-Qur’an), Ilmu Sunnah Rasul Allah (Ulum al-Hadis) dan
pendapat ulama salaf yang mereka sepakati dan diperselisihkan,
Ilmu Bahasa, Ilmu Qiyas, yaitu metode istinbat hukum dari Alquran al-Sunnah apabila
tidak diperoleh kejelasan nash dari Alquran-Sunnah atau ijma’,
Wajib juga mengetahui ilmu lain yang berhubungan dengan Alquran yakni Ilmu
nasikh-mansukh, mujmal-mufassar, khash-‘am, muhkam-mutsyabih, makruh-haram,
mubah-nadab, juga yang berhubungan dengan Sunnah, yakni shahih-dha’if, musnad-
mursal, mengetahui sunnah yang menjelaskan Alquran atau sebaliknya, mengetahui sunnah
yang bernuansa hukum syari’ah, mengetahui uslub bahasa yang dipakai oleh Alquran dan
Sunnah,mengetahui aqwal al-shahabah, tabi’in mengenai hukum, mengetahui fatwa-fatwa
fuqaha sehingga putusannya tidak bertentangan dengan pandangan mereka, mengetahui
ijma’. Jika ia menguasai setiap aspek ini maka ia seorang mujtahid jika ia tidak menguasai
cukup baginya taqlid.
Dengan begitu , syarat ini menjadi tolok ukur berpahala atau tidaknya suatu ijtihad.
Memang kedengarannya ijtihad sebagai sesuatu yang amat eksklusif karena hanya boleh
dilakukan oleh orang-orang tertentu yang benar-benar memenuhi syarat. Syarat-syarat itu
sekarang boleh jadi dipandang kuno, namun menurut Nurcholish Madjid syarat itu dibuat
untuk menjamin adanya kewenangan (kompotensi) dan tanggungjawab
(accountability),sebuah produk hukum.Oleh karena itu ijtihad dapat dilakukan oleh siapa
saja asalkan memiliki persyaratan seperti yang dikemukakan di atas.
Akhirnya sebagaimana tercermin dalam hadis ini mengenai motivasi berijtihad
merupakan hal yang amat penting dalam perkembangan dan pertumbuhan masyarakat.
Sebab perkembangan dan pertumbuhan menunjukkan adanya vitalitas, sedangkan
kemandekan berarti berhentinya spirit ijtihad. Dengan begitu, dinamika ijtihad selalu
mengiringi dinamika dan perkembangan hukum, seiring dengan perkembangan zaman.
Dalam dinamika tersebut tidak perlu takut salah, karena salah pun masih dihargai sebagai
suatu pengabdian kepada Allah.
BAB III
PEMBAHASAN
1
Qadli : Pemutus perkara, hakim.
ول اللَّ ِه صلى اهلل عليه وسلم َ اص رضي اهلل عنه أَنَّهُ مَسِ َع َر ُس
ِ َو َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن الْ َع
ِ َفلَه أ, مُثَّ أَصاب, فَاجَته َد, «إِ َذا ح َكم احْل اكِم:ول
ْ َ ف, َوإِ َذا َح َك َم.َجَران
,اجَت َه َد ْ ُ َ َ َ ْ ُ َ َ َ ُ َي ُق
َجٌر
ْ َفلَهُ أ,ََخطَأ ْ »مُثَّ أ.
مَّت َف ٌق َعلَْي ِه.
ُ
1118. Dari ‘Amr bin Ash, bahwasanya ia dengar Rasulullah saw. bersabda :
“Apabila seorang hakim menghukum dengan ijtihadnya, dan setuju dengan
kebenaran, maka ia mendapat dua ganjaran, dan apabila ia menghukum
dengan ijtihadnya tetapi ia keliru, maka ia mendapat satu ganjaran.”
Muttafaq ‘alaihi.
:ولُ صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َي ُق ِ َ أَنَّه مَسِ ع رس،حديث أَيِب هرير َة رضي اهلل عنه
َ ول اهلل ََُ ُ َْ َ ُ
ِ َف َقالَت ص،الذئْب فَ َذهب بِاب ِن إِح َدامُه ا
احبَُت َها ِّ َ َجاء،ان َم َع ُه َما ْابنَامُهَاِ َت امرأَتِ
َ ْ َ ْ ْ َ َ َ ْ ََكان
َف َقضى بِِه،ك؛ َفتَ َحا َك َمتَا إِىَل َد ُاو َد ِ ُِخرى إِمَّنَا َذهب بِابن
ْ َ َ
ِ ِ ِ ِ إِمَّنَا َذه
َ ْ َوقَالَت األ،ب بابْنك َ َ
ِ الس ِّكِّ ِ ا ْئتُويِن ب:ال ِ
َُشقُّه
ُ ني أ ْ فَأ،ل ْل ُكْبَرى؛ فَ َخَر َجتَا َعلَى ُسلَْي َما َن بْ ِن َد ُاو َد
َ َخَبَرتَاهُ َف َق
ُّ ِ ُه َو ْابُن َها َف َقضى بِِه ل،ُك اهلل
لص ْغَرى َ ُ َي ْرمَح، الَ َت ْف َع ْل:الص ْغَرى ِ
ُ َف َقالَت،َبْيَن ُه َما
1121. Belum (Maktabah Shameela Gak Ada Terjemahnya) :((
B. Kandungan Hukum
1. Kandungan Hukum Hadits Bulughul Maram
2. Kandungan Hukum Hadits Lu’lu Wal Marjan
BAB IV
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Winarta, Frans Hendra, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan
Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012).