Anda di halaman 1dari 5

SUAMI MEMPERKOSA ISTRI (MARITAL RAPE)

DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Firda Nisa Syafithri
1173010057
HK(AS)/PI-A/VII

Abstrak

Marital rape yakni tindakankekerasan seksual yang mengarah pada tindakan pidana,
hal ini terjadi karena adanya unsur pemaksaan dan kekerasan yang dilakukan pada
saat hubungan seksual. Jika sebelumnya tidak terdapat aturan secara khusus dalam
KUHP dan hanya menjadi delik aduan. Namun saat ini, RKUHP mencantumkan aturan
berkaitan dengan marital rape secara jelas pada pasal 480 dengan menggunakan
kalimat pemerkosaan. Meski pada dasarnya hal tersebut sudah diatur lebih dulu dalam
UU PKDRT dengan menggunakan kalimat Kekerasan Seksual dan pelakunya dikenai
hukuman pidana 12 tahun penjara atau denda sebesar 36 juta rupiah. Ironinya, marital
rape ini belum banyak diatur dalam konsep islam maupun fikh munakahat tentang
bagaimana konsep dan hukum marital rape. Padahal, perkspektif dalam islam pun di
perlukan agar tidak hanya berdasarkan kepada ketentuan hukum positif saja.
Kata Kunci : Marital Rape, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Fikih Munakahat

A. Pendahuluan
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukan lagi suatu hal yang baru, karena
tidak sedikit pasangan suami istri di Indonesia melakukan KDRT, dalam hal ini
kemudian pemerintah mengesahkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Meski pada dasarnya padangan masyarakat
Indonesia selama ini cenderung apatis terhadap isu-isu KDRT dan menganggap bahwa
masalah KDRT merupakan hal tabu jika diperbincangkan dalam ruang publik. Muncul
stigma dalam masyarakat bagi seseorang -khususnya perempuan- berbicara masalah
rumah tangganya kepada orang lain atau dalam forum yang lebih luas, terlebih jika yang
dibicarakan adalah masalah KDRT. Masyarakat memandang bahwa masalah KDRT
harus dirahasiakan agar tidak ditahui oleh orang lain. Padahal kekerasan dalam rumah
tangga adalah masalah sosial, bukan masalah keluarga yang perlu disembunyikan. 1 Hal
ini tertuang dalam aturan yang tercantun dalam pasal 11 UU No. 23 Tahun 2004 yang
berbunyi : “Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam
rumah tangga..
Dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga selai mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap
korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang
terjadi dalam rumah tangga dengan unsure tindak pidana yang berbeda dengan tindak
pidana penganiayaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.2
Peraturan Perundang-Undangan terkait hukum keluarga (al-ahwal asy-
syakhsiyyah) telah banyak disahkan di Negara Indonesia, mengingat Indonesia sebagai
negara Muslim terbesar di dunia. Dimana peraturan tersebut berpedoman kepada tata

1
Moerti Hadiati Soeroso. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sinar Grafika. Jakarta. 2012. hlm. 67
2
Mohammad Taufik Makarao. Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga. Rineka Cipta. Jakarta. 2013
aturan dalam fiqih Islam khususnya fiqh munakahat. Dalam Fiqih munakahat mengatur
semua aspek kehidupan keluarga tak terkecuali tentang hak dan kewajiban suami istri
dalam berhubungan seksual. Maka, berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan
diatas. Perlu peninjauan bagaimana hukum dan konsep pemerkorsaan terhadap istri atau
marital rape dalam pandangan islam sebagai upaya untuk memberikan pemahaman
sekaligus kesadaran kepada masyarakat Muslim tentang menjaga kebaikan hubungan
suami istri dalam rumah tangga.
B. Pembahasan
1. Konsepsi Marital Rape
Marital rape berasal dari bahasa Inggris, Marital yakni sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan, sedangkan rape berarti perkosaan. 3 Dalam artian
bahwa marital rape adalah perkosaan yang terjadi antara suami istri dalam hubungan
perkawinanMarital rape adalah istri yang beroleh tindak kekerasan seksual suami dalam
sebuah perkawinan atau rumah tangga. Dengan demikian, marital rape merupakan
tindak kekerasan atau pemaksaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri untuk
melakukan aktivitas seksual tanpa mempertimbangkan kondisi istri.4 Pemerkosaan
dalam perkawinan bukan kategori pemerkosaan yang diatur dalam KUHP. Istri tidak
bisa mengadukan suami ke pengadilan dengan alasan pemerkosaan seandainyapun
boleh Maka perkarannya dianggap dan diproses sebagai penganiyayaan, bukan
pemerkosaan.12 Juga dalam perkawinan Istilah marital rape atau pemerkosaan tidak
dikenal sebab berdasarkan kontrak perkawinan suami istri telah bersama-sama
menyerahkan diri dan menyatakan persetujuannya untuk bersetubuh. 5
Persoalan maritel rape sudah menjadi agenda hukum di berbagai negara. Proses
sosialisasinnya selalu terbentur oleh ideologhi kultural yang melandasi perumusan
hukum tersebut. Pengaturan mengenai kekerasan seksual dalam rumah tangga di
Indonesia terdapat pada Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga mengenai kekerasan seksual dalam rumah tangga dalam Pasal 8 dan sanksi
pidana nya pada Pasal 46. Pasal 8 masih sangat luas dikarenakan korban yang dimaksud
dalam Pasal tersebut adalah semua orang yang menetap di rumah tersebut seperti anak,
anak angkat, suami/istri, mertua ipar dan pembantu rumah tangga, hal ini terlihat belum
adanya spesifikasi korban dalam menentukan penjatuhan sanksi pidana. Harus adanya
spesifikasi korban yang berdampak pada penjatuhan sanksi pidana.
Masyarakat menganggap bahwa seseorang (mayoritas istri dalam rumah tangga)
menderita jika menjadi tidak berdaya karena luka yang didapatkan, kemudian baru
memberikan advokasi dan menyelesaikan masalah dengan damai. Persepsi masyarakat
tentang tindak kekerasan adalah jika seseorang menjadi korban tindakan orang lain yang
dibuktikan secara langsung akibat dari tindakan tersebut, seperti luka atau pingsan.
Persepsi ini terlegitimasi oleh ketentuan dalam KUHP pasal 86 yang berbunyi:
“Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan
kekerasan”.6

3
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1993
hlm. 373 dan 465
4
M. Maria. Marital Rape, Kekerasan Suami Terhadap Istri. Pustaka Pesantren.. Yogyakarta dalam Aldila
Arumita Sari. Kebijakan Formulasi Kekerasan Seksual terhadap Istri (Marital Rape) Berbasis Keadilan
Gender di Indonesia. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Vo. 1 No. 1 Tahun 2019
5
Agus Tridiatno, Perkosaan terhadap Istri perlu di Reformasi Hukum Menggugat Harmoni dalam Titin
Samsudin. Marital Rape sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Jurnal Al Ulum Vol. 10 No. 2 Tahun
2010 hlm. 345
6
Moerti Hadiati Soeroso. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sinar Grafika. Jakarta. 2012. hlm. 58
2. Marital Rape merupakan perbuatan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Secara umum KDRT ataupun kekerasan pada perempuan dibagi ke dalam empat
kategori kekerasan, yaitu: kekerasan fisik, kekerasan emosi, kekerasan seksual, dan
kekerasan verbal. Keempat kategori kekerasan berdasarkan tindakan pelak yang
ditujukan kepada korban. Kekerasan dalam pandangan sebagian dari masyarakat
hanyalah yang bersifat fisik karena kekerasan fisik dapat dibuktikan dengan adanya luka
yang didapati oleh korban, sementara kekerasan dalam bentuk lain seperti makian,
ejekan, kurungan, perampasan hak dan sumber daya personal cenderung diabaikan 7
Menurut penjelasan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga (PKDRT) pasal 1 ayat 1 bahwa kekerasan bukan saja dibatasi
kepada kekerasan fisik, namun segala bentuk kekerasan yang berakibat pada
penderitaan fisik, seksual, psikologi, dan penelantaran. Penjelasan tentang KDRT
dinyatakan sebagai berikut: “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap bentuk
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.” Marital rape pada
kenyataannya tidak dalam satu bentuk atau model tertentu, namun terdapat tiga bentuk
kekerasan sexual yang dilakukan suami kepada istri8 yaitu:
1. Battering rape: suami melakukan kekerasan sexual dan kekerasan fisik
sekaligus saat memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual. Beberapa istri bahkan
terluka secara fisik akibat pemaksaan yang dilakukan suami pada saat istri tidak siap
atau tidak berkeinginan untuk melakukan hubungan seksual. Marital rape pada
umumnya terjadi dalam bentuk ini.
2. Force-only rape: suami memaksa atau mengancam istri sebelum berhubungan
seksual. Pemaksaan atau ancaman ini dilakukan agar istri mau melayani hasrat suami.
Jika suami telah melampiaskan hasrat seksual kepada istrinya, maka suami tidak
melakukan kekerasan fisik. Namun bila suami tidak terpenuhi hasratnya, mungkin bisa
melakukan kekerasan fisik kepada istri.
3. Obsessive rape: istri atau pasangan mendapat kekerasan seksual dalam bentuk
perilaku sadistic dalam melakukan hubungan seksual. Perilaku sadistic dalam hubungan
seksual, yaitu suami melakukan kekerasan fisik seperti memukul, menarik rambut,
mencekik atau bahkan menggunakan alat tajam yng melukai istri untuk mendapatkan
kepuasan seksual dengan penderitaan istri atas kekerasan tersebut.
3. Marital Rape dalam Fiqih Munakahat
Marital rape dalam literatur fiqih Islam sulit untuk didapatkan, karena dalam
kehidupan keluarga antara suami dan istri tidak dikenal istilah “perkosaan” yang
dilakukan suami kepada istri. Perkosaan (al-wath’u bil ikrah) yang diatur dalam fiqih
Islam, adalah perempuan yang dipaksa untuk melakukdian hubungan seksual dengan
seorang laki-laki, yang tidak ada hak untuk laki-laki tersebut melakukan hubungan
seksual kepada perempuan yang diperkosanya. Sayyid sabiq menggunakan istilah zina,
karena hubungan seksual dilakukan dengan orang asing, bukan istri atau budak. 9 Jika
pasangan suami-istri terampil dalam hubungan seksual, maka akan berpengaruh
7
Martha. Proses Pembentukan Hukum Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia dan Malaysia.
Aswaja Persindo. Yogyakarta. 2011. dalam M. Irfan Syaifuddin. Konsepsi Marital Rape dalam Fikih
Munakahat. Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 3 Nomor 2 Tahun 2018. hlm. I75
8
Susilo. Islamic Perpective on Marital Rape. Jurnal Media Hukum dalam M. Irfan Syaifuddin. Konsepsi
Marital Rape dalam Fikih Munakahat. Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 3 Nomor 2 Tahun 2018.
hlm. I75
9
Sayyid Sabiq. Fiqih Sunnah. Dar al-Hadis. 2004 dalam M. Irfan Syaifuddin. Konsepsi Marital Rape
dalam Fikih Munakahat. Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 3 Nomor 2 Tahun 2018. hlm. I86
terhadap kepuasan antar pasangan, yang kemudian menambah keharmonisan rumah
tangga, sedang jika ketrampilan hubungan seksual diabaikan oleh suami-istri maka akan
memunculkan masalah dalam kehidupan rumah tangga, dan menjadi pemicu dalam
putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri.10Pembahasan mengenai
perkosaan pun umumnya hanya dibatasi kepada had (hukuman), bahwa perempuan
yang menjadi korban perkosaan tidak dikenai hukuman atas hubungan badan yang
dilakukannya dengan laki-laki yang memaksanya, karena dalam keadaan dipaksa maka
bebas dari hukuman. Dasar hukumnya dalam Q.S. al-Baqarah (2): 173
ِ ‫اضطُﱠر َغيـر ٍغ وﻻ ع ٍاد فَﻼ إِ ْﰒ علَي ِه إِ ﱠن ا ﱠ َغ ُف‬
‫يم‬
ٌ ‫ور َرح‬
ٌ َ َْ َ َ َ َ َ ْ ْ ‫فَ َم ِن‬
.”Tetapi barangsiapa terpaksa, bukan karena menginginkannya dan tidak pula
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang.”
Pelaku perkosaan dalam fiqih Islam dibagi ke dalam dua kategori; pertama,
perkosaan yang dilakukan tanpa ancaman senjata atau membunuh, pelaku akan dikenai
denda membayar mahar jika korban adalah perempuan merdeka (gadis atau yang sudah
menikah), sedangkan jika budak dikenai denda sekurang-kurangnya sama seperti harga
budak wanita tersebut. Menjadi paradoks ketika perzinahan hukumannya adalah
dicambuk 100 kali ditambah dengan diasingkan untuk pelaku zina ghaira muhson, dan
dirajam untuk pelaku zina muhson baik laki-laki maupun perempuan. Maka diperlukan
ijtihad untuk menentukan hukuman tegas bagi pelaku perkosaan, sehingga memberikan
efek jera bagi pelakunya dan peringatan kepada masyarakat untuk tidak melakukan
kejahatan perkosaan. Kedua, jika melakukan dengan senjata atau ancaman membunuh,
maka diqiyaskan dengan had perampok yaitu dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki
secara silang, atau diasingkan (bisa diganti dengan penjara).11
Konsep mu’asyarah bil ma’ruf adalah konsep fiqih munakahat dalam hubungan
suami istri. Hubungan suami istri harus dilandasi dengan asas kebaikan dan kapatutan
termasuk dalam hubungan seksual. Sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam Q.S
An-Nisa (4) : 19
‫وه ﱠن فَـ َع َسى أَ ْن تَ ْكَرُهوا َشْيـئًا َوَْﳚ َع َل ا ﱠُ فِ ِيه َخْيـ ًرا َكثِ ًﲑا‬ ِ
ُ ‫وه ﱠن ِ لْ َم ْعُروف فَِإ ْن َك ِرْهتُ ُم‬
ِ
ُ ‫َو َعاش ُر‬
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak..”
Kata ‘asyiru yang terkandung dalam ayat di atas dalam bentuk kata amr
(perintah), yang kemudian jika menggunakan kaidah fiqih bahwa setiap perintah
menunjukkan kewajiban (al-aslu fil amri lil wujub illa ma dalla dalilun ‘ala khilafihi).
Perintah menggauli istri dengan baik (patut), yaitu dengan tidak mengganggu, tidak
memaksa, berbuat ihsan, dan berbaik-baik kepada istri, merupakan kewajiban setiap
suami dalam menjalankan kehidupan berumah tangga. 12 Mafhum mukhalafah-nya
adalah jika suami memaksakan hasrat seksualnya kepada istri dengan cara yang tidak
10
Junaidi. Pernikahan Hybrid : Studi tentang Komitmen Pernikahan Wong Nasional di Desa Patokpicis
Kecamatan Wajak Kabupaten Malang. Pustaka Pelajar. Yogyakarta dalam M. Irfan Syaifuddin. Konsepsi
Marital Rape dalam Fikih Munakahat. Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 3 Nomor 2 Tahun 2018.
hlm. I84
11
Baits. K. Hukum Kasus Pemerkosaan Retrieved from https://konsultasisyariah. com/3966-hukum-
kasus-pemerkosaan.html dalam M. Irfan Syaifuddin. Konsepsi Marital Rape dalam Fikih Munakahat.
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 3 Nomor 2 Tahun 2018. hlm. I87
12
M. Quraish Shihab. Tafsir al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Lentera Hati. Jakarta.
2002. dalam M. Irfan Syaifuddin. Konsepsi Marital Rape dalam Fikih Munakahat. Jurnal Ilmu Syari’ah
dan Hukum Vol. 3 Nomor 2 Tahun 2018. hlm. I88
benar, maka telah menyalahi ketentuan dalam fiqih munakahat yang hukumnya adalah
haram dan mendapatkan dosa dari Allah SWT.
Salah satu bentuk pemaksaan suami atas istri adalah melakukan hubungan
seksual dengan cara yang keluar batas kewajaran (contoh anal sex). Memaksakan
hubungan seksual kepada istri adalah perbuatan yang melanggar syariat, karena pada
dasarnya hubungan seksual antara suami istri dilakukan dengan saling ridho (taradhin)
dan dengan cara yang patut (ma’ruf). Apalagi jika suami memaksa istri melakukan
hubungan seksual dengan cara yang tidak dibenarkan (anal sex). Selain diharamkan oleh
syariat, menggauli istri dari dubur adalah bertentangan dengan tabiat (fitrah) manusia
dan juga membahayakan untuk kesehatan karena dubur adalah tempat yang kotor. 13
Idealnya perlu diformulasikan ketentuan khusus dalam fiqih munakahat yang mengatur
larangan yang tegas terhadap semua bentuk kekerasan seksual yang dilakukan suami
atas istri, sehingga memberikan peringatan kepada masyarakat sekaligus ancaman atau
efek jera kepada para pelaku marital rape. Sebagaimana yang telah ditetapkan oleh UU
Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT pasal 47 yang berbunyi: “Setiap orang yang
melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling
banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
C. Kesimpulan
Memperlakukan istri dengan hormat, menggauli dengan baik, memprioritas istri,
dan menjalani kehidupan bersama istri dengan kesabaran merupakan kewajiban yang
harus dijalankan oleh setiap suami. Menggauli istri dengan baik adalah cerminan
pribadi utama dalam diri suami, namun sebaliknya jika memperlakukan istri dengan
cara yang tidak baik menunjukkan ciri seorang dzalim. Suami memperlakukan istri
dengan hormat adalah dengan cara memposisikan istri sejajar dengannya, tidak
memaksa dan menyakiti istri, sekalipun dengan ucapan ofensif (kalimatun nabiyah).
Sehingga akan tercipta suasana harmonis antara saumi dan istri di tengah kehidupan
rumah tangga.
Dan dari perkembangan hukum yang mengaturnya persoalan mengenai marital
rape sebagai tindak kekerasan terhadap perempuan belum ada aturan hukum yang jelas
untuk mengakomodir persoalan tersebut. Walaupun telah ada undang-undang baru
tentang penghapusan tindak kekerasan dalam rumah tangga namun undang-undang ini
masih perlu pengujian dalam tataran implementasinya. Dan memerlukan kerja sama
yang baik dari berbagai pihak baik dari pihak pemerintah, penegak hukum dan
masyarakat itu sendiri dalam tataran kesadaran hukum.
D. Daftar Pustaka
Moerti Hadiati Soeroso. Kekerasan Dalam Rumah Tangag. Sinar Grafika. Jakarta.
2012.
Mohammad Taufik Makarao. Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga. Rineka Cipta. Jakarta. 2013
Adila Arumita Sari. Kebijakan Formulasi Kekerasan Seksual Terhadap Istri (Marital
Rape) Berbasis Keadilan Gender di Indonesia. Jurnal Pembangunan Hukum
Indonesia Vo. 1 No. 1 Tahun 2019 FH Universitas Diponegoro.
M. Irfan Syaifuddin. Konsepsi Marital Rape dalam Fikih Munakahat. Jurnal Ilmu
Syari’ah dan Hukum Vol. 3 No. 2 Tahun 2018.
Titin Samsudin. Marital Rape Sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Jurnal Al-
Ulum Vo. 10 No. 10 Tahun 2010

13
Alhafidz, A. W. Fikih Kesehatan. Amzah. Jakarta. 2010 dalam M. Irfan Syaifuddin. Konsepsi Marital
Rape dalam Fikih Munakahat. Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 3 Nomor 2 Tahun 2018. hlm. I88

Anda mungkin juga menyukai