Anda di halaman 1dari 21

PERLINDUNGAN ISTRI SEBAGAI KORBAN PEMERKOSAAN DI DALAM

RUMAH TANGGA (MARITAL RAPE)

Disusun Oleh

Miranda Ramadani

1910113082

Fakultas Hukum

Universitas Andalas
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya memiliki pengertian bahwa manusia
membutuhkan orang lain serta berkeinginan untuk melakukan interaksi dengan lingkungan
sekitarnya. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan orang lain untuk memenuhi
kebutuhannya, termasuk memenuhi kebutuhan biologis. Demi memenuhi kebutuhan biologis
tersebut, manusia akan mencari pasangan hidupnya untuk kemudian mengikatkan diri mereka ke
dalam suatu hubungan pernikahan yang sah secara hukum dan agama.

Dalam pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan juga telah disebutkan
bahwa:

“Dasar perakwinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.”1

Pasal tersebut menunjukka bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk rumah
tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal. Akan tetapi, tidak semua pernikahan mencapai tujuan
yang dimaksud. Hingga saat ini, angka kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga di Indonesia
masih sangat tinggi. Menurut catatan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan), selama 18 tahun terakhir terdapat 544.452 kasus kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT).2

1
Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Dasar perakwinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha
Esa
2
Tsarinah Maharani, Sepanjang 2004-2021, Komnas Perempuan Catat 544.542 Kekerasan dalam Rumah Tangga,
https://nasional.kompas.com/read/2021/09/28/10181941/sepanjang-2004-2021-komnas-perempuan-catat-544452-kekerasan-
dalam-rumah diakses pada 17 November 2022.
Kekerasan yang dalam hal ini termasuk kekerasan dalam rumah tangga merupakan bentuk
pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kekerasan dalam bentuk apapun dan dengan alasan
apapun tidak dapat dibenarkan karena hal tersebut merupakan suatu diskrimansi dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan. 3
Pada dasarnya, kekerasan adalah semua bentuk tindakan, baik
secara verbal maupun non verbal yang dilakukan oleh seseorang maupun sekelompok orang
terhadap seseorang atau sekelompok orang lainnya yang menyebabkan efek negatif baik secara
fisik, emosional maupun psikologis kepada orang yang menjadi sasarannya. Secara legal, tindak
kekerasan memiliki pengertian sebagai suatu perbuatan yang disengaja atau suatu bentuk aksi atau
perbuatan yang merupakan kelalaian, yang kesemuanya merupakan pelanggaran atas hukum
kriminal, yang dilakukan tanpa suatu pembelaan atau dasar kebenaran dan diberi sanksi oleh Negara
sebagai suatu tindak pidana berat atau tindak pelanggaran hukum yang ringan.4

Kekerasan terhadap perempuan secara seksual yang dilakukan oleh suami dikenal dengan
istilah kekerasan terhadap istri (wife abuse). Kekerasan secara seksual, yang umumnya terjadi yakni
pemerkosaan tidak hanya terjadi di luar perkawinan, namun juga sering terjadi di dalam perkawinan
itu sendiri. Tindakan kekerasan seksual yang dilakukan terhadap istri dikenal dengan istilah marital
Rape. Dikutip dari Himmah Online, Alimatil Qibtiyah, Komisionar Komnas Perempuan
menyampaikan bahwa telah terjadi lonjakan terhadap laporan kasus kekerasan terhadap perempuan
yang terdata di dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2022, dibandingkan dengan data pada tahun 2021
peningkatan terjadi signifikan 50 persen.5 Di tahun 2021, total kasus kekerasan terhadap perempuan
dalam ranah personal yang masuk ke dalam laporan beberapa lembaga layanan berjumlah 2.363
kasus, kasus terbanyak terjadi pada kasus perkosaan yang berjumlah 597 kasus, selanjutnya marital
rape sebanyak 591 kasus, incest atau perkawinan sedarah berjumlah 433 kasus, dan pelecehan
seksual sebanyak 374 kasus.6

Berdasarkan data tersebut, kasus marital rape yang terjadi di Indonesia menduduki kasus
tertinggi kedua. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 sudah dijelaskan aturanya secara
jelas. Pemerkosaan adalah bentuk kekerasan terberat yang dirasakan oleh perempuan. Pada
dasarnya, dalam hal hubungan seksual, suami dan istri memiliki hak yang sama. Dalam hal ini,

3
Agung Budi Santoso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Terhadap Perempuan: Perspektif Pekerjaan Sosial, Volume 10,
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, 2019, hal. 39
4
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hal. 21
5
Siti Tabingah, 2022, Catahu Komnas Perempuan 2022: Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Melonjak 50 Persen, Himma Online,
himmahonline.id/berita/catahu-komnas-perempuan-2022-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-melonjak-50-persen/ diakses
pada 24 November 2022
6
Ibid.
persetubuhan dapat dinikmati oleh kedua belah pihak secara adil dan merata, bukan yang
dipaksakan oleh salah satu pasangannya. Hingga saat ini, kekerasan seksual yang dilakukan suami
terhadap istri (marital Rape) masih sangat jarang mendapat perhatian dari masyarakat. Suami yang
memaksakan sebuah aktifitas seksual jarang di laporkan oleh istrinya. Hal ini disebabkan oleh
lemahnya kedudukan istri di dalam keluarga. Terlebih lagi, laki-laki sebagai kepala keluarga
dianggap memiliki hak otonom di dalam keluarganya, dan kebanyakan dari mereka merasa berhak
untuk dapat melakukan apa saja terhadap perempuan. Bagi laki-laki perkawinan dianggap sebagai
legitimasi resmi atas kekuasaannya terhadap perempuan.

Kekerasaan seksual terhadap istri (marital rape) memiliki dampak baik secara fisik maupun
psikis korban. Pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga sudah jelas melanggar hak istri,
sebab suami dan istri memiliki hak yang sama. Aktivitas seksual yang dilakukan secara pemaksaan
dan dilakukan di bawah tekanan sama saja dengan penindasan terhadap perempuan, apabila hal ini
terus dilakukan secara berulang dan berkelanjutan akan mengakibatkan istri (korban) terjangkit
beberapa karakter, di antaranya: inferior (merasa rendah diri) dan tidak percaya diri, kemudian
menderita gangguan reproduksi akibat perasaan tertekan atau stres, misalnya infertilitas (kurang
mampu menghasilkan keturunan) dan kacaunya siklus haid, atau bahkan dapat menyebabkan
kematian.

Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga, mengenai larangan kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam Pasal 5 yang berbunyi:

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang
dalam lingkup rumah tangganya dengan cara; kekerasan fisik, kekerasan psikis,
kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga”.

Tercatat sudah ada beberapa kasus yang diadili dan diputus oleh pengadilan dalam perkara
kekerasan seksual dalam rumah tangga (marital rape) dan menjebloskan pelakunya ke balik jeruji
besi. Salah satu contoh putusannya adalah Putusan Nomor: 912/Pid/B/2011/PN.Bgl. 7 Terdakwa
(Hari Ade Purwanto, 29 tahu) dihadapkan di depan persidangan Pengadilan Negeri Bangil dengan
dakwaan pada pokoknya bahwa Terdakwa melakukan kekerasan seksual terhadap korban, yaitu istri
terdakwa (Sri Wahyuni), di mana Terdakwa memaksa korban melakukan hubungan seksual dengan
dirinya. Selanjutnya Penuntut Umum dalam tuntutannya meminta Majelis Hakim untuk menyatakan
7
Hari Ade Purwanto, Nomor: 912/Pid/B/2011, Pengadilan /negeri Bangil, 5 Mei 2012.
bahwa Terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan perbuatan kekerasan seksual‟
sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 46 UUPKDRT menjatuhkan pidana terhadap
Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan dikurangi selama
Terdakwa berada dalam tahanan.

Kekerasan seksual yang terjadi di dalam rumah tangga perlu mendapatkan perhatian yang
serius, terutama saat istri yang tidak berdaya dan terlalu takut untuk mengemukakan perlakuan yang
dialaminya. Maka dari itu diperlukan berbagai upaya dalam melindungi korban-korban marital rape
ini. Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk mengangkat tema
yang selanjutnya akan ditulis dalam bentuk makalah dengan judul “Perlindungan Istri Sebagai
Korban Pemerkosaan Di Dalam Rumah Tangga (Marital Rape)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka identifikasi masalahnya
sebagai berikut:

1. Bagaimanakah larangan pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan menurut hukum


positif di Indonesia?

2. Bagaimanakah bentuk perlindungan istri sebagai korban marital rape?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui larangan pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan yang diatur di
dalam hukum positif di Indonesia.

2. Untuk mengetahui perlindungan terhadap istri sebagai korban marital rape.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Marital Rape

Istilah marital rape terdiri atas dua suku kata yaitu ‘marital’ yang memililki makna ‘segala
hal yang berkaitan dengan perkawinan’ dan ‘rape’ yang berarti ‘pemerkosaan’. Terdapat beberapa
pendapat yang mendefinisikan martial rape, seperti yang didefinisikan oleh Bergen, dikutip dari
Milda Marli8 bahwa martial rape merupakan hubungan seksual yang dilakukan baik secara vaginal,
oral maupun anal dengan paksaan, ancaman atau dilakukan saat istri dalam keadaan tidak sadar. 9
Sementara Farkha Cicik mengkategorikan marital rape ke dalam tiga kategori, yaitu: pemaksaan
hubungan seksual ketika istri tidak siap, hubungan seksual yang diiringi penyiksaan dan pemaksaan
hubungan seksual dengan cara yang tidak dikehendaki oleh istri.10

Di Amerika Serikat, marital rape didefinisikan sebagai tindakan sebagai tindakan seksual
yang tidak diinginkan, yang dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangan yang dilakukan tanpa
adanya persetujuan dari pihak korban. Tindakan ini dilakukan dengan paksaan, ancaman paksaan,
intimidasi atau korban dalam keadaan tidak dapat memberikan persetujuan. Tindakan ini meliputi
bersetubuh, anal, dan tindakan lainnya yang ditujukan merendahkan, memalukan, menyakitkan, dan
tidak diinginkanoleh korban.11

Dari beberapa pengertian mengenai marital rape yang telah disebutkan di atas, maka dapat
disimpulkan bentuk-bentuk marital rape sebagai berikut, yaitu:

1. Hubungan seksual yang tidak diinginkan oleh istri, karena adanya ketidaksiapan istri baik
secara fisik ataupun psikis.

8
Milda Marlia, “Marital Rape: Kekerasan Seksual Terhadap Istri”, (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara), 2007, hlm.12
9
Bergen dalam Siti A’isyah, “Marital Rape Dalam KUHP dan Hukum Pidana Islam”, (Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2001)
10
Ibid
11
US Legal Definitions, diakses pada 17 November 2022, http://definitions.uslegal.com/m/marital-rape/
2. Hubungan seksual yang dilakukan dengan cara yang tidak diinginkan oleh istri; dengan
oral, anal, dan sebagainya.

Merujuk pada Pasal 8 UUPKDRT menjelaskan bahwa bentuk kekerasan seksual dalam
rumah tangga terpola dalam dua bentuk, yaitu:

1. Pemaksaan hubungan seksualyang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut;

2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Persoalan mengenai marital rape berkaitan dengan kekerasan seksual terhadap perempuan
(istri) berdampak negatif terhadap perkawinan sehingga membutuhkan keberanian untuk
mengungkapkannya. Apabila suami memaksa untuk melakukan hubungan seksual tanda persetujuan
istri, hal tersebut seringkali tidak terekspresikan disebabkan oleh beberapa faktor misalnya
ketakutan, malu, keterpaksaan baik ekonomi, sosial atau kultural, dan lain-lain. Tindakan marital
rape ini merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan baik secara fisik maupun psikis, dampak
yang ditimbulkan dari perbuatan ini mengakibatkan pengaruh besar bagi korban, baik dampak dari
segi psikis maupun dari segi fisik. Adapun dampak yang diakibatkan dari perbuatan marital rape
berupa:

1. Menimbulkan lecet pada vagina atau luka fisik lainnya, dan apabila hubungan tersebut
berlangsung dalam waktu yang lama yang diakibatkan suami dalam pengaruh minuman
keras atau obat-obatan. Perlakuan kasar yang dilakukan oleh suami dalam melakukan
hubungan seks terhadap istri yang sedang hamil dapat mengakibatkan proses persalinan
yang sulit, bayi lahir prematur dan bahkan keguguran.12

2. Secara psikis, marital rape dapat menimbulkan kekecewaan yang berkepanjangan atau
perasaan takut dan trauma berhubungan seksual. Untuk dampak dalam jangka pendek ,
korban biasanya akan merasa jengkel, marah, kesal, merasa bersalah, malu dan terhina.
Gangguan emosional ini ditandai dengan gejala sulit tidur (insomnia) dan berkurangnya

12
Nurul Ilmi Idrus, Marital Rape; Kekerasan seksual dalam perkawinan. (Yogya; PPK UGM dan Ford Fondation. 1999) hlm. 70-71
selera makan (lost apetite).13 Sementara untuk dampak psikis jangka panjang adalah
timbulnya sikap atau persepsi negatif terhadap suami dan seks karena trauma yang
ditanggung. Trauma adalah luka jiwa yang diderita seseorang usai mengalami hal-hal
yang dirasannya diluar batas wajar dan abnormal.14

Terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya marital rape yang dilakukan oleh suami
kepada istri, yaitu:15

1. Langsung

Penyebab langsung terjadinya tindakan marital rape terjadi atas beberapa sumber,
diantaranya:

a. Libido yang tidak berimbang; Dorongan seksual yang dimiliki oleh tiap individu
umumnya berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki biasanya lebih dapat
mengekspresikan keinginannya dibandingkan perempuan. Berdasarkan hal tersebut,
pihak istri cenderung lebih pasif dalan merealisasikan libidonya. Akibatnya, banyak
hubungan seksual yang terjadi tanpa adanya kesepakatan, dengan kata lain istri seringkali
merasa sakit dan tersiksa.

b. Penolakan istri; Penolakan ini diartikan sebagai pembangkangan oleh pihak suami karena
adanya keyakinan bahwa perempuan atau istri memiliki kewajiban dalam melayani
suami, sehingga pihak suami merasa berhak untuk memaksanya.

c. Suami mabuk setelah minum-minuman keras; Adanya kecenderungan perilaku tidak


terkontrol dari orang yang mabuk.

2. Tidak Langsung

Penyebab tidak langsung terjadinya tindakan marital rape terjadi atas beberapa
sumber, diantaranya:

13
Elli Nur Hayati, Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan; Konseling Berwawasan gender. (Yokyakarta: Rifka
Annisa dan Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 45-46
14
Ibid. hlm 47
15
Muammar, “Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Pelaku Marital Rape; Studi Putusan Pengadilan Negeri Pasuruan Bangil
Nomor: 912/Pid/Pn/Bgl”, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2012, hlm. 22
a. Kurangnya komunikasi; Dengan adanya keterbukaan antara suami dan istri tentu akan
lebih menghindari hubungan dari sebuah kesalahpahaman. Namun, pembahasan
mengenai aktivitas seksual seringkali dianggap tabu, dan juga terdapat anggapan bahwa
perempuan hanya berkewajiban untuk melayani suami. Akibatnya istri merasa malu
untuk mengambil tindakan inisiatif dalam hubungan seksual, sehingga menerimanya
sebagai obyek seks semata.

b. Suami berselingkuh; Perselingkuhan yang dilakukan oleh suami secara tidak langsung
menjadi salah satu penyebab terjadinya marital rape. Istri cenderung menolak melakukan
hubungan seksual setelah mengetahui suaminya memiliki pasangan selingkuh karena
membayangkan suaminya melakukannya dengan wanita lain.

c. Ketergantungan dan kesulitan ekonomi; Dalam rumah tangga, suami umumnya berperan
dalam mencari nafkah untuk keluarga. Istri yang secara ekonomi tidak mandiri dan
bergantung kepada suami, mengakibatkan suami merasa memiliki hak otonom terhadap
istri.

d. Kawin paksa; Kawin paksa seringkali berakibat sulitnya komunikasi antara suami dan
istri, sehingga permasalahan-permasalahan dalam rumah tangga jarang dibicarakan,
dalam hal ini termasuk permasalahan seksualitas.

2.2 Larangan Pemaksaan Hubungan Seksual di Dalam Perkawinan Menurut Hukum Positif
di Indonesia

Pengaturan mengenai marital rape diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Sebelum lahirnya undang-undang ini, tidak
ada pengaturan dalam hukum positif di Indonesia mengenai marital rape. Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan pengaturan mengenai perkosaan yang terjadi di dalam
rumah tangga. KUHP hanya memberikan landasan hukum mengenai perkosaan saja, yang pada
intinya adalah pemaksaan hubungan seksual. KUHP hanya mengakui kekerasan fisik sebagai
bentuk kejahatan, tidak mempertimbangkan kekerasan psikis atau seksual.

Sebelum lahirnya UUPKDRT, kejahatan pemerkosaan (rape) hanya diartikan sebagai


pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan seorang laki-laki terhadap wanita yang bukan istrinya.
Dari ketentuan pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP yang menjelaskan tentang pemerkosaan,
dijelaskan bahwa suatu pemerkosaan hanya dapat terjadi dalam kondisi sebagai berikut:

a. Perempuan yang bukan istrinya (Pasal 285 KHUP). Ketentuan pasal ini mensyaratkan
bahwa yang menjadi korban pemerkosaan bukanlah istri pelaku.

b. Perempuan yang bukan istrinya yang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Pasal
286 KUHP)

c. Perempuan yang belum 15 tahun atau belum masanya untuk kawin (Pasal 287 KUHP).
Dalam hal ini, meski seorang perempuan yang belum berumur 15 tahun menyetujui
terjadinya hubungan seksual, namun perbuatan seksual seorang laki-laki dengannya tetap
dianggap sebagai pemerkosaan

d. Sedangkan hubungan seksual dengan perempuan yang merupakan istrinya, tapi belum
masanya untuk kawin karena belum berusia 15 tahun (Pasal 287 KUHP), maka KUHP
tidak menganggap hubungan tersebut sebagai tindak pidana pemerkosaan, kecuali bila
perbuatan tersebut menimbulkan luka-luka, luka berat, atau kematian.

Ketentuan dalam pasal-pasal di atas jelas tidak mengklasifikasikan perbuatan perkosaan


dalam ikatan perkawinan atau marital rape sebagai kejahatan yang dapat dihukum, sehingganya istri
tidak dapat mengadukan suami ke pengadilan dengan alasan pemerkosaan. Seandainya pun bisa,
perkaranya akan dianggap dan diproses sebagai penganiayaan yaitu berdasar pasal 351, 353
KUHP17, dan bukan pemerkosaan.

Kemudian lahirlah Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Pengkapusan Kekerasan


dalam Rumah Tangga, yang salah satu hal dalam konsiderannya adalah bahwa dalam kenyataannya
kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sementara sistem hukum di Indonesia belum
menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.

Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga, mengenai larangan kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam Pasal 5 sampai Pasal 9.
Pasal 5 berbunyi
“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam
lingkup rumah tangganya dengan cara; kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan
seksual atau penelantaran rumah tangga”.

Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi:

1. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut.

2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan
orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.16

Kemudian dijelaskan dalam Pasal 8 huruf a dan b, bahwa yang dimaksud dengan kekerasan
seksual dalam hal ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual,
pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan
seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu, berdasarkan keterangan
dalam Pasal 8 tersebut bahwa tindakan-tindakan ini termasuk dalam kategori kekerasan seksual.
Akan tetapi, ketentuan pasal ini kurang memenuhi keterangan mengenai kriteria pemaksaan
hubungan seksual yang seperti apa hingga dapat disebut sebagai kekerasan seksual. Hal ini tentunya
mengharuskan tiap masing-masing individu untuk menafsirkan sendiri sesuai dengan pemikirannya,
sehingga dapat mengakibatkan adanya perbedaan penafsiran dari masing-masing individu tersebut.

UUPKDRT mengatur 3 (tiga) ketentuan pidana yang berkaitan dengan kejahatan kekerasan
seksual dalam rumah tangga17, yaitu:

1. Kekerasan seksual (marital rape) yang melibatkan anggota internal keluarga (suami istri),
hal ini diatur Pasal 46 UUPKDRT yang menyebutkan sebagai berikut:

“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 8 huruf ( a ) dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas)
tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”

16
Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.7
17
Ibid. hlm. 21-22
2. Kekerasan seksual yang melibatkan anggota eksternal di luar keluarga, baik dengan
tujuan komersial ataupun bukan, dalam hal ini ancaman pidana yang diberikan lebih berat
sebagaimana diatur Pasal 47 UUPKDRT yang menyebutkan sebagai berikut:

“Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf ( b )
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua
belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah)”

3. Kekerasan seksual (marital rape) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47
yang mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4
(empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau
matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi,
dalam hal ini ancaman pidananya lebih berat dari 2 (jenis) kejahatan sebelumnya
sebagaimana diatur Pasal 48 UUPKDRT yang menyebutkan sebagai berikut:

“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47


mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya
selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut,
gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya
alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp
25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”

Tidak hanya di segi hukum materil, UUPKDRT juga mengatur tentang ketentuan formil
(hukum acara pidana) yang berlaku khusus dalam pemeriksaan dan pembuktian perkara kekerasan
seksual, khususnya terkait dengan pembuktian di persidangan. UUPKDRT memberikan keringanan
dalam hal pembuktian, yang mana ditentukan bahwa keterangan seorang saksi korban saja sudah
cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang
sah lainnya. Selengkapnya tentang hal ini diatur dalam pasal 54 dan 55 UUPKDRT sebagai berikut;

Pasal 54

“Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan


menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang ini.”

Pasal 55

“Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah
cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu
alat bukti yang sah lainnya”

Ketentuan di atas cukup logis mengingat bahwa dalam perkara yang bersifat kesusilaan agak
sulit untuk mendapatkan saksi lain yang melihat secara langsung suatu kejadian dan peristiwa, maka
dengan terdakwa tidak pernah membantah keterangan saksi korban di persidangan maka cukup
telah memenuhi sebagai syarat minimum pembuktian sebagaimana secara limitatif diatur dalam
ketentuan Pasal 55 UUPKDRT di atas.

Tercatat sudah ada beberapa kasus yang diadili dan diputus oleh pengadilan dalam perkara
kekerasan seksual dalam rumah tangga (marital rape) dan menjebloskan pelakunya ke balik jeruji
besi. Meski persentasenya amat kecil jika dibandingkan dengan jenis tindak pidana lainnya, tapi
paling tidak putusan-putusan peradilan pidana yang menyangkut bidang ini turut andil
menyosialisasikan suatu norma baru di tengah masyarakat, terlebih perkara-perkara tersebut
menjadi sorotan dan konsumsi pers karena dirasakan masih janggal oleh masyarakat serta
mengundang perhatian publik.

Salah satu contoh putusannya adalah Putusan Nomor: 912/Pid/B/2011/PN.Bgl. 18 Kasus


posisi dari perkara ini adalah: Terdakwa (Hari Ade Purwanto, 29 tahu) dihadapkan di depan
persidangan Pengadilan Negeri Bangil dengan dakwaan pada pokoknya bahwa Terdakwa
melakukan kekerasan seksual terhadap korban (Sri Wahyuni, in casu istri Terdakwa sendiri), di
mana Terdakwa memaksa korban melakukan hubungan seksual dengan dirinya. Selanjutnya
18
Hari Ade Purwanto, Nomor: 912/Pid/B/2011, Pengadilan /negeri Bangil, 5 Mei 2012.
Penuntut Umum dalam tuntutannya meminta Majelis Hakim untuk menyatakan bahwa Terdakwa
telah bersalah melakukan tindak pidana „Melakukan perbuatan kekerasan seksual‟ sebagaimana
diatur dan diancam pidana Pasal 46 UUPKDRT menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam
tahanan.

Dalam pertimbangan putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Terdakwa (suami)


terbukti bersalah dengan melakukan telah memaksa istrinya melakukan persetubuhan (marital
rape), yang mana akibat dari perbuatan tersebut menimbulkan trauma yang cukup berat dan
mendalam bagi diri korban, dan korban merasa diperlakukan tidak manusiawi oleh terdakwa.

Setelah mempertimbangkan perkara tersebut, Majelis Hakim yang diketuai oleh Hj. Istining
Kadariswati, SH., M.Hum dalam vonisnya menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana „melakukan kekerasan seksual pada istrinya‟ serta
menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga)
bulan. Putusan ini kemudian dikuatkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Surabaya dan juga di
tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

2.3 Bentuk Perlindungan Bagi Korban Marital Rape

Kekerasan seksual menjadi salah satu bentuk kekerasan yang terjadi dalam ranah privat.
Tercatat sebanyak 309 pengaduan kasus pemerkosaan dalam rumah tangga dan 26 percobaan
pemerkosaan yang mana 83 kasus diantaranya dilakukan oleh suami.

Penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual dalam ranah domestik, termasuk marital rape
umumnya memiliki tiga pola penyelesaian yaitu :

a. Penyelesaian di luar jalur hukum

b. Penyelesaian melaui jalur hukum,

c. Tidak teridentifikasi. Penyelesaian hukum yang teridentifikasi menurut data Komnas


Perempuan merupakan penyelesaian-penyelesaian melalui jalur perdata (8%) dan jalur
pidana (24%). Untuk kasus yang diselesaikan melalui jalur pidana, terdapat tingkatan
pemeriksaan yang berbeda, yaitu tahap penyidikan, tahap tuntutan hingga penjatuhan
vonis hakim mencakup upaya hukum biasa serta upaya hukum luar biasa.

Bentuk perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dalam rumah tangga yang
dilakukan suami terhadap istrinya menurut sistem hukum pidana, yaitu:19

1. Perlindungan dengan proses peradilan

a) Pelaporan kepada pihak berwajib;

b) Penyelidikan;

c) Penyidikan

d) Penangkapan

e) Penahanan

f) Proses pengadilan

2. Sanksi hukum pidana; mengenai sanksi hukuman pidana diatur dalam Pasal 44 sampai
dengan Pasal 53 UUPKDRT

19
Simso Ruben, “Kekerasan Seksual terhadap Istri Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum Pidana”, Volume IV, Journal Article, 2015,
hlm. 98-101
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

3.2.1. Pada dasarnya, dalam hal hubungan seksual, suami dan istri memiliki hak yang
sama. Dalam hal ini, persetubuhan dapat dinikmati oleh kedua belah pihak secara
adil dan merata, bukan yang dipaksakan oleh salah satu pasangannya. Pemaksaan
hubungan seksual atau perkosaan dalam rumah tangga (marital rape) termasuk
kekerasan seksual yang melanggar hak asasi manusia. Perbuatan marital rape dapat
menimbulkan dampak bagi korban baik secara fisik maupun secara psikis dalam
jangka pendek dan jangka panjang

3.2.2. Pada awalnya hukum pidana di Indonesia tidak mengkategorikan perkosaan dalam
perkawinan (marital rape) sebagai tindak pidana. Seiring dengan perkembangan
zaman, lahirlah Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang di dalamnya terdapat aturan yang mengatur
mengenai tindakan perkosaan dalam rumah tangga (marital rape)

3.2.3. Bentuk Perlidungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Dalam Rumah
Tangga Yang Dilakukan Suami Pada Istrinya Ditinjau Dari Segi Hukum Pidana
adalah: Perlindungan dengan Proses Peradilan; Pelaporan kepada Pihak Berwajib;
Penyelidikan; Penyidikan; Penangkapan; Penahanan; dan Proses Pengadilan.
Perlindungan Hukum yang bisa diberikan antara lain: Perlindungan di Luar Jalur
Peradilan melalui upaya: Negosiasi; Mediasi; Fasilitasi; dan Arbitrase. Sedangkan
perlindungan di dalam peradilan dilakukan dengan proses peradilan.
3.2. Saran

3.2.1. Bagi para ibu rumah tangga dan atau para istri agar supaya dapat mengenali perilaku
menyimpang (tindak perkosaan) yang dilakukan suaminya sebagai salah satu bentuk
tindak pidana sehingga dengan demikian mereka dapat memahami bahwa secara
hukum mereka dilindungi dan pelakunya dapat ditindak secara hukum

3.2.2. Bagi intitusi hukum yang berlaku di Indonesia agar supaya dapat menjalankan
fungsi perlindungannya dengan baik terhadap korban perkosaan atau kekerasan
seksual dalam rumah tangga, khususnya terhadap istri.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Aria Zurnetti dan Efren Nova, Hukum Perlindungan Anak dan Perempuan, Padang: Andalas
University Press, 2022
Bergen, Marital Rape Dalam KUHP dan Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Fakultas Syari’ah
IAIN Sunan Kalijaga, 2001
Elli Nur Hayati, Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan; Konseling
Berwawasan gender, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Milda Marlia, Marital Rape: Kekerasan Seksual Terhadap Istri, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi
Aksara, 2007
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003

JURNAL
Agung Budi Santoso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Terhadap Perempuan: Perspektif
Pekerjaan Sosial, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Volume 10, 2019
Dewi Risa Nia, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jurnal, PSIK Fakultas Kedokteran, Universitas
Sriwijaya.
Muammar, Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Pelaku Marital Rape; Studi Putusan
Pengadilan Negeri Pasuruan Bangil Nomor: 912/Pid/Pn/Bgl,Surabaya: UIN Sunan Ampel
Surabaya, 2012
Nurul Ilmi Idrus, Marital Rape; Kekerasan seksual dalam perkawinan, Yogya; PPK UGM dan Ford
Fondation, 1999
Simso Ruben, “Kekerasan Seksual terhadap Istri Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum Pidana”,
Journal Article Volume IV, 2015

SKRIPSI
Hasanah, Niswatun. “Marital Rape (Study analisis terhadap alasan tindakan Marital Rape dalam
kehidupan rumah tangga),” Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
2009
WEBSITE
Tsarinah Maharani, Sepanjang 2004-2021, Komnas Perempuan Catat 544.542 Kekerasan dalam
Rumah Tangga, https://nasional.kompas.com/read/2021/09/28/10181941/sepanjang-
2004-2021-komnas-perempuan-catat- 544452-kekerasan-dalam-rumah
Hari Ade Purwanto, Nomor: 912/Pid/B/2011, Pengadilan /negeri Bangil,
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/ca75f9e82fd7519b4f803cd53e3e0273.htm
l

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Anda mungkin juga menyukai