Anda di halaman 1dari 19

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTERI YANG MENJADI KORBAN

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA OLEH SUAMI

Disusun oleh :

Juwen Natalia Tamba

NIM : 21602063

Dosen Pengampuh:

NCI YOAN BARBARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM


PRODI HUKUM

ini membahas upaya perlindungan hukum terhadap isteri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah
tangga yang dilakukan oleh suami. Penelitian ini bertujuan memperoleh pemahaman tentang
perlindungan hukum terhadap isteri yang menjadi korban tindakan kekerasan suami. Faktor penyebab
terjadinya kekerasan ini disebabkan karena faktor kepedulian keluarga dan lingkungan, faktor budaya,
faktor penegakan hukum, faktor ekonomi, faktor kepribadian suami. Peranan petugas penegak hukum
dalam melindungi hak-hak perempuan telah dimulai sejak ditemukannya kasus kekerasan ke petugas
kepolisian hingga saat pemeriksaan di pengadilan. Diawali dari lembaga Kepolisian yang menerima
pengaduan tentang adanya tindak kekerasan, untuk melindungi korban yang melaporkan kekerasan
yang dialaminya. Setelah proses melapor, polisi membuat berkas perkara yang kemudian akan
dilimpahkan ke kejaksaan. Kemudian kejaksaan akan membuat dakwaan dan tuntutan yang akhirnya
akan diputus oleh hakim di Pengadilan. Kejaksaan memiliki peran yang sangat penting dalam proses
penegakan hukum pidana, karena dapat tidaknya perkara pidana masuk ke pengadilan adalah
tergantung sepenuhnya oleh Kejaksaan (Penuntut Umum). Peranan seorang hakim dalam melindungi
hak hak perempuan adalah memberikan keadilan kepada korban maupun terdakwa dalam hal kasus
tersebut telah diperiksa oleh pengadilan. Dalam memberikan keadilan bagi korban dan terdakwa, hakim
juga melihat unsur penyesalan dari terdakwa, sehingga hakim tidak semata-mata berpatokan kepada
tuntutan jaksa dan ancaman pidana tetapi dengan memperhatikan sikap, kelakuan terdakwa selama
pemeriksaan, apakah terdakwa sudah berlaku baik atau tidak, apakah ada penyesalan atau tidak
sehingga penjatuhan putusan tidak semata mata untuk menghukum tetapi memberi pelajaran agar
tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap isteri
yang menjadi korban tindakan kekerasan suami ditemukan beberapa kendala. Kendala tersebut
diantaranya disebabkan oleh faktor hukumnya sendiri, faktor petugas penegak hukum, faktor sarana
dan fasilitas, faktor masyarakat, faktor budaya
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumah adalah tempat untuk membangun keluarga yang bahagia, harmonis dan sejahtera. Tempat
pengayom bagi seluruh penghuninya dan juga sebagai tempat berlindung bagi seluruh anggota
keluarga. Maka rumah tangga mempunyai fungsi yang sangat signifikan dalam kehidupan manusia.
Rumah tangga merupakan unit yang terkecil dari susunan kelompok masyarakat, rumah tangga
juga merupakan sendi dasar dalam membina dan terwujudnya suatu negara. Indonesia sebagai negara
yang berlandaskan pancasila yang didukung oleh umat beragama mustahil bisa terbentuk rumah
tangga tanpa perkawinan. Karena perkawinan tidak lain adalah permulaan dari rumah tangga.
Ada tiga hal mengapa perkawinan itu menjadi penting. Petama: perkawinan adalah cara untuk
ikhtiyar manusia melestarikan dan mengembangbiakan keturunanya dalam rangka melanjutkan
kehidupan manusia di muka bumi. Kedua: perkawinan menjadi cara manusia menyalurkan hasrat
seksual. Yang dimaksud di sini adalah lebih pada kondisi terjaganya moralitas, dengan begitu
perkawinan bukan sematamata menyalurkan kebutuhan biologis secara seenaknya, melainkan juga
menjaga alat reproduksi agar menjadi tetap sehat dan tidak disalurkan pada tempat yang salah.
Ketiga: perkawinan merupakan wahana rekreasi dan tempat orang menumpahkan keresahan hati dan
membebaskan diri dari kesulitan hidup secara terbuka kepada pasanganya.
Pada dasarnya tujuan perkawinan ialah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dalam
undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pengertian tersebut untuk
mewujudkan keluarga yang bahagia landasan utama yang perlu dibangun antara laki-laki dan
perempuan sebagai suami istri adalah adanya hak dan kewajiban di antara keduanya.
Hal ini semakin memperkuat bahwa rumah tangga menjadi tempat yang aman bagi para
anggotanya, karena keluarga dibangun oleh suami isteri atas dasar ikatan lahir batin diantara
keduanya2 . Selain itu dalam Pasal 33 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengatakan bahwa:
“ Antara suami istri mempunyai kewajiban untuk saling cinta-mencintai, hormat menghormati,
setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. Bahkan suami dan istri
mempunyai kedudukan yang sama/ seimbang dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup
di masyarakat serta berhak melakukan perbuatan hukum”.
Pasal 1 dan Pasal 33 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diartikan sebagai
larangan adanya kekerasan dalam rumah tangga khususnya kekerasan oleh suami terhadap isteri,
karena hal ini tidak sesuai dengan tujuan perkawinan serta hak dan kewajiban suami isteri.
Dengan pengaturan hak dan kewajiban yang sama antara suami istri dalam rumah tangga,
pergaulan masyarakat, dan dimuka hukum serta adanya kewajiban untuk saling mencintai
menghormati, setia, dan saling memberi bantuan lahir batin maka UU Perkawinan bertujuan agar
kehidupan antara suami istri akan terhindar dari perselisihan atau tindakantindakan fisik yang
cenderung menyakiti dan membahayakan jiwa seseorang.
Namun kenyataan berbicara lain karena semakin banyak tindak kekerasan dalam rumah tangga
yang terjadi dalam masyarakat. Banyak rumah tangga menjadi tempat penderitaan dan penyiksaan
karena terjadi tindak kekerasan. Lebih memprihatinkan lagi, pelaku tindak kekerasan tersebut adalah
orang terdekat/ extended family (orang tua/ suami/ istri). Kasus-kasus kekerasan seperti memukul,
menendang, menjambak, mencubit dan lain sebagainya mungkin setiap hari terjadi dan sudah
dianggap sebagai hal biasa. Bahkan incest (hubungan seksual dengan anak kandung) dan perkosaan
pun terjadi. Korbannya tidak hanya isteri, tapi juga suami, anak (kandung, angkat, asuh, dan yang
lain), serta orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan, perwalian, dan yang menetap dalam rumah tangga dan atau orang yang
bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Kasus istri yang
dianiaya suaminya, anak yang diperkosa oleh ayah kandungnya sendiri, istri yang dibakar hidup-
hidup, pembunuhan, dan lain sebagainya sudah sering terjadi. Tidak hanya di kalangan orang biasa,
kasus kekerasan dalam rumah tanggapun bisa terjadi di kalangan artis ataupun bangsawan.
Sangat disayangkan, rumah tangga yang seharusnya sebagai tempat berlindung, ternyata menjadi
tempat penyiksaan dan kekerasan. Indonesia sebenarnya telah memberi perlindungan terhadap
korban kekerasan dalam rumah tangga, yaitu dengan UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang disahkan pada tanggal 22 September 2004.
Disahkannya UU PKDRT terwujudlah law in book dan pengakuan dari pemerintah bahwa dulu
KDRT sebagai skeleton in closet, kini menjadi tindak pidana atau urusan publik. 5 UU PKDRT
merupakan upaya untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban
kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan memelihara
keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Berlakunya Undang-undang tersebut diharapkan oleh pembentuk UU dapat memberikan
perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya bagi anak dan perempuan yang
memang rentan menjadi korban kekerasan.
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu permasalahan dalam keluarga untuk
mempertahankan sebuah keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja termasuk
bapak, suami, istri, dan anak, namun secara umum pengertian dalam KDRT di sini dipersempit
artinya penganiayaan terhadap isteri oleh suami. Hal ini bisa dimengerti karena kebanyakan korban
dalam KDRT adalah isteri Berbagai bentuk kekerasan fisik kepada isteri tidak hanya bersifat fisik
seperti menampar, memukul, menendang, menggigit sampai membunuh, namun juga bersifat non
fisik seperti menghina, berbicara kasar. Kekerasan seperti ini adalah dalam bentuk kekerasan
psikologis/kejiwaan.
B. Pernyataan Permasalahan
Kejahatan kekerasan pada hakekatnya adalah suatu perwujudan perilaku manusia. Undang-Undang
PKDRT menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga. Masalah utama yang perlu mendapat perhatian adalah perlindungan hukum bagi perempuan
khususnya isteri yang menjadi korban kekerasan suami. Kekerasan dalam rumah tangga harus
dihapus, agar kehidupan antara suami istri terhindar dari perselisihan atau tindakantindakan fisik
yang cenderung menyakiti dan membahayakan jiwa seseorang. Dengan demikian tindakan kekerasan
yang dilakukan suami terhadap isteri perlu disikapi dan ditangani sampai tuntas agar isteri yang
menjadi korban kekerasan dari suaminya mendapat perlindungan yang layak. Oleh karena itu akan
dibahas dalam penelitian tesis ini mengenai perlindungan hukum terhadap isteri yang menjadi korban
kekerasan dalam rumah tangga oleh suami.
C. Pertanyaan
Berdasarkan latar belakang dan pernyataan permasalahan sebagaimana diuraikan diatas, maka
dapat dirumuskan pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah :
1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga terhadap
isteri yang dilakukan oleh suami ?
2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap isteri yang menjadi korban tindakan kekerasan
suami ?
3. Apa kendala yang dihadapi dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap isteri yang
menjadi korban tindakan kekerasan suami?
D. Maksud Dan Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan pertanyaan penelitian sebagaimana tersebut di atas, maka tujuan
penelitian ini bermaksud memperoleh data serta jawaban permasalahan yang berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap isteri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga oleh suami.
Maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga terhadap
isteri yang dilakukan oleh suami.
2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap isteri yang menjadi korban tindakan
kekerasan suami
3. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam upaya memberikan perlindungan hukum
terhadap isteri yang menjadi korban tindakan kekerasan suami.
E. Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :
1. Secara teoritis, dapat memberi sumbangan pemikiran bagi pengembangan aspek ilmu hukum
pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya
2. Secara praktis, dapat memberikan masukan khususnya terhadap pemerintah maupun lembaga
atau instansi terkait untuk memberi perlindungan hukum terhadap istri korban kekerasan fisik
dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami.
F. Kerangka Teori
Kekerasan jika dikaitkan dengan kejahatan, maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari
kejahatan itu sendiri. Bahkan, ia telah membentuk ciri tersendiri dalam khasanah tentang studi
kejahatan. semakin menggejala dan menyebar luas frekuensi kejahatan yang diikuti dengan
kekerasan dalam masyarakat, maka semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan seriusnya
kejahatan semacam ini
Isu mengenai kejahatan dengan kekerasan, lanjut Romli perlu dijernihkan, apakah kekerasan itu
sendiri adalah kejahatan dan berikutnya adalah apakah yang dimaksud dengan kejahatan kekerasan?
Banyak ahli berpendapat bahwa tidak semua kekerasan merupakan kejahatan, karena ia bergantung
pada apa yang merupakan tujuan dari kekerasan itu sendiri dan bergantung pula pada persepsi
kelompok masyarakat tertentu, apakah kelompok berdasarkan ras, agama, dan ideology

Menurut saya :
(semua bentuk perilaku illegal, termasuk yang mengancam atau merugikan secara nyata atau
menghancurkan harta benda atau fisik atau menyebabkan kematian).
Definisi ini menunjukkan bahwa kekerasan atau violence harus terkait dengan pelanggaran
terhadap undang-undang, dan akibat dari perilaku kekersan itu menyebabkan kerugian nyata, fisik
bahkan kematian. Maknanya jelas bahwa kekerasan harus berdampak pada kerugian pada pihak
tertentu baik orang maupun barang. Tampak pula bahwa kekerasan menurut konsep Sanford, lebih
melihat akibat yang ditimbulkan oleh sebuah perilaku kekerasan.

Oleh karena itu secara umum ada empat jenis kekerasan :


1. Kekerasan terbuka, kekerasan yang dilihat, seperti perkelahian;
2. Kekerasan tertutup, kekerasan yang tersembunyi atau tidak dilakukan, seperti mengancam;
3. Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan
sesuatu, seperti penjabalan; dan
4. Kekerasan defensive, kekerasan yang dilakukan untuk perlindungan diri. Baik kekerasan agresif
maupun defensive bisa bersifat terbuka atau tertutup.

Perspektif defenisi kekerasan di atas lebih menekankan pada sifat dari sebuah kekerasan.
Bagaimana sebuah kekerasan itu disebut terbuka, tertutup, agresif dan ofensif. Kiranya ini akan dapat
dihubungkan dengan kekerasan macam apa yang terjadi dalam sebuah rumah tangga.

Menurut saya

“Perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-
norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial; dapat menimbulkan ketegangan
individual maupun ketegangan sosial; dan merupakan ancaman riil atau potensial bagi berlangsungnya
ketertiban sosial”

Sekalipun disadari bahwa kehidupan berumah tangga masuk dalam wilayah privat (perkawinan).
Namun dalam perkembangan zaman teristimewa terkait dengan penegakan hak asasi manusia, kehidupan
berumah tangga sudah menjadi public concern (perhatian publik). Sehingga mau tidak mau persoalan
dalam rumah tangga khususnya yang terkait dengan kekerasan, perlu dikriminalisasikan. Hal mana
terlihat dalam konsiderans huruf b dan c UU PKDRT, (b) “bahwa segala bentuk kekerasan, terutama
kekerasan dalam rumah tangga,merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus” dan (c) bahwa korban kekerasan
dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara
dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau
perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan

Dengan demikian, mengkaji KDRT agar dapat ditemukannya solusi pemecahan dan atau
penanggulangannya itu, perlu pendekatan dari aspek kriminologi, sebagaimana disebutkan di atas. Sebab
kriminologi dapat menjadi jembatan bagi upaya penanggulangan KDRT sekaligus memberikan amunusi
preventifnya. Kriminologi Klasik dengan amunisi penalisasinya, Kriminologi Positivistik dengan amunisi
etiologi criminal (cari sebab-sebab terjadinya kejahatan) dan kriminologi kritis dengan sosiologi criminal
akan sangat mungkin memberi kontribusi bagi upaya minimalisasi kasus-kasus KDRT.

Teori bekerjanya hukum dalam masyarakat yang dikemukakan oleh Chamblis dan Seidman
menjelaskan bahwa peran dari kekuatan sosial selain berpengaruh pada rakyat sebagian sasaran yang
diatur untuk hukum tetapi juga berpengaruh pada lembaga-lembaga hukum. Seidman menjelaskan
sebagai berikut
a) Semua peraturan hukum memberi pengertian tentang bagaimana seorang pemegang peranan itu
harus bertindak. Dalam kaitannya dengan UU PKDRT, maka pemegang peranan harus
melaksanakan peranannya dalam rangka melindungi korban kekerasan fisik dalam rumah tangga.
b) Bagaimana pemegang peranan tersebut akan melakukan tindakan sebagai suatu respon atas
peraturan hukum yang merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepadanya,
sanksi-sanksinya. Aktivitas dari lembaga pelaksana dan keseluruhan kompleks kekuatan sosial
politik dan lain-lain mengenai dirinya.
c) Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana tersebut akan bertindak sebagai respon terhadap
peraturan hukum yang merupakan fungsi peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka,
sanksi-sanksinya dan keseluruhan kompleks peraturan sosial, politik serta lainnya mengenai diri
mereka sendiri juga termasuk umpan balik (feedback) yang datang dari pemegang peranan.
d) Bagaimana pembuat peraturan akan bertindak, hal ini merupakan fungsi peraturan yang mengatur
tingkah laku mereka, sanksisanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik, ideologis
dan lain-lainnya yang menyangkut mereka juga termasuk umpan balik yang datang dari
pemegang peranan serta birokrasi.

Jadi menurut saya : Berdasarkan uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa setiap anggota
masyarakat mempunyai peran, baik untuk norma-norma hukum maupun oleh kekuatan-kekuatan di luar
hukum dalam hal ini UU kekerasan dalam rumah tangga. Dalam menentukan mengenai bagaimana
seorang pemegang peranan akan bertindak digunakan faktor kritis, yaitu norma-norma dibidang tersebut
diharapkan akan ditaati oleh pemegang peranan, kekuatan-kekauatan sosial dan personal yang bekerja
pada pemegang peranan dan kegiatan lembaga penerapan sanksi.
BAB II

PEMBAHASAN

PERLINDUNGAN HUKUM DAN BENTUK-BENTUK KEKERASAN TERHADAP ISTERI

A. Kekerasan Sebagai Bagian Dari Kejahatan


1. Pengertian Kejahatan dan Kekerasan Secara Yuridis
Kekerasan menurut KUHP hanya didefinisikan sebagai kekerasan fisik
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 89 dan Pasal 90 KUHP. Pasal 89 KUHP,
menentukan bahwa yang dimaksud dengan melakukan kekerasan yaitu, membuat orang
jadi pingsan atau tidak berdaya lagi. Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa
melakukan kekerasan ialah menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani sekuat mungkin
secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata,
menyepak, menendang dan sebagainya yang menyebabkan orang yang terkena tindakan
kekerasan itu merasa sakit yang sangat. Dalam pasal ini melakukan kekerasan disamakan
dengan membuat orang pingsan atau tidak berdaya. Pingsan artinya hilang ingatan atau
tidak sadar akan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga
sama sekali, sehingga tidak mampu mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya seperti
halnya orang yang diikat dengan tali pada kaki dan tangannya, terkurung dalam kamar
terkena suntikan, sehingga orang itu menjadi lumpuh. Orang yang tidak berdaya ini
masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya. Sedangkan Pasal 90 KUHP
menentukan, bahwa yang dimaksud dengan luka berat adalah:
a) penyakit atau luka yang tak dapat diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang
dapat mendatangkan bahaya maut;
b) senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian;
c) tidak dapat lagi memakai salah satu panca indera;
d) mendapat cacat besar;
e) lumpuh (kelumpuhan);
f) akal (tenaga paham) tidak sempurna
g) gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan

Menurut saya : Padahal, apabila dilihat dari kenyataan yang ada dalam masyarakat, sebenarnya tindak
kekerasan secara sosiologis dapat dibedakan dari aspek fisik, seksual, psikologis, politis, dan ekonomi.
Pembedaan aspek fisik dan seksual dianggap perlu, karena ternyata tindak kekerasan terhadap perempuan
yang bernuansakan seksual tidak sekedar melalui perilaku fisik belaka

2. Kekerasan secara umum didefinisikan sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk
melukai seseorang, atau merusak suatu barang. Sejalan dengan perkembangan waktu,
maka definisi kekerasan pun mengalami perkembangan dan perluasan. Kekerasan bukan
hanya suatu tindakan yang bertujuan atau berakibat melukai atau merusak barang, tetapi
ancaman pun dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan
3. Pengertian Kekerasann Dalam Konsep KUHP
Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP
atau Konsep KUHP), kekerasan adalah setiap penggunaan kekuatan fisik, baik dengan
tenaga badan maupun dengan menggunakan alat, termasuk membuat orang pingsan atau
tidak berdaya
4. Pola-pola Terjadinya Kekerasan
a) Kekerasan legal
b) Kekerasan yang secara sosial rnemperoleh sanksi
c) Kekerasan rasional
d) Kekerasan yang tidak berperasaan (irrational violence)
B. Pengertian Kekerasan Terhadap Perempuan
Pokok pikiran yang diungkapkan oleh para pakar dalam mendefinisikan kejahatan kekerasan pada
intinya menyatakan bahwa perbuatan itu dapat menimbulkan gangguan dalam masyarakat dan
mengakibatkan timbulnya luka fisik atau bahkan kematian. Sebenarnya akibat dari kekerasan itu
bukan hanya timbulnya luka fisik, tetapi dapatjuga luka psikis

Menurut saya : Dampak yang dirasakan pada kekerasan psikis ini sulit diukur karena kondisi
psikologis tiap orang berbeda-beda Kekerasan Terhadap Perempuan adalah setiap tindakan
berdasarkan perbedaan jenis kelamin {gender-based violence) yang berakibat atau mungkin
berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis,
termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-
wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi"
Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada :
tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga dan
masyarakat, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak,
kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dan perkawinan (marital rape),
pengrusakan alat kelamin perempuan, dan praktik-praktik kekejaman tradisional lain terhadap
perempuan, kekerasan di luar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan
eksploitasi perempuan, perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di
tempat kerja dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan
pelacuran paksa. Serta termasuk kekerasan yang dilakukan dan dibenarkan oleh negara di
manapun terjadinya".

Jadi violence based on gender itu merupakan sebuah tindak kekerasan yang didasarkan
atas jenis kelamin, terutama kekerasan terhadap perempuan. Menurut tempat terjadinya,
kekerasan dibagi ke dalam :
1. Kekerasan dalam area domestik/hubungan intim personal.
Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di dalam hubungan keluarga antara pelaku dan
korbannya memiliki kedekatan tertentu. Tercakup disini penganiayaam terhadap istri, pacar,
bekas istri, tunangan, anak kandung, dan anak tiri, penganiayaan terhadap orang tua, serangan
seksual atau perkosaan oleh anggota keluarga
2. Kekerasan dalam area public
Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi diluar hubungan keluarga atau hubungan personal
lain, sehingga meliputi berbagai bentuk kekerasan yang sangat luas, baik yang terjadi di
semua lingkungan tempat kerja (termasuk untuk kerja-kerja domestik seperti baby sister,
pembantu rumah tangga, dsb), di tempat umum (bus dan kendaraan umum, pasar, restoran,
tempat umum lain, lembaga pendidikan, publikasi atau produk praktek ekonomis yang
meluas, misalnya pornografi, perdagangan seks (pelacuran), maupun bentukbentuk lain.
3. Kekerasan yang dilakukan oleh/dalam lingkup Negara
Kekerasan secara fisik, seksual dan/ atau psikologis yang dilakukan, dibenarkan atau
didiamkan terjadi oleh negara di manapun terjadinya.Termasuk dalam kelompok ini adalah
pelanggaran hak asasi manusia dalam pertentangan antara kelompok, dan situasi konflik
bersenjata yang terkait dengan pembunuhan, perkosaan (sistematis), perbudakan seksual dan
kekerasan paksa

Menurut Saya : kekerasan terhadap perempuan memang seringkali menimbulkan kontroversi karena
masyarakat masih sangat awam dengan wacana hak asasi perempuan. Namun, bila melihat batasan
internasional sebagaimana yang terumus dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan
(DPKTP) yang diadopsi Perserikatan Bangsabangsa (PBB) pada tanggal 20 Desember 1993, maka akan
ditemukan semacam "rambu-rambu" yang akan memudahkan alur berpikir tentang kekerasan terhadap
perempuan.

C. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga


Pada tanggal 22 September 2004, Presiden Megawati telah mengesahkan dan
mengundangkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, sesuai dengan namanya maka Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga, menindak pelaku kekrasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam
rumah tangga.

Menurut saya : kekerasan domestk sebagai pola perilaku menyimpang (assaultive) dan memaksa
(Corsive), termasuk serangan secara fisik, seksual, psikologis, dan pemaksaan secara ekonomi yang
dilakukan oleh orang dewasa kepada pasangan intimnya

Menurut Draft Usulan Perbaikan Atas Rancangan Undangundang Anti Kekerasan dalam
Rumah Tangga yang diusulkan oleh Badan Legislatif DPR tanggal 06 Mei 2003, dalam Pasal 1
angka 1 disebutkan bahwa kekerasan dalam Rumah tangga adalah:
”Setiap perbuatan terhadap seorang perempuan dan pihak yang tersubordinasi lainnya,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, ekonomi, dan atau
psikologis, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang dalam lingkup rumah tangga”.

Di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Lingkup Rumah tangga meliputi :

a. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud
dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan);
dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut
(Pekerja Rumah Tangga).

Kekerasan sebagaimana tersebut di atas harus dilarang dan dihapus. Setiap orang dilarang
melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya,
dengan cara: Kekerasan fisik; Kekerasan psikis; Kekerasan seksual; atau Penelantaran rumah
tangga. Upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini bertujuan untuk mencegah segala
bentuk kekerasan dalam rumah tangga; melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan memelihara keutuhan rumah tangga yang
harmonis dan sejahtera.
Orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam Iingkup rumah tangga
disebut korban kekerasan dalam rumah tangga. Korban kekerasan dalam rumah tangga berhak
mendapat perlindungan. Dalam bahasa Inggris, kekerasan diistilahkan ”violence” yang artinya
kekerasan, kehebatan, kekejaman. Secara etimologi, kata violence merupakan gabungan dari
”vis”yang berarti daya atau kekuatan dan ”latus” yang berasal dari kata ”ferre” yang berarti
membawa. Berdasarkan kata ini, kekerasan adalah tindakan yang membawa kekuatan untuk
melakukan paksaan attaupun tekanan berupa fisik maupun non fisik. Dalam pengertian yang
sempit, kekerasan mengandung makna sebagai serangan atau penyelahgunaan fisik terhadap
seseorang atau serangan penghancuran paksaan yang sangat keras, kejam dan ganas atas diri.

Menurut saya : kejahatan kekerasan harus menunjuk pada tingkah laku yang harus bertentangan dengan
undangundang baik berupa ancaman saja maupun sudah merupakan tindakan nyata dan memiliki akibat-
akibat kerusakan terhadap benda dan fisik atau mengakibatkan kematian pada seseorang. Kejahatan
kekerasan bersifat universal, yaitu dapat terjadi dimana saj, kapan saja, siapa saja, bahkan akibat yang
dirasakan sama yaitu penderitaan baik secara fisik maupun non fisik, baik terhadap laki-laki maupun
perempuan

Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas
pada : tindakan kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga dan
dimasyarakat termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan, kanak-kanan dalam
rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan,
pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktek-praktek kekejaman tradisional lain terhadap
perempuan, kekekerasan diluar hubungan suami-isteri, dan kekerasan yang berhubungan dengan
ekploitasi perempuan, perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual
ditempat kerja, dalam lembagalembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan
pelacuran paksa. Serta termasuk kekerasan yang dilakukan dan dibenarkan oleh negara
dimanapun terjadinya.
Kekerasan isteri sebagai salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga (domestic
violence). Hal ini karena yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya isteri
saja, tetapi juga ibu, bapak, suami, anak, pembantu rumah tangga. Tetapi secara umum pengetian
kekerasan dalam rumah tangga lebih dipersempit sebagai kekerasan suami terhadap isteri.
Penyempitan pengertian kekerasan dalam rumah tangga tersebut karena pada umumnya yang
sering menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga adalah isteri, dimana pelakunya adalah
suaminya sendiri.
Dalam membahas kekerasan berbasis gender ini, erat kaitannya dengan subordinasi laki-
laki terhadap perempuan. Terjadinya kekerasan terhadap perempuan karena perempuan dianggap
paling rendah kedudukannya, oleh karenanya, kenyataan membuktikan bahwa perempuan lebih
sering menjadi korban kekerasan daripada laki-laki.
Secara umum, kekerasan berbasis gender dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan,
baik yang bersifat nilai-nilai verbal, fisik, psikologis, maupun seksual yang ditujukan kepada
perempuan sebagai jenis kelamin. Pelembagaan kekerasan berbasis gender terjadi akibat
hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial yang berhirarki, mencakup
wilayah ekonomi, politik dan budaya. Dalam hubungan sosial tersebut kaum perempuan
ditempatkan sebagai pihak yang dikalahkan oleh kekuatan-kekuatan sosial yang berkuasa dalam
masyarakat. Di tingkat individual, pemilik kekuasaan itu dapat meweujudkan jati dirinya sebagai
raja, guru, pacar, suami, teman, ayah, paman, tetangga, aparat keamanan, aparat sipil dan
sebagainya. Di tingkat yang lebih luas, keluarga dapat juga mewujudkan diri sebagai pemilik
kekuasaan itu. Ada banyak keputusan-keputusan keluarga yang merupakan kekerasan berbagai
gender, seperti menjual anak perempuan untuk mengantisipasi krisis ekonomi rumah tangga.
Dengan demikian kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena sosial yang
sangat tradis. Seperti apa yang digambarkan oleh Sulistiyowati Irianto bahwa kasus-kasus
kekerasan dengan korban perempuan terjadi hampir setiap hari di seluruh dunia, baik secara
individual, maupun terintegrasi didalam peristiwa sosial politik daam skala besar, seperti konflik
bersenjata atau kerusuhan sosial

Yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) antara lain :
1. Fakta bahwa lelaki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat. Kita umumnya
percaya bahwa lelaki berkuasa atas perempuan. Dalam rumah tangga ini berarti suami atas
isteri
2. Masyarakat masih membesarkan anak dengan mendidiknya agar mereka yakin bahwa mereka
harus kuat dan berani serta tanpa ampun. Lelaki dilatih untuk merasa berkuasa atas diri dan
orang sekelilingnya. Itulah kejantanan. Jika mereka menyimpang dari peran tersebut, mereka
dikategorikan sebagai lelaki lemah. Dan hal ini sangat melukai harga diri dan martabat lelaki.
Setelah mereka tumbuh menjadi lelaki dewasa dan menikah, masayarakt semakin mendorong
mereka menaklukan isteri. jika gagal, berarti kejantanannya terancam. Nilai inilah yang
mendorong suami untuk mempergunakan cara apapun, termasuk cara kekerasan demi
menundukkan isterinya. Jika kita tetap membesarkan anak lelaki kita seperti ini, kita
termasuk golongan yang melanggengkan budaya kekerasan.
3. Kebudayaan kita mendorong perempuan atau isteri supaya bergantung pada suami,
khususnya secara ekonomi. Hal ini membuat perempuan hampir sering diperlakukan semena-
mena sesuai kehendak atau mood suaminya.
4. Masyarakat tidak menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai persoalan sosial, tetapi
persoalan pribadi suami isteri. Orang lain tidak boleh ikut campur. Kepercayaan ini ditunjang
sepenuhnya oleh masyarakat yang dengan sengaja menutup mata terhadap fakta kekerasan
dalam rumah tangga yang lazim terjadi. Masyarakat menganggap masalah kekerasan dalam
rumah tangga adalah masalah pribadi atau masalah rumah tangga orang lain yang tidak layak
mencampurinya.
5. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama yang menganggap bahwa laki-laki boleh
menguasi perempuan. Tafsiran semacam ini mengakibatkan pemahaman turunan bahwa
agama juga membenarkan suami melakukan pemukulan terhadap isteri dalam rangka
mendidik.

D. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Isteri


kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas
pada hal-hal sebagai berikut :
a. Tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis terjadi dalam keluarga, termasuk
pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan, kanak-kanak dalam rumah tangga,
kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan,
pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktek-praktek kekejaman tradisional lain
terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami isteri dan kekerasan yang
berhubungan dengan ekploitasi.
b. Kekerasan secara fisik, seksual, psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk
perkosaan, penyelahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual ditempat kerja, dan
lembagalembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran
paksa
c. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh
negara dimanapun terjadi.

Menurut saya : Kekerasan fisik terhadap perempuan dapat berupa dorongan, cubitan, tendangan,
jambakan, pukulan, cekikan, bekapan, luka bakar, pemukulan dengan alat pemukul, kekerasan yang
menggunakan senjata tajam, siraman zat kimia atau air panas, menenggelamkan dan tembakan. Kadang-
kadang kekerasan fisik ini diikuti oleh kekerasan seksual (payudara dan kemaluan) maupun berupa
persetubuhan (pemerkosaan). Pada pemeriksaan atas korban akibat kekerasan fisik, yang dinilai sebagai
akibat penganiyayaan adalah bila didapati perlukaan bukan karena kecelakaan pada perempuan. Jelas itu
dapat diakibatkan oleh suatu episode kekerasaan yang tunggal atau berulang-ulang dari yang ringan
hingga yang fatal

Pada dasarnya penganiayaan bukanlah merupakan delik aduan, yang baru dapat dituntut apabila
telah terlebih dahulu ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan. Dalam praktek kasus
penganiayaan suami terhadap isteri tidak diusut kalau tidak adanya pengaduan dari isteri maupun
keluarga. Karena sebagian masyarakat menganggap persoalan ini merupakan masalah keluarga, sehingga
tindakan penganiayaan tidak dikategorikan sebagai kejahatan, padahal tindakan suami tersebut tergolong
kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman

E. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga


Korban kekerasan dalam rumah tangga berhak mendapat perlindungan. Perlindungan
adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan
oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak
lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
Korban berhak mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis,
penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja
sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, dan pelayanan bimbingan rohani
Peran petugas Penegak Hukum dalam melindungi hak-hak perempuan dimulai dari aparat
Kepolisian yang menerima pengaduan tentang adanya tindak kekerasan, untuk melindungi korban
yang melaporkan kekerasan yang dialaminya. Untuk beberapa daerah telah disediakannya Ruang
Pelayanan Khusus, untuk menjaga perasaan korban dan mengurangi rasa takut korban pada saat
melapor. Perasaan takut dan malu sering dialami oleh perempuan korban kekerasan pada saat
melapor, hal ini disebabkan karena penerimaan yang kurang baik atau familier dari aparat Polisi
tertentu sehingga menyebabkan korban merasa dilecehkan kembali. Dengan adanya Ruang
Pelayanan Khusus maka korban kekerasan akan merasa lebih baik karena aparat Polisi yang
melayani adalah seorang polisi wanita (Polwan) sehingga memudahkan korban atau pelapor
untuk menceritakan kembali peristiwa yang dialaminya. Setelah proses melapor, polisi membuat
berkas perkara yang kemudian akan dilimpahkan ke kejaksaan. Kemudian kejaksaan akan
membuat dakwaan dan tuntutan yang akhirnya akan diputus oleh hakim di Pengadilan.

POLA PENYELESAIAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

A. Sarana Penal
Dalam menanggulangi kejahatan (criminal policy) dapatlah digunakan sarana penal (hukum
pidana) dan non penal (bukan hukum pidana). Untuk itu sebelum mempergunakan penal, maka
terlebih dahulu harus dikaji mengenai masalah/tindakan yang dilakukan itu memenuhi kualifikasi:
a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada sipelanggar.

Menurut Saya : “Apabila orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan masyarakat
(Sosial Defence), maka tugas selanjutnya adalah mengembangkannya serasional mungkin. Hasil-hasil
maksimun harus dicapai dengan biaya yang minimum bagi masyarakat dan minimum penderitaan bagi
individu. Dalam tugas demikian, orang harus mengandalkan pada hasil-hasil penelitian ilmiah mengenai
sebab-sebab kejahatan dan efektivitas dari bermacam-macam sanksi”.

Hukum Pidana mempunyai beberapa karaktersitik, antara lain, yaitu:

a. Hukum pidana mempunyai sifat sebagai “Ultimum Remedium” (Obat Terakhir). Oleh karena itu
di samping fungsinya yang “subsidair” ia pula berfungsi “primair”. Fungsi subsidair hukum
pidana hendaknya baru diterapkan apabila sarana (upaya) lain sudah tidak memadai, artinya
apabila tidak perlu sekali janganlah menggunakan pidana sebagai sarana karena sanksi dalam
hukum pidana adalah sanksi yang negatif. Fungsi Primair dari hukum pidana adalah
menanggulangi kejahatan dengan sanksinya berupa pidana, yang sifatnya pada umumnya lebih
tajam dari pada sanksi dari cabang hukum lainnya.
b. Hukum pidana mengandung sifat “paradoksal” (Kontradiktifdualistik). Dikatakan demikian
karena di satu pihak hukum pidana bermaksud melindungi kepentingan/ benda hukum dan hak
asasi manusia dengan merumuskan norma-norma perbuatan yang terlarang,
c. Hukum pidana mempunyai beberapa kelemahan artinya dalam mendayagunakan hukum pidana
memiliki banyak keterbatasan dalam menanggulangi kejahatan. Uraian berikut mencerminkan
kekurangankekurangan dimaksud.

Penggunaan upaya “penal” (sanksi/hukum pidana) dalam mengatur masyarakat (lewat perundang-
undangan) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (“policy”). Mengingat
keterbatasan dan kelemahan hukum pidana, maka dilihat dari sudut kebijakan, penggunaan atau
intervensi “penal” seyogianya dilakukan dengan lebih berhati-hati, cermat, hemat, selektif dan
limitatif. Dengan kata lain, sarana penal tidak selalu dipanggil/digunakan dalam setiap produk
legislatif. Dalam menggunakan sarana penal Nigel Walker, 64 pernah mengingatkan adanya “prinsip-
prinsip pembatas” (“the limiting principles”) yang sepatutnya mendapat perhatian, antara lain:

a. Jangan hukum pidana digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan;


b. Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak
merugikan/membahayakan;
c. Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara
lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan
d. Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya yang timbul dari pidana lebih
besar daripada kerugian/bahaya dari tindak pidana itu sendiri;
e. Larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih berbahaya daripada
perbuatan yang akan dicegah;
f. Hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari
publik.

Menurut saya : Dilihat dari hakekat kejahatan sebagai suatu masalah kemanusiaan dan masalah sosial
banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan. Faktor penyebab terjadinya kejahatan itu sangat
kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana. Wajarlah hukum pidana mempunyai keterbatasan
kemampuan untuk menanggulanginya, karena seperti pernah dikemukakan oleh Sudarto67 bahwa
“penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan sesuatu gejala (“Kurieren am Symptom”) dan
bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebabsebabnya.

B. Upaya Non Penal


Dalam konteks usaha rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan sarana hukum pidana (Penal Policy) hanyalah merupakan
salah satu jalur atau metode penanggulangan kejahatan. Di samping itu terdapat pula kebijakan
penanggulangan kejahatan yang lain yang dikenal dengan istilah kebijakan diluar hukum pidana
(Non-Penal Policy). Non-penal policy berarti bahwa usaha-usaha yang dilakukan tanpa
menggunakan sarana hukum pidana. Jadi nonpenal itu dapat diartikan segala usaha yang bersifat
non-yuridis guna menanggulangi timbulnya kejahatan
Perlu juga dibedakan penggunaan non-penal ini yaitu tindakan yang bersifat preventif
artinya pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dan represif artinya tindakan setelah terjadinya
kejahatan. Usaha-usaha nonpenal ini mempunyai posisi sangat strategis yang harus diintensifkan
dan diefektifkan. Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat sangat
fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan.
Usaha-usaha non-penal sebagai pencegahan tanpa pidana yang dapat diwujudkan melalui
kebijakan sosial, perencanaan masyarakat, kesehatan mental, pekerjaan sosial, kesejahteraan
anak-anak) dan penerapan hukum administrasi dan Hukum Perdata.
Ruang lingkup kebijakan criminal dalam menanggulangi kejahatan adalah mempengaruhi
pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media. Upaya ini dapat
digolongkan dalam usaha non-penal Hal ini didasarkan bahwa upaya penanggulangan kejahatan
yang dilakukan, berada di luar hukum pidana yaitu mass media dengan tujuan memberikan
penerangan atau penyuluhan pada masyarakat mengenai kejahatan beserta sanksi pidana yang
dijatuhkan. Dengan adanya penerangan atau penyuluhan tersebut mampu mencegah terjadinya
kejahatan
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga terhadap
isteri yang dilakukan oleh suami
a. Adanya ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan; baik di rumah
tangga, maupun dalam kehidupan publik. Ketimpangan ini, yang memaksa
perempuan dan laki-laki untuk mengambil peranperan gender tertentu, yang
pada akhirnya berujung pada perilaku kekerasan. Di keluarga misalnya,
kebanyakan masyarakat percaya bahwa suami adalah pemimpin bahkan
penguasa keluarga. Istri diposisikan seperti milik penuh suami, yang berada
pada kontrol dan pengawasannya. Sehingga apapun yang dilakukan istri, harus
seizin dan sepengetahuan suami. Tidak sebaliknya. Ketika terjadi kesalahan
sedikit saja dari istri dalam cara pandang suami, istri harus berhadapan dengan
pengawasan dan pengontrolan dari suami. Suami merasa dituntut untuk
mendidik istri dan mengembalikannya pada jalur yang benar, menurut cara
pandang suami. Pengontrolan ini tidak sedikit, yang pada akhirnya
menggunakan tindak kekerasan.
b. Timbulnya kekerasan dalam rumah tangga berkaitan dengan hubungan
kekuasaan suami-istri dan diskriminasi jender di kalangan masyarakat.
Kekuasaan dalam perkawinan diekspresikan dalam dua area. Kelompok
pertama, dalam hal pengambilan keputusan dan kontrol atau pengaruh.
Kelompok kedua, yang ada di belakang layar, seperti halnya ketegangan, konflik
dan penganiayaan. Lebih lanjut dapat di katakan bahwa kekuasaan suami dalam
perkawinan terjadi karena unsur-unsur kultural dimana terdapat norma-norma
di dalam kebudayaan tertentu yang memberi pengaruh yang menguntungkan
suami. Pembedaan peran dan posisi antara suami dan istri di dalam keluarga
dan masyarakat di turunkan secara cultural dalam masyarakat pada setiap
generasi, bahkan terkadang sampai di yakini sebagai ideology. Kekuasaan suami
yang tinggi terhadap istri juga dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem
keuangan, oleh karena itu suami menghabiskan waktu di sektor yang
menghasilkan uang sementara istri mengurusi rumah tangga dan mengasuh
anak, hal itu membuat masyarakat memandang pekerjaan suami lebih bernilai.
2. Perlindungan hukum terhadap isteri yang menjadi korban tindakan kekerasan suami
Perlindungan hukum terhadap perempuan bukan saja hanya melalui undang-undang
yang dengan jelas mengatur perlindungan terhadap perempuan, tetapi juga
perlindungan yang nyata diberikan kepada perempuan melalui bantuan hukum,
lembaga swadaya masyarakat dan juga penerimaan secara terbuka dan ramah dari
lingkungan kepolisian pada saat pengaduan diberikan dan terlebih penting lagi adalah
pemberian keadilan yang hak-haknya tidak dihormati. Peranan organisasi perempuan
dalam melaksanakan inisiatif penanganan perempuan korban mendorong pemerintah
untuk bersikap aktif dalam memberikan dukungan bagi penyediaan layanan bagi
perempuan korban. Namun demikian, lahirnya lembaga pengada layanan jika
dibandingkan dengan jumlah dan kompleksitas kasus kekerasan terhadap perempuan
serta pelanggaran hak asasi perempuan yang ada, maka masih jauh lebih banyak jumlah
korban yang belum tertangani. Selain itu, layanan yang diberikan belum menjangkau
perempuan korban kekerasan lainnya (selain KDRT). Tantangan serius dalam hal
penanganan perempuan korban kekerasan adalah belum cukup ada jaminan
keberlanjutan dan kualitas layanan karena minimnya dukungan, termasuk dana, bagi
lembaga/komunitas pengada layanan.
Bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi isteri (sebagai yang termasuk dalm
lingkup rumah tangga) yang mendapat tindakan kekerasan dalam Undang-undang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU No. 23 tahun 2004) antara lain yang
menyangkut hak-hak korban berupa perlindungan dari pihak kelurga, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, advocat, lembaga sosial atau pihak lainnya baik sementara
maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan, pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara khusus berkaitan
dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum
pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, pelayanan bimbingan rohani. Bentuk perlindungan hukum berupa pemberian
sanksi pidana bagi pelaku tindak kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual
Peranan petugas penegak hukum dalam melindungi hak-hak perempuan telah
dimulai sejak ditemukannya kasus kekerasan ke petugas kepolisian hingga saat
pemeriksaan di pengadilan. Diawali dari lembaga Kepolisian yang menerima pengaduan
tentang adanya tindak kekerasan, untuk melindungi korban yang melaporkan kekerasan
yang dialaminya. Dengan adanya Ruang Pelayanan Khusus maka korban kekerasan akan
merasa lebih baik karena aparat Polisi yang melayani adalah seorang polisi wanita
(Polwan) sehingga memudahkan korban atau pelapor untuk menceritakan kembali
peristiwa yang dialaminya. Setelah proses melapor, polisi membuat berkas perkara yang
kemudian akan dilimpahkan ke kejaksaan. Kemudian kejaksaan akan membuat dakwaan
dan tuntutan yang akhirnya akan diputus oleh hakim di Pengadilan.
3. Kendala yang dihadapi dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap isteri
yang menjadi korban tindakan kekerasan suami.
Dari segi substansi hukum, antara lain kebijakan di bawah undang-undang masih jauh
dari memadai sehingga mempersulit penanganan yang sesuai dengan apa yang
dimandatkan dalam UndangUndang No. 23 Tahun 2004. Adanya ancaman hukum
alternatif berupa kurungan atau denda, ancaman hukuman terlalu ringan untuk kasus
tindak kejahatan/kekerasan yang terencana dan kasus yang korbannya meninggal,
kekerasan seksual, dan psikis yang dilakukan suami terhadap isteri, Undang-undang
lebih menitikberatkan proses penanganan hukum pidana dan penghukuman dari
korban. Disatu sisi Undang-undang ini dapat menjadi alat untuk menjerakan pelaku
disisi lain, penghukuman suami masih dianggap bukan jalan yang utama bagi korban,
khusus nya isteri, yang mengalami KDRT. Ini pula yang menjadi alasan bagi korban untuk
menarik pengaduannya di kepolisian.
B. SARAN
1. Perlu diadakan sosialisasi dan pelatihan-pelatihan bagi para penegak hukum dan
masyarakat tentang permasalahan kekerasan dalam rumah tangga, khususnya
kekerasan terhadap isteri;
2. . Dengan adanya Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, diharapkan semua pihak dapat memahami keberadaan undang-
undang ini, khususnya kepada petugas penegak hukum dapat mengimplementasikan
undang-undang ini dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan rumah tangga dengan
baik sehingga dapat memberikan perlindungan kepada isteri sebagai korban kekerasan
suami.
3. Pemerintah perlu melengkapi berbagai peraturan-perundangan di tingkat nasional,
daerah yang telah dibuat untuk mendukung penanganan komprehensif terkait
kekerasan terhadap perempuan
4. Pemerintah agar lebih membuka jalan dalam mengoptimalkan peran dari organisasi
perempuan, pemberian subsidi oleh pemerintah dalam upaya pengembangan organisasi
perempuan.

Menurut saya : Dari segi struktur hukum, kendala utama hadir dari petugas penegak hukum dimana
petugas penegak hukum kurang memahami Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga. Masalah Kekerasan dalam Rumah Tangga dianggap aib keluarga. Intepretasi yang berbeda
dalam menggunakan Undang-undang UPKDRT. Perbedaan persepsi antar penegak hukum sendiri yang
mengakibatkan terhambatnya penerapan undang-undang ini. Perbedaan persepsi ini menyangkut
pemahaman tentang bentuk-bentuk kekerasan dan elemen-elemennya, cakupan ’rumah tangga’, peran
dan kualifikasi pendamping korban, peran pemerintah, hak pelaporan oleh komunitas, serta
pengelolaan dana denda yang harus dibayarkan pelaku

Sarana dan prasarana, khususnya berkaitan dengan ruang pelayanan, ruang sidang dan
perlengkapannya, kurang memadai, sehingga mengganggu proses persidangan maupun penyelesaian
kasus, keterbatasan dana, keterbatasan tenaga dan fasilitas lain yang khusus dialokasikan untuk
menangani kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Anda mungkin juga menyukai