Anda di halaman 1dari 16

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 2
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 5
1. Kekerasan (Dalam Rumah Tangga) Sebagai Konsep Sosiologis............................................ 5
2. Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga .......................................................................... 6
3. Cakupan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ........................................................................... 8
4. Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga ............................................................................. 10
5. Kontribusi Sistem Nilai Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga .................................. 10
6. Upaya Mencegah Kekerasan Dalam Rumah Tangga............................................................ 12
PENUTUP ............................................................................................................................................ 15
Kesimpulan ........................................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 16

1
PENDAHULUAN

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat. Secara yuridis, Undang-undang (UU)
Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga, pada pasal 1 angka 6 menyebutkan, keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan
anaknya, atau ibu dan anaknya.
Beberapa jenis keluarga, diantaranya adakah keluarga inti (nuclear family) yakni ayah
(suami), ibu (istri), dan anak, serta keluarga besar yang terdiri dari keluarga inti dan
keluarga lainnya garis keturunan dari suami termasuk kakek, nenek, mertua, sepupu,
ipar, dan sanak saudara atas dasar pertalian darah maupun perkawinan dengan suami-istri
bersangkutan. Selain itu, rumah tangga dalam kehidupan modern di perkotaan umumnya
diramaikan lagi dengan kehadiran orang lain yang berperan sebagai pembantu. Pembantu
bisa berasal dari kerabat atau keluarga pasangan suami-istri bersangkutan dan bisa pula
orang luar. Dalam keluarga terdapat peraturan dan budaya, yang mana dapat terjadi
konflik akibat suatu masalah tertentu dan dapat berujung pada tindak kekerasan.
Tindak kekerasan yang terjadi yang terjadi dilingkungan domestik (rumah tangga),
seperti dalam pernikahan, dan ada pula yang memasukkan dalam hubungan kohabitasi,
yang dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga terhadap anggota keluarga lainnya,
biasa kenal dengan Domestic violence atau Intimate partner violence1 (IPV) atau
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Perilaku atau tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai fakta sosial bukanlah
perkara baru bagi masyarakat Indonesia. Persoalan ini sudah terjadi sejak lama dan
masih berlanjut hingga kini. Media massa cetak dan elektronik Indonesia malah tak
pernah lengang dari berita-berita dan informasi-informasi terbaru tentang tindak KDRT,
termasuk dalam rumah tangga para selebriti.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan fakta sosial yang bersifat
universal karena dapat terjadi dalam sebuah rumah tangga tanpa pembedaan budaya,
agama, suku bangsa, dan umur pelaku maupun korbannya. Karena itu, ia dapat terjadi
dalam rumah tangga keluarga sederhana, miskin, dan terkebelakang, maupun rumah
tangga keluarga kaya, terdidik, terkenal, dan terpandang. Tindak kekerasan ini dapat

1
Mitchell Connie, Intimate Partner Violence: A Health-Based Perspective (Oxford: Oxford University Press,
2009). H.319

2
3

dilakukan oleh suami atau istri terhadap pasangan masing-masing, atau terhadap anak-
anak, anggota keluarga yang lain, dan terhadap pembantu mereka secara berlainan
maupun bersamaan. Perilaku merusak ini berpotensi kuat menggoyahkan sendi-sendi
kehidupan rumah tangga dengan deretan akibat di belakangnya, termasuk yang terburuk
seperti tercerai-berainya suatu rumah tangga.
Secara hukum, KDRT merupakan bentuk tindakan kriminal, sebagaimana telah
ditetapkan bentuknya dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yaitu setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
Diciptakannya hukum adalah untuk mengatur masyarakat agar kehidupan masyarakat
dapat lebih sejahtera. Hukum di buat berdasarkan nilai dan norma-norma sosial yang ada
di masyarakat. Namun, dalam kenyataannya kasus KDRT ini masih marak terjadi, dan
bagai gunung es, di mana yang tampak ke permukaan hanyalah sebagian kecil dari apa
yang senyatanya terjadi. Hal ini karena masyarakat kita masih beranggapan kekerasan itu
dianggap sebagai rahasia keluarga yang tidak boleh diketahui oleh orang luar. Maka,
tidak heran, biar sudah banyak kejadian istri mendapat perlakuan kasar suami, biasanya
didiamkan begitu saja.2 Hanya satu dua kejadian yang akhirnya bermuara di tangan
berwajib dan kemudian diselesaikan di pengadilan. Umumnya, istri memilih rujuk atau
menerima kembali suami mereka yang sudah melakukan tindak kekerasan. Maka dari itu
penelitian akan melihat fenomena kekerasan dalam rumah tangga dengan memakai
perspektif sosiologi hukum Islam yang bersifat empiris deskriptif, 3 dibandingkan dengan
perspektif kajian normatif (analitis-dogmatis) dengan metode yuridis-normatif yang
sifatnya preskriptif dengan memandang hukum dalam wujudnya sebagai kaidah yang
menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan maupun kajian filosofis
(transendental) yang membahas kaidah hukum, hukum dan keadilan, hukum dan
kebebasan, hukum dan kekuasaan.

2
Nurani Soyomukti, Pengantar Sosiologi: Dasar Analisis, Teori & Pendekatan Menuju Analisis Masalah-
Masalah Sosial, Perubahan Sosial, & Kajian-Kajian StrategisPengantar Sosiologi: Dasar Analisis, Teori &
Pendekatan Menuju Analisis Masalah-Masalah Sosial, Perubahan Sosial, &, 2nd ed. (Sleman: Ar-Ruzz Media,
2014). Hal 125
3
Yesmil Anwar and Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, 2nd ed. (Jakarta: Grasindo, 2011). Hal. 94
4

Penulis memilih menggunakan pendekatan sosiologi hukum memberikan untuk


mengadakan analisis efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana
pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat, maupun sarana untuk mengatur
interaksi sosial, agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu dan memberikan
kemungkinan dan kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di
dalam masyarakat,4 sekaligus menjelaskan kenyataan masyarakat dari sudut kaidah-
kaidah hukum.5
Rumusan Masalah
Penulis mengangkat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga ?
2. Bagaimanakah pencegahan kekerasan dalam rumah tangga ?
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui penyebab kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
2. Untuk mengetahui upaya pencegahan terhadap kekerasan dalam rumah tangga.
Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari tulisan ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam meningkatkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan sebagai bahan kajian
menyangkut tinjauan sosiologi hukum terhadap kekerasan dalam ruang lingkup
rumah tangga.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada masyarakat,
terutama setiap elemen keluarga guna mengetahui secara jelas tentang bentuk dan
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga serta langkah-langkah preventif yang
dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam lingkup rumah
tangga, sehingga terwujud keluarga yang sakinah, mawadah, dan penuh rahmat.

4
Yusuf Daeng, Sosiologi Hukum, ed. Zulkarnaini, vol. 2 (Pekanbaru: Alaf Riau, 2018). Hal. 63
5
I Gusti Ngurah Dharma Laksana et al., Sosiologi Hukum: Buku Ajar (Tabanan: Pustaka Ekspresi, 2017),
.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/9175b128df486a0090485c936b7ce232.pdf. hal.3
PEMBAHASAN

1. Kekerasan (Dalam Rumah Tangga) Sebagai Konsep Sosiologis

Kekerasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu perbuatan


seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain
atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, Sedangkan kekerasan
secara sosiologis dapat dimengerti ketika individu atau kelompok yang ketika
melakukan interaksi mengabaikan nilai-nilai serta norma sosial dalam mencapai
tujuan masing-masing pihak.6
Dalam Declaration on the Elimination of Violence against Women menyebutkan
the term "violence against women" means any act of gender-based violence that
results in, or is likely to result in, physical, sexual or psychological harm or suffering
to women, including threats of such acts, coercion or arbitrary deprivation of liberty,
whether occurring in public or in private life. (Terminologi kekerasan terhadap
perempuan, adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan gender yang berakibat atau
mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan
psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang terhadap perempuan, baik yang terjadi di
depan umum atau dalam kehidupan pribadi)
Galtung mendefiniskan kekerasan dalam pengertian yang lebih luas sebagai “any
avoidable impediment to self-realization”, yang berarti segala sesuatu yang
menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi dirinya secara
wajar.7 Konseptualisasi tentang kekerasan yang diajukan Galtung tersebut mencakup
dua jenis kekerasan, yaitu kekerasan langsung atau personal dan kekerasan tidak
langsung atau struktural. Kekerasan langsung adalah kekerasan yang dilakukan oleh
satu atau sekelompok aktor kepada pihak lain (violence–as-action), sementara
kekerasan struktural terjadi begitu saja (built-in) dalam suatu struktur (violence-as-
structure) atau masyarakat tanpa aktor tertentu atau dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang dengan menggunakan alat kekerasan.
Adapun bentuk yang dapat menghalangi terjadinya perubahan untuk bisa
melawan suatu bentuk eksploitasi atau kekerasan, yakni penetrasi, segmentasi,

6
Maisandra Helena Lohy and Aguz Machfud Fauzi, “Peningkatan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Selama Pandemi Covid-19 Dalam Kacamata Sosiologi Hukum,” Res Judicata 4, no. 1 (2021): 83–98.
7
Johan Galtung, The True World: A Transnational Perspective. New York: The Free Press, 1980, hlm. 67.

5
6

marginalisasi, dan fragmentasi. Penetrasi ini merupakan sebuah penanaman kepada


kelompok lemah tentang apa yang seharusnya di lakukan dan terjadi, lalu pandangan
penetrasi ini di kombinasikan dengan pandangan segmentasi yakni pandangan yang
memiliki cara pandang parsial, lalu marginalisasi yang mana membuat kelompok
yang lemah agar tetap berada di luar batas-batas yang sudah di tetapkan dan
marginalisasi ini juga di kombinasikan yakni dengan fragmentasi agar kelompok-
kelompok lemah dan tidak berdaya tetap berjauhan antara satu dengan lainnya.
Berdasarkan dua definisi pembanding tersebut, KDRT dapat diartikan sebagai
tindakan penggunaan kekuasaan atau wewenang secara sewenang-wenang tanpa
batasan (abuse of power) yang dimiliki pelaku, yaitu suami atau istri maupun anggota
lain dalam rumah tangga, yang dapat mengancam keselamatan dan hak-hak
individual masing-masing dan/atau anggota lain dalam rumah tangga seperti anak-
anak, mertua, ipar, dan pembantu.8
Lazimnya, KDRT yang mengancam keselamatan individu-individu dalam suatu
rumah tangga datang dari suami atau istri. Tetapi, kadang kala ancaman serupa juga
bisa datang dari anak-anak atau anggota keluarga yang lain, termasuk pembantu,
sebagai reaksi protes terhadap tekanan dan perlakuan negatif berlebihan yang mereka
terima.
2. Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Penulis menemukan, setidaknya ada 5 (lima) penyebab terjadinya kekerasan


dalam rumah tangga yakni:
1. Faktor psikologis individu pelaku, seperti karakter yang pemarah, mudah
bosan, dan suka dengan tindakan-tindakan yang dapat mengakibatkan
kesakitan pada orang lain,
2. Faktor teknologi dan perselingkuhan bisa menyebabkan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga, khususnya kekerasan psikis. Namun kekerasan yang di
alami korban sering tidak di bawa ke pengadilan karena ada beberapa alasan
yang melatar belakanginya yakni adanya ancaman, ketakutan akan terjadinya
perceraian yang berdampak banyak pada kehidupan anak dan keluarga.
3. Faktor Pendidikan, yakni kurangnya pengetahuan suami dan istri terhadap
cara menjalin sebuah hubungan rumah tangga yang baik.

8
https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=649:kekerasan-dalam-
rumah-tangga-dalam-perspektif-sosiologi&catid=101&Itemid=181
7

4. Kondisi ekonomi dan sosial, permasalahan ekonomi juga menjadi penyebab


muculnya tindak kekerasan karena ekonomi merupakan suatu kebutuhan yang
harus terpenuhi dan terkadang memberikan beban karena harus memenuhi
kebutuhan ekonomi seluruh anggota keluarga, baik ekonomi murni maupun
persoalan ekonomi yang muncul lantaran pengaruh kebudayaan luar.
Kelompok yang pertama merupakan persoalan yang timbul untuk memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs), sementara kelompok kedua merupakan
persoalan ekonomi yang muncul karena pemenuhan kebutuhan tambahan atau
sekunder yang dipengaruhi oleh budaya konsumerisme dan hedonisme
sebagaimana marak di masyarakat perkotaan.
5. Faktor budaya, budaya patriarki di mana laki-laki lebih unggul dalam segala
hal daripada wanita, stereotip dan pelabelan negatif tentang laki-laki kasar
dan perempuan lemah, pemahaman tentang agama yang salah, kekerasan
menjadi sebuah hal yang tumpang tindih dengan legitimasi dan menjadi
budaya. Budaya patriarki di Indonesia yang sangat di junjung tinggi sehingga
menyebabkan terdapat cara pandang bahwa laki-laki lebih kuat dan lebih
tinggi kedudukannya dari pada wanita dan ini terjadi secara turun temurun.
Hal tersebut menyebabkan perempuan di pandang sebagai pihak yang lemah
dan tidak berdaya. Selain itu ajaran tentang laki-laki itu harus memiliki sifat
kuat dan keras menjadikan anak terutama anak laki-laki untuk menjadi seperti
apa yang di contohkan dan di ajarkan oleh orang tuanya. Hal ini disebut
dengan suatu konstruksi sosial, yakni anak-anak dibangun berdasarkan apa
yang sesuai dengan lingkungannya dan terkadang di sisi lain apa yang di
konstruksikan merupakan suatu hal yang tidak baik.
Jika budaya patriarki ini tidak di atasi dengan baik maka seorang laki-laki akan
berlaku semena-mena terhadap perempuan, karena ajaran dari keluarga serta
lingkungan sekitar mengenai bagaimana posisi laki-laki dan bagaimana posisi
perempuan. Hal ini sesuai dengan teori Michel Foucault yakni ketika seseorang
tersebut merasa menguasai seseorang, maka orang tersebut menganggap dirinya
berhak atau harus melakukan segala hal dalam bentuk apa pun kepada orang tersebut.
Selain itu, ada pula konsep tentang femininitas, cara kekuasaan mendefinisikan
perempuan, bagaimana perempuan seharusnya bersikap dan berperilaku. Dalam arti
kata lain, ialah cara masyarakat mengidealisasikan perempuan. Perempuan dilihat
sebagai subordinat dan tidak berdaya dihadapkan dengan pola the men's burden
8

(beban para lelaki) yang mengindikasikan kewajiban dari mereka yang superior dan
yang memiliki kemampuan terhadap mereka yang subordinitas dan yang memiliki
keterbatasan.
Perbedaan kepribadian, kepandaian, wawasan, adat-istiadat atau budaya, dan
agama atau keyakinan yang membuat anggota dalam rumah tangga sulit untuk bisa
saling memahami. Sesuatu yang dianggap baik, wajar, dan tepat oleh pelaku
kekerasan belum tentu demikian dalam pandangan korban, sehingga mereka sulit
untuk bisa menyesuaikan diri dan memenuhi keinginan-keinginan masing-masing.
Dalam situasi di mana keinginan dan harapan tidak terpenuhi akan muncul prasangka
bahwa di rumah tangga tidak lagi ditemui kepedulian dan penghargaan terhadap
sesama sehingga akhirnya memicu pihak yang lebih dominan dan berkuasa untuk
melakukan tindak kekerasan terhadap yang lemah atau yang dikuasai.

3. Cakupan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perlindungan hukum tentang kekerasan dalam rumah tangga sudah di atur dalam
KUHP 351 tentang penganiayaan, KUHP 352 tentang penganiayaan ringan, KUHP
353 tentang penganiayaan yang di rencanakan, KUHP 354 tentang penganiayaan
berat, KUHP 355 tentang penganiayaan yang di rencanakan, KUHP 356 tentang
penganiayaan yang dilakukan terhadap bapak atau ibu yang memiliki ikatan yang sah
dan istri atau anak. Selain itu UU No 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan. KUHP dan UU yang di bentuk untuk
mengatasi kekerasan dalam rumah tangga tidak mampu mengikuti perkembangan
masyarakat di mana kasus kekerasan makin tinggi jumlahnya maka di bentuklah UU
No 23 tahun 2004 untuk memperbarui hukum yang ada untuk mengatasi berbagai
persoalan mengenai kekerasan dalam rumah tangga.
Azmi Abubakar dan Nyak Dhien9 menjelaskan empat tipe kekerasan rumah
tangga dalam sudut pandang psikologi, yakni physical abuse (kekerasan fisik),
psychological abuse (kekerasan psikologis), material abuse (kekerasan materiil), dan
violation of right (pelanggaran hak), sedangkan secara yuridis, KDRT dapat
dikelompokkan ke dalam empat bentuk, yaitu:

9
Lembaga Kajian Konstitusi Indonesia LKKI, Wajah Antropologi Dan Sosiologi Hukum Keluarga Di Beberapa
Daerah Di Indonesia, ed. Muhammad Siddiq Armia, Percetakan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, I
(Lembaga Kajian Konstitusi Indonesia (LKKI), 2017), https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/10432/.
9

1. Kekerasan fisik, dalam bentuk pemukulan dengan tangan maupun benda,


penganiayaan, pengurungan, pemberian beban kerja yang berlebihan, yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
2. Kekerasan psikis, yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan
psikis berat pada seseorang
3. Kekerasan seksual, yakni pemaksaan hubungan seksual yang juga lebih di atur
dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan
Seksual
4. Penelantaran rumah tangga, (kekerasan ekonomi) yakni tindakan yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban
berada di bawah kendali orang tersebut, ataupun menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
atau pemeliharaan kepada orang tersebut
Permasalahan kasus kekerasan dalam rumah tangga ini bagaikan sebuah gunung
es karena kasus kekerasan ini sebenarnya banyak terjadi namun kenyataannya yang
melapor ke pihak berwajib sangat sedikit. Adapun penyebabnya yakni kurangnya
kesadaran hukum masyarakat akan kekerasan seksual sebagai suatu kejahatan bukan
sebagai suatu aib yang harus di tutup-tutupi keberadaannya, kebingungan korban
untuk melaporkan ke mana karena kekerasan di anggap suatu aib sehingga harus hati-
hati, serta sikap penegak hukum juga harus lebih bijak dalam menangani kasus
kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu ada berbagai faktor penyebab yang
membuat korban tidak melaporkan kekerasan dalam rumah tangga ke pihak yang
berwajib karena beberapa alasan seperti takut disudutkan oleh lingkungan,
bergantung secara ekonomi kepada pelaku kekerasan, masih memiliki perasaan cinta,
masih berharap, dan diteror.
Kasus KDRT yang cukup sensasional adalah kekerasan yang menimpa Lestiani,
atau yang lebih dikenal sebagai Lesti Kejora yang melaporkan suaminya,
Muhammad Rizky atau lebih dikenal dengan Rizky Billar ke Polres Metro Jakarta
Selatan atas kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi di Jalan
Gaharu III, Cilandak, Jakarta Selatan, pada 29 September 2022 sekitar pukul 01.51
WIB dan 09.47 WIB. Dalam laporannya itu, Lesti mengungkapkan awal mula Billar
10

melakukan KDRT karena ketahuan selingkuh. Ketika dini hari pada saat Lesti
meminta dipulangkan ke rumah orang tuanya karena kejadian itu, Billar emosi
hingga mendorong, membanting Lesti ke kasur dan mencekik leher Lesti sehingga ia
terjatuh ke lantai. Karena tindakan itu, Lesti Kejora diketahui alami pergeseran
tulang leher. Namun setelah beberapa saat mereka berdua akhirnya sepakat untuk
berdamai.

4. Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga

KDRT dalam bentuk apa pun jelas tergolong tindak kejahatan dan pelanggaran
terhadap nilai-nilai kemanusian yang universal dari perspektif hak asasi manusia.
Akibat dari tindak kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya menimpa korban
secara langsung, tetapi juga anggota lain dalam rumah tangga secara tidak langsung.
Tindak kekerasan seorang suami terhadap istri atau sebaliknya, misalnya, dapat
meninggalkan kesan negatif yang mendalam di hati mereka, anak-anak dan anggota
keluarga yang lain. Kesan negatif ini pada akhirnya dapat pula menimbulkan
kebencian dan malah benih-benih dendam yang tak berkesudahan terhadap pelaku.
Bukan itu saja, rumah tangga yang dibangun untuk kepentingan bersama akan
berantakan. Dalam pada itu, tidak jarang sang pelaku turut menderita karena depresi
dan tekanan mental berlebihan yang dialaminya akibat penyesalan yang tiada lagi
berguna.
KDRT juga akan menyebabkan perkembangan anak menjadi negatif. Tujuan agar
tercapainya sakinah, mawaddah wa rahmah tak lagi tercapai sehingga istri berpotensi
akan menggugat cerai suaminya. Ini yang perlu kembali dipahami para suami tentang
bagaimana memuliakan istri. Memperlakukan istri sebagai sahabat dan bersikap
romantis adalah sebuah laku yang telah dipraktikkan para kaum saleh terdahulu.
Sehingga akan lahirlah sebuah kesatuan masyarakat terkecil yang sakinah, mawadah
dan rahmat.10

5. Kontribusi Sistem Nilai Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kejahatan dalam KDRT sebagaimana lazimnya tindak kriminal yang lain, tidak
mungkin dapat dihilangkan atau dihapuskan hanya dengan pemberlakuan sanksi
hukum pidana seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Dalam
perspektif sosiologis, mengenali latar belakang sosial pelaku dan korban akan

10
Ibid.
11

memudahkan siapa pun untuk lebih dapat memahami peristiwa dan faktor-faktor
penyebabnya.
Semua anggota dalam suatu rumah tangga merupakan makhluk sosial yang lahir
dan terbentuk oleh lingkungan sosialnya. Pengaruh lingkungan sosial terhadap watak
dan perilaku seseorang di dalam maupun di luar rumah tangga amatlah besar. Rumah
tangga dengan suami-istri dan anggota lain yang berasal dari latar belakang sosial
yang berbeda dan belum matang, akan rentan terhadap tindak KDRT, terlebih lagi
jika masing-masing pihak tidak mempunyai kearifan budaya lokal (local wisdom)
dan landasan normatif yang kuat yang menjunjung tinggi martabat dan kehormatan
setiap individu.
Kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dominasi
dan kekuasaan pelaku terhadap korban yang terbentuk dari pola pikir dan pandangan
hidup (world view) berdasar kebudayaan dan sistem nilai yang ia jalankan.
Keyakinan agama dan nilai-nilainya memotivasi tindakan sosial manusia.11 Sebagai
sebuah sistem kepercayaan, dalam pandangan sosiologis, agama merupakan sebuah
pranata sosial di samping institusi keluarga, pendidikan, ekonomi, dan politik. Ajaran
agama akan bekerja dalam hati dan pikiran untuk memungkinkan pemeluknya
membangun sistem nilai tersendiri yang dipedomani dalam menjalankan
kehidupannya. Karena itu, perilaku manusia tidak hanya dipengaruhi dan mereka
sandarkan sepenuhnya kepada nilai-nilai budaya lokal maupun global melainkan juga
dipengaruhi oleh kepercayaan atau agama yang mereka anut.
Di luar kepercayaan dan agama yang dianut, manusia secara sosiologis
menjadikan kebudayaan sebagai pegangan dan pedoman dalam menjalani
kehidupannya, termasuk dalam kehidupan berumah tangga. Melalui nilai-nilai dan
sistim nilai yang dibentuknya, kebudayaanlah sebenarnya yang mengajarkan mereka
cara bertindak dan bertingkah laku dalam pergaulan sosial dengan sesama di
lingkungan tempat tinggal, termasuk dengan semua anggota dalam rumah tangga.
Tindakan kekerasan dalam rumah tangga sebagai kebiasaan atau kebetulan jelas
merupakan manifestasi dari konstruksi pikiran dan pandangan hidup yang terbentuk
dari nilai-nilai yang mempengaruhinya, termasuk nilai tentang kekuasaan dan
penguasaan terhadap siapa pun dalam rumah tangga. Apa pun bentuk protes dan
kritis yang mengancam staus quo dominasi dan kekuasaan tersebut akan berakibat

11
Abdi Rahmat and Rosita Adiani, Pengantar Sosiologi Agama, ed. Umasih, I (LPP UNJ Press, 2015). Hal.12
12

munculnya tindak kekerasan dari pihak yang mendominasi sebagai balasan setimpal
yang harus diberikan. Fakta di masyarakat mengenai bentuk KDRT menunjukkan
bahwa besar kecilnya atau serius tidaknya tindak KDRT tidak selamanya sejajar dan
seimbang dengan tingkat protes dan kritis yang dilakukan. Sering kali persoalan kecil
dan sangat remeh dapat menimbulkan tindak kekerasan yang melampaui batas dan
sama sekali tak terukur.

6. Upaya Mencegah Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Banyak hal positif dapat dipelajari dan diambil manfaatnya dari hubungan-
hubungan sosial yang dibangun dalam rumah tangga. KDRT sesungguhnya dapat
dihindarkan jika suatu rumah tangga ditegakkan dengan menjalankan berbagai
prinsip positif dan etika luhur berdasarkan peran dan fungsi anggota menurut hak
dan kewajiban masing-masing.
Menghapus tindak KDRT dapat dimulai dengan menghilangkan sebab-sebab dan
unsur-unsur pemicunya. Dalam kaitan ini, sekurang-kurang terdapat banyak cara dan
usaha yang patut dilakukan agar KDRT terelakkan atau setidak-tidaknya dapat
dikurangi intensitasnya. Selain upaya represif dengan menjerat pelaku KDRT dengan
hukum pidana, guna memberikan contoh dan menimbulkan efek jera agar dapat
mengantisipasi para pelaku lain melakukan atau pelaku tersebut mengulangi
perbuatannya, juga dapat dilakukan upaya preventif dengan melihat akar masalah
utama penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana telah
disebutkan di atas, selanjutnya diatasi dengan pendekatan situasional dan pendekatan
kemasyarakatan untuk menghilangkan penyebab dan potensi gangguan, di antaranya:
1. Memperkuat jaringan sosial
Rumah tangga yang dibentuk dari simpul-simpul, yaitu angggota-anggota di
dalamnya sesungguhnya merupakan struktur sosial yang mencerminkan jaringan
sosial yang diikat dengan tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, dan ide bersama.
Keberhasilan suatu rumah tangga dalam mencapai tujuan-tujuan idealnya, termasuk
menghindari terjadinya KDRT, sangat bergantung kepada kekuatan hubungan antar
individu bersangkutan.
Jika situasi kebersamaan (keharmonisan) itu berhasil diciptakan, maka setiap
aktor dalam rumah tangga tidak lagi memandang pendapatnya sebagai yang paling
tepat dan benar, sehingga kekuasaan dan dominasi yang satu terhadap yang lain yang
menjadi antara penyebab KDRT akan hilang.
13

2. Memahami budaya antar anggota dalam rumah tangga


Anggota dalam rumah tangga hidup dengan nilai-nilai dasar yang membentuk
kepribadiannya serta yang mengarahkannya berpikir dan berperilaku. Nilai-nilai
dasar tersebut dapat bersumber dari ajaran agama maupun tradisi atau kebudayaan
lokal di lingkungan sekitarnya. Setiap tradisi dan budaya tentu memiliki nilai-nilai
positif yang mencerminkan kearifan lokal (local wisdom) sendiri yang berbeda antara
satu budaya dengan budaya yang lain, termasuk konsep tentang rumah tangga ideal.
Meskipun agama sepatutnya menjadi acuan dan sumber nilai yang utama
mengatasi sumber nilai yang lain, tidak jarang tradisi dan budaya lokal dalam praktik
kehidupan sehari-hari menjadi penting dalam suatu rumah tangga. Karena begitu
pentingnya, kesalahan dalam memahami dan menempatkan nilai-nilai tradisi dan
budaya itu sering kali menjadi penyebab munculnya konflik antar individu yang
berakibat terjadinya tindak KDRT. Oleh karena itu, suami, istri, dan anggota lain
dalam rumah tangga dengan latar belakang tradisi dan budaya yang berbeda dalam
memahami dan mengekspresikan budaya masing-masing dalam kesalehan verbal
melalui ucapan dan tutur kata yang santun, sejuk, damai dan menyenangkan. Selain
itu, mereka juga dapat menunjukkannya dalam kesalehan sosial melalui perilaku
yang sopan, santun, pemaaf, dan sebagainya.
3. Memperkuat Fondasi dan Bangunan Ekonomi Keluarga
Menjalani hidup berkeluarga seadanya dalam tingkat kepasrahan yang tinggi
tampaknya kini tidak lagi sesuai dalam kehidupan yang semakin kompleks dengan
tuntutan yang mesti dipenuhi. Beban hidup yang terlalu berat dapat mengakibatkan
ketidakseimbangan emosi hingga memicu terjadinya tindakan KDRT. Oleh karena
itu, seluruh anggota dalam suatu rumah tangga sesuai kesanggupan masing-masing
harus melakukan usaha-usaha yang dapat memperkuat fondasi dan struktur bangunan
ekonomi keluarga mereka.
4. Memahami dan Mengamalkan Ajaran Agama dengan Baik
Agama, khususnya Agama Islam, adalah ajaran yang merupakan sumber dari
segala sumber nilai. Nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam akan merasuk
dalam hati dan pikiran untuk mendorong pemeluknya membangun sistem nilai
sendiri, termasuk dalam kehidupan berkeluarga.
Empat pilar perkawinan yang kokoh, yakni (1) berpasangan (zawaj), saling
melengkapi, saling menopang, dan saling kerja sama sebagaimana Q.S al-Baqarah
ayat 187 (2) ikatan yang kokoh (mitsqan ghalizan), saling menjaga ikatan dengan
14

segala upaya yang dimiliki, (3) saling berbuat baik (muasyarah bi al-ma’ruf)
sebagaimana surah an-Nisa ayat 19 dan (4) Musyawarah dengan cara yang sehat
untuk berkomunikasi, meminta masukan, menghormati pandangan, dan mengambil
keputusan sebagaimana surah al-Baqarah ayat 23.12
Jalaluddin Asy-Suyuti dan Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad Al-Mahalliy
menafsirkan Surah An-Nisa ayat 34 sebagai berikut:

‫وه ان ا‬
‫َّللا‬ ُ ‫وه ان" َف َخو ُف‬ َ
ُ ‫"فع ُظ‬ ‫ته‬‫ار‬َ َ ‫انهن َل ُك ْم ب َأ ْن َظ َه َر ْت َأ‬
‫م‬ ‫ص َي ا‬ ْ ‫وزهن" ع‬ ‫َ"و َا الَّلتي َت َخ ُافو َن ُن ُش ا‬
ِ ِ ِ ِ ِ
ْ‫ض ْرًبا َغير‬ َ ‫َ ْ َ ْ َ ْ َن ُّ ُ وز َ ْ ُ ُ ا‬ َ ُ َْ َ َْ
"‫اجع" اعت ِزلوا إلى ِفراش آخر إن أظهر النش "واض ِربوهن‬ َ
ِ ‫َ"و ْاه ُجروهن ِفي اْلض‬
‫ا‬ ُ ُ
ََ
‫"عل ْي ِه ان‬
ُْ َ ُ َ ََ
‫يما ُي َراد ِم ْن ُه ان "فَّل ت ْبغوا" تطل ُبوا‬ َ ‫"فإ ْن َأ َط ْع َن ُك ْم" ف‬
َ ْ َ ْ
‫ُم ْب ِرح إن ل ْم َي ْر ِج ْع َن ِبال ِه ْج َر ِان‬
ِ ِ
ُ ‫إن َظ َل ْم ُت ُم‬ْ ْ ُ َ ُ ْ َ ُ ُ َ ْ َ ً َ ًّ َ َ َ ‫َ ً َ ً َ َ ْ ا ُ ْ ً ا ا‬
‫وه ان‬ ‫س ِبيَّل" ط ِريقا إلى ضربهن ظلما "إن َّللا كان ع ِليا ك ِبيرا" فاحذروه أن يعا ِقبكم‬
Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz (artinya pembangkangan
mereka terhadap kamu misalnya dengan adanya ciri-ciri atau gejala-gejalanya) maka
nasihatilah mereka itu (dan ingatkan supaya mereka takut kepada Allah) dan
berpisahlah dengan mereka di atas tempat tidur (maksudnya memisahkan kamu tidur
ke ranjang lain jika mereka memperlihatkan pembangkangan) dan pukullah mereka
(yakni pukullah yang tidak melukai jika mereka masih belum sadar) kemudian jika
mereka telah menaatimu (mengenai apa yang kamu kehendaki) maka janganlah kamu
mencari gara-gara atas mereka (maksudnya mencari-cari jalan untuk memukul
mereka secara aniaya.) Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar (karena
itu takutlah kamu akan hukuman-Nya jika kamu menganiaya mereka.)
Hadis yang diriwayatkan Abu Daud (No. 2144) dan Imam Baihaqi (No.2609)

َ َ‫َح ِد ََن َعلَْي ِه ق‬ ِ ِ‫ول ه‬ َ َ‫ش ِْْي ِى َع ْن أَبِ ِيه ق‬


َ ‫َع ْن َحكِ ِيم بْ ِن ُم َعا ِويَةَ الْ ُق‬
‫ال « أَ ْن‬ َ ‫اَّلل َما َح ُّق َزْو َجة أ‬ َ ‫ْت َي َر ُس‬ ُ ‫ال قُل‬
َ‫ب ال َْو ْجهَ َوالَ تُ َقبِ ْح َوال‬ِ ‫ض ِر‬
ْ َ‫ َوالَ ت‬- ‫ت‬ َ َ‫ أَ ِو ا ْكت‬- ‫ت‬
َ ‫س ْب‬ َ ‫س ْي‬ ِ
َ َ‫ْس َو َها إذَا ا ْكت‬ُ ‫ت َوتَك‬ َ ‫تُطْعِ َم َها إِذَا طَعِ ْم‬
.» ‫ال أَبُو َد ُاو َد « َوالَ تُ َقبِ ْح‬ َ َ‫ ق‬.» ‫ت‬ ِ ‫ََتْجر إِاله ِف الْب ْي‬
َ ُْ
Dari Ḥakīm bin Mu'āwiyah Al-Qusyairi, dari ayahnya, ia berkata, Aku berkata,
Wahai Rasulullah, apa hak istri terhadap suaminya? Beliau bersabda, "Hendaknya
engkau memberinya makan ketika engkau makan, memberinya pakaian ketika
engkau berpakaian -atau ketika engkau memperoleh rezeki-, tidak memukul
wajahnya, tidak mencacinya, dan tidak pula mengasingkannya kecuali di dalam
rumah."
12
Ahmad Kasyful Anwar and Triwibowo Budi Santoso, eds.II, Fondasi Keluarga Sakinah Bacaan Mandiri
Calon Pengantin (Jakarta: Sub Direktorat Bina Keluarga Sakinah Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah
Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, 2019).hal.9
PENUTUP
KESIMPULAN

KDRT dalam perspektif sosiologis merupakan fakta sosial yang bersifat lintas
etnik, kepercayaan, dan kawasan yang dapat dijumpai di masyarakat dari berbagai
golongan, status dan lapisan sosial hampir di semua tempat, sebagai sebuah tindakan
pelanggaran, KDRT dapat terjadi secara tiba-tiba atau pun terencana oleh dan
terhadap anggota dalam suatu rumah tangga yang dapat bertindak sebagai pelaku
maupun korban. KDRT dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia tergolong
sebuah kejahatan dengan ancaman hukum pidana karena mengakibatkan kesakitan
dan penderitaan fisik maupun mental terhadap korbannya.
Pada awalnya, KDRT merupakan persoalan privasi suatu keluarga yang
bersifat tertutup dan jauh dari jangkauan perhatian dan intervensi pihak lain, termasuk
pemerintah. Bentuk tindak KDRT sungguh beragam dari yang paling ringan hingga
ke yang paling ekstrim sampai menyebabkan cacat fisik tetap bagi korban bahan
kematian. Perkembangannya yang kian meluas di masyarakat dengan akibat yang tak
terperikan membuat perkara ini mulai terkuak dan mendapat perhatian yang sungguh-
sungguh dari masyarakat sekitar, pemerintah, dan dunia internasional.
Tindak KDRT dalam berbagai bentuk dan kasus terjadi selain karena faktor
internal, berupa psikologis individu pelaku, dominasi dan penggunaan kekuasaan
yang berlebihan oleh pelaku, juga faktor eksternal, berupa faktor teknologi yang
mengakibatkan perselingkuhan, faktor pendidikan, faktor ekonomi dan sosial, serta
faktor budaya.
Selain upaya Represif pencegahan kekerasan dalam rumah tangga juga dapat
di tempuh melalui upaya preventif, dengan memperkuat jaringan sosial, memahami
budaya antar anggota dalam rumah tangga, memperkuat fondasi dan bangunan
Ekonomi Keluarga serta memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan baik.

15
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Ahmad Kasyful, and Triwibowo Budi Santoso, eds. Fondasi Keluarga Sakinah
Bacaan Mandiri Calon Pengantin. Jakarta: Sub Direktorat Bina Keluarga Sakinah
Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama
RI, 2019.
Anwar, Yesmil, and Adang. Pengantar Sosiologi Hukum. 2nd ed. Jakarta: Grasindo, 2011.
Connie, Mitchell. Intimate Partner Violence: A Health-Based Perspective. Oxford: Oxford
University Press, 2009.
Daeng, Yusuf. Sosiologi Hukum. Edited by Zulkarnaini. Vol. 2. Pekanbaru: Alaf Riau, 2018.
Laksana, I Gusti Ngurah Dharma, I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari, Anak Agung Gede
Oka Parwata, Ni Nyoman Sukerti, Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, and I Nyoman Wita.
Sosiologi Hukum: Buku Ajar. Tabanan: Pustaka Ekspresi, 2017.
.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/9175b128df486a0090485c936b7ce232.pdf.
LKKI, Lembaga Kajian Konstitusi Indonesia. Wajah Antropologi Dan Sosiologi Hukum
Keluarga Di Beberapa Daerah Di Indonesia. Edited by Muhammad Siddiq Armia.
Percetakan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry. I. Lembaga Kajian Konstitusi
Indonesia (LKKI), 2017. https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/10432/.
Lohy, Maisandra Helena, and Aguz Machfud Fauzi. “Peningkatan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) Selama Pandemi Covid-19 Dalam Kacamata Sosiologi Hukum.” Res
Judicata 4, no. 1 (2021): 83–98.
Rahmat, Abdi, and Rosita Adiani. Pengantar Sosiologi Agama. Edited by Umasih. I. LPP
UNJ Press, 2015.
Soyomukti, Nurani. Pengantar Sosiologi: Dasar Analisis, Teori & Pendekatan Menuju
Analisis Masalah-Masalah Sosial, Perubahan Sosial, & Kajian-Kajian
StrategisPengantar Sosiologi: Dasar Analisis, Teori & Pendekatan Menuju Analisis
Masalah-Masalah Sosial, Perubahan Sosial, &. 2nd ed. Sleman: Ar-Ruzz Media, 2014.

16

Anda mungkin juga menyukai