DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 2
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 5
1. Kekerasan (Dalam Rumah Tangga) Sebagai Konsep Sosiologis............................................ 5
2. Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga .......................................................................... 6
3. Cakupan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ........................................................................... 8
4. Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga ............................................................................. 10
5. Kontribusi Sistem Nilai Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga .................................. 10
6. Upaya Mencegah Kekerasan Dalam Rumah Tangga............................................................ 12
PENUTUP ............................................................................................................................................ 15
Kesimpulan ........................................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 16
1
PENDAHULUAN
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat. Secara yuridis, Undang-undang (UU)
Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga, pada pasal 1 angka 6 menyebutkan, keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan
anaknya, atau ibu dan anaknya.
Beberapa jenis keluarga, diantaranya adakah keluarga inti (nuclear family) yakni ayah
(suami), ibu (istri), dan anak, serta keluarga besar yang terdiri dari keluarga inti dan
keluarga lainnya garis keturunan dari suami termasuk kakek, nenek, mertua, sepupu,
ipar, dan sanak saudara atas dasar pertalian darah maupun perkawinan dengan suami-istri
bersangkutan. Selain itu, rumah tangga dalam kehidupan modern di perkotaan umumnya
diramaikan lagi dengan kehadiran orang lain yang berperan sebagai pembantu. Pembantu
bisa berasal dari kerabat atau keluarga pasangan suami-istri bersangkutan dan bisa pula
orang luar. Dalam keluarga terdapat peraturan dan budaya, yang mana dapat terjadi
konflik akibat suatu masalah tertentu dan dapat berujung pada tindak kekerasan.
Tindak kekerasan yang terjadi yang terjadi dilingkungan domestik (rumah tangga),
seperti dalam pernikahan, dan ada pula yang memasukkan dalam hubungan kohabitasi,
yang dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga terhadap anggota keluarga lainnya,
biasa kenal dengan Domestic violence atau Intimate partner violence1 (IPV) atau
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Perilaku atau tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai fakta sosial bukanlah
perkara baru bagi masyarakat Indonesia. Persoalan ini sudah terjadi sejak lama dan
masih berlanjut hingga kini. Media massa cetak dan elektronik Indonesia malah tak
pernah lengang dari berita-berita dan informasi-informasi terbaru tentang tindak KDRT,
termasuk dalam rumah tangga para selebriti.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan fakta sosial yang bersifat
universal karena dapat terjadi dalam sebuah rumah tangga tanpa pembedaan budaya,
agama, suku bangsa, dan umur pelaku maupun korbannya. Karena itu, ia dapat terjadi
dalam rumah tangga keluarga sederhana, miskin, dan terkebelakang, maupun rumah
tangga keluarga kaya, terdidik, terkenal, dan terpandang. Tindak kekerasan ini dapat
1
Mitchell Connie, Intimate Partner Violence: A Health-Based Perspective (Oxford: Oxford University Press,
2009). H.319
2
3
dilakukan oleh suami atau istri terhadap pasangan masing-masing, atau terhadap anak-
anak, anggota keluarga yang lain, dan terhadap pembantu mereka secara berlainan
maupun bersamaan. Perilaku merusak ini berpotensi kuat menggoyahkan sendi-sendi
kehidupan rumah tangga dengan deretan akibat di belakangnya, termasuk yang terburuk
seperti tercerai-berainya suatu rumah tangga.
Secara hukum, KDRT merupakan bentuk tindakan kriminal, sebagaimana telah
ditetapkan bentuknya dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yaitu setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
Diciptakannya hukum adalah untuk mengatur masyarakat agar kehidupan masyarakat
dapat lebih sejahtera. Hukum di buat berdasarkan nilai dan norma-norma sosial yang ada
di masyarakat. Namun, dalam kenyataannya kasus KDRT ini masih marak terjadi, dan
bagai gunung es, di mana yang tampak ke permukaan hanyalah sebagian kecil dari apa
yang senyatanya terjadi. Hal ini karena masyarakat kita masih beranggapan kekerasan itu
dianggap sebagai rahasia keluarga yang tidak boleh diketahui oleh orang luar. Maka,
tidak heran, biar sudah banyak kejadian istri mendapat perlakuan kasar suami, biasanya
didiamkan begitu saja.2 Hanya satu dua kejadian yang akhirnya bermuara di tangan
berwajib dan kemudian diselesaikan di pengadilan. Umumnya, istri memilih rujuk atau
menerima kembali suami mereka yang sudah melakukan tindak kekerasan. Maka dari itu
penelitian akan melihat fenomena kekerasan dalam rumah tangga dengan memakai
perspektif sosiologi hukum Islam yang bersifat empiris deskriptif, 3 dibandingkan dengan
perspektif kajian normatif (analitis-dogmatis) dengan metode yuridis-normatif yang
sifatnya preskriptif dengan memandang hukum dalam wujudnya sebagai kaidah yang
menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan maupun kajian filosofis
(transendental) yang membahas kaidah hukum, hukum dan keadilan, hukum dan
kebebasan, hukum dan kekuasaan.
2
Nurani Soyomukti, Pengantar Sosiologi: Dasar Analisis, Teori & Pendekatan Menuju Analisis Masalah-
Masalah Sosial, Perubahan Sosial, & Kajian-Kajian StrategisPengantar Sosiologi: Dasar Analisis, Teori &
Pendekatan Menuju Analisis Masalah-Masalah Sosial, Perubahan Sosial, &, 2nd ed. (Sleman: Ar-Ruzz Media,
2014). Hal 125
3
Yesmil Anwar and Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, 2nd ed. (Jakarta: Grasindo, 2011). Hal. 94
4
4
Yusuf Daeng, Sosiologi Hukum, ed. Zulkarnaini, vol. 2 (Pekanbaru: Alaf Riau, 2018). Hal. 63
5
I Gusti Ngurah Dharma Laksana et al., Sosiologi Hukum: Buku Ajar (Tabanan: Pustaka Ekspresi, 2017),
.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/9175b128df486a0090485c936b7ce232.pdf. hal.3
PEMBAHASAN
6
Maisandra Helena Lohy and Aguz Machfud Fauzi, “Peningkatan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Selama Pandemi Covid-19 Dalam Kacamata Sosiologi Hukum,” Res Judicata 4, no. 1 (2021): 83–98.
7
Johan Galtung, The True World: A Transnational Perspective. New York: The Free Press, 1980, hlm. 67.
5
6
8
https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=649:kekerasan-dalam-
rumah-tangga-dalam-perspektif-sosiologi&catid=101&Itemid=181
7
(beban para lelaki) yang mengindikasikan kewajiban dari mereka yang superior dan
yang memiliki kemampuan terhadap mereka yang subordinitas dan yang memiliki
keterbatasan.
Perbedaan kepribadian, kepandaian, wawasan, adat-istiadat atau budaya, dan
agama atau keyakinan yang membuat anggota dalam rumah tangga sulit untuk bisa
saling memahami. Sesuatu yang dianggap baik, wajar, dan tepat oleh pelaku
kekerasan belum tentu demikian dalam pandangan korban, sehingga mereka sulit
untuk bisa menyesuaikan diri dan memenuhi keinginan-keinginan masing-masing.
Dalam situasi di mana keinginan dan harapan tidak terpenuhi akan muncul prasangka
bahwa di rumah tangga tidak lagi ditemui kepedulian dan penghargaan terhadap
sesama sehingga akhirnya memicu pihak yang lebih dominan dan berkuasa untuk
melakukan tindak kekerasan terhadap yang lemah atau yang dikuasai.
Perlindungan hukum tentang kekerasan dalam rumah tangga sudah di atur dalam
KUHP 351 tentang penganiayaan, KUHP 352 tentang penganiayaan ringan, KUHP
353 tentang penganiayaan yang di rencanakan, KUHP 354 tentang penganiayaan
berat, KUHP 355 tentang penganiayaan yang di rencanakan, KUHP 356 tentang
penganiayaan yang dilakukan terhadap bapak atau ibu yang memiliki ikatan yang sah
dan istri atau anak. Selain itu UU No 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan. KUHP dan UU yang di bentuk untuk
mengatasi kekerasan dalam rumah tangga tidak mampu mengikuti perkembangan
masyarakat di mana kasus kekerasan makin tinggi jumlahnya maka di bentuklah UU
No 23 tahun 2004 untuk memperbarui hukum yang ada untuk mengatasi berbagai
persoalan mengenai kekerasan dalam rumah tangga.
Azmi Abubakar dan Nyak Dhien9 menjelaskan empat tipe kekerasan rumah
tangga dalam sudut pandang psikologi, yakni physical abuse (kekerasan fisik),
psychological abuse (kekerasan psikologis), material abuse (kekerasan materiil), dan
violation of right (pelanggaran hak), sedangkan secara yuridis, KDRT dapat
dikelompokkan ke dalam empat bentuk, yaitu:
9
Lembaga Kajian Konstitusi Indonesia LKKI, Wajah Antropologi Dan Sosiologi Hukum Keluarga Di Beberapa
Daerah Di Indonesia, ed. Muhammad Siddiq Armia, Percetakan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, I
(Lembaga Kajian Konstitusi Indonesia (LKKI), 2017), https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/10432/.
9
melakukan KDRT karena ketahuan selingkuh. Ketika dini hari pada saat Lesti
meminta dipulangkan ke rumah orang tuanya karena kejadian itu, Billar emosi
hingga mendorong, membanting Lesti ke kasur dan mencekik leher Lesti sehingga ia
terjatuh ke lantai. Karena tindakan itu, Lesti Kejora diketahui alami pergeseran
tulang leher. Namun setelah beberapa saat mereka berdua akhirnya sepakat untuk
berdamai.
KDRT dalam bentuk apa pun jelas tergolong tindak kejahatan dan pelanggaran
terhadap nilai-nilai kemanusian yang universal dari perspektif hak asasi manusia.
Akibat dari tindak kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya menimpa korban
secara langsung, tetapi juga anggota lain dalam rumah tangga secara tidak langsung.
Tindak kekerasan seorang suami terhadap istri atau sebaliknya, misalnya, dapat
meninggalkan kesan negatif yang mendalam di hati mereka, anak-anak dan anggota
keluarga yang lain. Kesan negatif ini pada akhirnya dapat pula menimbulkan
kebencian dan malah benih-benih dendam yang tak berkesudahan terhadap pelaku.
Bukan itu saja, rumah tangga yang dibangun untuk kepentingan bersama akan
berantakan. Dalam pada itu, tidak jarang sang pelaku turut menderita karena depresi
dan tekanan mental berlebihan yang dialaminya akibat penyesalan yang tiada lagi
berguna.
KDRT juga akan menyebabkan perkembangan anak menjadi negatif. Tujuan agar
tercapainya sakinah, mawaddah wa rahmah tak lagi tercapai sehingga istri berpotensi
akan menggugat cerai suaminya. Ini yang perlu kembali dipahami para suami tentang
bagaimana memuliakan istri. Memperlakukan istri sebagai sahabat dan bersikap
romantis adalah sebuah laku yang telah dipraktikkan para kaum saleh terdahulu.
Sehingga akan lahirlah sebuah kesatuan masyarakat terkecil yang sakinah, mawadah
dan rahmat.10
Kejahatan dalam KDRT sebagaimana lazimnya tindak kriminal yang lain, tidak
mungkin dapat dihilangkan atau dihapuskan hanya dengan pemberlakuan sanksi
hukum pidana seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Dalam
perspektif sosiologis, mengenali latar belakang sosial pelaku dan korban akan
10
Ibid.
11
memudahkan siapa pun untuk lebih dapat memahami peristiwa dan faktor-faktor
penyebabnya.
Semua anggota dalam suatu rumah tangga merupakan makhluk sosial yang lahir
dan terbentuk oleh lingkungan sosialnya. Pengaruh lingkungan sosial terhadap watak
dan perilaku seseorang di dalam maupun di luar rumah tangga amatlah besar. Rumah
tangga dengan suami-istri dan anggota lain yang berasal dari latar belakang sosial
yang berbeda dan belum matang, akan rentan terhadap tindak KDRT, terlebih lagi
jika masing-masing pihak tidak mempunyai kearifan budaya lokal (local wisdom)
dan landasan normatif yang kuat yang menjunjung tinggi martabat dan kehormatan
setiap individu.
Kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dominasi
dan kekuasaan pelaku terhadap korban yang terbentuk dari pola pikir dan pandangan
hidup (world view) berdasar kebudayaan dan sistem nilai yang ia jalankan.
Keyakinan agama dan nilai-nilainya memotivasi tindakan sosial manusia.11 Sebagai
sebuah sistem kepercayaan, dalam pandangan sosiologis, agama merupakan sebuah
pranata sosial di samping institusi keluarga, pendidikan, ekonomi, dan politik. Ajaran
agama akan bekerja dalam hati dan pikiran untuk memungkinkan pemeluknya
membangun sistem nilai tersendiri yang dipedomani dalam menjalankan
kehidupannya. Karena itu, perilaku manusia tidak hanya dipengaruhi dan mereka
sandarkan sepenuhnya kepada nilai-nilai budaya lokal maupun global melainkan juga
dipengaruhi oleh kepercayaan atau agama yang mereka anut.
Di luar kepercayaan dan agama yang dianut, manusia secara sosiologis
menjadikan kebudayaan sebagai pegangan dan pedoman dalam menjalani
kehidupannya, termasuk dalam kehidupan berumah tangga. Melalui nilai-nilai dan
sistim nilai yang dibentuknya, kebudayaanlah sebenarnya yang mengajarkan mereka
cara bertindak dan bertingkah laku dalam pergaulan sosial dengan sesama di
lingkungan tempat tinggal, termasuk dengan semua anggota dalam rumah tangga.
Tindakan kekerasan dalam rumah tangga sebagai kebiasaan atau kebetulan jelas
merupakan manifestasi dari konstruksi pikiran dan pandangan hidup yang terbentuk
dari nilai-nilai yang mempengaruhinya, termasuk nilai tentang kekuasaan dan
penguasaan terhadap siapa pun dalam rumah tangga. Apa pun bentuk protes dan
kritis yang mengancam staus quo dominasi dan kekuasaan tersebut akan berakibat
11
Abdi Rahmat and Rosita Adiani, Pengantar Sosiologi Agama, ed. Umasih, I (LPP UNJ Press, 2015). Hal.12
12
munculnya tindak kekerasan dari pihak yang mendominasi sebagai balasan setimpal
yang harus diberikan. Fakta di masyarakat mengenai bentuk KDRT menunjukkan
bahwa besar kecilnya atau serius tidaknya tindak KDRT tidak selamanya sejajar dan
seimbang dengan tingkat protes dan kritis yang dilakukan. Sering kali persoalan kecil
dan sangat remeh dapat menimbulkan tindak kekerasan yang melampaui batas dan
sama sekali tak terukur.
Banyak hal positif dapat dipelajari dan diambil manfaatnya dari hubungan-
hubungan sosial yang dibangun dalam rumah tangga. KDRT sesungguhnya dapat
dihindarkan jika suatu rumah tangga ditegakkan dengan menjalankan berbagai
prinsip positif dan etika luhur berdasarkan peran dan fungsi anggota menurut hak
dan kewajiban masing-masing.
Menghapus tindak KDRT dapat dimulai dengan menghilangkan sebab-sebab dan
unsur-unsur pemicunya. Dalam kaitan ini, sekurang-kurang terdapat banyak cara dan
usaha yang patut dilakukan agar KDRT terelakkan atau setidak-tidaknya dapat
dikurangi intensitasnya. Selain upaya represif dengan menjerat pelaku KDRT dengan
hukum pidana, guna memberikan contoh dan menimbulkan efek jera agar dapat
mengantisipasi para pelaku lain melakukan atau pelaku tersebut mengulangi
perbuatannya, juga dapat dilakukan upaya preventif dengan melihat akar masalah
utama penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana telah
disebutkan di atas, selanjutnya diatasi dengan pendekatan situasional dan pendekatan
kemasyarakatan untuk menghilangkan penyebab dan potensi gangguan, di antaranya:
1. Memperkuat jaringan sosial
Rumah tangga yang dibentuk dari simpul-simpul, yaitu angggota-anggota di
dalamnya sesungguhnya merupakan struktur sosial yang mencerminkan jaringan
sosial yang diikat dengan tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, dan ide bersama.
Keberhasilan suatu rumah tangga dalam mencapai tujuan-tujuan idealnya, termasuk
menghindari terjadinya KDRT, sangat bergantung kepada kekuatan hubungan antar
individu bersangkutan.
Jika situasi kebersamaan (keharmonisan) itu berhasil diciptakan, maka setiap
aktor dalam rumah tangga tidak lagi memandang pendapatnya sebagai yang paling
tepat dan benar, sehingga kekuasaan dan dominasi yang satu terhadap yang lain yang
menjadi antara penyebab KDRT akan hilang.
13
segala upaya yang dimiliki, (3) saling berbuat baik (muasyarah bi al-ma’ruf)
sebagaimana surah an-Nisa ayat 19 dan (4) Musyawarah dengan cara yang sehat
untuk berkomunikasi, meminta masukan, menghormati pandangan, dan mengambil
keputusan sebagaimana surah al-Baqarah ayat 23.12
Jalaluddin Asy-Suyuti dan Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad Al-Mahalliy
menafsirkan Surah An-Nisa ayat 34 sebagai berikut:
وه ان ا
َّللا ُ وه ان" َف َخو ُف َ
ُ "فع ُظ تهارَ َ انهن َل ُك ْم ب َأ ْن َظ َه َر ْت َأ
م ص َي ا ْ وزهن" ع َ"و َا الَّلتي َت َخ ُافو َن ُن ُش ا
ِ ِ ِ ِ ِ
ْض ْرًبا َغير َ َ ْ َ ْ َ ْ َن ُّ ُ وز َ ْ ُ ُ ا َ ُ َْ َ َْ
"اجع" اعت ِزلوا إلى ِفراش آخر إن أظهر النش "واض ِربوهن َ
ِ َ"و ْاه ُجروهن ِفي اْلض
ا ُ ُ
ََ
"عل ْي ِه ان
ُْ َ ُ َ ََ
يما ُي َراد ِم ْن ُه ان "فَّل ت ْبغوا" تطل ُبوا َ "فإ ْن َأ َط ْع َن ُك ْم" ف
َ ْ َ ْ
ُم ْب ِرح إن ل ْم َي ْر ِج ْع َن ِبال ِه ْج َر ِان
ِ ِ
ُ إن َظ َل ْم ُت ُمْ ْ ُ َ ُ ْ َ ُ ُ َ ْ َ ً َ ًّ َ َ َ َ ً َ ً َ َ ْ ا ُ ْ ً ا ا
وه ان س ِبيَّل" ط ِريقا إلى ضربهن ظلما "إن َّللا كان ع ِليا ك ِبيرا" فاحذروه أن يعا ِقبكم
Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz (artinya pembangkangan
mereka terhadap kamu misalnya dengan adanya ciri-ciri atau gejala-gejalanya) maka
nasihatilah mereka itu (dan ingatkan supaya mereka takut kepada Allah) dan
berpisahlah dengan mereka di atas tempat tidur (maksudnya memisahkan kamu tidur
ke ranjang lain jika mereka memperlihatkan pembangkangan) dan pukullah mereka
(yakni pukullah yang tidak melukai jika mereka masih belum sadar) kemudian jika
mereka telah menaatimu (mengenai apa yang kamu kehendaki) maka janganlah kamu
mencari gara-gara atas mereka (maksudnya mencari-cari jalan untuk memukul
mereka secara aniaya.) Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar (karena
itu takutlah kamu akan hukuman-Nya jika kamu menganiaya mereka.)
Hadis yang diriwayatkan Abu Daud (No. 2144) dan Imam Baihaqi (No.2609)
KDRT dalam perspektif sosiologis merupakan fakta sosial yang bersifat lintas
etnik, kepercayaan, dan kawasan yang dapat dijumpai di masyarakat dari berbagai
golongan, status dan lapisan sosial hampir di semua tempat, sebagai sebuah tindakan
pelanggaran, KDRT dapat terjadi secara tiba-tiba atau pun terencana oleh dan
terhadap anggota dalam suatu rumah tangga yang dapat bertindak sebagai pelaku
maupun korban. KDRT dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia tergolong
sebuah kejahatan dengan ancaman hukum pidana karena mengakibatkan kesakitan
dan penderitaan fisik maupun mental terhadap korbannya.
Pada awalnya, KDRT merupakan persoalan privasi suatu keluarga yang
bersifat tertutup dan jauh dari jangkauan perhatian dan intervensi pihak lain, termasuk
pemerintah. Bentuk tindak KDRT sungguh beragam dari yang paling ringan hingga
ke yang paling ekstrim sampai menyebabkan cacat fisik tetap bagi korban bahan
kematian. Perkembangannya yang kian meluas di masyarakat dengan akibat yang tak
terperikan membuat perkara ini mulai terkuak dan mendapat perhatian yang sungguh-
sungguh dari masyarakat sekitar, pemerintah, dan dunia internasional.
Tindak KDRT dalam berbagai bentuk dan kasus terjadi selain karena faktor
internal, berupa psikologis individu pelaku, dominasi dan penggunaan kekuasaan
yang berlebihan oleh pelaku, juga faktor eksternal, berupa faktor teknologi yang
mengakibatkan perselingkuhan, faktor pendidikan, faktor ekonomi dan sosial, serta
faktor budaya.
Selain upaya Represif pencegahan kekerasan dalam rumah tangga juga dapat
di tempuh melalui upaya preventif, dengan memperkuat jaringan sosial, memahami
budaya antar anggota dalam rumah tangga, memperkuat fondasi dan bangunan
Ekonomi Keluarga serta memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan baik.
15
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Ahmad Kasyful, and Triwibowo Budi Santoso, eds. Fondasi Keluarga Sakinah
Bacaan Mandiri Calon Pengantin. Jakarta: Sub Direktorat Bina Keluarga Sakinah
Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama
RI, 2019.
Anwar, Yesmil, and Adang. Pengantar Sosiologi Hukum. 2nd ed. Jakarta: Grasindo, 2011.
Connie, Mitchell. Intimate Partner Violence: A Health-Based Perspective. Oxford: Oxford
University Press, 2009.
Daeng, Yusuf. Sosiologi Hukum. Edited by Zulkarnaini. Vol. 2. Pekanbaru: Alaf Riau, 2018.
Laksana, I Gusti Ngurah Dharma, I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari, Anak Agung Gede
Oka Parwata, Ni Nyoman Sukerti, Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, and I Nyoman Wita.
Sosiologi Hukum: Buku Ajar. Tabanan: Pustaka Ekspresi, 2017.
.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/9175b128df486a0090485c936b7ce232.pdf.
LKKI, Lembaga Kajian Konstitusi Indonesia. Wajah Antropologi Dan Sosiologi Hukum
Keluarga Di Beberapa Daerah Di Indonesia. Edited by Muhammad Siddiq Armia.
Percetakan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry. I. Lembaga Kajian Konstitusi
Indonesia (LKKI), 2017. https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/10432/.
Lohy, Maisandra Helena, and Aguz Machfud Fauzi. “Peningkatan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) Selama Pandemi Covid-19 Dalam Kacamata Sosiologi Hukum.” Res
Judicata 4, no. 1 (2021): 83–98.
Rahmat, Abdi, and Rosita Adiani. Pengantar Sosiologi Agama. Edited by Umasih. I. LPP
UNJ Press, 2015.
Soyomukti, Nurani. Pengantar Sosiologi: Dasar Analisis, Teori & Pendekatan Menuju
Analisis Masalah-Masalah Sosial, Perubahan Sosial, & Kajian-Kajian
StrategisPengantar Sosiologi: Dasar Analisis, Teori & Pendekatan Menuju Analisis
Masalah-Masalah Sosial, Perubahan Sosial, &. 2nd ed. Sleman: Ar-Ruzz Media, 2014.
16