Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

DINAMIKA PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KEKERASAN


DALAM RUMAH TANGGA DALAM PERSPEKTIF TEORI HUKUM
RESPONSIF MENURUT NONET DAN SELZNICK

MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS


MATA KULIAH HUKUM DAN PEMBANGUNAN
DOSEN PENGAMPU: Dr. Sandra Dewi, S.H.,M.H

DISUSUN OLEH :

NAMA : HANIPAH
NIM : 2374101021

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS LANCANG KUNING
PEKANBARU
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan

tugas makalah ini yang disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam mata

kuliah HUKUM DAN PEMBANGUNAN, yang diampu oleh Ibu Dr. Sandra

Dewi, S.H.,M.H

Demikianlah makalah ini dibuat, jika terdapat kesalahan dan kekurangan

dalam makalah ini mohon maaf. Akhir kata, semua saran dan kritik yang

membangun akan diterima dengan senang hati untuk bekal perbaikan dikemudian

hari.

Pekanbaru, November 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................... i

DAFTAR
ISI .................................................................................................ii BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................1
B. Rumusan Masalah ..............................................................................3
BAB II. PEMBAHASAN
A. Dinamika Penegakan Hukum Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Dalam Perspektif Teori Hukum Responsif Menurut Nonet Dan
Selznick ..............................................................................................4
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan .........................................................................................18
B. Saran...................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah persoalan domestic
(privat) yang tidak boleh diketahui orang lain. KDRT merupakan pelanggaran hak
asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
diskriminasi yang harus dihapuskan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini merupakan
jaminan yang diberikan negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga, menindak pelaku KDRT, dan melindungi korban KDRT.
Berbagai macam permasalahan di dalam keluarga merupakan suatu
rintangan yang harus di hadapi oleh suami dan istri, istilah permasalahan
itu bisa di sebut juga sebagai bumbu dalam pernikahan yang mana permasalahan
tersebut bisa menjadikan keluarga lebih harmonis maupun menjadikan keluarga
yang tragis.Kurangnya suatu kesabaran dan pemahaman tentang keagamaan
membuat permasalahan tersebut semakin keruh dan pada akhirnya para suami
lebih memilih tindakan kekerasan terhadap istri untuk melampiaskan
amarahnya.Kekerasan inilah yang tanpa kita sadari menimbulkan dampak yang
negatif, khususnya bagi perempuan.
Berdasarkan Pasal 1 dan 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan dapat digolongkan kepada beberapa bentuk, yaitu: kekerasan
fisik, psikologis, kekerasan seksual, ekonomi, dan pemerasan kemerdekaan. Yang
dimaksud dengan kekerasan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang menyebabkan rasa sakit,
cedera, luka atau cacat pada tubuh seseorang dan atau menyebabkan
kematian.
2) Kekerasan psikologis adalah setiap perbuatan dan
ucapan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya pada seseorang.

1
3) Kekerasan seksual adalah tiap-tiap perbuatan yang mencakup pelecehan
seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan
seksual tanpa pertujuan korban atau di saat korban tidak menghendaki atau
melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak
disukai korban; dan atau menjauhkan (mengisolasi) dari kebutuhan
seksualnya.
4) Kekerasan ekonomi adalah tiap-tiap perbuatan yang membatasi seseorang
untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang atau
barang; dan atau membiarkan korban bekerja untuk dieksploitasi; atau
menelantarkan anggota keluarganya.
5) Perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang adalah semua
perbuatan yang menyebabkan terisolirnya seseorang dari lingkungan
sosialnya (penjelasan; di antaranya larangan keluar rumah, larangan
komunikasi dengan orang lain).
Berdasarkan ruang lingkupnya kekerasan terhadap perempuan dapat
terjadi dalam rumah tangga/keluarga(kekerasan domestik); di masyarakat luas
(publik) dan lingkungan negara (dilakukan dalam lingkup negara). Kekerasan
dalam rumah tangga/keluarga (kekerasan domestik) adalah berbagai bentuk
kekerasan yang pelaku dan korbannya memiliki hubungan keluarga /hubungan
kedekatan lain, termasuk di sisi penganiayaan terhadap istri maupun anggota
keluarga lainnya.1
Efek psikologis penganiayaan bagi banyak perempuan lebih parah di
banding efek fisiknya Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post
traumatik, serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak
kekerasan. Seringkali tindak kekerasan terhadap istri mengakibatkan kesehatan
reproduksi terganggu secara biologis yang pada akhirnya mengakibatkan
terganggunya secara sosiologis.
Dilihat dari aspek kesehatan reproduksi, kejadian KDRT pada perempuan
bisa mengakibatkan berbagai macam gangguan sistem reproduksi, baik langsung
ataupun tidak langsung. Perempuan bisa mengalami gangguan menstruasi bahkan
menopause lebih awal. Pada saat hamil dapat terjadi keguguran/
abortus,

1 Munandar Sulaiman dan Siti Homzah, Kekerasan Terhadap Perempuan, (Bandung : PT

Refika Aditama, 2010), hlm. 9.

2
persalinan imatur dan bayi meninggal dalam rahim. Saat persalinan, perempuan
akan mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus, persalinan
lama, persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari kehamilan dapat
melahirkan bayi dengan BBLR, terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik atau
bayi lahir mati.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Dinamika Penegakan Hukum Tindak Pidana Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Dalam Perspektif Teori Hukum Responsif Menurut Nonet
Dan Selznick ?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dinamika Penegakan Hukum Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah


Tangga Dalam Perspektif Teori Hukum Responsif Menurut Nonet Dan
Selznick
Informasi yang didapatkan dari suami diketahui bahwa kebanyakan dari
mereka tidak tahu bahwa apa yang sudah mereka lakukan merupakan tindakan
KDRT. Suami menganggap tindakan tersebut adalah hal biasadan perlu dilakukan
agar istri tetap hormat kepada mereka selaku suami. Bentuk kekerasan
berupa
tidak memenuhi kebutuhan rumah tangga dilakukan karena kondisi
ekonomi yang sulit, bukan karena mereka ingin melakukannya. Beratnya tuntutan
hidup membuat mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hasil
penelitian
menguatkan dugaan bahwa kejadian kekerasan dalam rumah tangga
memang banyak terjadi dilingkungan masyarakat. Kekerasan tersebut terutama
menimpa istri. Sayangnya kejadian kekerasan masih sering ditutupi dan
disembunyikan (hiddencrime) baik itu oleh pelaku ataupun oleh korban.
Kenyataannya sangatlah sulit mengukur dan mengetahui secara pasti
kekerasan dalam rumah tangga. Ini disebabkan karena pelaku dan korban belum
benar-benar mengetahui apa-apa saja bentuk kekerasan dalam rumah tangga dan
dampak yang ditimbulkan dari kekerasan tersebut.2
Terdapat beberapa perlindungan hukum yang telah diatur dalam undang-
undang penghapusan KDRT ini. Di samping sanksi ancaman hukuman
pidana penjara dan denda yang dapat diputuskan oleh Hakim, juga diatur pidana
tambahan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim yang mengadili perkara KDRT ini,
serta penetapan perlindungan sementara yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan
sejak sebelum persidangan dimulai.
Dalam hukum pidana dikenal dua macam upaya dalam menangani suatu
kejahatan, yakni upaya penal (dengan menggunakan sistem pemidanaan) dan
upaya non-penal (dengan upaya di luar sistem pemidanaan). Upaya penal

2Mery Ramadani, Kekerasan Dalam Rumah Tangga(KDRT) Sebagai Salah Satu Isu
Kesehatan Masyarakat Secara Global, dalam Fitri Yuliani,(ed.), Jurnal Kesehatan Masyarakat
Andalas, (Padang: Program Studi Kesehatan Masyarakat, 2015), hlm. 85.
4
merupakan penerapan dari hukum pidana dalam rangka menanggulangi kejahatan.
Sedangkan upaya non-penal merupakan langkah-langkah yang lebih bersifat
pencegahan (preventif) dalam rangka penanggulangan kejahatan, misalnya
kampanye, sosialisasi dan penyuluhan hukum. Upaya-upaya tersebut tentu
memiliki kelebihan dan kelemahan. Sebagai perbandingan antara upaya penal dan
non-penal menurut Prof. Barda Nawawi Arief lebih banyak keunggulan yang
dimiliki oleh upaya non-penal. Upaya penal memiliki banyak kelemahan antara
lain lebih bersifat represif. Sedangkan upaya non-penal bersifat preventif. Tentu
upaya non-penal lebih dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan,
dan upaya penal sebagai langkah apa yang dilakukan setelah terjadinya tindak
pidana. Perbedaan ini mengakibatkan upaya penal dilihat sebagai tahap terakhir
dalam upaya untuk menanggulangi kejahatan.
Dalam proses penegakan hukum pidana terdapat beberapa tahapan yang
harus dilalui. Menurut Sutarto, proses penyelesaian perkara pidana
menurut hukum acara pidana merupakan proses yang panjang dan melalui
beberapa tahapan sebagai berikut:
1) Tahap penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian.
2) Tahap penuntutan yang dilakukan oleh kejaksaan.
3)Tahap pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan oleh pengadilan.
4) Tahap pelaksanaan dan pengawasan putusan pengadilan
yang
dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dijelaskan bahwa hukum acara
pidana mengenal dua tahapan pemeriksaan. Pemeriksaan pendahuluan
merupakan tahap awal dari suatu proses perkara pidana yang dilakukan oleh
penyidik termasuk di dalamnya penyidikan tambahan atas dasar petunjuk-petunjuk
dari penuntut umum dalam rangka penyempurnaan hasil penyidikannya, jadi
pemeriksaan pendahuluan adalah proses pemeriksaan perkara pada tahap
penyidikan yang menurut KUHAP dilakukan oleh pihak kepolisian. Pemeriksaan
terakhir dilakukan di muka sidang pengadilan yang dipimpin oleh hakim dan
sifatnya terbuka untuk umum.
Kepolisian dalam melakukan penyidikan terhadap kasus kekerasan dalam
rumah tangga berpedoman pada KUHAP, sebagai dasarnya adalah Pasal 54

5
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga yang menyebutkan ”Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang
berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.
Dalam hal ini posisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam sistem hukum pidana
di Indonesia adalah lex specialis sedangkan KUHP dan KUHAP adalah lege
generali. Jadi proses penyidikannya sama seperti hukum acara pidana biasa
kecuali hal-hal yang ditentukan lain oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagaimana asas yang
dikenal dalam hukum pidana lex specialis derogat lege generali (peraturan yang
bersifat khusus mengkesampingkan peraturan yang bersifat umum).
Alat bukti dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga berbeda dengan
kasus biasa karena satu saksi saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah, apabila disertai dengan alat bukti lainnya (Pasal 55 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004). Alat bukti lainnya ini dapat berupa visum
etrepertum dari rumah sakit jadi tidak harus ada dua saksi.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga banyak korban kekerasan dalam rumah tangga merasa
haknya terlindungi oleh hukum. Banyak korban yang melaporkan kekerasan yang
menimpa diri mereka kepada pihak yang berwajib dengan tujuan untuk
memperjuangkan hak mereka kembali, terutama hak untuk tidak disiksa. Sehingga
dapat dikatakan, perempuan pasca berlakunya Undang-Undang PKDRT adalah
perempuan yang berani memperjuangkan haknya.
Berkaitan dengan proses penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga
yang mana dalam Undang-Undang PKDRT disebutkan bahwa kekerasan fisik,
psikis, dan seksual dalam rumah tangga merupakan delik aduan3, maka
untuk dapat diselesaikannya perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
harus didasarkan pada adanya aduan terlebih dahulu yang dibuat oleh
korban atau

3 Kekerasan fisik, psikis, dan kekerasan seksual merupakan delik aduan yang mana
ketentuannya terdapat dalam Pasal 51, 52, 53 Undang-Undang PKDRT, sedangkan untuk
kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang yang bukan termasuk dalam rumah tangga dengan
tujuan komersil atau tujuan tertentu, dan penelantaran rumah tangga merupakan delik aduan, yang
mana untuk proses penyelesaian tidak membutuhkan adanya aduan terlebih dahulu.

6
berdasarkan laporan yang diberikan oleh keluarga atau orang lain yang mendapat
kuasa dari korban yang ditujukan kepada pihak kepolisian.4
Dalam hal setelah diterimanya aduan tentang terjadinya tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib memberikan perlindungan
kepada korban. Perlindungan tersebut diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang
PKDRT yang berbunyi :
a. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga,
kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada
korban.
b. Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau
ditangani.
c. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan.
Selain memberikan perlindungan kepada korban kekerasan, kepolisian
juga harus membantu korban untuk mendapatkan surat visum et repertum dalam
terjadinya tindak kekerasan fisik atau seksual, atau surat visum psikitarium dalam
terjadinya tindak pidana kekerasan psikis. Hal ini dilakukan untuk menguatkan
bukti bahwa telah terjadi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga,
mengingat alat bukti pendukung dalam perkara tindak kekerasan dalam rumah
tangga sangat minim.
Setelah kepolisian menyatakan berkas lengkap (P-21), maka berkas
perkara diajukan ke tingkat yang lebih tinggi yaitu kejaksaan, untuk dilakukan
penuntutan. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk
melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan cara
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan
permintaan untuk diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

4 Pasal 26 ayat (1) dan (2)

7
Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai
sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual. Hal ini membuat Nonet dan Selznick
mengategorikan hukum ke dalam 3 kelompok yang berlainan serta ketiganya
merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial
dan tertib politik. Ketiga kategori hukum tersebut adalah hukum represif, otonom
dan hukum responsif.
Hukum responsif lebih menekankan pada tujuan, jadi bukan hanya
keadilan yang procedural. Lebih dari itu hukum responsive juga memiliki
kompeten dan keadilan yang lebih dibanding hukum otonom ataupun represif
serta mampu mengenali keinginan public dan punya komitmen bagi
tercapainya keadilan substantive. Misalnya permasalahan hukum yang berasal
dari akar rumput dapat diakomodir dengan baik untuk selanjutnya dapat dijadikan
masukan dalam rangka menegakkan keadilan yang tidak semu. Hal ini sangat
bertolak belakang dengan sifat hukum otonom yang lebih berpusat pada
peraturan- peraturan memiliki dasar yang praktis dalam hal-hal berikut ini:
1. Peraturan merupakan sebuah sumber yang andal untuk melegitimasi
kekuasaan. Peraturan menetukan cakupan otoritas jabatan secara akurat
sehingg menawarkan pengetesan yang meyakinkan terhadap akuntabilitas.
2. Hakim cenderung dibatasi oleh peraturan sehingga kekuasaan yudikatis
menjadi sangat terbatas dan lebih mudah untuk memberikan justifikasi
serta yang palin parah bahwa ancaman hukum terhadap para pembuat
keputusan politikpun menjadi kendur, bahkan seolah-oleh para elit politik
kebal hukum.
3. Meningkatnya jumlah peraturan perundangan yang dapat menimbulkan
kompleksitas dan mendatangkan permasalahan konsisten. Bahkan
pembuatan perundangan-pun dapat dijadikan lahan untuk menguntungkan
dan memperkaya diri mereka maisng-masing.
4. Otoritas pada peraturan cenderung membatasi tanggung jawab hukum.
Dalam menjalankan tugasnya sebuah hukum harus berpatokan pada
peraturan-peraturan tertentu, hal ini dimaksudkan agar dapat membantu
system tersebut untuk menghindari tuntutan-tuntutan yang mungkin tak
terpenuhi.

8
5. Walapun hukum otonom dapat menjinakkan represi, namun tetap
berkomitmen bahwa hukum adalah sebagai kontrol sosial yang dapat
digunakan untuk lebih melegitimasi kekuasaan pemerintah.
Dari gambaran di atas bahwa taat hukum yang terjadi pada hukum otonom
hanyalah bersifat semu, artinya dalam menjalankan tertib hukum
masyarakat terpaksa untuk mematuhinya. Karena siapapun yang
melanggar hukum maka sanksipun akan menunggunya, walaupun sebenarnya
aturan hukum tersebut bukan untuk kepentingan masyarakat tetapi untuk
kepentingan segelintir orang. Dari sinilah akan terjadi pergolakan dalam diri
masyarakat itu, dia akan patuh pada hukum jika ada pengawasan dari aparat
penegak hukum, namun dengan berbagai cara merekapun akan melanggar hukum
tersebut jika pengawasan tidak ada.
Hukum responsif yang merupakan kelanjutan dari proses hukum diatas
berusaha mengatasi ketegangan-ketegangan tersebut dengan cara
menunjukkan suatu kapasitas beradaptasi yang bertanggungjawab yaitu adaptasi
yang selektif dan tidak serampangan. Suatu institusi yang responsif
mempertahankan secara kuat hal-hal yang essential bagi integritasnya sembari
tetap memperhatikan keberadaan kekuatan-kekuatan baru di lingkungannya
sehingga antara keterbukaan dan integritas dapat berjalan bersama dan saling
membantu satu sama lain walaupun di antara keduanya terdapat pertentangan.
Lembaga responsif menganggap tekanan-tekanan social sebagai sumber
pengetahuan dan kesempatan untuk mengoreksi diri.Suatu institusi atau lambaga
haruslah memililiki tujuan, karena dengan tujuan sebuah lembaga atau institusi
tertesbut dapat memadukan antara integritas dan keterbukaan, peraturan dan
diskresi.Jadi hukum responsif beranggapan bahwa tujuan dapat dibuat cukup
obyektif dan cukup otoritatif untuk mengontrol pembuatan peraturan yang adaptif.
Usaha untuk mencapai tujuan merupakan suatu kegiatan yang beresiko tinggi bagi
sebuah institusi hukum.Karena sebagian lembaga beranggapan lebih baik
memelihara identitas dan mempertahankan legitimasi jika dibanding harus
menyediakan keterbuakaan kepada lingkungannya.5

5 Nonet, Philippe & Philip Selznick. Hukum Responsif, Pilihan di Masa Transisi. Penerjemah

Rafael Edy Bosco. (Jakarta: Ford Foundation-HuMa, 2003), hlm. 86.

9
Fungsi hukum yang ideal adalah untuk melayani anggota masyarakat
dalam mengalokasikan kekuasaan, mendistribusikan sumber daya dan melindungi
kepentingan masyarakat banyak. Munculnya suatu putusan pengadilan atau
peraturan perundang-undangan yang di dalamnya terdapat penyimpangan dari
fungsi-fungsi ideal tersebut akan membuat masyarakat bereaksi keras, seiring
dengan meningkatnya pemahaman hukum dan kesadaran hukum mereka
disamping tuntutan demokratisasi dan transparansi dalam penyelenggaran negara.
Teori hukum responsif berpendapat bahwa “hukum yang baik seharusnya
memberikan suatu yang lebih daripada sekedar prosedur hukum. Hukum tersebut
harus kompeten dan juga adil; ia seharusnya mampu mengenali keinginan
publik dan punya komitmen terhadap tercapainya keadilan substantif.”.6 Keadilan
substantif inilah yang belum menjadi orientasi penegakan hukum di Indonesia,
sehingga hukum diartikan apa yang tertulis dalam undang-undang semata.
Padahal hukum tidak berdiri sendiri sebagai subsistem sosial, akan tetapi ada
subsistem sosial lain yang juga ikut mempengaruhinya.
Wacana hukum responsif ini terus bergulir menggeser paradigma lama
penegakan hukum di Indonesia. Sebuah harapan besar perbaikan hukum yang
selama ini didambakan seluruh rakyat Indonesia. Para pakar hukum pun
semakin gencar memasyarakatkan teori hukum responsif, salah satu pakar yang
cukup dekat dengan teori hukum responsif adalah Satjipto Rahardjo yang
mengambil pemikiran dan mengembangkan hukum responsif dalam versi
Indonesia menjadi hukum progresif.7
“Satjipto Rahardjo secara tegas menyampaikan bahwa hukum progresif
menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek, dan berbagi paham
dengan aliran legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence,
interessenjurisprudenze, teori hukum alam, dan critical legal studies. Hukum
progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang
sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe
hukum liberal”8.

6 Nonet, Philippe & Philip Selznick. Hukum Responsif, Pilihan di Masa Transisi. Penerjemah

Rafael Edy Bosco. (Jakarta: Ford Foundation-HuMa, 2003), hlm. 60


7 Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, hlm.

106
8 Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Masyarakat. (Bandung: Angkasa, 1986), hlm. 1

10
Apabila membandingkan definisi yang disampaikan Satjipto Rahardjo
tentang hukum progresif dengan hukum responsif yang berkembang di Amerika
tahun 1970an yang dipopulerkan oleh Nonet dan Selznick, hamper ada kemiripan
dan hubungan antara kedua teori hukum tersebut. Apalagi bila mengutip apa yang
disampaikan Satjipto Rahardjo dalam salah satu tulisannya yang menyatakan
bahwa hukum progresif memiliki tipe responsif. Dalam tipe yang demikian itu,
hukum akan selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu
sendiri.
Konsep hukum responsif nampaknya cukup menjanjikan perbaikan hukum
di Indonesia, namun amat disayangkan perkembangan wacana hukum
responsif masih terbatas pada kalangan tertentu saja, belum banyak yang
mengetahui apalagi memahami konsep hukum ini terutama mereka yang memiliki
kompetensi di bidang ilmu hukum.
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia
dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang
harus dihapus, sebagai yang tercantum dalam UUD 1945 amandemen IV Pasal 28
huruf G ayat (1) yang menyatakan,”Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaan
serta berhak atas dasar rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat dan atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kekerasan Dalam Rumah
Tangga adalah Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.9
Pelaku adalah seseorang atau beberapa orang yang melakukan tindak
kekerasan dalam rumah tangga. Lebih lanjut di dalam penjelasan Pasal 1 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dijelaskan yang dimaksud dengan
korban

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan


9

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

11
adalah: “orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam
lingkup rumah tangga”.
Bentuk-bentuk kekerasan fisik terhadap perempuan, tertuang dalam Pasal
5 dan Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 5 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengatakan bahwa setiap orang dilarang
melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah
tangganya, dengan cara:10
a. Kekerasan fisik
b. Kekerasan psikis
c. Kekerasan seksual, atau
d. Penelantaran rumah tangga”.
Sedangkan Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bahwa kekerasan
fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (a) adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Membicarakan tindak kekerasan fisik terhadap isteri tidak dapat
dipisahkan dari membicarakan tindak kekerasan dalam rumah tangga, karena
isteri berada dalam lingkup wilayah tersebut. Deklarasi Penghapusan Segala
Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan membagi ruang lingkup terjadinya
Kekerasan terhadap Perempuan atas 3 lingkup, yaitu di keluarga atau domestic, di
masyarakat atau public domain serta dilakukan oleh negara atau state.
Kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 5 Undang-Undang PKDRT
dibagi menjadi 4 (empat) bentuk, yaitu; kekerasan fisik, kekerasan psikis,
kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Adapun bentuk-bentuk
kekerasan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan yang dimaksudkan untuk
menimbulkan rasa sakit kepada korban. Kekerasan fisik ini dapat berupa
dorongan, cubitan, tendangan, pemukulan dengan alat pemukul, siraman
dengan

10 Ibid

12
zat kimia atau air panas, menenggelamkan dan tembakan.11 Kekerasan fisik ini
kadang diikuti oleh kekerasan seksual, baik itu berupa serangan terhadap alat
seksual maupun berupa persetubuhan paksa. Moerti Hadiati Soeroso merangkum
bentuk kekerasan fisik ini ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu; kekerasan
pembunuhan, penganiayaan, dan perkosaan.12 Akibat dari kekerasan fisik dapat
berupa luka ringan, luka sedang, luka berat, maupun kematian.
Adapun definisi kekerasan fisik dalam Pasal 6 Undang-Undang PKDRT
adalah sebagai berikut; “Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
berat.”
2. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah bentuk kekerasan yang menyerang atau ditujukan
kepada psikis (mental atau kejiwaan) seseorang, baik itu berupa penghinaan,
komentar yang ditujukan untuk merendahkan martabat seseorang, larangan,
maupun ancaman.13 Dalam Pasal 7 Undang-Undang PKDRT memberikan
pengertian kekerasan psikis, sebagai berikut:
“Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b
adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.”
3. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual, baik
itu telah terjadi persetubuhan atau tidak, dan tanpa memperdulikan
hubungan antara korban dan pelaku.14 Kekerasan seksual perlu dibedakan dengan
kekerasan fisik karena kekerasan seksual tidak sekadar melalui perilaku fisik.15
Kekerasan Seksual dalam Pasal 8 Undang-Undang PKDRT adalah:
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi :

11 Aroma Elmina Martha, Perempuan Kekerasan dan Hukum, (Yogyakarta: UII Press,
2003), hlm. 35.
12 Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan… Op.Cit, hlm. 80-81.

13 Ibid, hlm. 81.

14 Aroma Elmina Martha, Perempuan Kekerasan …Op.Cit, hlm. 36.

15 Ibid.

13
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau
tujuan tertentu.
4. Penelantaran Rumah Tangga
Penelantaran rumah tangga dalam Pasal 9 Undang-Undang PKDRT
adalah:
c. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut.
b. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah
sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Penelantaran rumah tangga ini erat kaitannya dengan ekonomi, baik itu
berupa tidak diberikan biaya yang seharusnya ditanggung oleh pelaku demi
kelangsungan hidup korban atau berupa pembatasan atau larangan yang
menyebabkan ketergantungan ekonomi. Misal, suami melarang istri bekerja untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, serta tidak memberikan uang belanja.16
Adapun Mahoney dkk. dalam bukunya yang berjudul Violence Against
Women mengelompokkan tipe kekerasan terhadap istri meliputi:
a. Kekerasan fisik
Berupa tindakan penyerangan secara fisik, termasuk perbuatan
terhadap orang yang belum dewasa semisal menempeleng atau
tindakan keras seperti penyerangan dengan menggunakan senjata
mematikan. Lebih jauh dijelaskan kekerasan fisik dapat berupa:
pukulan, melukai tubuh dengan senjata tumpul, senjata tajam atau
benda-benda lain yang berhubungan dengan teknologi (misalnya
listrik) juga cara untuk melakukan kekerasan fisik.

16 Ibid., hlm. 37.

14
Penggunaan kekerasan dapat menimbulkan luka, menghasilkan
luka memar, luka tusuk, luka akibat senjata tajam, dan luka goresan
sampai dengan luka- luka yang dapat menimbulkan kematian.
Ancaman/ kekerasan dapat terjadi secara langsung, melalui ucapan,
melalui gerakan tubuh, maupun secara tidak langsung (surat, telepon,
orang lain) yang mengungkapkan maksud untuk menggunakan
kekuatan fisik kepada orang lain.
b. Kekerasan seksual
Berupa tindakan hubungan seksual bagi perempuan yang dilakukan
dengan paksaan, ancaman kekerasan, ataupun kekerasan. Kekerasan
seksual juga meliputi eksploitasi seksual yang disertai hubungan
seksual dengan yang lain tanpa keinginan perempuan. Abraham dalam
Mahoney mendefinisikan kekerasan seksual sebagai hubungan seksual
suami istri yang dilakukan tanpa persetujuan, perkosaan, pencabulan,
kontrol seksual akan hak untuk menghasilkan keturunan, dan berbagai
bentuk perbuatan seksual yang dilakukan oleh pelaku dengan
bermaksud untuk menyebabkan penderitaan secara emosional, seksual,
dan fisik kepada orang lain.
c. Kekerasan secara psikologis
Dalam kekerasan psikis bentuk kekerasannya dapat berupa akibat/
dampak yang ditimbulkan dari adanya kekerasan yaitu ancaman
kekerasan, tindakan kekerasan itu sendiri termasuk kekerasan seksual.
Dampak / akibat dari bentuk-bentuk kekerasan ini akan berbeda-
beda pada tiap orang. Kondisi kesehatan korban memengaruhi respon
pecarian pertolongan dan respon pemahaman tentang hubungan,
tergantung pada pola kekerasan yang mereka pertahankan.
Disimpulkan bahwa akibat dari kekerasan yang berbeda akan
tergantung pada pola tertentu dari adanya tindakan kekerasan.
d. Stalking (membuntuti, meneror)
Beberapa perbuatan yang mendapat perhatian dalam literatur
mengenai battered women adalah stalking. Hal ini termasuk perbuatan

15
mengganggu atau mengancam, termasuk pula ancaman akan bahaya
serius, yang dilakukan secara berulang-ulang.
e. Pembunuhan (Homicide)
Kasus pembunuhan terhadap istri paling sering dilakukan oleh
suami atau mantan suami. Statistik yang memperlihatkan presentase
pembunuhan terhadap perempuan oleh pasangan dekat sangat banyak.
Sedangkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga turut menggolongkan penelantaran rumah
tangga sebagai salah satu bentuk kekerasan dalam kasus KDRT. Penelantaran
rumah tangga yang dimaksud adalah penelantaran yang dilakukan seseorang
terhadap orang lain yang secara hukum, persetujuan, atau perjanjian merupakan
tanggung jawabnya. Penelantaran rumah tangga juga mencakup tindakan yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi. Pelaku biasanya membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja sehingga korban berada dibawah kendalinya.
Pelaku tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga akan dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan pidana dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan
kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda
paling banyak Rp. 15. 000.000,00 (Lima belas juta rupiah). Ayat (2) bahwa Dalam
hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah). Ayat (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00 (empat puluh juta
rupiah). Ayat (4) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari- hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan
atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

16
Pasal 51 menentukan bahwa tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan. Bentuk kekerasan
terhadap perempuan (dalam rumah tangga) sangat beragam. Mulai dari kekerasan
fisik (memukul, menampar, meludahi, menggunduli, menyulut rokok dan lain-
lain). Dengan demikian, kekerasan bukan hanya kekerasan fisik saja yang
biasanya berakibat langsung bisa dilihat mata seperti memar-memar tubuh atau
goresan-goresan luka tetapi berbentuk sangat halus atau tidak kasat mata, seperti
kecaman kata kasar yang meremehkan dan sebagainya.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Dinamika Penegakan Hukum Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Dalam Perspektif Teori Hukum Responsif Menurut Nonet Dan
Selznick bahwa Penegakan hukum KDRT harus dipahami dalam konteks
sosial yang kompleks, di mana faktor-faktor seperti budaya, norma-
norma sosial, dan ketidaksetaraan gender memainkan peran penting.
Pengertian mendalam terhadap konteks ini penting untuk merancang
kebijakan dan praktik penegakan hukum yang relevan dan efektif.
Melibatkan masyarakat secara aktif dalam upaya penegakan hukum
merupakan langkah krusial. Kesadaran masyarakat tentang KDRT,
bersama dengan partisipasi dalam mendukung korban dan melaporkan
kejadian, dapat memperkuat penegakan hukum dan memberikan
dukungan yang diperlukan kepada korban.

B. Saran
1. Penanganan korban KDRT harus dilakukan dengan penuh empati dan
keadilan. Sistem hukum harus memberikan perlindungan kepada korban,
memastikan bahwa mereka merasa aman untuk melaporkan tindak
pidana, dan memberikan akses kepada layanan medis, konseling, dan
bantuan hukum. Proses penegakan hukum KDRT harus dievaluasi secara
berkala. Feedback dari korban, keluarga, dan masyarakat harus diambil
serius untuk memperbaiki sistem penegakan hukum, mengatasi
kelemahan, dan meningkatkan efektivitas.

18
DAFTAR PUSTAKA

Aroma Elmina Martha, Perempuan Kekerasan dan Hukum, (Yogyakarta: UII


Press, 2003)
Kekerasan fisik, psikis, dan kekerasan seksual merupakan delik aduan yang mana
ketentuannya terdapat dalam Pasal 51, 52, 53 Undang-Undang PKDRT, sedangkan
untuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang yang bukan
termasuk dalam rumah tangga dengan tujuan komersil atau tujuan
tertentu, dan penelantaran rumah tangga merupakan delik aduan, yang
mana untuk proses penyelesaian tidak membutuhkan adanya aduan
terlebih dahulu.
Munandar Sulaiman dan Siti Homzah, Kekerasan Terhadap Perempuan,
(Bandung : PT Refika Aditama, 2010)
Mery Ramadani, Kekerasan Dalam Rumah Tangga(KDRT) Sebagai Salah Satu
Isu Kesehatan Masyarakat Secara Global, dalam Fitri Yuliani,(ed.),
Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, (Padang: Program Studi
Kesehatan Masyarakat, 2015)
Nonet, Philippe & Philip Selznick. Hukum Responsif, Pilihan di Masa Transisi.
Penerjemah Rafael Edy Bosco. (Jakarta: Ford Foundation-HuMa, 2003)
Nonet, Philippe & Philip Selznick. Hukum Responsif, Pilihan di Masa Transisi.
Penerjemah Rafael Edy Bosco. (Jakarta: Ford Foundation-HuMa, 2003)
Nonet, Philippe & Philip Selznick. Hukum Responsif, Pilihan di Masa Transisi.
Penerjemah Rafael Edy Bosco. (Jakarta: Ford Foundation-HuMa, 2003),
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti
Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Masyarakat. (Bandung: Angkasa, 1986)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
tentang
Penghapusan Kekerasan

19

Anda mungkin juga menyukai