Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH SOSIOLOGI

Guru Pengampu :

……………..

Disusun Oleh

A. Rona Fatahilah

Assyifa Salsabila

Firja Abidin

Lu’lu Nur Rahmah Azzuhrah

Nabilla Zulfa Amina

Salsa Amelia Safitri

Yasmine Alzahra

XI IPS 3

MAN 2 KOTA BANJARMASIN

2021-2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT
karena atas segala nikmat dan rahmat-Nya yang telah memberikan kesehetan
jasmani dan rohani sehingga kita tetap masih tetap bisa menikmati segala nikmat
yang telah diberikan-Nya. Sholawat dan salam tetaplah kita curahkan kepada
baginda Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang
lurus berupa ajaran agama yang sempurna dengan bahasa yang sangat indah.

Saya penulis disini akhirnya dapat merasa sangat bersyukur karena telah
menyelesaikan makalah yang saya beri judul Makalah Tentang Produk Kreatif.
Dalam makalah ini saya mencoba menjelaskan tentang produk kreatif berbahan
dasar Biskuit Oreo yang dibuat menjadi suatu makanan yang lebih kreatif dan
inovatif. Penulisan makalah ini dibuat berdasarkan beberapa sumber yang berkaitan
dengan makalah yang saya kerjakan

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka
dari itu diharapkan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan dimasa yang
akan datang. Saya berharap agar tulisan ini dapat memberi manfaat bagi orang
banyak dan saya sendiri khususnya.

Banjarmasin, 14 Mei 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.......................................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................4

C. Tujuan Masalah......................................................................................4

BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengertian Kekerasan.............................................................................5

B. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga..................................6

C. Faktor-faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga....................8

D. Contoh Kasus KDRT Yang Ada Di Indonesia.....................................11

BAB III : METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian......................................................................................17

B. Waktu dan Tempat Penelitian...............................................................17

C. Metodologi Penelitian...........................................................................17

BAB PENUTUP

A. Kesimpulan...........................................................................................18

B. Saran .....................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA................................................................................19

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Masalah kekerasan (khususnya dalam rumah tangga) merupakan salah


satu bentuk kejahatan yang melecehkan dan menodai harkat kemanusiaan, serta
patut dikategorikan sebagai jenis kejahatan melawan hukum kemanusiaan. Namun
demikian, tidak semua kejahatan megandung unsur-unsur kekerasan, dan tidak
semua tindakan kekerasan dapat dikatakan sebagai kompenen kejahatan.

Tindak kekerasan dalam masyarakat sebenarnya bukan suatu hal yang


baru. Berbagi pendapat, persepsi, dan definisi mengenai kekerasan dalam rumah
tangga berkembang dalam masyarakat. Pada umumnya orang berpendapat bahwa
KDRT adalah urusan intern keluarga dan rumah tangga. Berbagai kasus berakibat
fatal dari kekerasan orang tua terhadap anaknya, suami terhadap istrinya, majikan
terhadap rumah tangga, terkuak dalam surat kabar dan media massa.

Kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya bukan merupakan hal yang


baru. Namun, selama ini selalu dirahasikan atau ditutup-tutupi oleh keluarga,
maupun oleh korban sendiri atau keluarga. Kekerasan yang terjadi dalam rumah
tangga mengandung sesuatu yang spesifik atau khusus. Kekhususan tersebut
terletak pada hubungan antara pelaku dan korban, yaitu hubungan kekeluargaan
atau hubungan pekerjaan (majikan-pembantu rumah tangga).

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu permasalahan dalam


keluarga. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bisa menimpa siapa saja
termasuk, suami, istri, dan anak.

Dalam Undang-undang RI No.23 Tahun 2004 mengenai Kekerasan


Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang kebanyakan adalah perempuan, harus
mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan
terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang
merendahkan derajat dan martabat kemanusian.

1
Pada umumnya masalah kekerasan dalam rumah tangga sangat erat
kaitannya dengan ketiadaan akses perempuan kepada sumber daya ekonomi
(financial modal dan benda-benda tidak bergerak seperti tanah, dan sumber-sumber
kesejahteraan lain), usia, pendidikan, agama dan suku bangsa. Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) yang dialami perempuan juga berlapis-lapis artinya bentuk
kekerasan yang dialami perempuan bisa lebih dari satu bentuk kekerasan baik
secara fisik, psikologis, seksual dan ekonomi. Maka Kekerasan Dalam Rumah
Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasaan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.

Di sisi lain pelaku tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga


(KDRT) dalam penerapan sanksi pidana masih sering terjadi dualisme di dalam
penerapan ketentuan pemidanaan. Dualisme itu terjadi yakni dengan berlakunya

Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan


Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) ternyata masih berlaku pula aturan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kekerasan terhadap perempuan
menurut perserikatan bangsa-bangsa dalam deklarasi penghapusan kekerasan
terhadap perempuan, kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk tindakan
kekerasan yang berbasis gender yang mengakibatkan atau akan mengakibatkan rasa
sakit atau penderitaan terhadap perempuan baik secara fisik, seksual, psikologis,
termasuk ancaman, pembatasan kebebasan, paksaan, baik yang terjadi di area
publik atau domestik. Kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan atau sikap
yang dilakukan dengan tujuan tertentu sehingga dapat merugikan perempuan baik
secara fisik maupun secara psikis. Hal penting lainnya ialah bahwa suatu kejadian
yang bersifat kebetulan (eccidental) tidak dikategorikan sebagai kekerasan
walaupun menimbulkan kerugian pada perempuan.

2
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian dari Kekerasan?


2. Bagaimana bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga?
3. Apa faktor-faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga?
4. Apa contoh kasus KDRT yang ada di indonesia?

C. TUJUAN MASALAH

1 Mengetahui dan memahami lebih dalam tentang KDRT

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KEKERASAN

Kekerasan dalam rumah tangga seperti yang tertuang dalam Undang-Undang


Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.

Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan


hukum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang antara lain menegaskan
bahwa:

1. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari
segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-
Undang Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga
merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.
3. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah
perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari negara dan/atau
masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman
kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan
martabat kemanusiaan.
4. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d perlu dibentuk undang-undang tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga.

4
5. Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri sebenarnya
merupakan unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah
KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis
besar isi pasal yang berbunyi: “barang siapa yang melakukan
penganiayaan terhadap ayah, ibu, istri atau anak diancam hukuman
pidana”.

B. BENTUK BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap


dalam rumah tangga dibedakan ke dalam 4 (empat) macam:

1. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat. Perilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain
adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang,
menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya.
Biasanya perlakuan ini akan tampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau
bekas luka lainnya.

2. Kekerasan psikologis/emosional

Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan


ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Perilaku kekerasan
yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-
komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari
dunia luar, mengancam atau, menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan
kehendak.

3. Kekerasan seksual

Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari


kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera

5
seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri. Kekerasan seksual berat,
berupa:

 Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ


seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang
menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
 Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat
korban tidak menghendaki.
 Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan
atau menyakitkan.
 Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan prostitusi dan
atau tujuan tertentu.
 Terjadinya hubungan seksual di mana pelaku memanfaatkan posisi
ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
 Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat
yang menimbulkan sakit, luka, atau cedera.
 Kekerasan seksual ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti
komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara
non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan
lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban
bersifat melecehkan dan atau menghina korban. Melakukan repetisi
kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan
seksual berat.

4. Kekerasan ekonomi

Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,


padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri,
bahkan menghabiskan uang istri.

Kekerasan ekonomi berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian


lewat sarana ekonomi berupa:

6
 Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitasi termasuk pelacuran.
 Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
 Mengambi l tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas
dan atau memanipulasi harta benda korban.
 Kekerasan ekonomi ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang
menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak
terpenuhi kebutuhan dasarnya.

C. Faktor-faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga

Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks


struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:

1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki

Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan


wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.

2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi

Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja


mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami
kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.

3. Beban pengasuhan anak

Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai


pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami
akan menyalah-kan istri sehingga terjadi kekerasan dalam rumah tangga.

4. Wanita sebagai anak-anak

Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,


mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak

7
dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan
sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.

5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki

Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami


kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga
penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan
oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan
kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.

Adapula berdasarkan hasil SPHPN Tahun 2016 mengungkapkan terdapat 4


(empat) faktor penyebab terjadinya kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap
perempuan yang dilakukan oleh pasangan yaitu faktor individu, faktor pasangan,
faktor sosial budaya, dan faktor ekonomi.

a) Faktor individu perempuan, jika dilihat dari bentuk pengesahan perkawinan,


seperti melalui kawin siri, secara agama, adat, kontrak, atau lainnya
perempuan yang menikah secara siri, kontrak, dan lainnya berpotensi 1,42
kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan
perempuan yang menikah secara resmi diakui negara melalui catatan sipil
atau KUA. Selain itu, faktor seringnya bertengkar dengan suami, perempuan
dengan faktor ini beresiko 3,95 kali lebih tinggi mengalami kekerasan fisik
dan/atau seksual, dibandingkan yang jarang bertengkar dengan
suami/pasangan. Perempuan yang sering menyerang suami/pasangan
terlebih dahulu juga beresiko 6 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik
dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah menyerang
suami/pasangan lebih dahulu.
b) Faktor pasangan, perempuan yang suaminya memiliki pasangan lain
beresiko 1,34 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual
dibandingkan perempuan yang suaminya tidak mempunyai istri/pasangan
lain. Begitu juga dengan perempuan yang suaminya berselingkuh dengan
perempuan lain cenderung mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2,48

8
kali lebih besar dibandingkan yang tidak berselingkuh. Disamping itu, ada
pula perempuan yang memiliki suami menggangur beresiko 1,36 kali lebih
besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang
pasangannya bekerja/tidak menganggur. Faktor suami yang pernah minum
miras, perempuan dengan kondisi suami tersebut cenderung 1,56 kali lebih
besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang
suaminya tidak pernah minum miras. Begitu juga dengan perempuan yang
memiliki suami suka mabuk minimal seminggu sekali, beresiko 2,25 kali
lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang
tidak pernah mabuk. Perempuan dengan suami pengguna narkotika
beresiko mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2 kali lebih besar
dibandingkan yang tidak pernah menggunakan narkotika. Perempuan yang
memiliki suami pengguna narkotika tercatat 45,1% mengalami kekerasan
fisik, 35,6% mengalami kekerasan seksual, 54,7% mengalami kekerasan
fisikdan/seksual, 59,3% mengalami kekerasan ekonomi, 61,3% mengalami
kekerasan emosional/psikis, dan yang paling tinggi yaitu 74,8% mengalami
kekerasan pembatasan aktivitas. Selain itu faktor suami yang pernah
berkelahi fisik dengan orang lain, perempuan dengan suami kondisi ini
beresiko 1,87 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual
dibandingkan yang tidak pernah berkelahi fisik.
c) Faktor ekonomi, perempuan yang berasal dari rumahtangga dengan tingkat
kesejahteraan yang semakin rendah cenderung memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan.
Perempuan yang berasal dari rumahtangga pada kelompok 25% termiskin
memiliki risiko 1,4 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau
seksual oleh pasangan dibandingkan kelompok 25% terkaya. Aspek
ekonomi merupakan aspek yang lebih dominan menjadi faktor kekerasan
pada perempuan dibandingkan dengan aspek pendidikan. Hal ini paling
tidak diindikasikan oleh pekerjaan pelaku yang sebagian besar adalah buruh,
dimana kita tahu bahwa tingkat upah buruh di Indonesia masih tergolong
rendah dan hal ini berdampak pada tingkat kesejahteraan rumahtangga.

9
d) Faktor sosial budaya, seperti timbulnya rasa khawatir akan bahaya kejahatan
yang mengancam. Perempuan yang selalu dibayangi kekhawatiran ini
memiliki risiko 1,68 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau
seksual oleh pasangan, dibandingkan mereka yang tidak merasa khawatir.
Perempuan yang tinggal di daerah perkotaan memiliki risiko 1,2 kali lebih
besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan
dibandingkan mereka yang tinggal di daerah perdesaan

Dari sekian banyak faktor yang memicu terjadinya KDRT, perlu kita pahami
bahwa pentingnya konsep kesetaraan dalam keluarga adalah kunci dalam
menghentikan tindak KDRT. Dalam keluarga terbagi peran-peran yang dijalankan
oleh laki-laki dan perempuan dimana peranan ini menentukan berbagai
pengambilan keputusan, serta nilai-nilai luhur termasuk nilai kesetaraan dan
keadilan gender yang ditanamkan. Nilai-nilai ini semestinya bisa dikomunikasikan
di awal pembentukan keluarga yakni pada jenjang pernikahan. Perlu adanya
komitmen yang kuat yang terbangun baik dalam pribadi laki-laki maupun
perempuan, untuk mengemban semua konsekuensi yang hadir ketika formasi
keluarga telah terbentuk. Komitmen yang telah terbentuk tersebut diharapkan
mampu membangun komunikasi dua arah di antara suami dan istri yang
berimplikasi pada keutuhan keluarga, sehingga kasus KDRT pun dapat tereliminasi.

10
BAB III
METODE PENELITIAN

A. CONTOH KASUS KDRT YANG ADA DI INDONESIA

Pasangan suami istri yang bernama Karsiwen, seorang ibu rumah tangga
berumur 42 tahun yang beralamat di Ngablak Indah Rt 01/04, Bengetayu Kulon,
Kecamatan Genuk, Semarang dan suaminya, Kasmijan yang berumur 43 tahun.
Pada awalnya, kehidupan rumah tangga mereka berjalan baik. Namun sejak 14
tahun akhir, hubungan keduanya sudah tidak harmonis lagi. Setiap kali pulang ke
rumah, mereka selalu bertengkar dan dampaknya mereka tidak lagi tinggal
serumah. Puncaknya, pada Sabtu, 12 November 2011 sekitar pukul 08:15 WIB.
Kasmijan mendatangi Karsiwen dengan marah-marah dan langsung melakukan
penganiayaan. Setelah puas menghajar menggunakan balok kayu, menendang
dengan sepatu, menginjak, dan membenturkan kepala korban hingga tak berdaya,
Kasmijan pergi begitu saja meninggalkan Karsiwen. Akibat penganiayaan tersebut,
Karsiwen mengalami luka-luka di bagian paha dekat pinggul, wajah, dan kaki
memar, perut sakit, serta kepalanya sering pusing karena dibenturkan ke lantai.
Atas kejadian ini, Karsiwen melaporkan Kasmijan ke Polrestabes Semarang
lantaran kekerasan rumah tangga yang dialaminya. Kepada Mapolrestabes
Karsiwen mengatakan bahwa dirinya sering dianiaya dan mendapatkan berbagai
siksaan serta pukulan dari suaminya jika sedang marah. Karena itu, Karsiwen tak
jarang mengalami luka-luka akibat dianiaya suaminya itu.

B. ANALISIS KASUS

 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dalam


menyikapi kasus kekerasan seperti yang dialami Ibu Karsiwen

11
Sejumlah pengaduan tindak pidana kekerasan terhadap perempuan yang
diterima oleh Komnas Perempuan menunjukkan bahwa tak jarang perempuan
menjadi korban KDRT, seperti halnya yang terjadi dan dialami Ibu Karsiwen,
melihat maraknya kekerasan tersebut Komnas Perempuan melakukan berbagai hal,
diantaranya: mengajak semua pihak meningkatkan perlindungan dan layanan
kepada korban KDRT yang berpusat pada korban dengan berbasis pada hak korban
atas kebenaran, keadilan, pemulihan, dan jaminan atas tidakberulangnya kekerasan.
Mengajak pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk terus
mensosialisasikan KDRT sebagai tindakan yang harus dihentikan, dan
memperbaiki tradisi ataupun praktik-praktik budaya yang masih menjadi penyebab
terjadinya kekerasan terhadap perempuan, selain itu mendorong pemerintah dan
aparat penegak hukum agar dapat mengimplementasikan UU PDKRT mendasarkan
pada mandat UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan
segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) untuk menghapuskan
diskriminasi dan mengakui ketimpangan relasi kuasa laki-laki dan perempuan
(suami dan istri) sebagai akar masalah KDRT. Mendorong pemerintah untuk segera
melakukan review terhadap PP No. 4 tahun 2006 tentang Kerjasama Pemulihan dan
mengeluarkan sejumlah peraturan pelaksana lainnya, agar UU No. 23 tahun 2004
Tentang Penghapusan KDRT dapat diimplementasikan secara optimal. Perlu juga
dipahami bahwa UU dan peraturan-peraturan itu seharusnnya bisa mendorong
masyarakat untuk memahami tentang hak-hak perempuan dan hak-hak korban
KDRT.

Komnas Perempuan, dengan independensinya dan posisinya diantara LSM,


pemerintah dan masyarakat bisa menjadi penghubung dan jembatan bagi
masyarakat dan pemerintah untuk mengupayakan pencegahan kekerasan terhadap
perempuan dan kalau bisa tidak hanya di tataran kebijakan nasional, tapi ikut
terlibat mendengar dan memfasilitasi teman-teman daerah untuk berhubungan
dengan nasional, misalnya terkait advokasi perda-perda yang diskriminatif, bisa
dinasionalkan oleh Komnas Perempuan untuk menjadi isu dan kepentingan

12
nasional di mana Komnas Perempuan bisa berhubungan dengan Depdagri, Depag,
dan KPP1

 Pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak Ibu Karsiwen yang


dirampas suaminya
Pada dasarnya, perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah
tangga atau yang biasa disingkat KDRT seperti yang dialami Ibu Karsiwen ini
bertujuan memberikan rasa aman kepada korban terutama pada saat memberikan
keterangan pada setiap proses peradilan pidana2. Selain itu seorang korban seperti
Ibu Karsiwen ini juga akan mendapatkan hak-hak tertentu seperti yang dijelaskan
dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 31 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 13
tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Seperti diketahui kekerasan
dalam rumah tangga telah diatur dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Ketentuan UU tersebut telah
mengatur sejumlah delik pidana yang dapat terjadi dalam tindakan KDRT. Dengan
demikian dalam hal ini terkait korban dalam tindak pidana KDRT berhak
memperoleh hak sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 5,6, dan pasal 7 dalam
UU No. 31 tahun 2014, dan tentunya berhak mendapat perlindungan dari
LPSK( Lembaga perlindungan Saksi dan Korban). Selain itu juga dalam UU No. 23
tahun 2004 pasal 10 dijelaskan hak-hak korban KDRT yang terdiri atas lima macam
hak, diantaranya : perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; pelayanan kesehatan
sesuai dengan kebutuhan medis; penanganan secara khusus berkaitan dengan
kerahasiaan korban; pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada
setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan per-uu-an, dan
pelayanan bimbingan rohani.

13
Pada dasarnya, kita dapat berkaca dengan melihat beberapa putusan
dibeberapa pengadilan negeri mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga yang
serupa dialami oleh Ibu Karsiwen, salah satunya dalam suatu putusan hakim 3, tidak
ditemukan adanya pemberian hak-hak korban baik berupa ganti rugi atau
kompensasi dalam bentuk materi kepada korban atas harm yang mereka alami.
Berkaitan dengan masalah kompensasi ini victimologi melihat salah satu tujuan
pengaturan ganti kerugian adalah mengembangkan keadilan kesejahteraan mereka
yang menjadi korban, menderita mental, fisik, sosial. Pada seharusnya pelaksanaan
peraturan ganti kerugian yang baik itu memberikan kemungkinan kepada pihak
korban untuk secara leluasa ikut serta menyatakan pendapatnya. Menurut Angkasa,
restitusi perlu diintegrasikan ke dalam sistem peradilan pidana. Hal ini dengan
pertimbangan bahwa restitusi merupakan lembaga pidana yang dapat memberikan
manfaat bagi korban, pelaku, negara, dan masyarakat 4 sebagai penggantian
kerugian finansial, perbaikan, dan/atau pengobatan atas luka-luka fisik maupun
penderitaan psikologis sebagai korban tindak pidana yang telah menimpanya.
Restitusi ini akan sangat berarti utamanya seperti yang dialami Ibu Karsiwen
karena korban tindak pidana ini cenderung menjadi korban ganda, pertama,
menjadi korban atas kekerasan yang dilakukan suaminya, dan kedua, menjadi
korban ketika memasuki sistem peradilan pidana yang paradigmanya masih
berorientasi terhadap pelaku. Menurut Schreider,5 prosedur restitusi ada 5 (lima)
cara : Pertama, model basic restitution dengan prosedur pelaku membayar kepada
pengadilan, dan pengadilan kemudian memberikan uang tersebut kepada korban,
Kedua, model expanded basic restitution dengan prosedur pelaku dicarikan
pekerjaan (bagi pelaku yang berpenghasilan rendah dan berusia muda), Ketiga,
model victim assistance dengan prosedur pelaku diberi kesempatan membantu
korban sehingga korban dapat menerima ganti rugi secara penuh, Keempat, model
victim assistance-offender accountability demi penyelesaian yang memuaskan
kedua belah pihak, dilakukan dengan negosiasi dan kadang-kadang dengan
mempertemukan kedua belah pihak, Kelima, model community accountability-
deterrence dengan prosedur permintaan ganti rugi dimintakan oleh sekelompok

14
orang sebagai wakil dari masyarakat. Permintaan ganti rugi meliputi jenis pekerjaan
yang harus dilakukan, maupun jadwal pembayaran ganti rugi.

Namun, model basic restitution tampaknya yang paling selaras dan tepat
untuk dipakai putusan hakim perkara KDRT, dengan membayar melalui pengadilan
akan lebih terkontrol dalam arti menghindarkan dari pengingkaran kewajiban
pelaku untuk membayar restitusi, serta lebih memudahkan dalam penegakan
hukumnya apabila terdapat pihak-pihak yang menyalahi.

 Perspektif hukum dan HAM terhadap kasus yang menimpa Ibu


Karsiwen
Sebuah negara yang menjadikan hukum sebagai yang tertinggi, negara
wajib melindungi setiap warga negaranya dari segala bentuk kekerasan dan
pelanggaran hak-haknya. Pasal 28G (1) UUD 1945 menyatakan “bahwa setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang dibawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari rasa ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H (2) UUD 1945 menyatakan “setiap orang
berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Selain menjadi tanggung jawab negara, hal tersebut juga menjadi kewajiban
masyarakat untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga
seperti yang dialami Ibu Karsiwen ini, sehingga nantinya tidak akan muncul
korban-korban kekerasan selanjutnya.

Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konstitusi terhadap hak


asasi manusia itu sangat penting dan merupakan salah satu ciri pokok prinsip
negara hukum, dimana sudah seharusnya negara bertanggung jawab atas
perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia, utamanya
kekerasan terhadap perempuan. Namun, selain hak-hak asasi manusia, harus
dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang juga
bersifat asasi. Setiap orang dimanapun ia berada harus dijamin hak-hak dasarnya.

15
Pada saat bersama, setiap orang dimanapun ia berada, ia wajib menjunjung tinggi
hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya. Kasus kekerasan terhadap Ibu
Karsiwen merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan.

Menurut Harkristuti Harkrisnowo6, setidaknya ada perspektif untuk


memandang tindak kekerasan dari segi pemahamannya. Pertama adalah perspektif
yang sempit, yang merumuskan tindak kekerasan sebagai suatu kekerasan yang
bersifat fisik, jasmaniah belaka, sehingga pembuktiannya juga mempunyai
karakteristik yang bersifat materi belaka. Perspektif kedua memandang tindak
kekerasan dalam arti yang lebih luas mencakup tidak hanya kekerasan fisik, tetapi
juga kekerasan psikologis dan ekonomis. Hal ini didasari pada pemikiran bahwa
perilaku- perilaku kekerasan non fisik mempunyai dampak yang tidak lebih kecil
dibanding kekerasan fisik. Melihat kasus yang dialami Ibu Karsiwen, dimana Ibu
Karsiwen mengalami luka-luka di bagian paha dekat pinggul, wajah, dan kaki
memar, perut sakit, serta kepalanya sering pusing, maka kasus yang dialaminya
merupakan kasus kekerasan fisik, adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit, atau luka berat7,hal ini dari segi pemahaman perspektif sempit.
Untuk menentukan adanya tindak kekerasan, dalam norma hukum pidana
diatur tentang kejahatan terhadap tubuh dan jiwa yang terdapat dalam Buku 1
KUHP pasal 90 tentang pengertian luka berat, yaitu penyakit atau luka yang tidak
dapat diharapkan akan dapat sembuh secara sempurna, atau yang karenanya
menimbulkan bahaya bagi jiwa, ketidakcakapan untuk melaksanakan kegiatan
jabatan atau pekerjaan secara terus menerus, kehilangan kegunaan dari suatu panca
indra, cacat, lumpuh, terganggunya akal sehat selama waktu lebih dari empat
minggu, keguguran atau matinya janin seorang wanita.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk


Diskriminasi Terhadap Perempuan, dan mengesahkan UU No. 7 tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Forms of Discrimination Against Women/CEDAW.
Konvensi tersebut pada dasarnya mewajibkan setiap pihak negara untuk melakukan
6

16
langkah-langkah yang tepat termasuk pembuatan undang-undang dalam segala
bidang, menjamin perkembangan dan kemajuan perempuan. Seperti kasus yang
terjadi pada Ibu Karsiwen ini, terjadi diskriminasi terhadap perempuan, padahal
sudah seharusnya seorang perempuan mendapatkan perlakuan yang adil dan sama.
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pada hakikatnya hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang
melekat pada diri manusia sejak manusia diciptakan sebagai anugerah Tuhan Yang
Maha Esa. Hak yang dimiliki setiap orang merupakan fundamental sejak ia
dilahirkan kedunia. Pengakuan terhadap hak asasi manusia pada hakikatnya
merupakan penghargaan terhadap segala potensi dan harga diri manusia menurut
kodratnya. Walaupun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa hakikat tersebut tidak
hanya mengundang hak untuk menikmati kehidupan secara kodrati. Sebab dalam
hakikat kodrati itupun terkandung kewajiban pada diri manusia tersebut, Tuhan
memberikan sejumlah hak dasar tadi dengan kewajiban membina dan
menyempurnakannya. Dengan demikian, hakikat penghormatan dan perlindungan
terhadap HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui
aksi keseimbangan. Dimana laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dan
tidak bisa diperlakukan dengan perbedaan berdasarkan gender. Pada umumnya,
kodrat perempuan sebagai makhluk yang lemah seharusnya mendapat perlindungan
atas hak-haknya. Maraknya kekerasan terhadap perempuan dalam berumah tangga
dapat disimpulkan bahwa keluarga belum menjadi jaminan bahwa hak-hak
perempuan dapat terlindungi didalamnya. Mengenai maraknya kekerasan terhadap
perempuan ini, banyak hal yang dilakukan oleh Komnas Perempuan dalam rangka
melakukan pencegahan, penanggulangan, dan penghapusan terhadap kekerasan.
Hal ini dilakukan dalam rangka melindungi para perempuan di Indonesia. Para
korban kekerasan biasanya mengalami goncangan jiwa yang dapat memperburuk
kondisinya jika tidak segera ditanggulangi dengan baik, oleh karena hak-hak atas
korban KDRT juga diatur dalam peraturan perundang-undangan dan instrumen

17
HAM lainnya, sehingga dapat memberi pengaruh positif terhadap dirinya atas apa
yang telah dialaminya.

18
DAFTAR PUSTAKA

19

Anda mungkin juga menyukai