Guru Pengampu :
……………..
Disusun Oleh
A. Rona Fatahilah
Assyifa Salsabila
Firja Abidin
Yasmine Alzahra
XI IPS 3
2021-2022
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT
karena atas segala nikmat dan rahmat-Nya yang telah memberikan kesehetan
jasmani dan rohani sehingga kita tetap masih tetap bisa menikmati segala nikmat
yang telah diberikan-Nya. Sholawat dan salam tetaplah kita curahkan kepada
baginda Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang
lurus berupa ajaran agama yang sempurna dengan bahasa yang sangat indah.
Saya penulis disini akhirnya dapat merasa sangat bersyukur karena telah
menyelesaikan makalah yang saya beri judul Makalah Tentang Produk Kreatif.
Dalam makalah ini saya mencoba menjelaskan tentang produk kreatif berbahan
dasar Biskuit Oreo yang dibuat menjadi suatu makanan yang lebih kreatif dan
inovatif. Penulisan makalah ini dibuat berdasarkan beberapa sumber yang berkaitan
dengan makalah yang saya kerjakan
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka
dari itu diharapkan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan dimasa yang
akan datang. Saya berharap agar tulisan ini dapat memberi manfaat bagi orang
banyak dan saya sendiri khususnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................4
C. Tujuan Masalah......................................................................................4
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Kekerasan.............................................................................5
A. Jenis Penelitian......................................................................................17
C. Metodologi Penelitian...........................................................................17
BAB PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................18
B. Saran .....................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA................................................................................19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
Pada umumnya masalah kekerasan dalam rumah tangga sangat erat
kaitannya dengan ketiadaan akses perempuan kepada sumber daya ekonomi
(financial modal dan benda-benda tidak bergerak seperti tanah, dan sumber-sumber
kesejahteraan lain), usia, pendidikan, agama dan suku bangsa. Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) yang dialami perempuan juga berlapis-lapis artinya bentuk
kekerasan yang dialami perempuan bisa lebih dari satu bentuk kekerasan baik
secara fisik, psikologis, seksual dan ekonomi. Maka Kekerasan Dalam Rumah
Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasaan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.
2
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN MASALAH
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KEKERASAN
1. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari
segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-
Undang Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga
merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.
3. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah
perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari negara dan/atau
masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman
kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan
martabat kemanusiaan.
4. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d perlu dibentuk undang-undang tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga.
4
5. Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri sebenarnya
merupakan unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah
KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis
besar isi pasal yang berbunyi: “barang siapa yang melakukan
penganiayaan terhadap ayah, ibu, istri atau anak diancam hukuman
pidana”.
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat. Perilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain
adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang,
menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya.
Biasanya perlakuan ini akan tampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau
bekas luka lainnya.
2. Kekerasan psikologis/emosional
3. Kekerasan seksual
5
seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri. Kekerasan seksual berat,
berupa:
4. Kekerasan ekonomi
6
Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitasi termasuk pelacuran.
Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
Mengambi l tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas
dan atau memanipulasi harta benda korban.
Kekerasan ekonomi ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang
menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak
terpenuhi kebutuhan dasarnya.
7
dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan
sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
8
kali lebih besar dibandingkan yang tidak berselingkuh. Disamping itu, ada
pula perempuan yang memiliki suami menggangur beresiko 1,36 kali lebih
besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang
pasangannya bekerja/tidak menganggur. Faktor suami yang pernah minum
miras, perempuan dengan kondisi suami tersebut cenderung 1,56 kali lebih
besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang
suaminya tidak pernah minum miras. Begitu juga dengan perempuan yang
memiliki suami suka mabuk minimal seminggu sekali, beresiko 2,25 kali
lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang
tidak pernah mabuk. Perempuan dengan suami pengguna narkotika
beresiko mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2 kali lebih besar
dibandingkan yang tidak pernah menggunakan narkotika. Perempuan yang
memiliki suami pengguna narkotika tercatat 45,1% mengalami kekerasan
fisik, 35,6% mengalami kekerasan seksual, 54,7% mengalami kekerasan
fisikdan/seksual, 59,3% mengalami kekerasan ekonomi, 61,3% mengalami
kekerasan emosional/psikis, dan yang paling tinggi yaitu 74,8% mengalami
kekerasan pembatasan aktivitas. Selain itu faktor suami yang pernah
berkelahi fisik dengan orang lain, perempuan dengan suami kondisi ini
beresiko 1,87 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual
dibandingkan yang tidak pernah berkelahi fisik.
c) Faktor ekonomi, perempuan yang berasal dari rumahtangga dengan tingkat
kesejahteraan yang semakin rendah cenderung memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan.
Perempuan yang berasal dari rumahtangga pada kelompok 25% termiskin
memiliki risiko 1,4 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau
seksual oleh pasangan dibandingkan kelompok 25% terkaya. Aspek
ekonomi merupakan aspek yang lebih dominan menjadi faktor kekerasan
pada perempuan dibandingkan dengan aspek pendidikan. Hal ini paling
tidak diindikasikan oleh pekerjaan pelaku yang sebagian besar adalah buruh,
dimana kita tahu bahwa tingkat upah buruh di Indonesia masih tergolong
rendah dan hal ini berdampak pada tingkat kesejahteraan rumahtangga.
9
d) Faktor sosial budaya, seperti timbulnya rasa khawatir akan bahaya kejahatan
yang mengancam. Perempuan yang selalu dibayangi kekhawatiran ini
memiliki risiko 1,68 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau
seksual oleh pasangan, dibandingkan mereka yang tidak merasa khawatir.
Perempuan yang tinggal di daerah perkotaan memiliki risiko 1,2 kali lebih
besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan
dibandingkan mereka yang tinggal di daerah perdesaan
Dari sekian banyak faktor yang memicu terjadinya KDRT, perlu kita pahami
bahwa pentingnya konsep kesetaraan dalam keluarga adalah kunci dalam
menghentikan tindak KDRT. Dalam keluarga terbagi peran-peran yang dijalankan
oleh laki-laki dan perempuan dimana peranan ini menentukan berbagai
pengambilan keputusan, serta nilai-nilai luhur termasuk nilai kesetaraan dan
keadilan gender yang ditanamkan. Nilai-nilai ini semestinya bisa dikomunikasikan
di awal pembentukan keluarga yakni pada jenjang pernikahan. Perlu adanya
komitmen yang kuat yang terbangun baik dalam pribadi laki-laki maupun
perempuan, untuk mengemban semua konsekuensi yang hadir ketika formasi
keluarga telah terbentuk. Komitmen yang telah terbentuk tersebut diharapkan
mampu membangun komunikasi dua arah di antara suami dan istri yang
berimplikasi pada keutuhan keluarga, sehingga kasus KDRT pun dapat tereliminasi.
10
BAB III
METODE PENELITIAN
Pasangan suami istri yang bernama Karsiwen, seorang ibu rumah tangga
berumur 42 tahun yang beralamat di Ngablak Indah Rt 01/04, Bengetayu Kulon,
Kecamatan Genuk, Semarang dan suaminya, Kasmijan yang berumur 43 tahun.
Pada awalnya, kehidupan rumah tangga mereka berjalan baik. Namun sejak 14
tahun akhir, hubungan keduanya sudah tidak harmonis lagi. Setiap kali pulang ke
rumah, mereka selalu bertengkar dan dampaknya mereka tidak lagi tinggal
serumah. Puncaknya, pada Sabtu, 12 November 2011 sekitar pukul 08:15 WIB.
Kasmijan mendatangi Karsiwen dengan marah-marah dan langsung melakukan
penganiayaan. Setelah puas menghajar menggunakan balok kayu, menendang
dengan sepatu, menginjak, dan membenturkan kepala korban hingga tak berdaya,
Kasmijan pergi begitu saja meninggalkan Karsiwen. Akibat penganiayaan tersebut,
Karsiwen mengalami luka-luka di bagian paha dekat pinggul, wajah, dan kaki
memar, perut sakit, serta kepalanya sering pusing karena dibenturkan ke lantai.
Atas kejadian ini, Karsiwen melaporkan Kasmijan ke Polrestabes Semarang
lantaran kekerasan rumah tangga yang dialaminya. Kepada Mapolrestabes
Karsiwen mengatakan bahwa dirinya sering dianiaya dan mendapatkan berbagai
siksaan serta pukulan dari suaminya jika sedang marah. Karena itu, Karsiwen tak
jarang mengalami luka-luka akibat dianiaya suaminya itu.
B. ANALISIS KASUS
11
Sejumlah pengaduan tindak pidana kekerasan terhadap perempuan yang
diterima oleh Komnas Perempuan menunjukkan bahwa tak jarang perempuan
menjadi korban KDRT, seperti halnya yang terjadi dan dialami Ibu Karsiwen,
melihat maraknya kekerasan tersebut Komnas Perempuan melakukan berbagai hal,
diantaranya: mengajak semua pihak meningkatkan perlindungan dan layanan
kepada korban KDRT yang berpusat pada korban dengan berbasis pada hak korban
atas kebenaran, keadilan, pemulihan, dan jaminan atas tidakberulangnya kekerasan.
Mengajak pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk terus
mensosialisasikan KDRT sebagai tindakan yang harus dihentikan, dan
memperbaiki tradisi ataupun praktik-praktik budaya yang masih menjadi penyebab
terjadinya kekerasan terhadap perempuan, selain itu mendorong pemerintah dan
aparat penegak hukum agar dapat mengimplementasikan UU PDKRT mendasarkan
pada mandat UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan
segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) untuk menghapuskan
diskriminasi dan mengakui ketimpangan relasi kuasa laki-laki dan perempuan
(suami dan istri) sebagai akar masalah KDRT. Mendorong pemerintah untuk segera
melakukan review terhadap PP No. 4 tahun 2006 tentang Kerjasama Pemulihan dan
mengeluarkan sejumlah peraturan pelaksana lainnya, agar UU No. 23 tahun 2004
Tentang Penghapusan KDRT dapat diimplementasikan secara optimal. Perlu juga
dipahami bahwa UU dan peraturan-peraturan itu seharusnnya bisa mendorong
masyarakat untuk memahami tentang hak-hak perempuan dan hak-hak korban
KDRT.
12
nasional di mana Komnas Perempuan bisa berhubungan dengan Depdagri, Depag,
dan KPP1
13
Pada dasarnya, kita dapat berkaca dengan melihat beberapa putusan
dibeberapa pengadilan negeri mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga yang
serupa dialami oleh Ibu Karsiwen, salah satunya dalam suatu putusan hakim 3, tidak
ditemukan adanya pemberian hak-hak korban baik berupa ganti rugi atau
kompensasi dalam bentuk materi kepada korban atas harm yang mereka alami.
Berkaitan dengan masalah kompensasi ini victimologi melihat salah satu tujuan
pengaturan ganti kerugian adalah mengembangkan keadilan kesejahteraan mereka
yang menjadi korban, menderita mental, fisik, sosial. Pada seharusnya pelaksanaan
peraturan ganti kerugian yang baik itu memberikan kemungkinan kepada pihak
korban untuk secara leluasa ikut serta menyatakan pendapatnya. Menurut Angkasa,
restitusi perlu diintegrasikan ke dalam sistem peradilan pidana. Hal ini dengan
pertimbangan bahwa restitusi merupakan lembaga pidana yang dapat memberikan
manfaat bagi korban, pelaku, negara, dan masyarakat 4 sebagai penggantian
kerugian finansial, perbaikan, dan/atau pengobatan atas luka-luka fisik maupun
penderitaan psikologis sebagai korban tindak pidana yang telah menimpanya.
Restitusi ini akan sangat berarti utamanya seperti yang dialami Ibu Karsiwen
karena korban tindak pidana ini cenderung menjadi korban ganda, pertama,
menjadi korban atas kekerasan yang dilakukan suaminya, dan kedua, menjadi
korban ketika memasuki sistem peradilan pidana yang paradigmanya masih
berorientasi terhadap pelaku. Menurut Schreider,5 prosedur restitusi ada 5 (lima)
cara : Pertama, model basic restitution dengan prosedur pelaku membayar kepada
pengadilan, dan pengadilan kemudian memberikan uang tersebut kepada korban,
Kedua, model expanded basic restitution dengan prosedur pelaku dicarikan
pekerjaan (bagi pelaku yang berpenghasilan rendah dan berusia muda), Ketiga,
model victim assistance dengan prosedur pelaku diberi kesempatan membantu
korban sehingga korban dapat menerima ganti rugi secara penuh, Keempat, model
victim assistance-offender accountability demi penyelesaian yang memuaskan
kedua belah pihak, dilakukan dengan negosiasi dan kadang-kadang dengan
mempertemukan kedua belah pihak, Kelima, model community accountability-
deterrence dengan prosedur permintaan ganti rugi dimintakan oleh sekelompok
14
orang sebagai wakil dari masyarakat. Permintaan ganti rugi meliputi jenis pekerjaan
yang harus dilakukan, maupun jadwal pembayaran ganti rugi.
Namun, model basic restitution tampaknya yang paling selaras dan tepat
untuk dipakai putusan hakim perkara KDRT, dengan membayar melalui pengadilan
akan lebih terkontrol dalam arti menghindarkan dari pengingkaran kewajiban
pelaku untuk membayar restitusi, serta lebih memudahkan dalam penegakan
hukumnya apabila terdapat pihak-pihak yang menyalahi.
15
Pada saat bersama, setiap orang dimanapun ia berada, ia wajib menjunjung tinggi
hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya. Kasus kekerasan terhadap Ibu
Karsiwen merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan.
16
langkah-langkah yang tepat termasuk pembuatan undang-undang dalam segala
bidang, menjamin perkembangan dan kemajuan perempuan. Seperti kasus yang
terjadi pada Ibu Karsiwen ini, terjadi diskriminasi terhadap perempuan, padahal
sudah seharusnya seorang perempuan mendapatkan perlakuan yang adil dan sama.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada hakikatnya hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang
melekat pada diri manusia sejak manusia diciptakan sebagai anugerah Tuhan Yang
Maha Esa. Hak yang dimiliki setiap orang merupakan fundamental sejak ia
dilahirkan kedunia. Pengakuan terhadap hak asasi manusia pada hakikatnya
merupakan penghargaan terhadap segala potensi dan harga diri manusia menurut
kodratnya. Walaupun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa hakikat tersebut tidak
hanya mengundang hak untuk menikmati kehidupan secara kodrati. Sebab dalam
hakikat kodrati itupun terkandung kewajiban pada diri manusia tersebut, Tuhan
memberikan sejumlah hak dasar tadi dengan kewajiban membina dan
menyempurnakannya. Dengan demikian, hakikat penghormatan dan perlindungan
terhadap HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui
aksi keseimbangan. Dimana laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dan
tidak bisa diperlakukan dengan perbedaan berdasarkan gender. Pada umumnya,
kodrat perempuan sebagai makhluk yang lemah seharusnya mendapat perlindungan
atas hak-haknya. Maraknya kekerasan terhadap perempuan dalam berumah tangga
dapat disimpulkan bahwa keluarga belum menjadi jaminan bahwa hak-hak
perempuan dapat terlindungi didalamnya. Mengenai maraknya kekerasan terhadap
perempuan ini, banyak hal yang dilakukan oleh Komnas Perempuan dalam rangka
melakukan pencegahan, penanggulangan, dan penghapusan terhadap kekerasan.
Hal ini dilakukan dalam rangka melindungi para perempuan di Indonesia. Para
korban kekerasan biasanya mengalami goncangan jiwa yang dapat memperburuk
kondisinya jika tidak segera ditanggulangi dengan baik, oleh karena hak-hak atas
korban KDRT juga diatur dalam peraturan perundang-undangan dan instrumen
17
HAM lainnya, sehingga dapat memberi pengaruh positif terhadap dirinya atas apa
yang telah dialaminya.
18
DAFTAR PUSTAKA
19