Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Oleh:

NURUL HIDAYAH PRAKON

(1822211017)

PROGRAM STUDI BIOLOGO

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUPANG

2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat
limpahan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat Menyusun makalah ini
tepat pada waktunya.Makalah ini membahas kekerasan dalam rumah tangga.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan


hambatan akan tetapi dengan berbagai bantuan dari pihak tantangan itu bisa
teratasi.Olehnya itu,penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat
balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari bentuk penyusunan maupun materinya kritik konstruktif dari pembaca sangat
penulis harapkan untuk penyempurnakan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Kupang, 10 Januari 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ------------------------------------------------------------------ ii

DAFTAR ISI ----------------------------------------------------------------------------- iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ------------------------------------------------------------------ 1


B. Rumusan Masalah -------------------------------------------------------------- 2
C. Tujuan ---------------------------------------------------------------------------- 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian KDRT -------------------------------------------------------------- 3


B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga -------------------------- 4
C. Faktor-faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga --------------- 6
D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga ----------------- 7
E. Perlindungan Bagi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga ----------- 9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ---------------------------------------------------------------------- 13
B. Saran ----------------------------------------------------------------------------- 13

DAFTAR PUSTAKA ------------------------------------------------------------------- 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan
berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan
kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan organisasi
tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang memimpin
keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga
terdiri dari Ayah, ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki
hubungan yang sangat baik. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya
keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua anggota/individu dalam
keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga
merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan,
kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial)
seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut disharmonis apabila terjadi
sebaliknya.
Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua
dengan anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah
tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik
dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir semua
keluarga pernah mengalaminya. Yang mejadi berbeda adalah bagaimana cara
mengatasi dan menyelesaikan hal tersebut.
Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masing-
masing. Apabila masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap
anggota keluarga akan mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari
dan mengerti perasaan, kepribadian dan pengendalian emosi tiap anggota
keluarga sehingga terwujudlah kebahagiaan dalam keluarga. Penyelesaian
konflik secara sehat terjadi bila masing-masing anggota keluarga tidak
mengedepankan kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat

1
solusi yang sama-sama menguntungkan anggota keluarga melalui komunikasi
yang baik dan lancar. Disisi lain, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat
maka konflik akan semakin sering terjadi dalam keluarga.
Penyelesaian masalah dilakukan dengan marah yang berlebih-lebihan,
hentakan-hentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian
maupun ekspresi wajah menyeramkan. Terkadang muncul perilaku seperti
menyerang, memaksa, mengancam atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku
seperti ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) yang diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

B. Rumusan Masalah
Rumusan makalah dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1) Apa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga?
2) Apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga?
3) Apakah faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga?
4) Bagaimana cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga?
5) Bagaimana perlindungan bagi korban Kekerasan dalam Rumah Tangga?

C. Tujuan Pembuatan Makalah


Tujuan dalam penyusunan makalah ini antara lain sebagai berikut:
1) Mengetahui apa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah tangga.
2) Mengetahui bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga.
3) Mengetahui faktor-fartor apa saja yang menjadi penyebab Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
4) Mengetahui cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
5) Menjelaskan perlindungan bagi korban Kekerasan dalam Rumah Tangga

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian KDRT
Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-
undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan
hukum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain
menegaskan bahwa:
1) Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari
segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-
undang Republik Indonesia tahun 1945.
2) Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga
merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang harus dihapus.
3) Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah
perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau
masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman
kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan
martabat kemanusiaan.
4) Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf
b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga.

3
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya
merupakan unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah
KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis besar
isi pasal yang berbunyi:
“Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri atau
anak diancam hukuman pidana”

B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga


Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap
istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam:
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan
ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut
(menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai
dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak
seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
2. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan
psikis berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional
adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau
merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau,
menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari
kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa
selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.

4
Kekerasan seksual berat, berupa:

a) Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh


organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain
yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa
dikendalikan.
b) Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat
korban tidak menghendaki.
c) Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan
dan atau menyakitkan.
d) Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran
dan atau tujuan tertentu.
e) Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi
ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
f) Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat
yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.

Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti


komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara
non-verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan
lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban
bersifat melecehkan dan atau menghina korban. Melakukan repitisi
kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan
seksual berat.

4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah
tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.

5
Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan
pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
a) Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.
b) Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
c) Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban,
merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upayaupaya sengaja
yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau
tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.

C. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga


Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks
struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:
1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan
wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja
mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika
suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
3. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai
pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak,
maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam
rumah tangga.
4. Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,
mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan
segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk

6
melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap
anaknya agar menjadi tertib.
5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami
kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga
penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim
dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi
suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni
keluarga.

D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga


Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga,
diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara
lain:
a) Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh
pada agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan
dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
b) Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena
didalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak,
saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling
mengahargai setiap pendapat yang ada.
c) Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta
sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah
tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak,
itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
d) Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya
antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling
percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk
melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul

7
adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang
juga berlebih-lebihan.
e) Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada
dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi
pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga
dapat diatasi dengan baik.

E. Perlindungan bagi Korban KDRT


Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap mitos dan
persoalan pribadi (private), kini menjadi fakta dan relita dalam kehidupan
rumah tangga. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) maka persoalan
KDRT ini menjadi domain publik. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum
perempuan dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru
sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu.
Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan
darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak
bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT
sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan struktur budaya,
agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh
negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban
serta menindak pelakunya.
UU PKDRT secara substanstif memperluas institusi dan lembaga pemberi
perlindungan agar mudah diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga,
advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak
lainnya,baik perlindungan sementara maupun berdasarkan penetapan
pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi perlindungan
itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga
sosial bahkan disebutkan pihak lainnya.
Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan karena
luasnya ruang dan gerak tindak KDRT, sementara institusi dan lembaga resmi

8
yang menangani perlindungan korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya
itu adalah setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya
tindak KDRT. Mereka diwajibkan mengupayakan pencegahan, perlindungan,
pertolongan darurat serta membantu pengajuan permohonan penetapan
perlindungan baik langsung maupun melalui institusi dan lembaga resmi yang
ada.
Dilihat dari stelsel hukum pidana, tindak KDRT ini adalah tindak
kekerasan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana
(KUHP) yakni tindak pidana penganiayaan, kesusilaan, serta penelantaran
orang yang perlu diberi nafkah dan kehidupan. Lalu mengapa masih diperlukan
UU PKDRT?
Memang, tindak kekerasan yang diatur dalam PKDRT ini mempunyai
sifat khas/spesifik, misalnya peristiwa itu terjadi di dalam rumah tangga, korban
dan pelakunya terikat hubungan kekerasan atau hubungan hukum tertentu
lainnya, serta berpotensi dilakukan secara berulang (pengulangan) dengan
penyebab (causa) yang lebih kompleks dari tindak kekerasan pada umumnya.
Itu sebabnya, tindak kekerasan ini lebih merupakan persoalan sosial yang tidak
hanya dilihat dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara
komprehensif, melalui proses sosial, hukum, psikologi, kesehatan, dan agama,
dengan melibatkan berbagai disiplin, lintas institusi dan lembaga.
Bagaimanakah bentuk dan cara perlindungan itu, serta bagaimanakah
hubungan masing-masing institusi dan Lembaga pemberi perlindungan itu
secara konkret dan faktual di lapangan? Itulah pokok persoalan yang perlu
dibahas lebih lanjut. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana persoalan itu
dipahami oleh masyarakat luas sehingga cita-cita yang hendak dicapai oleh
legislator yang terkandung dalam UU PKDRT dapat terwujud sesuai harapan.
Bentuk perlindungan Korban KDRT atau bahkan Lembaga pemberi
perlindungan itu sendiri belum tentu memahami bagaimana perlindungan itu
didapatkan dan bagaimana diberikan. Bagi korban yang status soseknya lebih
tinggi atau institusi dan lembaga yang tugas dan fungsinya selaku penegak
hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau memberikan perlindungan itu

9
bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku
institusi dan lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT.
UU PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan dengan
fungsi pelayanan. Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat
memberikan perlindungan apalagi melakukan tindakan hukum dalam rangka
pemberian sanksi kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi dan lembaga non-
penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan konsultasi, mediasi,
pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi
walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah
penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.
Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi
perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan
pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh
institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing:
1) Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang
diberikan paling lama 7 (tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak
memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara oleh
kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan tenaga kesehatan,
sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi
korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruang
pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja
sama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban.Pemerintah dan
masyarakat perlu segera membangun rumah aman (shelter) untuk
menampung, melayani dan mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan
dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan kewenangannya dapat melakukan
penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang
cukup dan disertai dengan perintah penahanan terhadap pelaku KDRT.
Bahkan kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa

10
surat perintah terhadap pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat
penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan setelah 1X 24 jam.
2) Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum,
melakukan mediasi dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban
dan keluarga pelaku (mediasi), dan mendampingi korban di tingkat
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam siding pengadilan
(litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan
pendamping, dan pekerja sosial (kerja sama dan kemitraan).
3) Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk
perintah perlindungan yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat
perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh) hari
apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang
ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah
perlindungan dari pengadilan. Pengadilan juga dapat memberikan
perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul
terhadap korban.
4) Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya
pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai
profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan
membuat visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau
membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum
sebagai alat bukti.
5) Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk
menguatkan dan memberi rasa aman bagi korban, memberikan informasi
mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan, serta
mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait.
6) Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak
korban untuk mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping,
mendampingi korban memaparkan secara objektif tindak KDRT yang
dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan

11
pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan secara psikologis
dan fisik kepada korban.
7) Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan
mengenai hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan takwa
kepada korban.
Bentuk perlindungan dan pelayanan ini masih besifat normatif, belum
implementatif dan teknis oparasional yang mudah dipahami, mampu dijalankan
dan diakses oleh korban KDRT. Adalah tugas pemerintah untuk merumuskan
kembali pola dan strategi pelaksanaan perlindungan dan pelayanan dan
mensosialisasikan kebijakan itu di lapangan. Tanpa upaya sungguh-sungguh
dari pemerintah dan semua pihak, maka akan sangat sulit dan mustahil dapat
mencegah apalagi menghapus tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena
berbagai factor pemicu terjadinya KDRT di negeri ini amatlah subur.
Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu
sebab konvensional seperti disharmonisasi dari tekanan sosial ekonomi yang
rendah, perangai dan tabiat pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier dan
pekerjaan ternyata tidaklah sepenuhnya benar, karena KDRT justru acapkali
dilakukan oleh mereka yang kondisi sosial ekonominya baik, sukses karier dan
pekerjaannya, bahkan berpendidikan tinggi.
KDRT merupakan multi persoalan, termasuk persoalan sosial, ekonomi,
budaya, hukum, agama dan hak asasi manusia. Upaya menghapus KDRT di
muka bumi Indonesia adalah perjuangan panjang bangsa ini, khususnya kaum
perempuan yang rentan menjadi korban KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu
diharapkan dapat mempengaruhi struktur dan karakteristik multi persoalan tadi
menjadi nilai yang diyakini benar dan dapat memberi rasa aman, tenteram, adil
dan bermartabat bagi keluarga dan bangsa Indonesia.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perlindungan wanita dalam konteks KDRT ternyata sangat penting untuk
diperhatikan, mengingat kasus seperti ini sangat banyak di Indonesia. KDRT
merupakan suatu tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) jika dilihat sudut pandangnya
dari pancasila sudah sangat jelas merupakan tindakan yang tidak sesuai
terutama dengan sila ke-2, yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Beberapa uraian dari sila ini yang sangat bertentangan dengan tindak kekerasan
terutama KDRT adalah saling mencintai sesama manusia, menjunjung tinggi
nilai kemanusiaan, dan tidak semena-mena terhadap orang lain.
Berdasarkan peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT tidak berjalan efektif.
Karena dalam penerapannya masih banyak kasus yang tidak diselesaikan lewat
jalur hukum dan terhenti pada pihak kepolisian saja sehingga menghambat
kinerja Undang-Undang PKDRT. Oleh karena itu dibutuhkan kerjasama dari
berbagai lembaga yang berwenang dapat mendukung implementasi undang-
undang KDRT agar bisa meminimalisir terjadinya tindak pidana KDRT.

B. Saran
Seharusnya seorang suami dan istri harus banyak bertanya dan belajar,
seperti membaca buku yang memang isi bukunya itu bercerita tentang
bagaimana cara menerapkan sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan
warahmah.
Di dalam sebuah rumah tangga butuh komunikasi yang baik antara suami
dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di
dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara
kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam
rumah tangga. Seharusnya seorang suami dan istri bisa mengimbangi kebutuhan

13
psikis, di mana kebutuhan itu sangat mempengaruhi keinginan kedua belah
pihak yang bertentangan. Seorang suami atau istri harus bisa saling menghargai
pendapat pasangannya masing-masing.
Seperti halnya dalam berpacaran. Untuk mempertahankan sebuah
hubungan, butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan
sebagainya. Begitu juga halnya dalam rumah tangga harus dilandasi dengan rasa
saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk
melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah
sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-
lebihan. Tidak sedikit seorang suami yang sifat seperti itu, terkadang suami juga
melarang istrinya untuk beraktivitas di luar rumah. Karena mungkin takut
istrinya diambil orang atau yang lainnya. jika sudah begitu kegiatan seorang
istri jadi terbatas. Kurang bergaul dan berbaur dengan orang lain. Ini adalah
dampak dari sikap seorang suami yang memiliki sifat cemburu yang terlalu
tinggi. Banyak contoh yang kita lihat dilingkungan kita, kajadian seperti itu.
Sifat rasa cemburu bisa menimbukan kekerasan dalam rumah tangga.
Maka dari itu, di dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus
sama-sama menjaga agar tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan
kekerasan. Tidak hanya satu pihak yang bisa memicu konflik di dalam rumah
tangga, bisa suami maupun istri. Sebelum kita melihat kesalahan orang lain,
marilah kita berkaca pada diri kita sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi pada
diri kita, sehingga menimbulkan perubahan sifat yang terjadi pada pasangan kita
masing-masing.

14
DAFTAR PUSTAKA

Anonym, Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). [Online]


(http://www.kantorhukum-lhs.com/details_artikel_hukum.php?id=14)
Diakses pada tanggal 10 Januari 2021 pukul 15.44.

Diah Widya Ningrum, 2007, Tips Menanggulangi KDRT Menurut Islam. [Online]
(http://ilalang.wordpress.com/2007/01/08/tips-menanggulangi-kdrt-menurut-
islam/)
Diakses pada tanggal 10 Januari 2021 pukul 19.00.

Eko Budi Santoso, 2018, KDRT Kekerasan dalam Rumah Tangga. [Online]
(https://tugasmakalahkelas.blogspot.com/2018/10/contoh-makalah-kdrt-
kekerasan-dalam.html?m=1)
Diakses pada tanggal 10 Januari 2021 pukul 17.00.

Marita, O, dkk. 2017. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KRDT). Surakarta:


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kusuma Husada

Maurenli, 2011, Kekerasan Pada Istri dalam Rumah Tangga. [Online]


(http://maureenlicious.wordpress.com/2011/04/28/kekerasan-pada-istri-
dalam-rumah/tangga/)
Diakses pada tanggal 10 Januari 2021 pukul 18.15.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam


Rumah Tangga

15

Anda mungkin juga menyukai