Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH KDRT

IMELDA : 012021022

ANGKATAN 2021

INSTITUT KESEHATAN DAN BISNIS KURNIA

JAYA PERSADA PALOPO

TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat tuhan yang maha esa atas rahmat dan hidayah-Nya saya dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ kekerasan dalam rumah tangga” dengan tepat
waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas LKM 2022. Selain itu, makalah ini bertujuan
menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terimah kasih kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun di harapkan demi kesempuarnaan makalah ini.

Palopo, 4 Februari 2022

Penulis
DAFTAR ISI

SAMPUL....................................................................................................................

KATA PENGANTAR............................................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN..................................................................................................
A. Latar Belakang.......................................................................................
B. Rumusan Masalah...................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga.............................................
B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga......................................
1. Kekerasan fisik........................................................................................
2. Kekerasan psikologis/emosional..............................................................
3. Kekerasan seksual.....................................................................................
4. Kekerasan ekonomi.....................................................................................
C. Faktor-faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga...........................
1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki..........................................................
2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi......................................
3. Beban pengasuhan anak.............................................................................
4. Wanita sebagai anak-anak...........................................................................
5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki......................................................
D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga...................................
E. Perlindungan bagi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga..............................
F. Contoh Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga..................................................
1. Kronologis kasus....................................................................................................
2. Penyelesaian...............................................................................................................
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan......................................................................................................................
B.Saran................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan berpengaruh
sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota
keluarga. Keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai
tokoh penting yang memimpin keluarga di samping beberapa anggota keluarga lainnya.
Anggota keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang
memiliki hubungan yang sangat baik. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian
dalam hubungan timbal balik antar semua anggota/individu dalam keluarga.
Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia
yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap
keadaan (fisik, mental, emosi, dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut
disharmoni apabila terjadi sebaliknya. Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri
maupun orang tua dengan anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah
tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah
tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah mengalaminya.
Yang menjadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan hal tersebut.
Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masing-masing.
Apabila masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap anggota keluarga akan
mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan mengerti perasaan, kepribadian
dan pengendalian emosi tiap anggota keluarga sehingga terwujudlah kebahagiaan dalam
keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masing-masing anggota keluarga
tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat solusi
yang sama-sama menguntungkan anggota keluarga melalui komunikasi yang baik dan lancar.
Di sisi lain, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin
sering terjadi dalam keluarga. Penyelesaian masalah dilakukan dengan marah yang berlebih-
lebihan, hentakan-hentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian
maupun ekspresi wajah menyeramkan. Terkadang muncul perilaku seperti menyerang,
memaksa, mengancam atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku seperti ini dapat dikatakan
pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diartikan setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga?
2. Apa saja bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga?
3. Apakah faktor-faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga?
4. Bagaimana cara penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga?
5. Apakah perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga?
6. Apa contoh kasus kekerasan dalam rumah tangga?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga


Kekerasan dalam rumah tangga seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:
1. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk
kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Republik Indonesia
Tahun 1945.
2. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga
merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan
serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.
3. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, hal itu
harus mendapatkan perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan
terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
4. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d perlu dibentuk undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga.
5. Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri sebenarnya merupakan unsur yang
berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum
pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi: “barang siapa yang
melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, istri atau anak diancam hukuman
pidana”.

B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga


Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam
rumah tangga dibedakan ke dalam 4 (empat) macam:
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat. Perilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar,
memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok,
memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan tampak
seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.

2. Kekerasan psikologis/emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Perilaku kekerasan yang termasuk
penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan
atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau, menakut-
nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.

3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya,
memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak
memperhatikan kepuasan pihak istri. Kekerasan seksual berat, berupa:
 Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual,
mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik,
terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
 Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak
menghendaki.
 Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau
menyakitkan.
 Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan prostitusi dan atau tujuan
tertentu.
 Terjadinya hubungan seksual di mana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban
yang seharusnya dilindungi.
 Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang
menimbulkan sakit, luka, atau cedera.
 Kekerasan seksual ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal,
gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi
wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang
tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban. Melakukan
repetisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual
berat.

4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari
kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
Kekerasan ekonomi berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian
lewat sarana ekonomi berupa:
 Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitasi termasuk pelacuran.
 Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
 Mengambi l tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau
memanipulasi harta benda korban.
 Kekerasan ekonomi ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan
korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan
dasarnya.

C. Faktor-faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga


Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur
masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
(marital violence) sebagai berikut:
1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita,
sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.

2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi


Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan
wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka
istri mengalami tindakan kekerasan.
3. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.
Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri
sehingga terjadi kekerasan dalam rumah tangga.

4. Wanita sebagai anak-anak


Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan
keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita.
Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan
kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.

5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki


Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh
suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering
ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya
legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks
harmoni keluarga.

D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga


Untuk menghindari terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, diperlukan cara-cara
penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga, antara lain:
1. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlak yang baik dan berpegang teguh pada agamanya
sehingga kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan
penuh kesabaran.
2. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena di dalam agama
itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain.
Sehingga antara anggota keluarga dapat saling menghargai setiap pendapat yang ada.
3. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah
tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada
keharmonisan dan kerukunan di antara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu
timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
4. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota
keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa
saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa
kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga
yang kadang juga berlebih-lebihan.
5. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapa pun keuangan yang ada dalam keluarga,
sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga
kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.

E. Perlindungan bagi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga


Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap mitos dan persoalan
pribadi (private), kini menjadi fakta dan realitas dalam kehidupan rumah tangga. Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga (UU PKDRT) maka persoalan KDRT ini menjadi domain publik. Sebagian
besar korban KDRT adalah kaum perempuan dan pelakunya adalah suami, walaupun ada
juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga
itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga,
tinggal di rumah ini.
Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan
struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh
negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak
pelakunya. Undang-undang PKDRT secara substantif memperluas institusi dan lembaga
pemberi perlindungan agar mudah diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat,
lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya, baik perlindungan
sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan
lembaga pemberi perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi
termasuk juga lembaga sosial bahkan disebutkan pihak lainnya.
Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan karena luasnya ruang
dan gerak tindak KDRT, sementara institusi dan lembaga resmi yang menangani
perlindungan korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu adalah setiap orang yang
mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya tindak KDRT. Mereka diwajibkan
mengupayakan pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat serta membantu pengajuan
permohonan penetapan perlindungan baik langsung maupun melalui institusi dan lembaga
resmi yang ada. Dilihat dari hukum pidana, tindak KDRT ini adalah tindak kekerasan
sebagaimana diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) yakni tindak pidana
penganiayaan, kesusilaan, serta penelantaran orang yang perlu diberi nafkah dan kehidupan.
Undang-undang PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan dengan
fungsi pelayanan. Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat memberikan
perlindungan apalagi melakukan tindakan hukum dalam rangka pemberian sanksi kepada
pelaku. Perlindungan oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat
pemberian pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak
sampai kepada ligitasi. Tetapi walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan
lembaga itu sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.
Selain itu, undang-undang PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi
perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta
pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan
fungsinya masing-masing:
1. Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7
(tujuh) hari, dan dalam waktu 1 x 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib
meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara
oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan tenaga kesehatan, sosial, relawan
pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pelayanan terhadap
korban KDRT ini harus menggunakan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan
sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban.
Pemerintah dan masyarakat perlu segera membangun rumah aman (shelter) untuk
menampung, melayani dan mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu,
kepolisian sesuai tugas dan kewenangannya dapat melakukan penyelidikan, penangkapan
dan penahanan dengan bukti permulaan yang cukup dan disertai dengan perintah
penahanan terhadap pelaku KDRT. Bahkan kepolisian dapat melakukan penangkapan dan
penahanan tanpa surat perintah terhadap pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat
penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan setelah 1 x 24 jam.
2. Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi
dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan
mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang
pengadilan (ligitasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan
pendamping, dan pekerja sosial(kerja sama dan kemitraan).
3. Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah
perlindungan yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan
dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT
selama 30 (tiga puluh) hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan
yang ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan
dari pengadilan. Pengadilan juga dapat memberikan perlindungan tambahan atas
pertimbangan bahaya yang mungkin timbul terhadap korban.
4. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi
terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan
tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas permintaan penyidik
kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan
hukum sebagai alat bukti.
5. Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan
memberi rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan perlindungan, serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga
terkait.
6. Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban
memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan secara
psikologis dan fisik kepada korban.
7. Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak,
kewajiban dan memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban.

Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu sebab
konvensional seperti diharmonisasi dari tekanan sosial ekonomi yang rendah, perangai dan
tabiat pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier dan pekerjaan ternyata tidaklah sepenuhnya
benar, karena KDRT justru acapkali dilakukan oleh mereka yang kondisi sosial ekonominya
baik, sukses karier dan pekerjaannya, bahkan berpendidikan tinggi.
KDRT merupakan multi-persoalan, termasuk persoalan sosial, ekonomi, budaya,
hukum, agama dan hak asasi manusia. Upaya menghapus KDRT di muka bumi Indonesia
adalah perjuangan panjang bangsa ini, khususnya kaum perempuan yang rentan menjadi
korban KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan dapat mempengaruhi struktur dan
karakteristik multi persoalan tadi menjadi nilai yang diyakini benar dan dapat memberi rasa
aman, tenteram, adil dan bermartabat bagi keluarga dan bangsa Indonesia.
F. Contoh Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kasus Ibu Umi Retnowati ini tercatat dilaporkan pada posko bantuan hukum
masyarakat Desa Marga Agung Kecamatan Jati Mulyo Lampung Selatan pada bulan Oktober
2009, dokumentasi kasus (melalui form p.2 dilakukan oleh Ibu Sumiyati selaku paralegal
Desa Marga Agung).
1. Kronologis kasus
Berdasarkan buku nikah, diketahui bahwa Ibu Umi dan suaminya (Bapak Imam
Wardiyono) menikah pada tanggal 24 Juli 1988. Dari pernikahan ini, lahirlah 5 orang anak
yang semuanya berjenis kelamin laki-laki dengan usia masing-masing (20 tahun, 18 tahun, 14
tahun, 11 tahun, dan 4 tahun) selain anak-anak tersebut, Ibu Umi dan suaminya memiliki
seorang anak perempuan yang bernama Siti Munawaroh (usia tidak diketahui). Pada tahun
2005, suami Ibu Umi menikah lagi dengan anak angkatnya (Siti Munawaroh) secara diam-
diam.
Sejak suaminya menikah lagi, Ibu Umi sering mengalami kekerasan fisik dari
suaminya (sering dipukul, dijambak rambutnya bahkan ditendang). Namun Ibu Umi
membiarkan saja perbuatan suaminya dan lebih memilih untuk memaafkan suaminya
tersebut. Puncak kejadiannya terjadi pada tanggal 27 September 2009. Saat itu Ibu Umi dan
anaknya mendatangi rumah istri muda suaminya dengan maksud untuk menangkap basah
suaminya bersama istri barunya, sesampainya di sana suami Ibu Umi marah-marah dan
mengusir Ibu Umi dan anaknya.
Dalam perjalanan pulang, di tengah jalan suami Ibu Umi menyerempet motor yang
dikendarai Ibu Umi bersama anaknya. Akibatnya, kaki kanan terluka dan siku tangan kanan
Ibu Umi terkilir. Sedangkan anaknya (Rauf Hanafi) mengalami luka di bagian kaki kanan dan
pinggang sebelah kanan. Setelah kejadian, Ibu Umi mendatangi Bapak Muhtarom (kepala
desa) untuk berkonsultasi mengenai penyelesaian kasus tersebut. Saat itu kepala desa
menyarankan agar Ibu Umi ke Pengadilan Agama untuk menggugat cerai suaminya.

2. Penyelesaian
Pada tanggal 28 September 2009, Ibu Umi mendatangi Pengadilan Agama Kalianda
untuk mendaftarkan gugatan cerai. Namun dari pihak Pengadilan Agama Kalianda
disarankan untuk ke Polres Lampung Selatan untuk melaporkan tindak kekerasan dalam
rumah tangga yang terjadi. Pada jam 10 pada hari yang sama (tanggal 28 September 2009),
Ibu Umi melapor ke Polres Lampung Selatan. Dari polres disarankan untuk melakukan
visum.
Setelah hampir sebulan, kasus KDRT yang dialami oleh Ibu Umi terkesan tidak
ditindak lanjuti dengan serius oleh pihak polres. Hal ini dapat terlihat dari tidak ditahannya
suami Ibu Umi oleh pihak polres tanpa alasan yang jelas. Sehingga menimbulkan sangkaan
kepada pihak polres bahwa kemungkinan besar suami Ibu Umi tidak ditahan karena terkait
posisi suami Ibu Umi yang merupakan tokoh masyarakat dan memiliki keluarga yang
memiliki posisi berpengaruh di masyarakat. Kondisi ini membuat Ibu Umi melaporkan
kasusnya dan meminta.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Seharusnya seorang suami dan istri harus banyak bertanya dan belajar, seperti
membaca buku yang memang isi bukunya itu bercerita tentang bagaimana cara menerapkan
sebuah keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah. Di dalam sebuah rumah tangga
butuh komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang
rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan
kerukunan di antara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan
dalam rumah tangga. Seharusnya seorang suami dan istri bisa mengimbangi kebutuhan
psikis, di mana kebutuhan itu sangat mempengaruhi keinginan kedua belah pihak yang
bertentangan.
Seorang suami atau istri harus bisa saling menghargai pendapat pasangannya masing-
masing. Seperti halnya dalam berpacaran. Untuk mempertahankan sebuah hubungan, butuh
rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya. Begitu juga halnya dalam
rumah tangga harus dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya,
maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang
timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-
lebihan.
Tidak sedikit seorang suami yang sifat seperti itu, terkadang suami juga melarang
istrinya untuk beraktivitas di luar rumah. Karena mungkin takut istrinya diambil orang atau
yang lainnya. Jika sudah begitu kegiatan seorang istri jadi terbatas. Kurang bergaul dan
berbaur dengan orang lain. Ini adalah dampak dari sikap seorang suami yang memiliki sifat
cemburu yang terlalu tinggi. Banyak contoh yang kita lihat dilingkungan kita, kejadian
seperti itu. Sifat rasa cemburu bisa menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga.
Maka dari itu, di dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus sama-sama
menjaga agar tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan kekerasan. Tidak hanya satu pihak
yang bisa memicu konflik di dalam rumah tangga, bisa suami maupun istri. Sebelum kita
melihat kesalahan orang lain, marilah kita berkaca pada diri kita sendiri. Sebenarnya apa
yang terjadi pada diri kita, sehingga menimbulkan perubahan sifat yang terjadi pada pasangan
kita masing-masing.
B. Saran
Demikian yang dapat kami jelaskan semoga bermanfaat bagi pembaca dan dalam
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan, oleh karena itu kami senantiasa
menerima saran dan kritik yang sifatnya membangun.
DAFTAR PUSTAKA

Warassih, Esmi. 2010. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang: Suryandaru


Utama.

Fakih, Mansour. 1998. Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender.


Yogyakarta: CIDESINDO.

Hartono, C.F.G. Sunaryati. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional.
Bandung: Alumni.

Otje, Salman. Anton F. Susanto. 2013. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Bandung: Alumni.

Kekerasan dalam Rumah Tangga – Wikipedia Bahasa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai