Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH


TANGGA
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas individu mata kuliah
hukum perlindungan perempuan dan anak

Dosen Pengampu:
Solehati Nofitasari, S,H,.M,H
Disusun oleh:
Siti Afkarina Lailia
(2103403031011)

FAKULTAS ILMU HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM JEMBER
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Sholawat serta salam saya haturkan kepada junjungan nabi besar Muhammad S.A.W karena
berkat rahmat dan hidayatnya saya selalu berada dalam lindungannya.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas individu dalam mata kuliah
HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN dan ANAK dengan judul “TENTANG UU
PKDRT”. Saya juga meminta maaf apabila dalam penyusunan makalah ini masih memiliki
banyak kekurangan.
Saya mengharapkan kritik dan sarannya demi penyempurnaan makalah ini. Harapan
saya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya dan pembaca pada umumnya.

JEMBER, 07 APRIL 2023

PENULIS

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................... 2


DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... 3
BAB I ...................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 4
1.1. LATAR BELAKANG ................................................................................................................ 4
1.2 RUMUSAN MASALAH ............................................................................................................. 5
1.3 TUJUAN PENULISAN .............................................................................................................. 5
BAB II .................................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 6
2.1 APA ITU UU PKDRT? .............................................................................................................. 6
BAB III................................................................................................................................................. 11
PENUTUP ............................................................................................................................................ 11
3.1 KESIMPULAN ......................................................................................................................... 11
3.2 SARAN ....................................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 12

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan berpengaruh
sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota
keluarga. Keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai
tokoh penting yang memimpin keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya.
Anggota keluarga terdiri dari Ayah, ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang
memiliki hubungan yang sangat baik. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian
dalam hubungan timbal balik antar semua anggota/individu dalam keluarga. Sebuah keluarga
disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan tidak
adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi
dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut disharmonis apabila terjadi sebaliknya.

Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan anak
merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada rumah tangga
yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang
menakutkan. Hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Yang mejadi berbeda adalah
bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan hal tersebut.

Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masing-masing.


Apabila masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap anggota keluarga akan
mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan mengerti perasaan, kepribadian dan
pengendalian emosi tiap anggota keluarga sehingga terwujudlah kebahagiaan dalam keluarga.
Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masing-masing anggota keluarga tidak
mengedepankan kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat solusi yang
sama-sama menguntungkan anggota keluarga melalui komunikasi yang baik dan lancar. Disisi
lain, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering terjadi
dalam keluarga.

Penyelesaian masalah dilakukan dengan marah yang berlebih-lebihan, hentakan-


hentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian maupun ekspresi wajah
menyeramkan. Terkadang muncul perilaku seperti menyerang, memaksa, mengancam atau
melakukan kekerasan fisik. Perilaku seperti ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam

4
rumah tangga (KDRT) yang diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu UU PKDRT?

1.3 TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui lebih dalam tentang UU PKDRT

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 APA ITU UU PKDRT?

KDRT adalah persoalan yang rumit untuk dipecahkan. Ada banyak alasan. Boleh jadi,
pelaku KDRT benar-benar tidak menyadari bahwa apa yang telah ia lakukan adalah merupakan
tindak KDRT. Atau, bisa jadi pula, pelaku menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya
merupakan tindakan KDRT. Hanya saja, ia mengabaikannya lantaran berlindung diri di bawah
norma-norma tertentu yang telah mapan dalam masyarakat. Sehingga menganggap perbuatan
KDRT sebagai hal yang wajar dan pribadi.
Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT, sebagaimana dikemukakan
dalam Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. UU PKDRT
ini lahir melalui perjuangan panjang selama lebih kurang tujuh tahun yang dilakukan para
aktivis gerakan perempuan dari berbagi elemen.
Di Indonesia, secara legal formal, ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tahun 2004. Misi dari
Undang-undang ini adalah sebagai upaya, ikhtiar bagi penghapusan KDRT. Dengan adanya
ketentuan ini, berarti negara bisa berupaya mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban akibat
KDRT. Sesuatu hal yang sebelumnya tidak bisa terjadi, karena dianggap sebagai persoalan
internal keluarga seseorang. Pasalnya, secara tegas dikatakan bahwa, tindakan keekerasan fisik,
psikologis, seksual, dan penelantaran rumah tangga (penelantaran ekonomi) yang dilakukan
dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak pidana. Tindakan-tindakan tersebut mungkin
biasa dan bisa terjadi antara pihak suami kepada isteri dan sebaliknya, atapun orang tua
terhadap anaknya. Sebagai undang-undang yang membutuhkan pengaturan khusus, selain
berisikan pengaturan sanksi pidana, undang-undang ini juga mengatur tentang hukum acara,
kewajiban negara dalam memberikan perlindungan segera kepada korban yang melapor.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa ketentuan ini adalah sebuah terobosan hukum yang
sangat penting bagi upaya penegakan HAM, khusunya perlindungan terhadap mereka yang
selama ini dirugikan dalam sebuah tatanan keluarga atau rumah tangga.

6
Terobosan hukum lain yang juga penting dan dimuat di dalam UU PKDRT adalah
identifikasi aktor-aktor yang memiliki potensi terlibat dalam kekerasan. Pada Pasal 2 UU
PKDRT disebutkan bahwa lingkup rumah tangga meliputi (a) suami, isteri, dan anak, (b)
orang-orang yang memiliki hubungan keluarga sebagaimana dimaksud pada huruf (a) karena
hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam
rumah tangga dan atau (c) orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap
dalam rumah tangga tersebut sehingga dipandang sebagai anggota keluarga. Identifikasi
kekerasan terhadap pekerja rumah tangga sebagai kekerasan domestik sempat mengundang
kontraversi karena ada yang berpendapat bahwa kasus tersebut hendaknya dilihat dalam
kerangka relasi pekerjaan (antara pekerja dengan majikan). Meskipun demikian, UU PKDRT
mengisi jurang perlindungan hukum karena sampai saat ini undang-undang perburuhan di
Indonesia tidak mencakup pekerja rumah tangga. Sehingga korban kekerasan dalam rumah
tangga adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup
rumah tangga.
UU PKDRT merupakan terbosan hukum yang positif dalam ketatanegaraan Indonesia.
Dimana persoalan pribadi telah masuk menjadi wilayah publik. Pada masa sebelum UU
PKDRT ada, kasus-kasus KDRT sulit untuk diselesaikan secara hukum. Hukum Pidana
Indonesia tidak mengenal KDRT, bahkan kata-kata kekerasan pun tidak ditemukan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus-kasus pemukulan suami terhadap isteri
atau orang tua terhadap anak diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal tentang
penganiayaan, yang kemudian sulit sekali dipenuhi unsur-unsur pembuktiannya, sehingga
kasus yang diadukan, tidak lagi ditindaklanjuti.
Kecenderungan meningkatnya kasus KDRT yang dilaporkan ini menunjukkan adanya
bangunan kesadaran masyarakat tentang kekerasan khusunya kekerasan yang terjadi di ranah
rumah tangga pada umumnya dan kesadaran serta keberanian perempuan korban untuk
melaporkan kasus KDRT yang dialaminya, pada khususnya.
Banyaknya kasus yang dalam perjalannnya dicabut oleh pelapor yang sekaligus juga
korban, lebih karena banyaknya beban gender perempuam korban yang seringkali harus
ditanggung sendiri,, kuatnya budaya patriarkhi, doktrin agama, dan adat menempatkan
perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dalam situasi yang sulit untuk keluar dari
lingkar kekerasan yang dialaminya, dan cenderung ragu untuk mengungkap fakta
kekerasannya, bahkan korban sulit mendapat dukungan dari keluarga maupun komunitas.
Keyakinan ’berdosa’ jika menceritakan ’kejelekan, keburukan, atau aib’ suami membuat

7
banyak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menyimpan dalam-dalam berbagai
bentuk kekerasan yang dialaminya.
Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU PKDRT menerangkan bahwa KDRT adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Ada berbagai faktor yang
melatarbelakangi pelaku, seperti kemiskinan, gangguan psikologis, pengalaman masa lalu, dan
lain sebagainya. Akan tetapi, apa pun faktor yang melatarbelakanginya, tindakan kekerasan
dalam rumah tangga tidak dapat dibenarkan pun dimaklumi.
KDRT tidak melulu berupa kekerasan fisik semata. Jika digolongkan, ada empat bentuk
kekerasan dalam rumah tangga. Bentuk-bentuk yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Kekerasan fisik
Bentuk kekerasan pada kondisi fisik korban. Mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
berat. Contohnya, tamparan, pukulan, penganiayaan, dan lain sebagainya.
2. Kekerasan psikis
Bentuk kekerasan pada kondisi psikologis. Dampaknya, membuat korban merasa ketakutan,
tidak percaya diri, kehilangan kemampuan untuk bertindak, perasaan tidak berdaya, dan
penderitaan lainnya. Contohnya, bullying, gaslighting, dan lain sebagainya.
3. Kekerasan seksual
Bentuk kekerasan dalam konteks seksual. Meski sudah memiliki hubungan yang sah, seperti
halnya suami istri, pemaksaan hubungan seksual adalah dilarang dan termasuk dalam bentuk
kekerasan.
4. Penelantaran rumah tangga
Tindakan penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga merupakan bentuk kekerasan dalam
rumah tangga. Selain itu, pembatasan atau larangan untuk bekerja yang layak sehingga korban
berada di bawah kendali seseorang dan mengakibatkan ketergantungan ekonomi juga termasuk
dalam penelantaran rumah tangga.
Jika terjadi kekerasan dalam sebuah rumah tangga, istri yang kerap mengalami
kekerasan bukanlah satu-satunya korban. Sebab, secara tidak langsung, anak yang berada di
rumah pun ikut menjadi korban.
Kekerasan dalam rumah tangga menyebabkan banyak dampak yang merugikan.
Dampak bagi istri atau korban adalah mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa

8
percaya diri dan harga diri, merasa tidak berdaya, merasa ketergantungan pada suami meski
telah disiksa, stres pascatrauma, depresi, bahkan keinginan untuk bunuh diri.
Sementara itu, bagi anak, dampaknya, antara lain kemungkinan terjadi kekerasan pada
anak di kemudian hari, adanya peluang anak untuk bersikap kasar pada orang lain, depresi,
kemungkinan imitasi kekerasan pada pasangannya nanti, hingga perasaan takut yang
berkepanjangan.
Terkait anak, kekerasan rumah tangga tidak hanya berdampak pada emosi dan perilaku
kemudian hari, namun juga berkenaan dengan kemampuan kognitif, kemampuan memecahkan
masalah, hingga perilakunya dalam mengatasi masalah.
Sanksi hukum bagi pelaku KDRT diatur dalam UU PKDRT. Sanksi yang mengintai
pelaku kekerasan rumah tangga disesuaikan dengan jenis kekerasan yang dilakukannya.
1. Hukuman KDRT bagi Kekerasan Fisik
Pasal 44 UU PKDRT menerangkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan
kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.
Kemudian, apabila korban jatuh sakit atau mengalami luka berat, pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp30 juta. Namun, jika
korban meninggal akibat kekerasan itu, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
tahun atau denda paling banyak Rp45 juta.
Selanjutnya, jika kekerasan fisik dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya
dan tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau kegiatan
sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau denda paling banyak
Rp5 juta.
2. Hukuman KDRT bagi Kekerasan Psikis
Pasal 45 UU PKDRT menerangkan bahwa setiap orang yang melakukan kekerasan
psikis dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp9
juta.
Kemudian, jika dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, dan tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk bekerja atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan
pidana penjara paling lama empat bulan atau denda paling banyak Rp3 juta.
3. Hukuman KDRT bagi Kekerasan Seksual
Pasal 46 UU PKDRT menerangkan bahwa perbuatan kekerasan seksual dipidana
dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp36 juta.

9
Kemudian, setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual dipidana dengan pidana penjara paling singkat empat tahun dan
pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit Rp12 juta atau denda paling
banyak Rp300 juta.
Lalu, apabila korban mendapat luka yang tidak bisa disembuhkan, mengalami
gangguan kejiwaan sekurang-kurangnya selama empat minggu terus-menerus atau satu tahun
tidak berturut turut, keguguran, atau mengakibatkan gangguan alat reproduksi, pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau
denda paling sedikit Rp25 juta dan denda paling banyak Rp500 juta.
4. Hukuman KDRT bagi Penelantaran Rumah Tangga
Berdasarkan Pasal 49 UU PKDRT, pelaku penelantaran rumah tangga dipidana
dengan penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.
Penting untuk diketahui bahwa UU PKDRT tidak hanya memuat sanksi bagi pelaku
KDRT, namun juga memuat perlindungan yang diberikan kepada korban. Korban pada
dasarnya berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada
kepolisian, baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Selain itu, korban
dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkannya kepada
kepolisian.
Dalam 1 x 24 jam setelah menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian
wajib memberikan perlindungan sementara pada korban. Setelah perlindungan sementara
diberikan, nantinya kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan kepada
pengadilan.
Dalam memberikan perlindungan terhadap korban, kepolisian dapat bekerja sama
dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani
untuk mendampingi korban.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dengan adanya UU PKDRT dan terobosan-terobosan hukumnya, diharapkan adanya


penurunan angka KDRT dan menjawab rasa keadilan bagi korban. Namun, pelaksanaan
Undang Undang ini tidaklah mudah karena terobosan hukum yang terdapat dalam peraturan
ini memerlukan sosialisasi ke aparat penegak hukum selaku pelaksana Undang-Undang dan
juga kepada aparat pemerintah, masyarakat serta pihak-pihak penyedia layanan. Sehingga
mereka menjadi lebih sensitif terhadap KDRT, memahami konteks terjadinya KDRT, dan
mempunyai empati yang besar terhadap korban KDRT. Jika ketiga hal tersebut dipunyai oleh
setiap orang, maka penyalahan kembali pada korban tidak akan terjadi, dan penyelesaian
kasus melalui jalur hukum maupun non hukum dapat menjawab keadilan korban serta
pemecahan fenomena gunung es kasus KDRT semakin dimungkinkan untuk terjadi.

3.2 SARAN

Supaya perlindungan hukum terhadap perempuan dari KDRT dapat terjamin, maka
aparat penegak hukum beserta setiap warga negara, diharuskan memiliki kesadaran dan
pemahaman yang tinggi, serta lebih responsif terhadap permasalahan kekerasan dalam rumah
tangga.

11
DAFTAR PUSTAKA

4 Bentuk KDRT, Ancaman Pidana, dan Cara Melaporkannya


https://www.hukumonline.com/berita/a/kdrt-lt61bcb7f549792?page=1,2,3,4, diakses pada 7
April 2023
Fakta Kekerasan dalam Rumah Tangga
https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=653:
undang-undang-no-23-tahun-2004-tentang-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-uu-
pkdrt&catid=101&Itemid=181&lang=en, diakses pada 7 April 2023

UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

12

Anda mungkin juga menyukai