Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH TENTANG

“Amaliah Aswaja Annahdiyah Merujuk kitab kitab Salaf”


Untuk memenuhi tugas mata kuliah Aswaja An-Nahdliyah

Dosen MKU Aswaja An-Nahdliyah:


Ahmad Zubadul Afiq., SHI., MH

Disusun Oleh
DANDY MAHINDRA (2103403031009)
ISMAIL (2103403031013)
MUSYAROFA (2103403031019)
JURJANI (2102403031091)

UNIVERSITAS ISLAM JEMBER


FAKULTAS HUKUM
ILMU HUKUM
2022/2023
PEMBAHASAN

Masyarakat indonesia merupakan masyarakat yang memang mayoritas beragama islam


bahkan menduduki posisi pertama jumlah muslim terbesar di dunia. Berkaitan dengan itu,
sehingga pendidikan yang kita jumpai di indonesia tidak hanya pada sekolah umum atau
madrasah saja, melainkan ada juga pondok pesantren yang lebih fokus pada pelajaran-pelajaran
keagamaan. Ditinjau dari segi historisnya, pesantren merupakan bentuk lembaga pribumi tertua
di Indonesia. Pesantren sudah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka. Sejak Islam masuk ke
Indonesia, pesantren terus berkembang sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan pada
umumnya. Setidaknya ada dua pendapat mengenai latar belakang berdirinya pondok pesantren di
Indonesia. Pertama, bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi Islam itu sendiri. Kedua,
sistem pendidikan model pondok pesantren adalah asli Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan
tertua yang masih eksis hingga hari ini pesantren merupakan komunitas dan sebagai lembaga
pendidikan yang besar jumlahnya dan luas penyebarannya di berbagai pelosok tanah air telah
banyak memberikan saham dalam pembentukan manusia indonesia yang religius. Sejak
munculnya, metode pendidikan yang ada di pesantren adalah metode salaf. Kata salaf adalah
bahasa arab yang bermakna kuno, tradisional atau klasik. Meskipun ada beberapa pesantren yang
sudah mengikuti metode pengajaran kemoderenan. Sajoko Prasojo mengungkap bahwa pondok
pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang umumnya dilakukan
dengan sistem non klasikal di mana seorang kyai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-
santrinya berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab.

Ciri khas kalangan santri salaf adalah kurang adanya ghirah dalam menganjurkan muslim
untuk melakukan perujukan langsung pada Al-qur’an dan Sunnah dengan cara merujuk secara
tekstualis dalam menentukan suatu hukum untuk menjawab sebuah persoalan agama. Akan tetapi
santri salaf / santri tradisionalis lebih memposisikan perujukan kepada kitab kuning yang mana
didalamnya sudah terdapat penjelasan – penjelasan yang lebih komplek yang bersumber dari Al
– Qur’an dan As Sunnah, seperti kitab Tafsir, Hadis, Tasawuf, dll.
Ciri khas pesantren dan sekaligus menunjukkan unsur unsur pokoknya, yang
membedakannya dengan pendidikan lainnya, disamping itu pesantren dan kitab kuning
merupakan satu kesatuan yamg tidak dapat dipisahkan, keberadaan kitab kuning merupakan
suatu hal yang wajib ain hukumnya dalam kalangan pesantren. Karena kitab kuning merupakan
tempat perujukan dalam mencari persoalan yang behubngan dengan agama. Dalam
keberadaannya pesantren lebih menekankan hasil karya para ulama’ salaf yaitu disebut dengan
kitab kuing dalam mengajarkan materi pembelajaran. Ciri khas yang membedakan antara
pendidikan islam pesntren dan non pesantren adalah dalam pengunaan sumber pembelajarannya.
Penggunaan kitab kuning sebagai sumber belajar merupakan pembeda antara pendidikan islam
pesntren pendidikan islam non pesntren. Seorang santri pesantren umumnya tidak langsung bisa
membaca. Mempelajari bahkan memahami isi dari kitab kuning dengan sendiri, akan tetapi ada
beberapa tahapan – tahapan dan keilmuan yang harus terlebih dahulu dikuasi sebelum
mempelajari kitab kuning tersebut. Ilmu Nahwu, Sharaf, Bahasa Arab, Balaghah, Mantiq dan
ilmu lainnya disebut ilmu alat yang wajib dipelajari terlebih dahulu sebelum bisa membaca dan
memahami kitab kuning, apabila dipelajari dengan metode klasik maka akan membutuhkan
waktu yang cukup lama untuk bisa membaca dan memahami kitab kuning dengan baik.

Kemudian munculah sebuah paradigma yang berada dimasyarakat bahwasanya butuh


waktu yang lama dan rumit dalam memahami kitab kuning seperti mempelajari kitab tafsir,
hadis, fiqh dan kitab – kitab lainnya yang menjadi dasar rujukan dalam persoalan agama.
Meskipun dalam kitab Ta’lim Mutta’alim diesebutkan bahwa salah satu rukun mencari ilmu
adalah harus menempuh waktu yang lama. Ilmu – ilmu tersebut menjadi meteri pembelajaran
yang dinomersatukan sebagai usaha untuk menhasilkan kader - kader santri yang menguasai
pemahaman baik dan benar terhadap Qur’an dan Hadis melalui pendidikan dipesantren
berdasarkan atas penjelasan ulama dalam kitab kuningnya. Selain menjadi rukun dalam
pesantren dan menjadi pembeda antara pendidikan islam ala pesantren dan non pesntren, Kitab
Kuning dijadikan sebagai alat pengukur standar penilaian dan kualitas kompetensi seorang santri
terhadap bidang keilmuan tertentu. Seorang santri yang telah mendapat penilaian dari seorang
ustadz dan kyai dianggap sudah bisa mengajarkan ilmunya salah satunya syaratnya adalah sudah
bisa menguasai kitab kuning mulai dari membaca, mengartikan, memahami dan
menjabarkannya.
Maka dari itu kitab kuning merupakan suatu kitab yang menjadi makanan wajib sehari –
hari dalam dunia pesantren, dan santripun wajib menguasai dan memahaminya agar dalam
mencari perujukan dalam menyelesaikan persoalan agama bisa mudah mencarinya. Karena santri
pesantren adalah seorang yang mempunyai ilmu dalam menggali hukum tidak berdasarkan
tekstualis saja akan tetapi menggali hukum dengan cara mer ujuk kepada kitab – kitab salaf yang
merupakan karya dari para ulama’ zaman dahulu, yang di sinkronkan dengan sumber utama yaitu
Qur’an dan Hadis. Benar disebutkan diatas bahwasannya untuk bisa membaca, menguasai dan
memahami isi dari kitab kuning harus memerlukan waktu yang cukup lama dan menguasai ilmu
– ilmu pendukung yang terdapat didalamnya, hal ini yang menjadikan dasar bagi para pesantren
untuk berinovasi bagaimana caranya agar dalam mempelajari kitab kuning tersebut tidak
memerlukan waktu yang lama, sehingga para santri bisa mempelajari bidang – bidang keilmuan
lainnya, karena santri saat ini tidak hanya cukup dengan ilmu – ilmu agama belaka, akan tetapi
ilmu dan keterampilan dibidang lain juga sangat di butuhkan.

Di pesantren inilah para santri dihadapkan dengan berbagai cabang ilmu agama yang
bersumber dari kitab-kitab kuning. Dalam sejarahnya Martin van Brueinessen mengemukakan
dalam buku yang berjudul. “Pesantren and Kitab Kuning : Maintenance and Continuation of A
Tradition of Religious Learning” kitab kuning ini dikenal akrab oleh kalangan pesantren di
Nusantara , tampilannya yang menggunakan kertas berwarna kuning disertai dengan syarah dan
bertulisan arab gundul tanpa ada harokat pathah atau kasroh sehingga kitab kuning menjadi
karakter yang khas untuk menyebut teks klasik ini dan menyematkannya sebagai warisan
intelektual, meskipun banyak kalangan ilmuan dari barat dan juga intelektual reformis bahkan
sebagian sarjana muslim modern menolak keabsahannya sebagai literatur ilmiah, meskipun
demikian kitab kuning mempunyai peran tersendiiri dalam merekam sejarah manusia, khususnya
pendidikan pesantren yang sampai pada saat ini terus lestari dan mampu bertahan dalam
kontestasi peradaban global.

Pada dasarnya Kitab-kitab yang merupakan penopang utama tradisi keilmuan Islam dan
dijadikan sebagai rujukan intelektual oleh orang muslim dalam literatur ilmu terlebih dahulu
ialah karya-karya sastra kelasik, terutama sastra keagamaan. Catatan sejarah menegaskan bahwa
peradaban Islam pertama-tama berkembang melalui penerjemahan karya-karya lama Yunani,
Persia, India, dan Mesir dalam bidang ilmu eksakta dan kedokteran. Kegiatan ini dimulai pada
pemerintahan Khalifah Abu Ja‟far al-Mansur (137-159 H./ 754-775 M.), seorang khalifah dari
Dinasti Abbasiah. Upaya itu mencapai kegairahan yang menakjubkan pada masa Khalifah al-
Ma‟mun sehingga mengantarkan umat Islam ke masa keemasan. Menjelang beberapa tahun
kemudian, bangsa Eropa menyerap dan menyeleksi kebudayaan Islam, juga melalui kegiatan
penerjemahan. Sejak abad ke-12 pusat-pusat penerjemahan berdiri di Spanyol, Sisilia, dan Italia.
Jika bangsa Arab menjadikan Bagdad sebagai pusat utama kegiatan penerjemahan karya-karya
bangsa Romawi dan Yunani, bangsa Eropa menjadikan Toledo sebagai pusat penerjemahan
karya-karya bangsa Arab. Kegiatan penerjemahan, terutama nas keagamaan, sebagai proses
transfer budaya dan ilmu pengetahuan juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sejak pemerintahan
Sultan Iskandar Muda di Aceh.

Hal ini ditandai dengan dijumpainya karya-karya terjemahan ulama Indonesia terdahulu.
Upaya umat Islam Indonesia juga kaum missionaris terus berlanjut, hal ini menggambarkan
betapa pentingnya kegiatan penerjemahan sebagai sarana pembinaan peradaban umat manusia
untuk mencapai suatu kemajuan dan kesejahteraan. Menjelang abad 19 sejumlah pesantren di
Jawa dan Madura mulai menyusun daftar kitab-kitab berhasa Arab yang sering dipelajari,
sebutan bahasa Arab menyiratkan bahwa karya-karya dalam bahasa lain atau penulisannya dalam
bahasa Jawa yang dituliskan dalam huruf Arab Jawa pegoon.

Dengan demikian kitab-kitab yang mulai dipakai belakanganpun diantaranya seperti


fiqih, ushul fiqih, tafsir jalalain dan tafsir Baidhawi, menurut Martin Van Bruinessen kitab-kitab
yang dipelajari sebelum abad ke-20 di Jawa wawasannya sempit jika bandingkan dengan
wawasan intelektual pengarang-pengarang Islam dari daerah lain pada masa sebelumnya. Dalam
karangan Nuruddin al-Raniri, Yusuf Makassar dan Abdurra‟uf Singkel dapat menemukan
referensi kepada kitab-kitab yang jauh lebih banyak variasinya, dan menarik secara intelektual.7
Di Abad ke 20 Kitab-kitab kuning mulai tersebar secara luas seiring dengan kemajuan pesat
percetakan banyak dipengaruhi oleh adanya pemuktahiran teknologi baik dari segi
pengembangan teknik maupun mesin cetak. Pada umumnya, terdapat lima proses percetakan
yang terpisah dan berbeda yang mendominasi di industri percetakan komersil, antara lain: relief
printing (letter flografy), planographic printing (offset litografi), recess printing (gravure /
intaglio), stencil printing (screen) dan digital printing ( toner dan inkjet).

Anda mungkin juga menyukai