DI PESANTREN
Sunedi
Program Doktor Psikologi Pendidikan Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Yogyakarta, Indonesia
Email: Soeskitomarzuki@yahoo.co.id
Abstrak-Tradisi intelektual di pesantren tidak terlepas kitab yang memiliki kadar keilmuan yang rendah, out of
dari jaringan ulama di Haramain dengan Nusantara date, dan penyebab stagnasi keilmuan. Namun
pada abad ke-17-19 M yang telah melahirkan ulama kemudian, istilah ini menjadi sangat familiar bagi
Nusantara yang cukup disegani, di antaranya; kalangan pesantren, dan konotasi negatif yang
Nuruddin ar-Raniri, Abdur Rauf Singkel,
Muhammad Yusuf al-Makassari, Syaikh Arsyad
dilekatkan dengan awal kemunculan istilah tersebut
Banjar, Syaikh Abdus Shamad al-Falimbani, Abdul perlahan memudar.
Wahhab al-Bughisi, Ahmad Rifa’i, dan Nawawi al- Secara umum, kitab kuning sebagai kitab
Bantani. Nawawi al-Bantani dan Mahfudz al- referensi keagamaan yang merupakan produk
Tirmisi adalah dua tokoh Indonesia kaliber dunia pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang
yang dipercayai mengajar di Makkah bahkan dikenal ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad
sebagai imam al-Haramain mampu menjadi rujukan ke-17-an M. Dalam hal ini, kitab kuning menjadi bagian
para pendiri dan perintis pesantren di Indonesia khazanah keilmuan Islam yang sangat berharga. Selama
untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman, seperti KH hampir 15 abad, khazanah keilmuan ini terpelihara
Kholil ibn Abdul Latif Bangkalan, KH Hasyim
Asy’ari Jombang dan KH Asnawi Kudus. Artinya,
secara kokoh. Pesantren mengambil bagiannya sebagai
kesinambungan keilmuan Islam dalam tradisi lembaga pendidikan Islam yang telah melestarikan
keilmuan pesantren cukup penting, bahkan menjadi budaya dan tradisi keilmuan klasik ini dengan
penentu keabsahan sebuah ilmu layak dikaji di senantiasa mewariskan kepada santri-santrinya.
lingkungan pesantren melalui penentuan kitab-kitab Dari sudut pandang ini, peran pesantren patut
kuning yang diajarkan. dihargai. Pesantren dengan berbagai variannya
Berkaitan dengan metode pembelajaran kitab merupakan pusat persemaian dan pusat
kuning di pondok pesantren dapat diklasifikasikan dipraktikkannya ilmu-ilmu keislaman dan sekaligus
menjadi dua metode, yaitu; metode sorogan sebagai pusat pembakuan dan penyebarannya.
(metode belajar individual) dan metode bandongan
atau wetonan (metode kelompok/klasikal). Pada
Persoalan apakah ”pesantren” merupakan karya
metode pembelajaran sorogan, santri membacakan budaya asli Indonesia atau yang ditengarai Martin Van
kitab kuning dihadapan kyai yang langsung Bruinessen tidak menjadi soal. Yang jelas, kontribusi
menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam pesantren dalam membentuk dan memelihara
konteks makna maupun bahasa (nahwu dan sharf). khazanah keilmuan Islam klasik sangatlah besar.
Sedangkan metode pembelajaran bandongan atau Kitab kuning difungsikan sebagai referensi nilai
wetonan identik dengan metode kuliah atau bisa universal dalam menyikapi segala tantangan kehidupan.
juga disebut halaqah. Dalam metode belajar Karena itu, kitab kuning harus tetap terjaga. Kitab
kelompok, para santri yang terdiri dari beberapa kuning dipahami sebagai mata rantai keilmuan Islam
orang berkumpul untuk membaca, memahami,
mengkaji satu masalah dengan menggunakan
yang bersambung hingga pemahaman keilmuan Islam
berbagai literatur atau mengkaji satu tema tertentu masa tabiin dan sahabat hingga sampai pada nabi
yang ada dalam sebuah kitab. Penekanan pada Muhammad Saw. Memutuskan mata rantai kitab
partisipasi aktif santri dan dapat menimbulkan sifat kuning, berarti membuang sebagian sejarah intelektual
kritis pada diri santri. Jadi, metode bandongan umat Islam. Kendatipun demikian, untuk membangun
adalah sistem pengajaran yang diberikan secara sebuah tradisi keagamaan yang selalu up to date dan
berkelompok yang diikuti oleh seluruh santri. tanggap terhadap tantangan dan perubahan zaman
Seorang guru membaca suatu kitab pada waktu maka diperlukan rethinking atau pemahaman ulang
tertentu, santri mendengarkan dan menyimak kitab-kitab kuning secara kontekstual.
bacaan guru tersebut dengan mencatat halhal yang
dianggap penting pada kitabnya masing-masing
Berdasarkan penjelasan di atas tulisan ini
berupaya untuk membahas bagaimana jaringan
Kata Kunci: Kitab Kuning, Tradisi Intelektual, intelektual pesantren dan proses pembelajaran kitab
Pembelajaran kuning di pesantren? Pertanyaan penting dikaji untuk
melihat benang merah kitab kuning yang selama ini
A. Pendahuluan telah menjadi referensi utama pesantren dan sekaligus
Pada mulanya kitab kuning, menurut Affandi kontinyuitas pembejalarannya sebagai warisan
Mochtar (2009) merupakan istilah yang dimunculkan intelektual Islam.
oleh kalangan luar pesantren, yang ditengarai sebagai
Prosiding Konferensi Nasional Ke- 4
39 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah (APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-1-6
B. Jaringan Intelektual Pesantren Himmah (Pemeliharaan Semangat), Abyan al-Hawa’ij
Tradisi intelektual umumnya mengacu pada (Penjelasan tentang Berbagai Kebutuhan), Tabyin al-
proses transmisi keislaman, pembentukan wacana Islahi (Penjelasan tentang Pembaharuan), Tasyrihah al-
intelektual, yang dalam proses selanjutnya menjadi Mukhtaj (Penjelasan bagi Orang-orang yang
tradisi yang dikembangkan dan dipelihara secara terus Membutuhkan), dan Syarif al-Imam (Imam yang Mulia)
menerus. Tradisi intelektual ini kemudian berwujud (Jajat Burhanuddin, 2004: 177).
pada lahirnya karya-karya keislaman. Kontak keilmuan Kemudian dalam peta intelektual Islam di
Islam antara wilayah Melayu-Nusantara dengan pusat Indonesia, Akhmad Khatib dikenal sangat keras
keilmuan di Haramain semakin intensif pada gilirannya, menentang tarekat, khususnya Tarekat
ketika sebagian ulama kembali ke tanah airnya, mereka Naqsyabandiyah yang memang banyak pengikut di
menjadi lokomotif utama dalam sosialisasi dan Minangkabau. Kritik keras Akhmad Khatib direfleksikan
transmisi berbagai pemikiran keagamaan ke kalangan dalam tiga karya utamanya; Izhar Zagl al-Kazibin fi
masyarakat Muslim Nusantara (Oman Fathurrahman, Tasyabbuhihim bi-Sadiqin, al-Ayah al-Bayyinah li al-
2004: 212). Munsifin fi Izalah Khurafat ba’d al-Muta’assibin, dan as-
Upaya yang paling awal dilakukan adalah Saif al-Battar fi Mahq Kalimah Ba’d Ahl al-Iqtirar. Dalam
menyampaikan berbagai ajaran Islam melalui tradisi ketiga karyanya ini, Akhmad Khatib berpendapat
lisan. Namun, seiring dengan semakin meningkatnya bahwa Tarekat Naqsyabandiyah bertentangan dengan
jumlah masyarakat yang tertarik mempelajari Islam, ajaran Islam. Ia menunjukkan beberapa praktik
segera muncul kebutuhan terhadap teks-teks keagamaan para pengikut Tarekat Naqsyabandiyah
keagamaan yang diperlukan untuk menjadi pegangan yang dinilainya tidak memiliki dasar yang kuat pada
dalam penyebaran, penyiaran dan pengajaran Islam. praktik keagamaan Nabi Muhammad Saw dan para
Dalam konteks inilah muncul tradisi penyalinan, sahabat, serta bertentangan dengan ajaran Islam dalam
penulisan serta penerjemahan teks-teks atau al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw (Jajat
manuskrip-manuskrip keagamaan Islam dalam bahasa Burhanuddin, 2004: 179).
lokal (vernacularisation) (Azyumardi Azra dan Oman Sebagai lembaga pendidikan Islam yang
Fathurrahman, 2006: 197). memiliki karakteristik tersendiri, maka pesantren
Proses tradisi intelektual ini tidak terlepas memiliki tradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisi
dari proses tranmisi dan difusi ajaran dan gagasan Islam keilmuan lembaga pendidikan lainnya (Siswanto, 2006:
selalu melibatkan semacam “jaringan intelektual” 920). Apabila diamati dalam konteks aktivitas
(intellectual networks), baik yang terbentuk di kalangan pendidikannya, pesantren lebih banyak memfokuskan
ulama maupun salah satu segmen dari kaum intelektual pada tafaqquh fi al-din, yaitu pendalaman pengalaman,
secara keseluruhan. Yang disebut sebagai “jaringan perluasan pengetahuan dan penguasaan khazanah
ulama” adalah jalinan hubungan yang kompleks dan ajaran agama Islam (Fuad Jabali dan Jamhari, 2002).
luas, yang terdapat baik yang terbentuk antar ulama Tradisi ini mengalami perkembangan dari
sendiri maupun antara ulama dan murid-muridnya masa ke masa dan menampilkan manifestasi
(Azyumardi Azra dan Oman Fathurrahman, 2002: yang berubah-ubahdari waktu ke waktu. Walau
105). demikian, masih dapat di-telusuri beberapa hal inti yang
Kontinyuitas tradisi Intelektual Islam tak tetap merupakan tradisi keilmuan pesantren, sejak
hanya sampai di situ. Pada abad ke-19 M, datangnya Islam ke Indonesia hingga saat ini.
perkembangan Islam di Jawa ditandai dengan Kesemuanya itu menunjuk ke sebuah asal-usul yang
menguatnya pengaruh ortodoksi. Hal ini terjadi bersifat historis sekaligus merupakan pendorong utama
terutama akibat hubungan yang semakin intensif bagi berkembangnya pesantren itu sendiri (Siswanto,
dengan Timur Tengah melalui kegiatan ibadah haji yang 2006: 921).
semakin meningkat. Bersamaa dengan itu, C. Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok
perkembangan Islam di Nusantara abad ke-19 M juga Pesantren
ditandai dengan meningkatnya jumlah pesantren dan Sebagai lembaga tafaqquh fiddin pesantren
tarekat. Lembaga pesantren umumnya dipimpin para yang tersebar luas di Indonesia sejak munculnya hingga
haji dan kyai yang sekaligus bertindak sebagai guru sekarang memang mernpunyui daya tarik, baik dari
tarekat bagi santri dan masyarakat sekitarnya. Tarekat sosok luarnya, kehidupan sehari-harinya, potensi
yang berkembang pesat di Jawa, yakni tarekat dirinya, isi pendidikannya, sistem dan metodanya.
Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syattariah (Jajat Tentu saja mempunyai latarbelakang dan tujuan yang
Burhanuddin, 2004: 172). berbeda-beda. Namun yang jelas, di pesantren terdapat
Pada abad ke-19 M ini pula terdapat tiga sesuatu yang spesifik, tidak akan ditemukan di luar
orang ulama terkemukaka yang dapat dikatakan pesantren atau lembaga pendidikan lain.
mewakili tradisi intelektual Islam Nusantara dari dunia Di antara sekian banyak hal yang menarik dari
kaum santri, yakni Ahmad Rifa’i dari Kalisasak, Jawa pesantren dan yang tidak terdapat di lembaga lain
Tengah. Sebagai ulama terkemukaka, Ahmad Rifa’i adalah mata pelajaran bakunya yang ditekstualkan pada
telah banyak menulis karya, di antaranya; Kitab kitab-kitab salaf (klasik) yang sekarang ini terintroduksi
Tahririyyah (Kitab tentang Kebebasan), Ri’ayah al- secara populer dengan sebutan kitab kuning