Anda di halaman 1dari 6

KITAB KUNING DAN TRADISI INTELEKTUAL

DI PESANTREN
Sunedi
Program Doktor Psikologi Pendidikan Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Yogyakarta, Indonesia
Email: Soeskitomarzuki@yahoo.co.id

Abstrak-Tradisi intelektual di pesantren tidak terlepas kitab yang memiliki kadar keilmuan yang rendah, out of
dari jaringan ulama di Haramain dengan Nusantara date, dan penyebab stagnasi keilmuan. Namun
pada abad ke-17-19 M yang telah melahirkan ulama kemudian, istilah ini menjadi sangat familiar bagi
Nusantara yang cukup disegani, di antaranya; kalangan pesantren, dan konotasi negatif yang
Nuruddin ar-Raniri, Abdur Rauf Singkel,
Muhammad Yusuf al-Makassari, Syaikh Arsyad
dilekatkan dengan awal kemunculan istilah tersebut
Banjar, Syaikh Abdus Shamad al-Falimbani, Abdul perlahan memudar.
Wahhab al-Bughisi, Ahmad Rifa’i, dan Nawawi al- Secara umum, kitab kuning sebagai kitab
Bantani. Nawawi al-Bantani dan Mahfudz al- referensi keagamaan yang merupakan produk
Tirmisi adalah dua tokoh Indonesia kaliber dunia pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang
yang dipercayai mengajar di Makkah bahkan dikenal ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad
sebagai imam al-Haramain mampu menjadi rujukan ke-17-an M. Dalam hal ini, kitab kuning menjadi bagian
para pendiri dan perintis pesantren di Indonesia khazanah keilmuan Islam yang sangat berharga. Selama
untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman, seperti KH hampir 15 abad, khazanah keilmuan ini terpelihara
Kholil ibn Abdul Latif Bangkalan, KH Hasyim
Asy’ari Jombang dan KH Asnawi Kudus. Artinya,
secara kokoh. Pesantren mengambil bagiannya sebagai
kesinambungan keilmuan Islam dalam tradisi lembaga pendidikan Islam yang telah melestarikan
keilmuan pesantren cukup penting, bahkan menjadi budaya dan tradisi keilmuan klasik ini dengan
penentu keabsahan sebuah ilmu layak dikaji di senantiasa mewariskan kepada santri-santrinya.
lingkungan pesantren melalui penentuan kitab-kitab Dari sudut pandang ini, peran pesantren patut
kuning yang diajarkan. dihargai. Pesantren dengan berbagai variannya
Berkaitan dengan metode pembelajaran kitab merupakan pusat persemaian dan pusat
kuning di pondok pesantren dapat diklasifikasikan dipraktikkannya ilmu-ilmu keislaman dan sekaligus
menjadi dua metode, yaitu; metode sorogan sebagai pusat pembakuan dan penyebarannya.
(metode belajar individual) dan metode bandongan
atau wetonan (metode kelompok/klasikal). Pada
Persoalan apakah ”pesantren” merupakan karya
metode pembelajaran sorogan, santri membacakan budaya asli Indonesia atau yang ditengarai Martin Van
kitab kuning dihadapan kyai yang langsung Bruinessen tidak menjadi soal. Yang jelas, kontribusi
menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam pesantren dalam membentuk dan memelihara
konteks makna maupun bahasa (nahwu dan sharf). khazanah keilmuan Islam klasik sangatlah besar.
Sedangkan metode pembelajaran bandongan atau Kitab kuning difungsikan sebagai referensi nilai
wetonan identik dengan metode kuliah atau bisa universal dalam menyikapi segala tantangan kehidupan.
juga disebut halaqah. Dalam metode belajar Karena itu, kitab kuning harus tetap terjaga. Kitab
kelompok, para santri yang terdiri dari beberapa kuning dipahami sebagai mata rantai keilmuan Islam
orang berkumpul untuk membaca, memahami,
mengkaji satu masalah dengan menggunakan
yang bersambung hingga pemahaman keilmuan Islam
berbagai literatur atau mengkaji satu tema tertentu masa tabiin dan sahabat hingga sampai pada nabi
yang ada dalam sebuah kitab. Penekanan pada Muhammad Saw. Memutuskan mata rantai kitab
partisipasi aktif santri dan dapat menimbulkan sifat kuning, berarti membuang sebagian sejarah intelektual
kritis pada diri santri. Jadi, metode bandongan umat Islam. Kendatipun demikian, untuk membangun
adalah sistem pengajaran yang diberikan secara sebuah tradisi keagamaan yang selalu up to date dan
berkelompok yang diikuti oleh seluruh santri. tanggap terhadap tantangan dan perubahan zaman
Seorang guru membaca suatu kitab pada waktu maka diperlukan rethinking atau pemahaman ulang
tertentu, santri mendengarkan dan menyimak kitab-kitab kuning secara kontekstual.
bacaan guru tersebut dengan mencatat halhal yang
dianggap penting pada kitabnya masing-masing
Berdasarkan penjelasan di atas tulisan ini
berupaya untuk membahas bagaimana jaringan
Kata Kunci: Kitab Kuning, Tradisi Intelektual, intelektual pesantren dan proses pembelajaran kitab
Pembelajaran kuning di pesantren? Pertanyaan penting dikaji untuk
melihat benang merah kitab kuning yang selama ini
A. Pendahuluan telah menjadi referensi utama pesantren dan sekaligus
Pada mulanya kitab kuning, menurut Affandi kontinyuitas pembejalarannya sebagai warisan
Mochtar (2009) merupakan istilah yang dimunculkan intelektual Islam.
oleh kalangan luar pesantren, yang ditengarai sebagai
Prosiding Konferensi Nasional Ke- 4
39 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah (APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-1-6
B. Jaringan Intelektual Pesantren Himmah (Pemeliharaan Semangat), Abyan al-Hawa’ij
Tradisi intelektual umumnya mengacu pada (Penjelasan tentang Berbagai Kebutuhan), Tabyin al-
proses transmisi keislaman, pembentukan wacana Islahi (Penjelasan tentang Pembaharuan), Tasyrihah al-
intelektual, yang dalam proses selanjutnya menjadi Mukhtaj (Penjelasan bagi Orang-orang yang
tradisi yang dikembangkan dan dipelihara secara terus Membutuhkan), dan Syarif al-Imam (Imam yang Mulia)
menerus. Tradisi intelektual ini kemudian berwujud (Jajat Burhanuddin, 2004: 177).
pada lahirnya karya-karya keislaman. Kontak keilmuan Kemudian dalam peta intelektual Islam di
Islam antara wilayah Melayu-Nusantara dengan pusat Indonesia, Akhmad Khatib dikenal sangat keras
keilmuan di Haramain semakin intensif pada gilirannya, menentang tarekat, khususnya Tarekat
ketika sebagian ulama kembali ke tanah airnya, mereka Naqsyabandiyah yang memang banyak pengikut di
menjadi lokomotif utama dalam sosialisasi dan Minangkabau. Kritik keras Akhmad Khatib direfleksikan
transmisi berbagai pemikiran keagamaan ke kalangan dalam tiga karya utamanya; Izhar Zagl al-Kazibin fi
masyarakat Muslim Nusantara (Oman Fathurrahman, Tasyabbuhihim bi-Sadiqin, al-Ayah al-Bayyinah li al-
2004: 212). Munsifin fi Izalah Khurafat ba’d al-Muta’assibin, dan as-
Upaya yang paling awal dilakukan adalah Saif al-Battar fi Mahq Kalimah Ba’d Ahl al-Iqtirar. Dalam
menyampaikan berbagai ajaran Islam melalui tradisi ketiga karyanya ini, Akhmad Khatib berpendapat
lisan. Namun, seiring dengan semakin meningkatnya bahwa Tarekat Naqsyabandiyah bertentangan dengan
jumlah masyarakat yang tertarik mempelajari Islam, ajaran Islam. Ia menunjukkan beberapa praktik
segera muncul kebutuhan terhadap teks-teks keagamaan para pengikut Tarekat Naqsyabandiyah
keagamaan yang diperlukan untuk menjadi pegangan yang dinilainya tidak memiliki dasar yang kuat pada
dalam penyebaran, penyiaran dan pengajaran Islam. praktik keagamaan Nabi Muhammad Saw dan para
Dalam konteks inilah muncul tradisi penyalinan, sahabat, serta bertentangan dengan ajaran Islam dalam
penulisan serta penerjemahan teks-teks atau al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw (Jajat
manuskrip-manuskrip keagamaan Islam dalam bahasa Burhanuddin, 2004: 179).
lokal (vernacularisation) (Azyumardi Azra dan Oman Sebagai lembaga pendidikan Islam yang
Fathurrahman, 2006: 197). memiliki karakteristik tersendiri, maka pesantren
Proses tradisi intelektual ini tidak terlepas memiliki tradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisi
dari proses tranmisi dan difusi ajaran dan gagasan Islam keilmuan lembaga pendidikan lainnya (Siswanto, 2006:
selalu melibatkan semacam “jaringan intelektual” 920). Apabila diamati dalam konteks aktivitas
(intellectual networks), baik yang terbentuk di kalangan pendidikannya, pesantren lebih banyak memfokuskan
ulama maupun salah satu segmen dari kaum intelektual pada tafaqquh fi al-din, yaitu pendalaman pengalaman,
secara keseluruhan. Yang disebut sebagai “jaringan perluasan pengetahuan dan penguasaan khazanah
ulama” adalah jalinan hubungan yang kompleks dan ajaran agama Islam (Fuad Jabali dan Jamhari, 2002).
luas, yang terdapat baik yang terbentuk antar ulama Tradisi ini mengalami perkembangan dari
sendiri maupun antara ulama dan murid-muridnya masa ke masa dan menampilkan manifestasi
(Azyumardi Azra dan Oman Fathurrahman, 2002: yang berubah-ubahdari waktu ke waktu. Walau
105). demikian, masih dapat di-telusuri beberapa hal inti yang
Kontinyuitas tradisi Intelektual Islam tak tetap merupakan tradisi keilmuan pesantren, sejak
hanya sampai di situ. Pada abad ke-19 M, datangnya Islam ke Indonesia hingga saat ini.
perkembangan Islam di Jawa ditandai dengan Kesemuanya itu menunjuk ke sebuah asal-usul yang
menguatnya pengaruh ortodoksi. Hal ini terjadi bersifat historis sekaligus merupakan pendorong utama
terutama akibat hubungan yang semakin intensif bagi berkembangnya pesantren itu sendiri (Siswanto,
dengan Timur Tengah melalui kegiatan ibadah haji yang 2006: 921).
semakin meningkat. Bersamaa dengan itu, C. Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok
perkembangan Islam di Nusantara abad ke-19 M juga Pesantren
ditandai dengan meningkatnya jumlah pesantren dan Sebagai lembaga tafaqquh fiddin pesantren
tarekat. Lembaga pesantren umumnya dipimpin para yang tersebar luas di Indonesia sejak munculnya hingga
haji dan kyai yang sekaligus bertindak sebagai guru sekarang memang mernpunyui daya tarik, baik dari
tarekat bagi santri dan masyarakat sekitarnya. Tarekat sosok luarnya, kehidupan sehari-harinya, potensi
yang berkembang pesat di Jawa, yakni tarekat dirinya, isi pendidikannya, sistem dan metodanya.
Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syattariah (Jajat Tentu saja mempunyai latarbelakang dan tujuan yang
Burhanuddin, 2004: 172). berbeda-beda. Namun yang jelas, di pesantren terdapat
Pada abad ke-19 M ini pula terdapat tiga sesuatu yang spesifik, tidak akan ditemukan di luar
orang ulama terkemukaka yang dapat dikatakan pesantren atau lembaga pendidikan lain.
mewakili tradisi intelektual Islam Nusantara dari dunia Di antara sekian banyak hal yang menarik dari
kaum santri, yakni Ahmad Rifa’i dari Kalisasak, Jawa pesantren dan yang tidak terdapat di lembaga lain
Tengah. Sebagai ulama terkemukaka, Ahmad Rifa’i adalah mata pelajaran bakunya yang ditekstualkan pada
telah banyak menulis karya, di antaranya; Kitab kitab-kitab salaf (klasik) yang sekarang ini terintroduksi
Tahririyyah (Kitab tentang Kebebasan), Ri’ayah al- secara populer dengan sebutan kitab kuning

Prosiding Konferensi Nasional Ke- 4


40 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah (APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-1-6
(Azyumardi Azra, 1999: 111). Disebut kitab kuning Kitab-kitab tersebut, berisi paparan mengenai
karena memang kitab-kitab itu dicetak di atas kertas hukum-hukum hasil ijtihad Imam Syafi'i, yang kemudian
berwarna kuning, meskipun sekarang sudah banyak diuraikan lagi oleh para ulama pengikutnya dari abad ke
dicetak ulang pada kertas putih. Kuning memang suatu abad. Hasil pemikiran ijtihad Imam Syafi'i sendiri,
warna yang indah dan cerah serta tidak menyilaukan didiktekan (imla) kepada muridnya, Al-Buwaithi, yang
mata. menyusunnya lagi menjadi kitab al-Umm (Induk). Dari
Kitab kuning memang menarik, tentu saja al-Umm inilah lahir kitab-kitab fiqh susunan para ulama
bukan karena warnanya kuning, tetapi karena kitab itu mazhab Syafi'i, baik yang ringkas dan tipis, seperti
mempunyai ciri-ciri yang melekat yang untuk Taqrib karya Abu Suja, maupun yang panjang lebar dan
memahaminya memerlukan keterampilan tertentu dan tebal-tebal seperti Nihayatul Muhtaj karya Ar-Ramli,
tidak cukup hanya dengan menguasai bahasa Arab saja. atau Majmu Syarah Muhazzab karya An-Nawawi.
Sehingga banyak sekali orang pandai berbahasa Arab, Bahasan hukum-hukum dalam kitab kuning,
namun masih kesulitan mengklarifikasikan isi dan bersumber dari hasil ijtihad para ulama mazhab
kandungan kitab-kitab kuning secara persis. Sebaliknya (disebut mujtahid shagir dan ulama pendiri mazhab
tidak sedikit ulama yang menguasai kitab-kitab kuning yang merupakan mujtahid kabir, atau mujtahid mutlaq),
tidak dapat berbahasa Arab yang menggali langsung dari al-Qur’an dan sunnah
Pesantren dan kitab kuning adalah dua sisi Rasulullah Saw. Yang digali dan dijadikan bahan ijtihad,
yang tak terpisahkan dalam keping pendidikan Islam di adalah hal-hal yang bersifat temporer, aktual, namun
Indonesia. Sejak sejarah awal berdirinya, pesantren belum terdapat nash yang jelas di dalam al-Qur’an dan
tidak dapat dipisahkan dari literatur kitab karya hadits. Untuk hal-hal yang sudah dijelaskan di dalam al-
pemikiran para ulama salaf. Boleh dibilang, tanpa Qur’an dan hadits, tidak lagi dijadikan bahan ijtihad
keberadaan dan pengajaran kitab kuning, suatu lembaga (Abdullah Ubaid, 2014).
pendidikan tak absah disebut pesantren. Begitulah fakta Untuk melihat posisi dan sejauhmana makna
yang mengemuka di lapangan. Abdurrahman Wahid penting kitab kuning di kalangan pesantren, setidaknya
dalam konteks ini meneguhkan dengan menyatakan, ada beberapa abstraksi yang perlu dicermati. Pertama,
kitab kuning telah menjadi salah satu sistem nilai dalam cara pandang masyarakat terhadap pesantren.
kehidupan pesantren (Abdurrahman Wahid, 1985). Pesantren pada umumnya dipandang sebagai sebuah
Karena itu, pembelajaran dan pengkajian kitab “subkultur” yang mengembangkan pola kehidupan yang
kuning menjadi nomor wahid dan merupakan ciri khas tidak seperti biasa atau katakanlah unik. Di samping
pembelajaran di pesantren. Kitab kuning tidak hanya faktor kepemimpinan kyai-ulama, kitab kuning adalah
menjadi pusat orientasi, tetapi telah mendominasi studi faktor penting yang menjadi karakteristik subkultur itu.
keislaman pesantren dan mewarnai praktik keagamaan Kedua, kitab kuning juga difungsikan oleh
dalam berbagai dimensi kehidupan umat Islam. Saking kalangan pesantren sebagai “referensi” nilai universal
lengketnya, dengan kitab kuning, kalangan pesantren dalam menyikapi segala tantangan kehidupan. Karena
mencoba bersikap, memaknai dan menjawab hampir itu, bagaimanapun perubahan dalam tata kehidupan,
seluruh persoalan yang muncul dan berkembang di kitab kuning harus tetap terjaga. Kitab kuning dipahami
masyarakat. Bahkan jika kita tengok halaqah bahtsul sebagai mata rantai keilmuan Islam yang dapat
masa`il para santri di pesantren, maka seakan-seakan bersambung hingga pemahaman keilmuan Islam masa
seluruh persoalan hidup ini sudah termaktub dan telah tabiin dan sahabat.
dijawab oleh kitab kuning. Ketiga, segi dinamis yang diperlihatkan kitab
Tak hanya persoalan masa lalu, isu-isu terkini kuning. Kalau ditelisik, ternyata segi dinamisnya adalah
pun pembahasannya sudah ada, atau minimal transfer pembentukan tradisi keilmuan fikih-sufistik
diasumsikan ada. Sebut saja misalnya, persoalan yang didukung penguasaan ilmu-ilmu instrumental,
poligami, dari mulai yang ekstrim pro-poligami dan termasuk ilmu-ilmu humanistik (adab). Pesantren yang
yang ekstrim kontra-poligami, semua terpapar dalam akrab dengan khazanah klasik kitab kuning inilah yang
kitab kuning. Pun, persoalan formalisasi syariah, membedakan dengan pesantren-pesantren lain yang
perdebatan pornoaksi-pornografi, persoalan sikap lebih cenderung pada adopsi terhadap keilmuan Barat.
terhadap agama lain, dan lain sebagainya juga tersurat Melalui ini pula, pesantren melahirkan sikap-sikap yang
dalam kitab kuning. Ibarat lautan, semua jenis ikan tasamuh (lapang dada), tawazun (seimbang), dan i'tidal
dapat ditemukan di sana (Abdullah Ubaid, 2014). (adil).
Kitab kuning yang dikaji di pesantren, Keempat, pemilihan kitab kuning sebagai
kebanyakan kitab-kitab karya para ulama Syafi'iyah. referensi utama di pesantren, tentu terkait dengan
Mulai dari kitab fiqh tingkat dasar, seperti Safinatun perkembangan tradisi intelektual Islam Nusantara.
Naja, Taqrib, Kifayatul Ahyar; menengah seperti Fathul Sejak periode paling dini, bersamaan dengan proses
Qarib, Fathul Wahab, Fathul Mu'in, I'anatuth Thalibin, internasionalisasi, yang berarti Arabisasi, dokumentasi
Hasyiyah Bajuri, Muhazzab; hingga tingkat tinggi seperti tentang ajaran-ajaran Islam selalu ditulis dalam bahasa
Nihayatul Muhtaj, Hasyiyah Qalyubi wa Umairah, Al- Arab, sekurang-kurangnya dengan menggunakan huruf
Muharrar, Majmu Syarh Muhazzab. Semuanya Arab. Arabisasi seperti ini tidak lain menempatkan
merupakan susunan para ulama mazhab Syafi'i. keislaman di Indonesia selalu dalam konteks universal.

Prosiding Konferensi Nasional Ke- 4


41 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah (APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-1-6
Proses seperti ini terus berlanjut sejalan dengan belajar individual) dan metode bandongan atau
semakin kuatnya intervensi bahasa Arab ke dalam wetonan (metode kelompok/klasikal). Pada metode
bahasa-bahasa di Nusantara, dan pesantren tampaknya pembelajaran sorogan, santri membacakan kitab kuning
hanya melanjutkan proses ini saja. dihadapan kyai yang langsung menyaksikan keabsahan
Ada dua poin penting yang dapat menjelaskan bacaan santri, baik dalam konteks makna maupun
posisi dan signifikansi kitab kuning di pesantren. bahasa (nahwu dan sharf) (Alipiah, 2011: 27). Ciri
Poin pertama, otentisitas kitab kuning bagi utama penggunaan sistem individual ini adalah; 1).
kalangan pesantren adalah referensi yang Lebih mengutamakan proses belajar daripada mengajar;
kandungannya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. 2). Merumuskan tujuan yang jelas; 3). Mengusahakan
Kenyataan bahwa kitab kuning yang ditulis sejak lama partisipasi aktif dari pihak santri; 4). Menggunakan
dan terus dipakai dari masa ke masa menunjukkan banyak feedback atau balikan dan evaluasi; dan 5).
bahwa kitab tersebut sudah teruji kebenarannya dalam Memberi kesempatan kepada santri untuk maju dengan
sejarah. kecepatan masing-masing.
Poin kedua, kitab kuning sangatlah penting Metode sorogan yang biasa disebut dengan
bagi pesantren untuk memfasilitasi proses pemahaman pengajaran individual ini memberikan kebebasan
keagamaan yang mendalam sehingga mampu kepada para santri (siswa) sekaligus, untuk mengikuti
merumuskan penjelasan yang segar tetapi tidak pelajaran menurut prakarsa dan perhitungan sendiri,
ahistoris mengenai ajaran Islam, al-Qur’an dan hadits menentukan bidang dan tingkat kesukaran buku
Nabi Saw. Kitab kuning mencerminkan pemikiran pelajaranya sendiri serta mengatur intensitas belajar
keagamaan yang lahir dan berkembang sepanjang menurut kemampuan menyerap dan memotifasinya
sejarah peradaban Islam. Untuk menjadikan pesantren sendiri.
tetap sebagai pusat kajian keislaman, pemeliharaan dan Berdasarkan penjelasan di atas dapat
bahkan pengayaan kitab kuning harus tetap menjadi ciri ditegaskan bahwa metode
utamanya. pembelajaran bandongan atau
Berdasarkan periode pengarang (mushanif) wetonan maupun halaqah di mana santri secara
sebelum atau sesudah abad ke-19 M, kitab kuning kolektif mendengarkan dan mencatat uraian yang
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, al- disampaikan oleh kyai, dengan menggunakan bahasa
Kutub al-Qadîmah, kitab klasik salaf. Semua kitab ini daerah setempat, dilaksanakan pada waktu-waktu
merupakan produk ulama pada sebelum abad ke-19 M. tertentu, materi (kitab) dan tempat sepenuhnya
Ciri-ciri umumnya adalah: 1). Bahasa pengantar ditentukan oleh kyai. Keunggulan metode ini adalah
seutuhnya bahasa klasik, terdiri atas sastra liris lebih cepat dan praktis sedangkan kelemahannya
(nadzam) atau prosa liris (natsar); 2). Tidak metode ini dianggap tradisional. Biasanya metode ini
mencantumkan tanda baca; 3). Tidak mengenal masih digunakan pada pondok-pondok pesantren salaf.
pembabakan alinea atau paragraf. Sebagai penggantinya Untuk lebih jelasnya, dapat digambarkan sebagai
adalah jenjang uraian seringkali disusun dengan kata berikut;
kitâbun; 4). Isi kandungan kitab banyak berbentuk Gambar 1.
duplikasi dari karya ilmiah ulama sebelumnya. dan 5). Metode Pengajaran Kitab Kuning di Pondok
Khusus kitab salaf yang beredar di lingkungan Pesantren (Andi Zuchairiny, 280)
pesantren si pengarang harus tegas berafiliasi dengan
madzhab Sunni, terutama madzhab arba’ah. Sedangkan,
kitab salaf yang pengarangnya tidak berafiliasi dengan
madzhab Shunni hanya dimiliki terbatas oleh kyai
sebagai studi banding.
Kedua, al-Kutub al-‘Ashriyyah. Kitab ini
merupakan produk ilmiah pada pasca abad ke-19 M.
Ciri-cirinya, adalah: 1] Bahasanya diremajakan atau
berbahasa populer dan diperkaya dengan idiom-idiom
keilmuan dari disiplin non-syar’i. Pada umumnya
karangannya berbentuk prosa bebas. 2] Teknik
penulisan dilengkapi dengan tanda baca yang sangat
membantu pemahaman. 3] Sistematika dan pendekatan
analisisnya terasa sekali dipengaruhi oleh ilmu
pengetahuan umum pada zamannya. 4] Isi karangan
merupakan hasil studi literer yang merujuk pada
banyak buku dan seringkali tidak ada keterikatan
dengan paham madzhab tertentu.
Pada dasarnya, metode pembelajaran kitab
kuning di pondok pesantren dapat diklasifikasikan
menjadi dua metode, yaitu; metode sorogan (metode

Prosiding Konferensi Nasional Ke- 4


42 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah (APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-1-6
Gambar di atas menyiratkan bahwa sorogan, ----------------------------, Menggerakkan Tradisi,
(Yogyakarta: LKis, 2010)
hapalan, dan bandongan atau wetonan adalah metode-
----------------------------, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai
metode dengan penekanan pada pemahaman dan
Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001)
transimisi ilmu pengetahuan dari kiai atau ustadz
Affandi Mochtar, “Kitab Kuning dan Tradisi Intelektual
kepada para santri. Oleh karena itu, proses Islam Nusantara”, dalam
http://kangaffandi.blogspot.co.id/2009/04/kitab-
pembelajaran adalah berpusat pada atau ustadz
kuning-dan-tradisi-intelektual.html. Diakses 1 April
(teacher-centred), dan komunikasi satu arah (one-way 2016
communication). Sementara itu, metode halaqah ---------------------, “Tradisi Kitab Kuning: Sebuah
Observasi Umum”, dalam Marzuki
tampaknya lebih melatih pemahaman, pemikiran kritis
Wahid, et.al (ed), Pesantren Masa Depan:
dan kemampuan pemecahan masalah dari para santri, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi
Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
dan komunikasi dua arah (two-way communication).
Model belajar berbasis masalah atau interaksi di Alipiah, “Minat Mahasiswa Pendidikan Agama Islam
Dalam Pembelajaran Kitab Kuing (Studi Kasus
pesantren hanya diterapkan pada santri-santri senior di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
orang terkadang pada ustadz-ustadz. Jakarta”. Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama
Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
(Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, 2011)
D. Simpulan Andi Zuchairiny, “Penguatan Islam Tradisional: Studi
Kasus Model Pembelajaran Kitab Kuning di
Berdasarkan keseluruhan uraian di muka
Pesantren Alkhairaat Madinatul Ilmi Dolo
dapat disimpulkan tradisi intelektual di pesantren tidak Sulawesi Tengah”, dalam ISTIQRA’, Jurnal
Penelitian Ilmiah, Vol. 1, No. 2 Juli-Desember,
terlepas dari jaringan ulama di Haramain dengan
(Palu: P3M STAIN Datokarama Palu, 2013)
Nusantara pada abad ke-17 M yang mengalami
Azyumardi Azra dan Oman Fathurrahman, “Jaringan
akselerasi begitu cepat, sehingga mendorong sejumlah Ulama” dalam Taufik Abdullah (ed, et all),
guru besar (ulama) dan penuntut ilmu dari berbagai Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara,
Jilid 5, (Jakarta: kIchtiar Baru Van Hoeve,
wilayah di dunia muslim datang dan bermukim di sana, 2002)tel, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
yang pada gilirannya menciptakan semacam jaringan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII:
Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di
keilmuan yang menghasilkan wacana ilmiah yang unik. Indonesia, Cet V, (Bandung: Mizan, 1999)
-------------------, Pendidikan Islam (Tradisi dan
Modernisasi Menuju Millenium Baru), Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999)
Benedict Anderson, “Bahasa Politik Indoensia,” dalam
Yudi Latif (ed.), Bahasa dan Kekuasaan,
Daftar Pustaka
(Bandung: Mizan, 1996)
Budhy Munawar-Rahman dkk, (eds.), Ensiklopedi
Abdullah Ubaid, “Reinventing Kitab Kuning dalam Nurcholis Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas
Tradisi Pesantren”, dalam http://abdullah- Peradaban, (Bandung: Mizan, Paramadina dan
ubaid.blogspot.com/2008/08/pesantren-dan-kitab- CSL, 2006)
kuning-adalah-dua.html. Diakses 1 Nopember
Edwar Djamaris dan Saksono Prijanto, Hamzah Fansuri
2014.
dan Nuruddin Ar-Raniri, (Jakarta: Proyek
Abdurrahman Wahid, “Asal-Usul Tradisi Keilmuan di Pengembangan Media Kebudayaa n Direktorat
Pesantren”. Dalam Jurnal Pesantren, No Perdana Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan
(1984) dan Kebudayaan, 1995/1996).
---------------------------, “Nilai-Nilai Kaum Santri” dalam Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa Ahsin Muhammad,
M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren: (Bandung: Pustaka, 1984)
Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985)

Prosiding Konferensi Nasional Ke- 4


43 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah (APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-1-6
Fuad Jabali, dan Jamhari (Ed.), IAIN dan Modernisasi
Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2002
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah
Sekolah, (Jakarta: Dharma Aksara Putra, 1986)
Martin van Bruinessen, “Studi Tasawuf pada Akhir
Abad ke-18: Amalan dan Bacaan Abdus-Samad
al-Falimbani, Nafis al-Banjari dan Tarekat
Sammaniyah”. Dalam Martin van Bruinessen,
Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995)
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu
Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan
Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994)
Oman Fathurrahman, “Jama’at al-Jawiyyin di Haramayn
dan Pembentukan Tradisi Intelektual Islam di
Dunia Melayu-Nusantara”, dalam
https://naskahkuno.wordpress.com/ 2007/09/13/
jama%EF%82%91at-al-jawiyyin-di-haramayn-dan-
pembentukan-tradisi-intelektual-islam-di-dunia-
melayu-nusantara/ dan http://oman. uinjkt.ac.
id/2007/09/jamaat-al-jawiyyin-di-haramayn-
dan.html. Diakses 1 Maret 2016.
Oman Fathurrahman, “Tradisi Intelektual Islam
Melayu-Indonesia: Adaptasi dan Pembaharuan:
Book Review Peter Riddell, Islam and the
Malay-Indonesian World, Singapore: Horizon
Books, 2001”, dalam Jurnal Studia Islamika, Vol.
8, No. 3, (Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah,
2004)
Oman Fathurrahman, Ithaf Al-Dhaki: Tafsir Wahdatul
Wujud bagi Muslim Nusantara, (Bandung: Mizan,
2012)
Siswanto, “Praksis Model Studi Islam dalam Komunitas
Pesantren (Menuju Humanisasi Kitab Kuning)”
dalam Jurnal KARSA, Jurnal Sosial dan Budaya
Keislaman, Edisi Vol. X, No. 2, Oktober,
(Madura: STAIN Pamekasan, 2006)

Prosiding Konferensi Nasional Ke- 4


44 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah (APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-1-6

Anda mungkin juga menyukai