Anda di halaman 1dari 36

INTELEKTUAL PESANTREN

PERHELATAN AGAMA DAN TRADISI

(ABDURRAHMAN MAS’UD)

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah

Islam Teks dan Konteks

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Iskandar Zulkalnain

Hanif Widiya Lupi (21200011114)


Haryati (21200011048)

PROGRAM MAGISTER

PRODI BIMBINGAN KONSELING ISLAM (BKI)

KONSENTRASI INTERDISCIPLINARY ISLAMIC STUDIES

FAKULTAS PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

1
A. Latar Belakang

Secara teknis pesantren merupakan tempat para santri tinggal dan

belajar.Tempat ini mengacu pada ciri utama pesantren, yaitu lingkungan

pendidikan secara menyeluruh.Biasanya komunitas pesantren ini

berjumlah banyak atau ratusan. Pesantren juga memiliki peran dalam

berkembangnya sufi di Indonesia.

Dalam buku milik Abdurrahman Mas’ud ini menerangkan dan

menganalisa lima ulama penting yang diasumsikan sangat berpengaruh

dalam dunia pesantren. Mereka merupakan tokoh ensiklopedis dan multi

disiplin ilmu.Tokoh yang pertama, Nawawi Al-Batani (meninggal 1897)

merupakan spesialis Mahfuz.Kedua, Tremas atau at-Tirmisi (meninggal

1919) yang biasa dijuluki al-Muhadits dan al-Musnid, beliau merupakan

kiai yang paling spiritualis. Ketiga, Khalil Bangkalan (meninggal 1924).

Keempat, K.H.R. Asnawi Kudus (1861-1959), seorang kiai yang keliling

dan terlibat langsung dengan da’wah melalui bahasa yang retorik dan

efektif. Terakhir, K.H. Hasyim Asy’ari (1871-1947) sang kiai pergerakan,

inspirator nasionalisme di dunia pesantren.1

Al-Batani dan at-Tirmisi akan diklasifikasikan kedalam grur-guru

besar dunia pesantren lainya akan dikelompokan sebagai ahli strategi

pesantren. Meskipun dalam beberapa hal lingkungan dan latar belakang

sosial keagamaan lima ulama ini tipikal, namun kontribusi mereka pada

dunia pesantren ternyata sangat berbeda. Kelompok yang pertama ditandai

dengan karya-karya produktif mereka, dan status istimewa sebagai Imam

1 Abdurrahman mas’ud, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi


(Yogyakarta : LKIS, 2004), hlm.1

2
al-Haramain di Timur Tengah.Warisan utama mereka dalam dunia pesantren

terletak pada keikhlasan dan dedikasi mereka di Makah dan Madinah untuk

mentrasfer pengetahuan mereka dan mendidik para pendiri pesantren yang

Masyhur.Tiga tokoh selanjutnya, mereka asyik belajar ilmu agama dibawah

bimbingan dua guru tersebut.Tiga tokoh ini juga telah mendirikan lembaga-

lembaga pesantren di Jawa, Sunda, dan Madura setelah mereka menyelesaikan

pendidikanya.

Pemilihan ulama ini bukan dengan cara asal-asalan, namun mereka

mempunyai kriteria lain untuk dipilih dan masuk kedalam studi ini karena

kadar pengaruhnya yang membentang luas yang melampaui masa mereka

hidup hingga hari ini atau dalam istilah asing disebut dengan eduring

legancy, sehingga studi ini disebut a view from whitin (melihat dari

dalam). Kekuatan lisan termasuk menyaksikan, berkomunikasi, dan

interaksi tampak begitu dominan dalam budaya kaum santri hingga

pemimpin yang mudah dikenal dan diagungkan sepanjang masa

merupakan mereka yang aktual, dengan demikian tradisi lisan berperan

penting dalam lingkungan santri

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana ajaran Muhammad mengenai ajaran islam di abad XIX dan

di Jawa ?

2. Bagaimana tokoh agama di Jawa ini menerapkan doktrin ajaranya ?

3. Seperti apa pengaruh jaringan intelektual para tokoh terhadap

pendidikan muslim di Jawa ?

3
C. Telaah Penenelitian Terdahulu

Kajian dan penelitian yang hampir sama sudah pernah dilakukan

oleh peneliti yaitu:M. Thoyyib, dalam penelitian Peran Ulama Abad XIX

Dalam Mengembangkan Pesantren Di Indonesia: Studi Atas Pemikiran

Abdurrahman Mas’ud Tentang Pendidikan Pesantren. Dalam penelitian ini

mengatakan bahwa Abdurrahman Masud mencatat bahwa abad XIX

muncul ulama besar yang menjadi guru bagi perkembangan tradisi

pesantren. Terdapat dua ulama besar yang menurut Mas’ud memiliki

kontribusi tinggi atas perkembangan pendidikan islam di Nusantara,

khususnya di Jawa dan Madura,Yaitu Kiai Nawawi Al-Bantani dan

Mahfuz At-Tirmisi. Kedua ulama ini disebut sebagai guru intelektual

pesantren karena kontribusinya dalam melahirkan ulama-ulama besar

sesudahnya.Dalam penelitian ini juga ingin mengkaji peran ulama

Nusantara abad XIX baik di Haramayn maupun di Nusantara. Dengan

mengambil dua guru di Haramayn yang diantaranya yaitu Nawawi al-

Bantari, Khalil Bangkalan,dan Hasyim Asyari. Nawawi al-Bantari

mewakili Sunda, Khailil Bangkalan mewakili Madura, dan Hasyim Asyari

mewakili Jawa, baik Jawa Timur, Jawa Barat, maupun Jawa Tengah.2

2M. Thoyyib, Peran Ulama Abad XIX Dalam mengambangkan Pesantren Di Indonesia:
Studi atas Pemikiran Abdurrahman Mas’ud tentang Pendidikan Pesantren , Jurnal Studi
Keislaman, Vol.9 No.2 2019,Hlm 138

4
D. Metodologi

Patut dicatat bahwa sumber utama dari historiografi Jawa adalah

Babad Tanah Jawa atau juga sering disebut sejarah tanah Jawa.3Naskah

padat yang yang ditulis berupa legenda semi-histori ini disusun pada

permulaan abad XVII di istana-istana kerajaan Jawa.Bagaimanapun juga

sumber utama yang digunakan untuk melalukan studi ini adalah sumber

yang ditulis para ulama pesantren itu sendiri.Para penulis serta karyanya

akan menjadi referensi sekaligus objek dari studi ini. Anekdot-anekdot

pesantren yang diyakini memberikan inspirasi dan begitu juga dukungan

sejarah lisan melalui wawancara dan mempelajari cerita popular yang

berkembang dalam komunitas pesantren.

Oleh karena itu, teori Max Weber tentang kharisma yang

digunakan untuk bisa memperoleh nuansa yang lebih luas tentang

kepemimpinan kiai sehingga tidak menimbulkan hal yang aneh. Misalnya,

setelah melakukan wawancara berkali-kali secara intensif dengan

Abdurrahman Wahid, yang merupakan pemikir dan tokoh dunia pesantren

yang sangat berpengaruh, diketahui bahwa peran pribadi yang sangat

menonjol dan kharismatik sang kiai dalam istilah yang sarat dengan teori

Weber.

Dari semua itu, ide Weber tentang Kharisma meruakan alat yang

berguna untuk menunjukan kharisma yang melekat pada para kiai Jawa

dan untuk menawarkan nuansa yang lebih luas dalam memandang

3 Abdurrahman mas’ud, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi


(Yogyakarta : LKIS, 2004), hlm.23

5
karakteristik pemimpin dasar-dasar ketidakstabilan, sifat

resolusioner, dan asal usul serta transformasi kewibawaan . komponen ini

sangat membantu elemen-elemen jawa dengan fokus pada para pemimpin

muslim dan kehidupan sosial mereka, dan pokok-pokok ajaranya.

E. Pembahasan

1. Ajaran-ajaran Islam

Latar belakang ideologis ajaran sangat peting dibahas untuk

menyingkap rangkaian historis pembelajaran islam itu sendiri.

Modeling dalam ajaran islam diidentikan dengan uswatun hasanah dan

sunah hasanah, merupakan contoh ideal yang harus diikuti. Modeling

disini difokuskan pada person-person tertentu, yakni Nabi Muhamaad

dan Wali Songo. Keduanya tidak diragukan lagi karena kiblat bagi

kaum muslim Jawa. Melihat permulaan pendidikan Islam harus disertai

dengan pemahaman tentang motivasi yang melekat pada proses belajar

mengajar yang dilakukan kaum muslim sepanjang sejarah. Islam

merupakan salah satu agama yang menempatkan ilmu pengetahuan

pada status yang sangat istimewa. Sehingga Allah akan meninggikan

derajat mereka yang beriman diantara kaum muslim dan mereka yang

berilmu. Hal ini merupakan signifikansi bahwa wahyu pertama yang

diterima oleh Nabi dimulai dengan perintah “bacalah” (iqra’).4

Pendidikan pada sepanjang sejarah hayat ini memiliki nilai tinggi di

kalangan kaum muslim. Usaha mencari ilmu pengetahuan merupakan

kewajiban bagi setiap muslim, laki-laki danperempuan. Menurut Nabi

4 Abdurrahman mas’ud, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi


(Yogyakarta : LKIS, 2004), hlm.38

6
tinta para pelajar setara dengan syuhada’ di hari pembalasan

nanti.Nabi juga menjamin posisi mereka guru ataupun murid yang mau

mempelajari Al-Qur’an. Selama berabad-abad al-Qur’an dan hadits

telah menjadi kurikulum inti dalam pendidikan islam yang

memberikan kontribusi serta memperkaya peradaban komunitas

agamis. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ilmuan muslim yang

hidup sejak XVII dan sekarang.

2. Model

a) Muhammad: Model Paripurna

Di kalangan kaum muslim, Muhammad dikenal luas

sebagai seorang pendidik. Prof. Dr. James E. Royster dari

Cleveland State University telah melakukan riset intensif tentang

peran Muhammad sebagai seorang guru, teladan, dan sebagai

seorang manusia ideal, telah membahas kesan-kesan kaum muslim

terhadap Nabi mereka. Dia menyatakan bahwa mungkin tidak ada

seorang pun dalam sejarah manusia yang lebih banyak diikuti,

daripada nabinya kaum muslimin (Muhammad). Bagi Royster,

Muhammad telah mengajarkan kebenaran dengan ucapan dan

mengamalkan kebenaran itu dalam kehidupannya. Bahwa

Muhammad sebagai seorang guru bukan hanya masanya saja,

namun juga bagi seluruh kaum muslim pada masa sekarang.

Dengan kata lain guru itu adalah Muhammad dan muridnya adalah

kaum muslim di dunia Islam. Sementra Muhammad merupakan

seorang guru yang aktual bagi para sahabatnya. Dan bagi kaum

7
muslim lainnya beliau menjadi seorang imaginary educator.

Bagaimanapun, seluruh kaum muslim haruslah mempelajari satu

ajaran yang sama dari Al-qur’an dan Hadits yang menjadi

pegangan abadi dalam kehidupannya.

Pendidikan disini bukanlah pendidikan formal, akan

tetapi juga pendidikan yang fleksibel dalam usaha mengembangkan

mental-moral melalui ajaran Muhammad untuk perbaikan dan

peningkatan religius. Sebelum adanya masjid, rumahlah

menjadi salah satu tempat penyampaian ajaran islam. Rumah al-

Arqam pada masa permulan islam dijadikan sebagai pusat aktivitas

agama batu, dan disinilah Nabi menjelaskan doktrin-diktrin

keimanan, sehingga beberapa orang menyatakan memeluk agama

islam. Selain itu Nabi juga menyampaikan ajaranya dengan hikmah

dan anjuran yang baik.Dan Nabi secara konsisten berdo’a agar

Allah membimbingnya dan menjadikan ajarannya sebagai ajaran

yang mulia. Bahwa Nabi merupakan inspirasi bagi para muridnya,

sehingga mereka memiliki “kepercayaan guru” dan “harga diri”

dalam mengabdi kepada Allah dan meenegakkan kebenaran.

Gerakan sosial islam yang disebarkan Nabi bukan hanya

pendidikan normatif, melainkan gerakan sosial keagamaan yang

membawa kebahagiaan umat manusia. Dari deskripsi normatif dan

histori singkat, dapat disimpulkan bahwa Muhammad telah

mengedepankan keteladanan dalam beberapa hal yaitu diharuskan

memperoleh ilmu (thalab al-‘ilmi faridhotun ‘ala kulli muslimin

8
wa muslimatin) dan nabi telah mengangkat kemiskinan

melawan para konglomerat yang menindas dengan menekankan

tanggung jawab si kaya serta menyuarakan hak-hak si miskin.

b) Walisongo: Model Awal Jaya di Jawa

Di kalangan ini ilmuwan terdapat ketidaksepakatan

mengenai siapa yang memainkan peran utama dalam

memperkenalkan dan menyebarkan ajaran islam di kepulauan

Nusantara. Bahkan kapan islam masuk Nusantara masih menjadi

perdebatan. Beberapa ilmuwan, seperti Van Leur, yang

berpandangan bahwa para pedagang Arab-lah yang memiliki peran

penting dalam menyebarkan Islam di Indonesia, sementara

ilmuwan lainnya seperti Anthony Johns, menilai bahwa proses

Islamisasi tersebut lebih banyak dilakukan oleh agen-agen sufi.5

Walisongo merupakan agen-agen unik Jawa pada abad XV

dan XVI yang mampu memadukan aspek-aspek spiritual dan

sekular dalam menyiarkan Islam.Asal mula pesantren tidak bisa

dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad XV-XVI di

Jawa. Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam yang telah

berhasil mengombinasikan aspek-aspek sekular dan spiritual dalam

memperkenalkan Islam kepada masyarakat. Dan fakta ini

menunjukkan bahwa dengan cara menoleransi tradisi lokal serta

memodifikasikan ke dalam ajaran islam akan tetap bersandar pada

prinsip islam. Hal ini menarik diamati bahwa perubahan dalam

5 Abdurrahman mas’ud, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi


(Yogyakarta : LKIS, 2004), hlm.46

9
bentuk konversi Hindu-Budha ke islam terjadi pertama kali,

diantara masyarakat nelayan dan bukan kerajaan di pedalaman.

Pada abad XV para saudagar muslim telah mencapai

kemajuan pesat dalam usaha bisnis dan dakwah hingga mereka

memiliki jaringan di kota-kota bisnis. Komunitas ini dipelopori

oleh Walisongo dengan mendirikan masjid pertama di tanah

jawa.Dan berkaitan dengan konsep keteladanan, taqlid menjadi

bagian penting dari religiusitas para santri Jawa.Dan modeling

merupakan bagian penting filosofi Jawa yang sudah lama.dan

kekuatan modeling sejalan dengan sistem nilai Jawa yang

menganut paternalism dan hubungan patron-client yang memiliki

akar kuat daam masyarakat.6

Bahwa Wali dalam menyampaikan misinya diyakini

sebagai penerus Nabi secara fisik dalam peran serta sosial, untuk

memperkenalkan dan memecahkan masalah masyarakat. Hal ini

sejalan dengan prinsip-prinsip Walisongo dalam menjalankan

sunnah dan menciptakan model, yang diyakini menjadi pelopor

dalam penerapan syari’at dan menciptakan sebuah standar model.

Dan gerakan sufi dalam konteks Indonesia hampir identik dengan

terjadi di dunia Islam selama periode 500 tahun, sejak abad XIII

hingga XV sehingga dikatakan sebagai periode sufi dalam sejarah

Islam. Dan interaksi antara Sunisme dan Syi’isme memiliki

kontribusi yang sangat besar mengenai komunitas Islam yang unik

6 Abdurrahman mas’ud, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi


(Yogyakarta : LKIS, 2004), hlm.49

10
di wilayah.Dan sesungguhnya upaya Islamisasi yang telah

ditempuh oleh para Walisongo merupakan ekspresi “Islam

Kultural”. Sehingga pendidikan Islam atau tranmisi Islam yang

dipelopori Walisongo merupakan perjuangan blirian yang

diimplementasikan dengan cara sederhana.

Pendekatan dan kebijakan Walisongo terlembaga dalam

satu esensi budaya pesantren dengan ideologis dan

kesejahteraannya. Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan

filosofis dan keagamaan antara taqlid dan modeling bagi

masyarakat santri. Dan ajaran-ajaran Walisongo tidak dapat

dipisahkan dari ajaran dasar sufisme. Karena sufisme sebagai

elemen aktif dalam penyebarkan islam di Jawa. Sehingga

pendekatan-pendekatan walisongo di kemudian hari terinstitusi

dalam tradisi pesantren.

3. Muslim Santri di Jawa Abad XVII

Pada abad XVII dan XIX ajaran islam di jawa berada di bawah

bayang-bayang Walisongo dan bukanlah hal yang berlebih-lebihan.

Dan hampir lima abad setelah periode walisongo, pengaruh mereka

masih terlihat sampai sekarang. Kemenangan ini terjadi pada abad XV

dan XVI, setelah zaman kuwalen (periode perwalian). Pendekatan

walisongo secara berkesinambungan dilanjutkan melalui

institusionalisasi pesantren, kesalehan sebagai jalan hidup santri,

pemahaman yang jelas terhadap budaya asli. Pengaruh walisongo

dikuatkan oleh Sultan Agung yang merupakan seorang

11
pemimpin yang saleh, yang senantiasa menjaga hubungan baik

dengan kelompok ulama pada abad XVII seabad setelah periode

Walisongo, yang memerintah Kerajaan mataram di Yogyakarta, jawa

tengah dari tahun 1613 hingga 1613. Dan pada tahun 1641

memperoleh otorisasi baru “Sultan Abdullah Muhammad Maulana

Matarani” dari pemerintahan Syarif Mekkah setelah mengirim orang

utusan ke Mekkah untuk mengajukan permohonan gelar tersebut pada

tahun 1639. Dan agenda politik Sultan Agung adalah mempersatukan

kepulauan Indonesia di bawah bendera Islam.

Situasi yang sama juga terjadi pada permualaan dan akhir abad

XIX . Diponegoro (1785-1855) merupakan salah satu simbol lain

kaum mujahid (pejuang) Jawa atas perjuanagannya melawan kolonial

Belanda dalam perang Diponegoro (1825-1830). Dia memperoleh

dukungan yang luar biasa dari ulama Jawa beserta santrinya.7 Dan di

jawa khususnya Jawa Barat terjadi perlawanan yang serupa yaitu

pemberontakan sengit yang berkaitan erat dengan gerakan kaum sufi,

yang terlibat dalam pemberontakan ini adalah para haji dan kiai. Para

kiai memiliki otoritas untuk memberikan fatwa bahwa

mempertahankan Tanah Air adalah kewajiban bagi kaum mukmin.Dan

para kiai bukan saja kelompok yang berkewajiban merespons

tantangan-tantangan kaum kolonial.

Hasyim Asy’ari (1871-1947), kiai pesantren yang paling kuat di

kemudian hari, yang memperoleh kesempatan untuk mengikuti

7 Abdurrahman mas’ud, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi


(Yogyakarta : LKIS, 2004), hlm.64

12
perkuliahan khatib di Mekkah, dan diperkenalkan karya-karya

Muhammad Abduh (1849-1905), yang bukan untuk diikuti namun

sebaliknya untuk dikritisi. Bahwa Hasyim sangat menghargai tulisan

abduh tentang tafsir dan kumpulan karyanya yang mendorong bagi

kebangkitan dunia muslim. Dan para pelajar yang kembali dari Timur

Tengah paling tidak tampaknya ada dua jenis yaitu mereka yang

menentang ide-ide para reformasi muslim dan mereka yang

mendukung.

4. Para guru Intelektual Tradisi Pesantren

a) Nawawai al-Bantani (1813-1897)

Dilahirkan pada tahun 1230/1813 di banten Jawa Barat, dan

dibesarkan di lingkungan keluarga muslim. Nawawi dikenal

sebagai sosok ulama.Dia meninggal pada tahun 1314/1897 di

Makkah. Sejak kanak-kanak dia adalah pelajar yang aktif dan

serius untuk menghafalkan Al-Qur’an. Di umur 15

tahun, Nawawi belajar di Makkah dan tinggal selama 3 tahun. Di

Hijaz ia di didik oleh (Sayyid Ahmad bi Sayyid Abd Rahman an-

Nawawi, Sayyid Ahmad Dimyati, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan) di

Makkah, dan (Syaikh Muhammad Khatib Sambas al-Hanbali) di

Madinah.8 Selanjutanya Nawawi menimba ilmu ke Syria dan

Mesir. Tahun 1833 Nawawi pulang ke Jawa Barat dan tahun 1855

ia kembali dan menetap di tanah suci. Beberapa

situasi yang mendorong keberangkatan Nawawi ke

8 Abdurrahman mas’ud, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi


(Yogyakarta : LKIS, 2004), hlm.94

13
Makkah, karena periode ini diwarnai dengan intervensi

pemerintahan kolonial Belanda terhadap kehidupan sosio-religius

masyarakat Jawa dan munculnya jati-diri dan penghargaan di

kalangan penduduk yang “tertindas”. Banyak yang menyebutnya

sebagai seorang “hamba ilmu pengetahuan”. Perjalanan

intelektualnya ke Hijaz, ia yakin di pusat transisi ilmu pengetahuan

Islam merupakan segalanya, karena dengan mengajar dan menulis

banyak karya akan menjadikan namanya tetap termasyhur dan

senantiasa dikenang.

Status Nawawi sebagai Imam al-Haromain, yang telah

mengajar di Makkah maupun Madinah sejak tahun 1860-an.

Julukan ini bisa ditemukan dalam halaman sampul karyanya yang

popular, dua volume besar Tafsir Marah Labid tentang tafsir Al-

Qur’an. Kitab-kitab yang ia tulis dipahami oleh para pelajar

Indonesia dari beberapa tempat. Karya dan bukunya memandang

bahwa Nawawi sebagai seorang pahlawan Muslim Jawa pada abad

XIX di Arab.Ketika dia mengajar khususnya di Ma’had Nasyr al-

Ma’arif ad-Diniyah di Masjidil Haram, Nawawi dikenal sebagai

guru yang simpatik, yang menyampaikan pelajarannya secara jelas

dan mendalam, dan komunikatif dengan murid-muridnya.Dan yang

jelas Nawawai merupakan guru yang “demokratis”.Nawawi

memiliki pengaruh besar terhadap murid-muridnya. Diantara

mereka yang berasal dari Indonesia:9 (1) K.H Hasyim Asy’ari,

9 Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara : Jejak Intelektual Arsitektur


Pesantren, (Jakarta : Kencana, 2006) hlm.124

14
Tebuireng, Jombang, Jawa Timur (Pendiri Nahdatul

Ulama’), (2) K.H Khalil Bangkalan, Madura, Jawa Timur, (3) K.H

Ilyas, Serang Banten, Jawa Barat, (4) K.H Tubagus Muhammad

Asanawi, Ciparing, Jawa Barat

Selain peran Nawawai sebagai seorang guru, ia juga banyak

mengarang sebuah karya yang cukup banyak, diantara karya yang

telah ia tulis paling tidak tentang bidang ilmu pengetahuan yaitu :10

a. Bidang Tafsir

Salah satu karya Nawawi yang sangat dikagumi oleh ulama

di Makkah dan Mesir adalah Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil,

atau judul lain, Marah Labid an-Nawawi. Karena prestasi di bidang

tafsir, ulama menganugerahkan kepadanya gelar Sayyid ulama’ al-

Hijaz. Nawawi mewakili orang non-Arab yang menulis karya

tafsirnya dalam bahasa Arab yang sangat indah. Terdapat

perbedaan antara Nawawi dan Muhammad Abduh yaitu:

 NAWAWI : Dipengaruhi oleh pemikir para ulama’ sunni

abad pertengahan, lebih bersandar pada Al-Qur’an, hadis,

pendapat para sahabat, dan ulama Salaf terpercaya, ibarat

Ghazali abad XIX dalam masyarakat Jawa, dalam

menafsiri hidayah, Abduh menganggap hidayah sebagai

anugerah istimewa dari Tuhan dalam wujud keyakinan dan

addin al-haqq (agama yang benar). Hidayah dan taufiq

(anugerah tuhan) adalah sunnah ar-Rabb (Ciptaan Tuhan)

10
Abdurrahman mas’ud, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi
(Yogyakarta : LKIS, 2004), hlm.128-155

15
dan bersifat qadim di alam, pemikiran Nawawi lebih

interpretif terhadap “Pertanyaan teo-sentris”

 MUHAMMAD ABDUH : Dipengaruhi oleh para pemikir

mu’tazilah, Lebih mengembangkan kekuatan analitis, ibarat

Ibnu Rusyd yang lebih mengedepankan akal daripada

wahyu, dalam menafsiri hidayah, Abduh menyebutnya

hidayah al-‘aql ini mampu mengoreksi kekeliruan inderawi

dan tendensi-tendensi melalui akal, Pemikiran Abduh lebih

mendetail dalam isu-isu “Antropologi”

Kontribusi utama Nawawi dalam bidang tafsir adalah

bahwa dia telah menulis sebuah tafsir ketika dunia Islam tidak

menunjukkan adanya tanda-tanda munculnya revitalisasi tradisi

klasik islam. Nawawi menulis tafsir dengan pengakuan bahwa dia

mengerjakan karya sederhana ini untuk menunjukakn kesalehan

ulama salaf dalam memelihara ilmu pengetahuan agar setiap orang

dapat memperoleh manfaat dirinya. Kekhasan karya Nawawi

terletak pada perhatian khususnya pada nilai pentingnya pengetah

uan. Sebagai contoh dalam menafsirkan induk Al-Qur’an (surat al-

Fatihah) dia menjelaskan bahwa surat ini memuat paling tidak

empat bidang ilmu pengetahuan yaitu Pertama, Tauhid, Keesaan

Tuhan, atau Teologi. Kedua, hukum Islam dengan ibadah sebagai

bagian terpenting. Ketiga, kesempurnaan ilmu yang sejalan dengan

moralitas Islam. Keempat, sejauh atau kisah berbagai bangsa

16
bangsa dari pada masa lampau. Selain itu segi penting lain

dari kitab tafsir dalam karya Nawawi adalah penekananya terhadap

kesalehan dengan menyampaikan ajaran akidah (keimanan) dan

keyakinan kepada Tuhan dan petunjuknya. Dan tersedia cukup

banyak dan komprehensif informasi tentang asbab an-nuzul dan

banyak yang tidak menyangka Nawawi mempunyai background

kuat dalam sastra dan tata bahasa Arab.11

b. Bidang Sufisme dan Akhlak

Berkenaan dengan tema-tema sufisme Nawawi di dalam

karya-karyanya, ia tidak bisa melupakan Syaikh Khatib Sambas (

Ahmad Khatib as-Sambasi) sebagai guru Nawawi. Hal ini adanya

keterkaitan intelektual dan spiritual antara guru dan murid dalam

transmisi keislaman selalu menjadi sesuatu yang sangat penting.

Nawawi sebagai penganut sufisme Ghazali, dia menyarankan

kepada masyarakat untuk mengikuti salah satu imam tasawuf,

seperti Imam Sa’id bin Muhammad Abu al-Qasim al-Junaid.

Baginya ia adalah pangeran sufisme dalam arti teoretis maupun

praktis. Gaya hidup sufi yang “populer” berupa kesalehan dan

kesederhanaan tanpa menentang secara ekstrim kehidupan dunia

merupakan ciri khas ajaran sufisme. Hal itu lebih cocok dengan

dua kehidupan dan dua dimensi yang saling melengkapi: syari’at

dan sufisme.

11
Abdurrahman mas’ud, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi
(Yogyakarta : LKIS, 2004), hlm.113

17
Nawawi menulis tentang sufisme bukannya tanpa misi,

namum mempunyai tujuan tertentu yaitu ditujukan bagi

kemanfaatan umat muslim, bagi kehidupannya di akhiratnya kelak.

Dan melalui karya-karyanya dia mengharapkan bahwa kaum

Muslim akan memperoleh hikmah ilmu pengetahuan Islam dalam

rangka mempelajari dan mengamalkan kebajikan, sehingga

senantiasa dibimbing oleh prinsip-prinsip Islam. Pada akhir abad

XIX di Jawa terlihat adanya kemajuan sufisme “populer”,

khususnya Qadariyah-Naqsyabandiyah. Hal ini Nawawi juga

dianggap sebagai guru di Hijaz melalui ajaran-ajaran aktualnya

dalam masyarakat serta melalui karya-karyanya yaqng

dipublikasikan paling tidak telah memberikan konstribusi bagi

pertumbuhan sufisme di kalangan masyarakat Jawa.

Nawawi menggunakan metafora mengenai syari’ah ibarat

kapal, thariqah ibarat laut, dan haqiqah ibarat permata.Yang

disebut terakhir, permata, berada di dalam laut, sementara

kedalaman laut dapat dicapai dengan menggunakan kapal.Tidak

ada keraguan, perbaikan spiritualisme yang sering kali didukung

dengan teladan praktik-praktik kebaikan yang diambil dari salaf

ash-shahih merupakan ciri utama dari sufisme Nawawi.Nawawi

juga membahas tentang individu sebagai bagian dari masyarakat

yang merupakan pusat interaksi sosial. Dengan kata lain, bahwa

antara haqq Allah dengan haqq al-adami seharusnya memperoleh

penghargaan yang sebanding. Sehingga dapat disimpulakan bahwa

18
Nawawi adalah seorang sufi yang teoritis maupu praktis.

c. Bidang Hukum Islam

Tidak ada seseorang yang menyangka bahwa Nawawi

adalah orang ulama Syafi’i.Dia merupakan tokoh penting penjaga

ajaran Syafi’i di kalangan kaum Muslim Jawa.Dan Nawawi sangat

bersahaja dalam memperkenalkan karya-karyanya dengan

menyatakan bahwa hasil karyanya tidaklah berarti namun hanya

merupakan kutipan dari beberapa penulis.Bagi Nawawi menjadi

seorang penganut Syafi’i bukanlah tanpa alasan. Madzhab Syafi’i

dikenal lebih terpercaya, Abu Hanifah lebih massive, sedangkan

Ahmad bin Hambali dipandang lebih saleh. Lebih dari itu Madzhab

Syafi’i bagaikan mutiara yang memancarkan dan menjulang dalam

sebuah kehidupan yang bahagia. Hal ini bertaqlid terdapat dalam

Al-Qur’an surat An-Nahl (16):43 dan surat Al-Anbiya’ (21):7.12

Menjadi muqallid dan mujtahid merupakan satu diantara isu

-isu yang sensitif dan kontroversi pada abad XIX.Hal ini Nawawi

meninggalkan sebuah prinsip yang amat penting yakni menjadi

muqallid yang terus melakukan kajian dan kritis.Nawawi

mempunyai pandangan yang berbeda tentang ziarah kubur.Nawawi

tidak menentang aktivitas ini, namun menganjurkan kaum Muslim

untuk memberikan penghormatan khusus ketika berada di makan

Nabi.Hal ini tidak hanya terhadap Nabi, tetapi juga terhadap para

sahabat.Khususnya kepada Abu Bakar dan Umar, yang

12
Abdurrahman mas’ud, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi
(Yogyakarta : LKIS, 2004), hlm.121

19
dimakamkan di samping makam Nabi.Sejalan dengan ide itu, ide

tentang tawasul diperbolehkan.Yakni sebuah aktivitas menyebut

Nama Nabi ketika seseorang berdoa di waktu sholat. Dengan

demikian, menurut Nawawi ziarah kubur dipandang sebagai bagian

dari sunnah Nabi.

Bagi Nawawi, fiqh adalah jenis ilmu pengetahuan Islam

yang sangat signifikan, karena tak seorang pun bisa berkomunikasi

dengan Tuhan dalam ibadah ritual jika ilmu ini tidak dipelajari

dengan sungguh-sungguh. Nawawi menghasilkan beberapa karya

tentang fiqh, salah satunya Syarh ‘Uqud al-Lujain

yang merupakan karya yang paling populer di kalangan santri,

karena berkaitan konsep-konsep dasar tentang kehidupan sehari-

hari, ynag berkaitan tentang kehidupan suami istri.Selain itu juga

terdapat kitab-kitab lain yang cukup penting adalah Syarh Sullam

al-Munajah, Nihayah az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in, Tausih ‘ala

Fath al-Qarib, dan Sullam an-Taufiq. Kitab-kitab ini dipandang

sebagai karya-karya standar ulama syafi’i yang memuat

permasalahan praktis dan perilaku keseharian.Sehingga ini menjadi

sebuah alasan utama mengapa fiqh menjadi pelajaran yang populer

di kalangan santri pada abad XIX dan selanjutnya.

d. Mahfuz at-Tirmisi (1338-1919)

Mahfud dilahirkan di Tremas, Pacitan Jawa Timur pada tanggal 12

Jumadil Ula 1258/1868.Ketika ayahnya berada di Makkah.Ibu dan

20
pamannya mahfuz yang memperkenalkan nilai-nilai dan praktik

keagamaan kepadanya. Dan di Jawa ia belajar membaca Al-Qur’an

serta ilmu agama tingkat dasar. Mahfuz mampu menghafal Al-Qur’an

sebelum dia dewasa. Pada tahun 1291/1874, Saat ia berumur 6 tahun

ayahnya membawanya ke Makkah. Disana ayahnya memperkenalkan

beberapa kitab penting kepadanya.Mahfuz memberi sebutan ayahnya

sebagai murabbi’ waruhi (pendidikanku dan jiwaku). Pada akhir tahun

1870-an, ia dan ayahnya kembali ke Jawa dan mengirimkannya kepada

seorang ‘alim Jawa kenamaan, Kiai Saleh Darat untuk belajar di

pesantrennya Semarang, Jawa Tengah. Dan ayahnya meninggal dunia

di Makkah dan dimakamkan di Ma’la di dekat makam khadijah.

Reputasi jawa Mahfud dipandang lebih besar daripada Nawawi al-

Bantani, hal ini agak aneh karena buku-bukunya Nawawi lebih popular

dan ada di mana-mana.Karya-karya Mahfud lebih memiliki daya tarik

di kalangan mayoritas santri dikarenakan mereka mengkonsentrasikan

diri pada bidang ‘ilm al-Hadits, yang menjadi perhatian santri-santri

pilihan saja.Sedangkan karya Nawawi dibaca oleh semua orang.Hal ini

alasan mengapa Mahfuz lebih terkenal, karena pesantren di Tremas

berusia lebih tua dan lebih prestisius daripada pesantren Nawawi di

Banten. Dan faktor lain juga memberikan kontribusi bagi kebesaran

reputasinya, yakni spesialisasinya dalam ilmu pengetahuan yang jarang

dikuasai oleh pakar-pakar pada masanya. Mahfuz dipandang sebagai al

-Bukhari abad XIX, karena Al-Bukhari merupakan model favorit bagi

Mahfuz bahwa dia merupakan the last link al-Bukhari pada akhir abad

21
XIX adalah sangat dimungkinkn karena al-Bukhari adalan imaginary

teacher-nya.Sebagaiamana di akhir isnad (rangkaian penyampaian

hadits) dimana dia adalah salah satu seorang musnid terkemuka,

Mahfuz memperoleh ijazah yang merujuk kepada kolektor hadits

terkemuka imam al-Bukhari.Ijazah ini turun dari al-Bukhari hingga 23

generasi yang kemudian sampai ke tangan mahfuz.

Guru-guru penting mahfuz selama ia belajar yang pertama adalah

K.H Abd Allah ayah Mahfuz, Syaikh Saleh Darat atau Muhammad

Saleh bin Umar as-Samarani, Muhammad al-Munsyawi, dan yang

terakhir yang tak kalah penting adalah Sayyid Abu Bakr bin Sayyid

Muhammad Shata, ia merupakan guru paling berpengaruh yang telah

membentuk kepribadian dana masa depan mahfuz. Mahfuz lebih

memilih ilmu hadits daripada ilmu lainnya, karena dia menganggap

bahwa para ahli dari berbagai disiplin yang memandang bahwa disiplin

ilmunya-lah yang paling baik. Para mufassir memandang bahwa

supremasi ilmu Al-Qur’an berada pada posisi sentral, dimana semua

cabang ilmu merujuk kepadanya, dan Mahfuz berkesimpulan bahwa

“ilm al atsar” atau ilmu hadits merupakan ilmu secara mutlak paling

penting dari semuanya.

Jaringan Mahfuz dengan ulama pesantren sedemikian signifikan,

sehingga membawanya pada posisi tertinggi dalam tradisi

pesantren.Hal ini terdapat pertimbangan seperti halnya posisinya

sebagai seorang guru hadis kenamaa yang berbeda dengan ulama

semasanya dan watak tranmisi hadis yang sejalan dengan tradisi

22
pesantren. Dan telah diakui bahwa kepribadian Mahfuz dan

kualitasnya dalam mengajar dan menulis sangatlah luas, sehingga tidak

bisa diremehkan

5. Para Ahli Strategi Pesantren

a. Khalil Bangkalan (1819-1925)

Muhammad Khalil lahir di Bangkalan, Madura pada hari Selasa,

11 Jumadil Akhir 1235 H. Dan meninggal pada tanggal 29 Ramadhan

1343 H. Ayahnya berdo’a kelak dia bisa menjadi wali kenamaan seperti

halnya Sunan Gunung Jati. Karena terdapat garis keturunan dari sunan

Gunung jati, dan di sisi lain adanya tendensi umum di dalam komunitas

pesantren bahwa walisongo merupakan model bagi mereka. Dengan

semangat belajar, khalil di kenal sebagai seorang pakar tata bahasa Arab

dan juga seorang wali. Keahlian dalam bidang tata bahasa Arab menarik

para santri lain yang antusias untuk menguasai ilmu tersebut pada

masanya. Pada dasarnya seorang santri sangatlah diperlukan dalam

penguasaan dalam ilmu nahwu, sebab dengan ilmu mereka akan mampu

membaca dan memahami kitab kuning secara cepat.

Pada tahun 1860 Khalil menikmati atmosfer akademik di

Mekkah untuk pertama kalinya. Proses belajar dilakukan di sebuah

majelis terbuka dan halaqoh di masjidil Haram. Masjid ini digunakan

untuk ibadah serta keperluan tranmisi intektual. Dan salah satu hal

signifikan yang bisa dicatat bahwa Khalil lebih tertarik pada sufi, tata

bahasa, dan fikih dibawah guru utamanya yaitu Nawawi al-Bantani dan

Syekh Abd.al-Karim. Dan setelah kembali dari mekkah, Khalil menjadi

pengasuh Pesantren Kademangan di Bangkalan Madura. Dan Khalil

merupakan kiai pesantren yang karismatik pada akhir XIX dan

23
seperempat pertama abad XX. Dan di Jawa, dia memiliki reputasi sebagai

guru tarekat.

Pesantren-pesantren dan NU memiliki kesamaan latar belakang

historis. NU tidak akan pernah lahir, apabila pendiri NU khususnya

Hasyim Asy’ari mendapatkan persetujuan dari Khalil mendirikan

organisasi baru. Hingga Hasyim melakukan istikharah berkali-kali untuk

mengetahui apakah mendirikan NU sesuai untuk masa mendatang.

Setelah istikharah tidak membuahkan hasil dan Hasyim merasa ragu,

sehingga Hasyim meminta pendapat kepada gurunya, Khalil, yang

diyakini bisa mengetahui apa yang tidak bisa dilihat orang lain di masa

depan melalui pengetahuan spiritualnya atau dalam bahasa jawa disebut

dengan weruh sak durunge winara (mengetahui sesuatu yang belum

terjadi). Dan ia mengutus As’ad untuk memberikan tongkat dan tasbih

serta amalan-amalan kepada Hasyim. Dan Hasyim menganggap pesan

terakhir ini sebagai persetujuan dan dukungan penuh untuk mendirikan

organisasi ulama ini.Namun Khalil tidak berkesempatan untuk

menyaksikan kelahiran organisasi ini, yang didirikan pada tahun

1926.Hal ini apabila organisasi tersebut tidak bertentangan dengan ajaran

tauhid, praktik-praktik tersebut tidak perlu dihilangkan, karena bagi

khalil dan para santri, tradisi lebih memberikan manfaat dari pada bahaya

atau kerugian.Solidaritas, kebersamaan, serta saling menghormati adalah

beberapa nilai yang diterapkan di dalam masyarakat.

Khalil merupakan seorang yang faqih yang mendalami dan

mengajarkan berbagai kitab kuning dalam bidang fikih.Hal ini

ditunjukkan adanya dua karya yang cukup signifikan mengenai Fikih

nikah, tata bahasa, dan disamping itu sufisme melalui praktek-praktek

24
nyata dalam keseharian. Khalil mengkhususkan menulis fikih tentang

pernikahan dan bukan pada masalah-masalah lain. Dan hal ini Khalil

layak untuk mendapatkan penghargaan, karena dia telah menjadi perintis

yang telah membuka satu jenis pendekatan baru yaitu pendekatan

tematik. Karyanya tentang pernikahan sangat populer dalam komunitas

dan hingga sekarang masih digunakan dalam acara upacara

pernikahan.Dan hal ini kepribadiannya Khalil lebih kuat pengaruhnya

daripada ajaran-ajarannya mengenai tulisan dan karyanya tentang

penampilan pidato yang lebih berkesan di kalangan santri. Terlihat dalam

ajarannya yaitu unzur ma qala wa la tanzur man qala (lihatlah apa yang

disampaikan seseorang, dan janganlah melihat siapa yang

menyampaikan).

Sebagai seorang guru yang unik Khalil melakukan cara

pendekatan terhadap murid-muridnya dengan mempengaruhi pengalaman

pribadinya yang unik, dengan ditempa dari berbagai cerita, seperti halnya

tradisi pesantren yang tidak pernah lepas dari cerita-cerita. Hal ini

didukung bahwa hidup dalam kesederhanaan menjadi ciri lain dari

pesantren salaf dan selalu ditekankan oleh komunitas pesantren. Dan tipe

ajarannya dicirikan dengan informalitas proses pendidikan sebagaimana

pengalamannya ketika dia menjadi seorang santri yang merupakan ciri

esensial pendidikan pesantren itu sendiri.

b. R Asnawi Kudus (1861-1950)

K.H.R Asnawi dilahirkan di Damaran, pada tahun

1281H/1864M dan meninggal pada tahun 1959.Da memiliki

julukan K.H.R atau Kiai Haji Raden, dimana yang terkhir ini

menunjukkan garis keturunan keluarga aristokrat.Dia adalah

25
keturunan ke-14 Sunan Kudus dari garis H.Mutamakin,

yang merupakan seorang wali terkenal yang hidup pada masa

Sultan Agung Mataram pada paruh pertama abad XVII.Asnawi

memperoleh pendidikan awalnya dari sang ayah, H. Abdullah

Husnin. Dan Al-Qur’an merupakan pelajaran utama yang dia

pelajari dari ayahnya.Ketika berumur 15 tahun, dia dikirim ke

sebuah pesantren Tulungagung, Jawa Timur.Dan sebelum

tinggal di Mekkah dia menemui gurunya yang lain, yaitu Kiai

Haji Irsyad, di Mayong Jepara.Dan dia ingin mengasingkan diri

ke Gunung Patiayam untuk bertapa.Setelah melalakukan

Ibadah haji tahun 1889 dan 1894, dan tinggal selama 22 tahun

di Mekkah.13Dan Asnawi dianggap pelajar jawa yang kritis da

sukses, dan tidak diragukan lagi bahwa hubungan guru-murid

dalam tradisi pesantren berjalan sangat kuat dan tidak pernah

berakhir.Sehingg puisi Asnawi dalam do’a an-nikah secara

antusias digunakan oleh murid-muridnya.

Asnawi juga termasuk pendiri NU yang jarang diketahui

oleh anggota NU itu sendiri, dan bahkan ia aktif dalam

menghadiri muktamar NU di berbagai daerah sebanyak puluh

kali. Hal ini bagi para santri kudus, Asnawi dikenang sebagai

peletak dasar sunnisme melawan ide-ide modernisme.Namun

Asnawi tidak meninggalkan banyak karya, namun beberapa

kitabnya sangat signifikan dan populer di kalangan pelajar di

13
Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara : Jejak Intelektual Arsitektur
Pesantren, (Jakarta : Kencana, 2006) hlm.124

26
Jawa, khususnya para pemula. Karyanya meliputi fashalatan (1954), jawab

soalipun Mu’taqad yang lebih populer dengan nama Mu’taqad Seked, Syari’at

Islam tentang fikih dan terjemahan Jurumiyah tentang tata bahasa Arab. Ciri-ciri

tulisannya adalah menggunakan bahasa lokal dengan persuasi dan otoritas.

Setelah diperkaya pengalaman belajar dan mengajar di jawa

maupun Hijaz, Asnawi memutuskan untuk menjadi seorang

Da’i. Dia melakukan kegiatan dakwah islamiah, baik di

dalam maupun di luar kota kudus. Salah satunya adalah

melakukan sholat subuh di berbagai masjid di Kudus. Hal ini

merupakan cara Asnawi menganjurkan shalat berjama’ah.

Asnawi juga memandang shalat tidak saja lebih religius, tetapi

juga memiliki arti penting bagi kemaslahatan sosial dan

ekonomi. Bahwa sholat jama’ah sendiri merupakan intergrasi

antara kesalehan dengan komunitas yang taat hukum. Dan

selain itu Asnawi juga menekankan arti penting ibadah formal

sebagai sarana efektif menjalin komunikasi dengan sang

pencipta.

Pada abad XIX muncul para guru intelektual tradisi

pesantren seperti Nawawi dan At-Tirmisi, yang

memperkenalkan dan mempopulerkan pemikiran-pemikiran

ulama Sunni masa pertengahan.Dan pada abad XX, dalam

dunia pesantren lahir para pemimpin aktual seperti Hasyim

Asy’ari, Wahab Hasbullah, dan Asnawi. Dakwah Asnawi dapat

dikelompokkan dalam da’wah bi al-maqal wa bi al-hal

27
(dakwah dengan perkataan dan perbuatan). Dengan gaya

berbicara secara langsung, korektif, keras dan persuasif.

Asnawi juga seorang kiai yang “fikih minded” idenya berubah

waktu ke waktu dan lebih menyesuaikan diri dengan

perubahan.

Masyarakat kudus dan sekitarnya sangat patuh dan taat

terhadap nasehat asnawi dalam setiap dakwahnya. Dan yang

berhasil lagi adalah upayanya mengembangkan dua kelompok

majelis ta’lim atau pengajuan yang cukup popular yaitu

pengajian pitulasan dan pengajian sanganan. Asnawi

merupakan seorang seniman yang menyusun banyak puisi

berbahasa Arab dan Jawa. Dan untuk melembagakan

dakwahnya Asnawi mendirikan pesantren di Bendan Kudus

pada tahun 1927 dan madrasah Qudsiyah Kudus pada tahun

1919 dan keduanya masih eksis hingga saat ini. Karismatik

Asnawi semakin kuat setelah ia kembali dari Mekkah, dengan

bekal ilmu-ilmu keagamaan yang semakin dalam, dan

pengalaman berorganisasi yang tidak di dapat oleh para kiai

lainnya. Dan menurut putranya bahwa Asnawi

menyembunyikan beberapa do’a rahasia yang hanya boleh

digunakan oleh beberapa orang tertentu dengan sebuah ijazah

.Dari buku Asnawi dijelaskan bahwa ijazah memainkan peran

yang sangat penting dalam metode pengajaran

Asnawi.Setidaknya terdapat dua jenis ijazah yaitu tulisan dan

28
lisan.Dalam konteks ini dua hal berpadu tradisi intelektual

pesantren, yakni hafalan dan ijazah. Bagi Asnawi, dakwah

Islamiyah yang juga merupakan ajaran islam menjadi suatu

misi sekaligus hobi. Asnawi mendasarkan dakwahnya sebagai

dasar atas prinsip fikih yakni al-Mashlahah al-mursalah,

kemanfaatan bagi masyarakat adalah lebih diutamakan.

c. Hasyim Asyari (1871-1947)

Lahir pada bulan Februari 1287 H/11871 M di Gedang

Jombang, Jawa Timur.Hasyim menghabiskan sebagaia masa

kecilnya di lingkungan santri.Ayahmya, Kiai Asy’ari berasal

dari Demak, Jawa Tengah, memiliki pesantren yang

besar.Hasyim dilahirkan di Pesantren Gedang selama 14 bulan

hasyim berada di dalam kandungan ibunya. Bakat

kepemimpinan yang dimilikinya terlihat ketika ia sebagai

penengah ketika ia bermain dengan teman-temannya. Hasyim

mengenayam pendidikan pesantren sejak usia dini. Di usia 15

tahun, ayahnya memberikan dasar-dasar islam, khusunya

membaca dan menghafal Al-Qur’an. Dan dia suka

mengembara ke berbagai pesantren.Ahkhirnya pada tahun

1891 Hasyim tiba di pesantren Siwalan Pandji Sidoharjo yang

diasuh oleh Kiai Ya’qub Siwalan.Sang kiai menawarkan

anaknya khadijah kepada Hasyim, dan kemudian dinikahi

tahun 1892.Pada tahun yang sama, impian Hasyim untuk

pergi ke Mekkah, baik untuk menunaikan ibadah haji maupun

belajar, menjadi kenyataan. Dan pada tahun 1893 dia

29
kembali bersama adiknya.Di Mekkah Hasyim belajar fikih,

tauhid, tafsir, tasawuf, dan ilm alah. Hal ini dia lebih tertarik

pada ilmu hadis yaitu hadis bukhari dan muslim. Latar

belakang pendidikan pesantren Hasyim yang cukup kuat

menjadikannya mudah untuk berpartisipasi dalam aktivitas

intelektual di Hijaz.

Sepulang dari Mekkah pada tahun 1899, Hasyim

memutuskan untuk membangun sebuah cabang pesantren

baru yaitu di daerah tebuireng pada tahun 1899.Hal ini

keputusan Hasyim untuk mendirikan pesantren baru ini

bukanlah tanpa maksud.Dia mempunyai tujuan untuk

menyampaikan dan mengamalkan ilmu yang telah diperoleh

sejauh ini, dan menggunakan pesantren sebagai sebuah agent

sociael of change.Berdasarkan tujuannya ini dia dijuluki

sebagai seorang “ahli strategi” dengan maksud dia

berkeinginan mengubah struktur masyarakat. Dia yakin

bahwa kebiasaan pesantren merupakan sebuah cerminan

budaya islam dengan continuity and change-nya yang brasal

dari intelektual dan kultural kaum muslim Jawa masa awal,

khususnya walisongo. Hasyim adalah seorang tokoh sentral

dalam komunitas pesantren, dan Hasyim bukan hanya seorang

ahli dalam hal ide, namun juga cakap dalam

melaksanakannya, dengan cara yang sistematis. Dengan

menunjukkan kepada masyarakat model kehidupan nabi yang

harus dicontoh oleh setiap muslim dengan cara memberikan

30
nasehat dan bimbingan daripada mengambil jalan kekerasan,

maka semua itu ditiru oleh Hasyim sebagai seorang pendidik

yang memahami betul budaya dan psikologi komunitasnya.

Karena kemajuan besar yang diciptakan oleh pesantren

Hasyim, Pemerintahan Belanda akhirnya memberikan

penghargaan kepadanya sebuah lencana emas dan perunggu

pada tahum 1937.

Keberadaan tradisi sufi ditunjukkan dengan berdirinya

Sunni di Jawa munculnya gerekan Wahabi. Sejalan dengan

perkembangan ini, abad XIX di Jawa merupakan sebuah

periode transisi dan dialog kritis antara kaum tradisional yang

diwakili oleh kelompok sufi dan santri muslim pada umumnya

dan kaum modernis. Hasyim adalah kiai khas di jawa yang

berupaya melakukan sintesis tradisi local dengan elemen-

elemen islam, namun dia memandang bahwa prinsip-prinsip

Islam tidaklah bertentangan dengan praktik-praktik local

sepanjang perpaduannya memiliki landasan dan tujuan

religious. Kemunculan NU sebagaimana sebuah organisasi

religious dan sosial harus dilihat sebagai proses panjang yang

dipacu oleh ulama jawa, dan tidak dipisahkan dari dimensi

pemikiran dan perjuangan sebagaimana tersebut di atas.

Kelahirannya di tangan Asy’ari boleh jadi didasarkan atas

risistensi ideologi, yakni kepedulian yang mendalam dari

komunitas pesantren terhadap tantangan sosioreligius dan ide

-ide politik pada level mikro maupun makro. Pertarungan

religious ini menjadi tantangan bagi ulama Jawa dan

31
memberikan inspirasi kepada mereka untuk menyatukan

kekuatan mereka dengan melembagakannya dalam sebuah

organisasi formal yang dinamai NU.Organisasi ini di bawah

kepemimpinan Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah.

Latar belakang ideologis kelahiran NU tetap menjadi titik

tekan, yakni untuk mempertahankan serta melindungi

Sunnisme melawan setiap serangan.Sebagaimana Hasyim

secara historis NU tetap konsisten melawan kaum colonial.NU

merupakan Sebuah pesantren besar dan manisfestasi dari

komunitas pesantren yang terorganisir, karena organisasi ini

bermaksud sosioreligius maupun politik komunitas pesantren.

Bahwa kelahiran NU di pesantren Tebuireng dengan secara

aklamasi memilih Hasyim sebagai ra’is am pertama NU sejak

tahun 1926 hingga wafat tahun 1947, merupakan indikasi lain

hubungan mutual ini.

Dalam komunitas pesantren, sunnisme atau Ahl usunnah

wal jama’ah lebih popular dengan nama Aswaja dalam

komunitas pesantren. Konsep Aswaja ini bisa dilihat dalam

anggaran dasar pertama NU dan peraturan-peraturan yang

disusun pada tahun 1930-an. Sejak aswaja menjadi ideologi

dan tujuan dari perkumpulan ini, bisa dikatakan bahwa NU

pada dasarnya mendukung dan melembagakan watak dasar

santri Jawa, yang mengacu kepada pemikiran Syafi’I Asy’Ari

dan Ghazali.Jenis Aswaja ini dipahami oleh NU menekankan

arti penting tasamuh (toleransi).Prinsip-primsip hasyim

32
tentang tarekat benar-benar telah membuka perselisihan

baru di kalangan pemimpin tarekat.Hasyim sebagai seorang

ahli strategi dan sebagai pemimpin “jalan tengah”

menjembatani kedua kubu. Fatwa Hasyim ini diyakini telah

mengilhami para santri dalam meningkatkan perlawanan

mereka terhadap kaum kolonial, setelah pasukan sekutu

berhasil memaksa jepang keluar dari jawa pada tahun

1945.Dan disimpulkan bahwa Hasyim merupakan orang yang

paling berpengaruh dalam komunitas pesantren dikarenakan

oleh kondisi tertentu.Dengan begitu bahwa “ilmu pengetauan

adalah kekuatan” dimana sudah dipakai sebagai pendekatan

untuk memahami masyarakat secara lebih baik.Karena

pertalian simbolis, terkadang mereka sulit membedakan

antara NU dan pesantren karena keduanya didirikan oleh

orang yang sama. Namun pandangan ini bahwa NU merupakan

sebuah pesantren besar yang sangat tepat.Bahwa NU maupun

pesantren dirancang untuk melembagakan ide-ide dia dan

santrinya dalam arti luas.

F. Sumbangan Dalam Keilmuan

Dari pemikiran Abdurrahman Mas’ud yang juga merupakan

rujukan utama dalam makalah ini, memberikan beberapa kontribusi pada

ilmu keagamaan yaitu latar belakang historis dan metode sosio-religius

dalam masyarakat, ini merupakan sebuah pemikiran tematik mengenai

social, cultural, dan ideology menyangkut penghargaan islam terhadap

suatu ilmu pengetahuan yang sedang dikaji. Metode ini bisa dikatakan

33
jalan untuk membuktikan kaum muslim jawa yang diwakili oleh santri

percaya bahwa wilayah sosio-kultural dalam manifestasinya harus selalu

menjadi bagian dari inti ajaran islam.

Bahkan pendekatan dan kearifan tokoh terdahulu pada masa-masa

berikutnya dijadikan sebagai kelembagaan tradisi pesantren dengan

kesatuan historis dan ideology mereka. Sehingga sebagai suatu lembaga

pendidikan pesantren menjadi sangat potensial dan memiliki arti istimewa.

G. Kesimpulan
Upaya untuk menggambarkan lima figure utama komunitas

pesantren dengan memperkenalkan riwayat hidup, termasuk latar belakang

historis, peran sosio-religius dalam masyarakat, dan visi-visinya dengan

pemikiran tematik telah dibahas secara instensif. Sejalan dengan apa yang

ditunjukkan pada abad XV hingga XVI di jawa oleh Walisongo, yang

dengan fleksibel telah mencampur elemen-elemen local maupun asing

namun masih tetap mempertahankan prinsip-prinsip Islam. Dan

pendekatan dan kearifan walisongo pada masa berikutnya diikutkan dalam

kelembagakan dalam inti sari tradisi pesantren dengan rangkaian kesatuan

historis dan ideologis.Pesantren sebagai lembaga pendidikan menjadi

sngat potensial dan memiliki arti yang sangat istimewa.

Dengan landasan pengamatan yang serius terhadap sosok individual yang

telah membentuk tradisi pesantren, maka karakterisstik dan tipologi dari

beberapa figure dapat disimpulkan bahwa:

Ulama encyclopedic dan multidisipliner yang mengkonsentrasikan

diri daalam dunia ilmu, belajar, mengajar, dan menulis, menghasilkan

34
banyak kitab yaitu Nawawi al-Bantani;

Ahli dengan satu spesialisasi di bidang ilmu pengetahuan islam.

Karena keahlian mereka dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan,

pesantren mereka terkadang dinamai sesuai dengan spesialisasi mereka

yaitu Mahfuz at-Tarmisi yang dikenal sebagai ‘allamah, al-muhaddits,

serta al-musnid dan terkadang dipandang sebagai Al-bukhari abad XIX;

Kiai karismatik yang memperoleh karismatinya ilmu pengetahuan

keagamaan khususnya dari sufismnya, yaitu Khalil Bangkalan. Menarik

untuk dicermati bahwa dia bukanlah seorang guru dari kelompok tarekat

mana pun di Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa dalam tradisi pesantren

guru spiritual yang paling dihormati tidaklah ditentukan oleh status atau

kesuksesan dalam organisasi tarekat;

Kiai Keliling, yang perhatiannya dan keterlibatannya mereka

terbesar adalah berinteraksi dan keterlibatan dengan public dan

menyampaikan ilmunya bersamaan dengan misi sunnisme atau aswaja

melalui bahasa retorikal yang efektif. Asnawi Kudus termasuk kategori ini

dan menempatkan kehidupan masyarakat jawa dengan mengkokohkan

dirinya sebagai seorang pemimpin yang berpengaruh dikalangan santri;

“Kiai pergerakan” seperti Hasyim Asy’ari, pemimpin yang paling

menonjol karena keunikan posisinya dengan peran san skill

kepemimpinannya yang luar biasa, baik dalam masyarakat maupun

organisasi yang didirikannya serta kedalaman ilmu pengetahuan

keagamaan.Dan beliau adalah orang yang paling disegani dalam

komunitas pesantren.

35
H. Daftar Pustaka

Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara : Jejak Intelektual

Arsitektur Pesantren, (Jakarta : Kencana, 2006)

Abdurrahman mas’ud, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan

Tradisi (Yogyakarta : LKIS, 2004)

M. Thoyyib, Peran Ulama Abad XIX Dalam mengambangkan Pesantren

Di Indonesia: Studi atas Pemikiran Abdurrahman Mas’ud tentang

Pendidikan Pesantren, Jurnal Studi Keislaman, Vol.9 No.2 2019

36

Anda mungkin juga menyukai