Anda di halaman 1dari 7

BOOK REVIEW

Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Methodologi Studi Islam

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Abdurrahman Mas‟ud, MA.,


Ph.D

Disusun
oleh:
SITI
NUR’AINI
NIM: 2200029013

PROGRAM DOKTOR STUDI ISLAM

PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI WALISONGO SEMARANG


2022
BOOK REVIEW
Judul Buku : Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren Penulis : Prof. Dr. Abdurrahman Mas‟ud, MA., Ph.D
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Abdurrahman Mas‟ud,
MA., Ph.D Penerbit : Kencana Prenada Media Group
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit 2006
Halaman : xxx + 291
Book Reviewer : Siti nuraini / S3 / UINWS / 2200029013

1. BAB 1: PENDAHULUAN
Buku “Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren” ini,
adalah sebuah disertasi penulis yang diajukan untuk meraih gelar doctor di UCLA
(Universiry of California Los Angeles) AS, 1992-1996. Sebagai sebuah buku ilmiah hasil
kerja keras penulisnya, buku ini diakui sebagai karya penambah khazanah intelektual,
terbukti dengan adanya pengantar dari Prof Mark R. Woodward (Associate Proffesor
Department of Religius Studies Arizona State University). Buku ini telah memberikan
kontribusi yang solid dan mencerahkan seputar pengetahuan sejarah Indonesia, khususnya
pemikiran keagamaan para ulama-ulama penting pada akhir abad XIX dan awal abad XX.
Islam Jawa abad XIX sangatlah minim, karena muncul anggapan tendensi di
kalangan islamicist untuk meninggalkan Jawa dalam setiap diskusi tentang Islam. Lebih
dari itu, ada anggapan bahwa wilayah ini tidak memiliki pusat tradisi Islam yang kokoh.
Islam di Jawa dipandang sebagai sinkretik atau impure Islam alias Islam campuran yang
terkontaminasi, berbeda dengan pusat Islam di Timur Tengah.
Upaya ini semua untuk menjawab image bahwa pesantren dan tradisionalisme
selama ini telah sedemikian identik. Hal ini membuat para ilmuwan atau peneliti dengan
kurang fair melihat lembaga pesantren dengan menitikberatkan pada aspek teknik
pengajaran tradisional seperti pengulangan dan hafalan. Penulis berupaya untuk
menjelaskan ajaran muslim Jawa dan jaringan ulama melalui perspektif sosiohistoris,
kultural dan ideologis.
BAB 2: AKAR-AKAR AJARAN ISLAM

Modelling atau sikap meniru contoh ideal sebagai uswatun hasanah. Modelling
disini difokuskan pada person-person tertentu, yakni Nabi Muhammad dan Walisongo.
Nabi Muhammad dipandang sebagai model universal yang harus diikuti umat Islam di
seluruh dunia termasuk muslim santri Jawa, walisongo sebagai model domestik.
Nabi Muhammad berposisi sebagai pendidik, teladan dan manusia ideal. Sebagai
pendidik di Universitas Suffa dan as-Zilla, yaitu tempat pendidikan yang didirikan di teras
masjid, dari sinilah muncul murid-murid didikan langsung Rasulullah Saw, dengan spirit
„iqra dari al-Qur‟an dan hadits-hadits yang mendorong pentingnya mencari ilmu. Sebagai
pendidik, Nabi tidak membedakan antara kaum laki-laki dan perempuan, keduanya
diharuskan memperoleh ilmu.
Model domestik mengacu kepada Walisongo. Asal-usul pesantren tidak bisa
dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad XV-XVI di Jawa. Pesantren merupakan
lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah
berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad. Maulana Malik Ibrahim (meninggal
1419 di Gresik, Jawa Timur), spiritual father Walisongo, dalam masyarakat santri Jawa
biasanya dipandang sebagai gurunya-guru tradisi pesantren di Tanah Jawa.
Wali dalam menyampaikan misinya yang diyakini sebagai penerus para Nabi
sedemikian terlibat secara fisik dalam peran serta sosial, untuk memperkenalkan,
menjelaskan dan memecahkan problem-problem masyarakat dan untuk memberikan
contoh ideal dan religious kemasyarakatan. Dengan mengutip buku K.H, Saifuddin Zuhri,
Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Prof Abdurrahman
Mas‟ud menjelaskan bahwa guna mengantisipasi dan mengakomodir pertanyaan-
pertanyaann sosial-keagamaan serta dalam rangka menghimpun anggota, Maulana Malik
Ibrahim (Sunan Gresik) menggunakan sistem pesantren. Tidaklah sulit baginya untuk
mendirikan sebuah pesantren, sebab ia telah memiliki banyak pengikut setia serta kekayaan
dari hasil usaha dagangnya. Dilaporkan bahwa seharian penuh, dia membawa
masyarakatnya ke lahan pertanian, sementara malam harinya dia mengajar mereka
pelajaran-pelajaran dasar, khususnya al-Qur‟an dan hadits di lembaganya ini. Karena
caranya berdakwah inilah dia biasa disebut sebagai bapak atau guru pesantren pada masa
awal di Jawa.
Bagi Walisongo, mendidik adalah tugas dan panggilan agama. Mendidik murid
sama halnya dengan mendidik anak kandung sendiri. Pesan mereka dalam konteks ini
adalah, “Sayangi, hormati, dan jagalah anak didikmu, hargailah tingkah laku mereka
sebagaimana engkau memperlakukan anak turunmu. Beri mereka makanan dan pakaian,
hingga mereka bisa menjalankan syariat Islam dan memegang teguh ajaran agama tanpa
keraguan.”
3. BAB 3: MUSLIM SANTRI DI JAWA ABAD XVII/XIX
Perjuangan ulama Jawa melawan kaum kolonial dan sikap mereka terhadap isu-isu
kontemporer, serta jaringan antar komunikasi pesantren diuraikan di bab ini. Beberapa
petunjuk sejarah setelah periode Walisongo sampai dengan munculnya ulama Jawa pada
abad XIX akan membantu menjelaskan kontinuitas dan perubahan keilmuan. Dengan latar
belakang historis ini, gambaran lebih lengkap tentang para arsitek pesantren pada abad-
abad berikutnya diharapkan dapat diungkapkan dengan jelas. Dengan kata lain, tipe-tipe
sosioreligius dan dimensi-dimensi kultural yang ada dan membentuk lima arsitek utama
pesantren.
Seabad setelah periode Walisongo, pada abad XVII, pengaruh Walisongo dikuatkan
oleh Sultan Agung yang memerintah Kerajaan Mataram di Yogyakarta, dari tahun 1613
hingga 1645. Misalnya dengan menyelenggarakan sekaten pada bulan maulud. Dia
mengembangkan kesusastraan, khususnya babad. Pada saat itu penulis kerajaan (pujangga)
adalah Tumenggung Jayaprana yang agaknya menjadi pengarang Babad Tanah Jawi.
Sultan Agung menawarkan tanah perdikan kepada komunitas santri supaya mereka
berhasil mengembangkan lembaga-lembaga mereka yang meliputi 300 pesantren. Hal ini
dapat disimpulkan bahwa sejak periode Walisongo pada abad XV dan XVI hingga periode
Sultan Agung pada abad XVII tidak terdapat perbedaan antara istana dan komunitas
pesantren.
Hampir tidak terdapat sumber informasi mengenai perkembangan tertentu dari
pesantren khusus abad XIX. Pada periode berikutnya, pesantren-pesantren menunjukkan
gambaran yang lebih hidup dengan keberhasilannya merespon berbagai tantangan internal
maupun eksternal. Patut dicatat bahwa pesantren lebih berfungsi sebagai cultural and
educational institution, dengan melanjutkan tradisi Walisongo, ketimbang institusi politis.
Namun demikian, hubungan antara kedua elemen tersebut, sebagaimana terjadi
sebelumnya, selalu tidak dapat dipisahkan. Perlu diingat bahwa perjuangan masyarakat
pesantren dalam menjalin kerjasama dengan sultan yang saleh dalam melawan kaum
kolonial harus lebih dilihat sebagai suatu komunitas yang diilhami oleh pemimpin religious
mereka yang efektif daripada sebuah institusi. Pesantren- pesantren abad XIX memiliki
panorama yang berbeda. Latar belakang berdirinya Pesantrean Tebuireng pada tahun 1899
misalnya, mencerminkan hubungan simbolis antara dimensi ideologis, kultural, dan
pendidikan.
Tradisi pesantren memiliki rangkaian historis dan ideologis. Sejalan dengan hal ini,
tradisinya menuntut ilmu ke tempat yang sangat jauh tidak pernah berhenti. Kebiasan ini
bahkan semakin meningkat ketika pemerintah kolonial memperketat kontrol mereka atas
pelajaran- pelajarannya, khususnya pada abad XIX, ketika para santri terkemuka
berpetualang jauh hingga ke pusat dunia Islam, Mekkah, dalam rangka belajar mengajar.
Bahkan beberapa pimpinan santri, seperti Nawawi al-Bantani (w. 1897) dan Mahfuz at-
Tirmisi (w. 1919), berhasil menjadi guru-guru terkemuka baik di Mekkah maupun di
Madinah.
Patut dicatat bahwa kebanyakan pendiri dan pimpinan pesantren pada abad
berikutnya, yaitu abad XX, pernah dididik oleh dua guru terkemuka: Al-Bantani dan at-
Tirmisi. Bahkan guru pesantren paling dihormati sekalipun, Khalil Bangkalan (w. 1925),
mengenyam pendidikan khusus pada paruh kedua abad XIX di bawah bimbingan al-
Bantani. Hasyim Asy‟ari (w. 1947), yang berorientasi kepada Khalil Bangkalan sebelum
keberangkatannya ke Mekkah pada dekade terakhir abad XIX, dan menjadi murid
kesayangan dari al-Bantani dan at-Tirmisi, adalah pemimpin pesantren paling berpengaruh
di Jawa pada masa berikutnya.
2. BAB 4: PARA GURU INTELEKTUAL TRADISI PESANTREN
Dua tokoh yang menjadi gurunya pada guru arsitek pesantren, yaitu Syaikh
Nawawi al-Bantani dan Mahfuz at-Tirmisi. Untuk Syaikh Nawawi, penulis
memaparkan biografi awal, kondisi kolonialisme di seputar kehidupan Nawawi, lalu
kehidupan Nawawi sebagai guru di Hijaz, khususnya bagi pelajar-pelajar dari
Nusantara, seperti K.H Hasyim Asy‟ari (Jombang),
Beliau adalah ulama yang produktif menulis, khususnya dalam bidang fikih,
ushul fiqh, ilmu tauhid (teologi), tasawuf, kehidupan nabi, kumpulan hadits,
musththalah al-hadits dan ‘ilm al-mawarits, ilmu bacaan al-Qur‟an, dna akhlak.
Keturunannya menganggapnya bahwa Mahfuz ibarat sungai, yang maa tulisannya
ibarat aliran sungai yang tidak pernah berhenti.

5. BAB 5: AHLI STRATEGI PESANTREN


A. KHALIL BANGKALAN (1819-1925)
Muhammad Khalil lahir di Bangkalan, Madura, pada hari Selasa, 11 Jumadil
Akhir 1235 H (1819) dan meninggal pada tanggal 29 Ramadhan 1343 H (April 1925
M). Ketika Khalil lahir, ayahnya, H. Abd. Latif, seorang kyai di Bangkalan, berdoa
kepada Allah agar kelak anaknya menjadi seorang wali kenamaan seperti Sunan
Gunung Jati, salah seorang dari Walisongo di Jawa Barat. Di satu sisi, harapan ini
muncul karena disana memang terdapat garis keturunan dari Sunan Gunung Jati, dan
disisi lain adanya tendensi umum di dalam komunitas pesantren bahwa Walisongo
merupakan model bagi mereka.
Dengan bekal pendidikan yang diperoleh tidak kurang dari empat pesantren di
Jawa Timur pada tahun 1850-an. Khalil selanjutnya belajar di Mekkah pada tahun
1859. Hampir tidak terdapat catatan tentang kehidupan Khalil di Hijaz.
B. K.H.R. ASNAWI KUDUS (1861-1959)
Asnawi memperoleh pendidikan awalnya dari sang ayah, H. Abdullah Husnin
dan ibunya, R. Sarbinah. Ketika berusia 15 tahun, dia dikirim ke sebuah pesantren di
Tulungagung Jawa Timur. Sebelum tinggal di Mekah pada masa berikutnya, dia
menemui guru yang lain, yaitu Kiai Haji Irsyad, di Mayong Jepara.
Asnawi adalah termasuk pendiri NU yang jarang diketahui oleh anggota NU itu
sendiri. Tidak menonjolnya figur ini di kalangan anggota NU bukan berarti dia absen
dari organisasi ini. Namun sebaliknya, ini menunjukkan bahwa partisipasinya dalam
organisasi bukan untuk tujuan- tujuan politik. Menjelang kelahiran NU, 31 Januari
1925, seluruh tokoh kiai berkumpul di Surabaya, kecuali seorang pemimpin
berpengaruh, yakni Hasan Asy‟ari. Asnawi dan Bisri Syansuri menjemput dan
menemani pemimpin ulama ini untuk turut hadir, sementara itu pada waktu yang sama
Asnawi dan Syansuri ditunjuk sebagai delegasi dari Komite Hijaz. Asnawi merupakan
dai keliling yang kharismatik, yang memperoleh otoritas dari pengalaman religious
yang dia dapatkan dan dikembangkannya baik di Jawa maupun di Hijaz.
C. K.H. HASYIM ASY‟ARI (1871-1947)
Lahir pada bulan Februari 1287H / 1871 M di Gedang Jombang. Hasyim
menghabiskan sebagian masa kecilnya di lingkungan santri. Ayahnya, Kiai Asy‟ari,
berasal dari Demak, memiliki sebuah pesantren besar. Ayahnya adalah keturunan
kedelapan dari penguasa Kerajaan Islam Demak, Jaka Tingkir, Sultan Pajang pada
tahun 1568, yang merupakan putra Brawijaya VI, penguasa Kerajaan Majapahit pada
seperempat pertama abad VXI di Jawa. Kakek Hasyim, Kiai Usman, adalah pendiri
sekaligus pengasuh Pesantren Gedang, dan juga seorang pemimpin tarekat pada akhir
abad XIX.
Sebagaimana santri lain pada masanya, Hasyim mengenyam pendidikan
pesantren sejak usia dini. Sebelum berusia enam tahun, Kiai Usman-lah yang
merawatnya. Hingga usia 15 tahun, ayahnya memberinya dasar-dasar Islam. Pada tahun
1892 Hasyim pergi ke Mekkah. Pada tahun 1893, dia kembali ke Mekkah bersama
adiknya, Anid dan menetap disana selama 6 tahun. Sebagian besar waktu Hasyim
dihabiskan untuk mengajar di Masjid Tebuireng, dalam komplek pesantrennya. Karena
ketertarikan utamanya adalah kepada ilmu hadits, pesantrennya dikenal luas dan
diminati oleh mereka yang ingin belajar hadits secara mendalam.
NU adalah manifestasi dari komunitas pesantren yang terorganisir, karena
organisasi ini bermaksud mengakomodir setiap kepentingan juga orientasi sosioreligius
maupun politik komunitas pesantren. Bahwa kelahiran NU di Pesantren Tebuireng
dengan secara aklamasi memilih Hasyim sebagai ra’is am pertama NU sejak tahun
1926 hingga wafat pada tahun 1947. Sejak aswaja menjadi iedologi dan tujuan dari
perkumpulan ini, bisa dikatakan bahwa NU pada dasarnya mendukung dan
melembagakan watak dasar santri Jawa, yang mengacu kepada pemikiran Syafi‟i-
Asy‟ari dan Ghazali.

Kesimpulan
Upaya untuk menggambarkan lima figure utama komunitas pesantren dengan
memperkenalkan riwayat hidup mereka termasuk latar belakang historis, peran sosio-
religius dalam masyarakat, dan visi-visi religio-intellectual bersamaan dengan
pemikiran-pemikiran tematik

DAFTAR PUSTAKA
Prpf. Dr. Abdurrahman Mas‟ud, MA., Ph.D, Dari Haramain ke Nusantara Jejak
Intelektual Arsitek Pesantren, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006.

Anda mungkin juga menyukai