Anda di halaman 1dari 5

Balé Institute

XVIII – Mei 2020 – Resensi Buku

‘’Spirit Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara


Abad XVII dan XVIII Karya Azyumardi Azra’’

Nazaruddin
Lulusan UIN Sunan Kalijaga, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Karya ini merupakan suatu kontribusi besar pada literatur, tidak hanya bagi Asia
Tenggara, tetapi lebih umum lagi untuk pemahaman tentang Dunia Muslim pada abad ke-17 dan
ke-18. Demikian penilaian William R. Roff, profesor sejarah di Columbia University. Hasil riset
disertasi ini pada gilirannya menemukan momentum yang sangat tepat untuk melihat dinamika
perkembangan Islam di Nusantara dari masa ke masa.

Azyumardi Azra menawarkan suatu pendekatan historis-filosofis dalam memotret Jaringan


Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Transmisi keilmuan terjadi secara
masif bermula dari individu-individu militan dalam pengembaraan ilmu pengetahuan. Tak hanya
itu, tujuan naik haji juga memainkan peran menentukan dalam perjalanannya. Hubungan itu pada
akhirnya membentuk suatu jaringan yang mengakar erat dalam pembaruan Islam Indonesia.

Hasil telaah buku ini telah menginspirasi banyak sarjana, termasuk tingkat mancanegara.
Kajian semacamnya lahir secara sporadis setelah model analisa dalam buku ini disajikan. Terbukti
karya monumental ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh pemikir Islam Barat.

Karya ini berupaya menjembatani pembaca dalam menyeberangi lintas jaringan ulama
melalui misi keilmuan dan keagamaan pada abad ke-17 dan 18. Sudah selayaknya data yang
diketengahkan merupakan data-data induk dan dapat dipertanggungjawabkan keakuratannya, tapi
bukan berarti anti kritik. Di dalamnya, tak jarang pengarang menyampaikan bahwa suatu hal
sangat disayangkan karena data lebih mendalam tak ditemukan. Hal demikian menghindari
spekulasi-spekulasi yang sering terjadi, sehingga sejarah seolah dibelokkan oleh kepentingan
sepihak semata. Diakui, era itu cukup rumit untuk menemukan referensi tertulis mengenai ihwal

1
perkembangan Dunia Muslim, terkhusus yang berada jauh dari pusat peradabannya seperti
Nusantara.

Kesadaran adanya hubungan yang terjalin antara Timur Tengah dan Nusantara melahirkan
penyesuaian bahkan pergeseran pola kehidupan beragama. Pemetaan hubungan yang terjadi tak
sekedar monoton melalui satu pintu, namun hubungan itu terjadi secara timbal balik sembari
memancing ide-ide kreatif ke arah gerakan pembaruan. Dalam hal ini, pemaknaan pembaruan
cukup beragam, umum dimengerti sebagai upaya pembaruan ke arah harmonisasi bidang tasawuf
dan fikih. Dikenal dengan istilah neo-sufisme, sederhananya menerima pandangan tasawuf asalkan
dijalankan sesuai dengan syariat. Isu dan isi pemikiran sedemikian rupa mendominasi era
pembaruan Islam saat itu. Di lain sisi, istilah pembaru lebih digandrungi pengarang daripada
reformis atau revolusioner karena Islam sebelumnya telah eksis di belahan Bumi Nusantara, meski
didominasi oleh Islam mistis.

Tak setakat itu, bentuk transmisi pembaruan juga terkadang diekspresikan secara radikal
oleh sebagian pihak, sehingga benturan dalam masyarakat tak dapat dielakkan. Seperti kasus kaum
Padri yang memaklumkan jihad melawan Muslim yang tidak mau mengikuti ajaran-ajaran mereka.
Akibatnya, perang saudara meletus di tengah masyarakat Minangkabau, meski pada akhirnya
memicu perlawanan terhadap Belanda. Bila ditarik benang merahnya, titik temu gerakan ekstrem
ini juga terhubung dalam jaringan.

Interaksi tradisi keilmuan Islam dari Maghrib, Mesir, Suriah, Irak, Yaman, India, dan
tentunya Haramayn (Makkah dan Madinah) melahirkan ikatan pembaruan yang diperankan
melalui jaringan ulama. Dalam analisisnya, pengarang memaparkan peran sentral ulama melalui
tokoh-tokoh kunci sebagai representasi di eranya masing-masing. Jaringan ulama di pusat
peradaban Islam abad ke-17 diperankan oleh Ahmad al-Syinnawi, Ahmad al-Qusyasyi, Ibrahim
al-Kurani, Isa al-Maghribi, Ala al-Din al-Babili, al-Sinkili, al-Maqassari, al-Raniry dan masih
banyak lagi. Lalu terjalin interaksi dengan ulama selanjutnya yang diwakili oleh Muhammad
Hayat al-Sindi, ibn Abd al-Wahhab, Syah Wali Allah, Sulayman al-Kurdi, Muhammad al-
Sammani, al-Mizjaji, Murtadha al-Zabidi, Ma Mingxin, al-Fullani, al-Palimbani, al-Banjari, al-
Fatani dan lainnya.

Keterlibatan ulama Nusantara dalam jaringan abad ke-17 diperankan Nur al-Din al-Raniry
(w.1658), Abd al Rauf al-Sinkili (1615-1693), dan Muhammad Yusuf al-Maqassari (1627-1699).

2
Narasi ketiganya meliputi: biografi tokoh; karyanya; kontak jaringannya baik ketika di Timur
Tengah maupun Nusantara; dan pemikiran atau pembaruannya. Skema hubungan ketiga ulama
kunci ini saling berkelindan meski tak bertemu secara langsung. Mereka terhubung melalui para
guru, murid, sahabat, kenalan atau karyanya yang tersebar luas.

Ketiga tokoh kunci tersebut berperan strategis dalam pembaruan Islam di Nusantara. Tak
hanya dimuat sumber-sumber lokal, ahli sejarah Islam Asia Tenggara tak jarang menyuarakan
tentang pengaruh spirit pemikiran mereka. Hasil kontemplasi keilmuan ketiga ulama ini pada
gilirannya menghasilkan praktik keagamaan yang tidak serta-merta menghapus nilai-nilai adat
sebagai kearifan lokal. Kecuali paham-paham yang dianggap menyimpang, dengan segera
dilancarkan pembaruan. Seperti kasus al-Raniry semasa menjabat Syekh al-Islam di Kesultanan
Aceh. Selain melalui posisinya sebagai Syek al-Islam, ar-Raniry juga mendemonstrasikan ajaran
Islam melalui karyanya. Di antaranya yang paling terkenal: Shirat al-Mustaqim yang menyajikan
pembahasan fikih; Tibyan Fi Ma’rifati Adyan mengenai perbandingan agama; Bustan al-Salatin
mengenai sejarah Melayu. Bahkan ia diklaim sebagai salah seorang pujangga Melayu pertama.

Karena desakan politik, posisi ar-Raniry digantikan oleh al-Sinkili. al-Sinkili melampaui
ar-Raniry dalam hal jaringan inti haramayn. Ia menjadi Syekh al-Islam di zaman kepemimpinan
empat ratu secara berturut-turut. Lalu menjawab berbagai serangan pertanyaan delegasi Makkah
terkait kelayakan seorang perempuan menjadi Sulthanah (Kepala Negara). Tidak sedikit karyanya
yang menjadi rujukan utama hingga kini, di antaranya yang paling monumental berupa Mir’atu
al-Tullab tentang fikih, Tafsir Tarjuman al-Mustafid, dan Kifayat al-Muhtajin tentang tasawuf.

Semasa dengan al-Sinkili, al-Maqassari melanglang buana terlibat dalam jaringan Arabia.
Tidak sedikit guru-guru al-Sinkili juga merupakan guru-gurunya. Dalam karyanya Safinat al-
Najah, ia juga mengaku berguru pada ar-Raniry bahkan menyusulnya ke Ranir (sekarang Rander,
Gujarat di India). Adapun kariernya kemudian lebih dominan di Banten. Akibat penetrasi kolonial
saat itu, pengaruh besar al-Maqassari sangat ditakuti Belanda sehingga ia diasingkan ke Sri Lanka
lalu ke Afrika Selatan. Di tempat pengasingan, ia tetap paling berperan dalam pembaruan Islam
setempat bersama murid-murid yang tidak sedikit. Karya fenomenal lainnya berupa al-Nafhat al-
Saylaniyah tentang tasawuf dan Mathalib al-Salikin tentang tauhid.

Estafet jaringan ulama kemudian diperankan secara dominan oleh Abd al-Shamad al-
Palimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari, dan Dawud al-Fatani. Mereka adalah jaringan yang

3
berpengaruh pada pembaruan Islam abad ke-18. Anehnya, Azra kembali menegaskan bahwa
kajian mengenai ulama abad ini tidak sebanyak abad sebelumnya. Padahal, hubungan erat antara
Haramayn dan Nusantara dapat dijadikan tumpuan dalam memahami perkembangan religius dan
intelektual.

Sejak abad ke-17, gerakan yang dimainkan jaringan ulama tidak sebatas pada aspek
tasawuf, justru semangat orientasi pada syariat. Demikian pula abad ke-18, meski al-Palimbani
mempunyai bakat kuat terhadap mistisme, ulama Palembang ini telah menuntaskan kajian hadis,
fikih, syariat, tafsir, dan kalam. Karya monumentalnya Sayr al-Salikin dan Fadhail al-Jihad. Ia
banyak menginspirasi jihad melawan penjajahan kolonial saat itu. Seruan jihad juga datang dari
ulama terkenal Patani, Dawud bin Abdullah al-Fatani. Semangat jihad dimotori sebagai upaya
perlawanan terhadap tekanan pemerintah Thailand atas wilayah Muslim Patani. Di antara karyanya
yang terkenal Hidayat al-Mutaallim, Muniyyat al-Mushalli, dan Furu’ al-Masail Wa Ushul al-
Masail.

Berbeda dengan al-Palimbani dan al-Fatani, fokus Muhammad Arsyad al-Banjari pada
penerapan syariat. Karyanya Sabil al-Muhtadin merupakan kitab fikih paling masyhur, bahkan
masih banyak dipelajari di lembaga pendidikan Islam hingga kini. Pun ia cakap di bidang tasawuf
dengan karya tasawuf satu-satunya, Kanz al-Makrifah. Al-Banjari juga berjasa sebagai perintis
terbentuknya jabatan mufti dan pendirian lembaga pendidikan Islam di Kesultanan Banjar.
Tercatat doktrin jihad melawan Belanda hampir tidak pernah digaungkan dalam pembaruannya.

Sebagaimana ulasan buku, peran tarekat dan periwayatan hadis menjadi andalan utama
dalam penguatan jaringan ulama abad ke-17 dan 18. Melalui tarekat, tekanan diarahkan pada
penyucian pikiran dan perilaku moral yang dilandasi dengan kepatuhan total pada syariat.
Sementara periwayatan hadis meniscayakan kontak antar-jaringan baik melalui hubungan guru-
murid dan semacamnya. Tujuan telaah hadis ini diarahkan pada rekonstruksi sosiomoral
masyarakat saat itu.

Penjelasan di atas sekurangnya telah menjawab kegelisahan kaum Islam modernis yang
pada kesempatan tertentu menuduh bahwa ketertinggalan Dunia Muslim hari ini disebabkan oleh
paham sufistik. Tasawuf dituduh sebagai sumber bid’ah, khurafat, dan takhayul. Namun, tuduhan
demikian kiranya tidak cukup mendasar. Sebagaimana uraian di atas, dalam kurun waktu tersebut
tidak sedikit pembaruan digencarkan, meski tidak sesederhana yang dibayangkan. Pun Azra

4
menekankan bahwa belum ditemukan data –untuk mengatakan tidak ada— yang mengesankan
ulama dalam jaringan berlaku pasif atau menarik diri terhadap kemajuan peradaban. Justru
sebaliknya, para ulama kosmopolitan dalam jaringan telah mewariskan pembaruan fundamental,
tepatnya pada keseimbangan dimensi syariat dan tasawuf. Hal ini melahirkan letupan perubahan
besar di Nusantara karena pada era sebelumnya Islam mistislah yang dominan. Namun, tidak pula
kemudian terjebak pada tatanan syariat yang hanya sebatas simbol formalitas semata.

Tanpa disadari, apa yang telah dikemukakan dalam masterpiece mantan Rektor UIN Syarif
Hidatullah ini memuat hikmah cukup melimpah. Pasalnya, Kesan apa yang sering terjadi hari ini
masih terbaca mengulangi masa-masa sebelumnya, meski dengan pola yang berbeda. Padahal,
moderasi beragama telah ditampilkan secara masif oleh ulama dalam jaringan, karenanya tuntutan
perubahan selalu dibutuhkan sebagai upaya mengimbangi zaman dan berjuang demi kemaslahatan.

***

Judul Buku: Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII
Penulis: Azyumardi Azra
Penerbit: Kencana
Tahun: 2013 (Edisi Perenial)
Halaman: 483

Anda mungkin juga menyukai