Anda di halaman 1dari 7

PERDEBATAN INKAR SUNNAH DAN UPAYA MENANGANI SERTA

MENGANTISIPASI INKAR SUNNAH

A. PERDEBATAN INKAR SUNNAH DAN UPAYA MENANGANI INKAR SUNNAH

Inkar sunnah yang berkembang di beberapa kawasan tidak bisa dipisahkan dari
perkembangan inkar al-sunnah sejak zaman klasik. Inkar sunnah yang sudah dikenal sejak zaman
klasik dan masih bertahan hingga hari ini merupakan satu fenomena sekaligus masalah dalam
keberagamaan umat Islam. Bila dicermati secara mendalam, ternyata perkembangannya melalui
suatu proses evolutif, dari sekadar pemikiran keagamaan yang bersifat individual, menjelma
menjadi sebuah gerakan pemikiran, hingga membentuk sebuah aliran atau sekte. Demikian pula
waktu muncul dan tempatnya bergeser, dari Irak (Timur Tengah) pada akhir abad kedua Hijriyah
(sekitar awal abad kesembilan Miladiyah) bergerak ke Mesir kemudian India-Pakistan (akhir
abad kesembilan belas dan awal abad keduapuluh), selanjutnya menyebar ke Asia Tenggara,
termasuk Indonesia. Dari perkembangan Inkar sunnah dan pergeseran tempat pernyebarannya
setidaknya akan menghadirkan suatu pertanyaan besar “Apakah hal tersebur memiliki
keterkaitan satu sama lain atau suatu proses yang alamiah yang wajar seiring adanya modernisasi
dan globalisasi serta kecenderungan lain dalam pola keberagamaan manusia?

Seperti dikemukakan terdahulu, gejala kekurangpedulian terhadap Hadits telah ada sejak
zaman klasik.” Hanya saja, gejala kekurangpedulian itu segera hilang ketika kepada
masingmasing penanya dikemukakan logika sederhana: kita tidak bisa mengetahui rincian
pelaksanaan ibadah hanya melalui AlOur'an. Guna mengetahui rincian ibadah-ibadah tersebut,
kita harus merujuk pada cara Nabi menjalankannya.”1

Gejala kekurangpedulian terhadap hadits-hadits Nabi kemudian juga terjadi pada masa
Imam al-Syafi'i. Setelah berdialog dengan orang yang tidak disebutkan identitasnya, maka yang
kurang peduli terhadap hadits kemudian menyadari kekhilafannya. Setelah masa tersebut (akhir
abad kedua Hijriyah) dalam sejarah tidak terdengar lagi orang-orang Islam yang meragukan atau
mengingkari hadits, hingga di zaman modern. Seiring maraknya kajian Hadits oleh sarjana
nonmuslim, maka penolakan terhadap hadits ini muncul kembali pada akhir abad kesembilan
belas dan awal abad keduapuluh. Dalam kajian pemikir nonmuslim, gugatan terhadap status
hadits sumber ajaran Islam muncul pada pertengahan abad kesembilan belas. Alois Sprenger,

1
Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadits ,Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus,2000),Hlm. 39-40
orientalis berkebangsaan Jerman, disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali mempersoalkan
status hadits. Sprenger menyebut hadits sebagai kumpulan anekdot. Tuduhan Sprenger ini
kemudian diikuti oleh William Muir, orientalis berkebangsaan Inggris. Muir menyebut bahws
nama besar Nabi Muhammad saw sengaja dicatut untuk menutupi beragam kebohongan dan
keganjilan. Selang beberapa lama, muncul Ignaz Goldziher (Hungaria), David Samuel
Margoliouth, Henri Lammens (Belgia), Leoni Caetani (Italia), Josef Horovitz, Alfred Guillaume
(Inggirs), hingga Joseph Schacht (Jerman). Pemikiran orientalis tersebut dikaji dan ditunjukkan
kekeliruannya oleh pemikir muslim, baik yang berlatar belakang pendidikan Timur Tengah
maupun Eropa (barat), di antaranya dilakukan oleh Muhammad Hamidullah, Fuat Sezgin, Nabia
Abbot, M.M. Azami, Muhammad Abu Zahrah, Zafar Ishag Ansari. Teori Schact sendiri
mendapat reaksi pro-kontra di kalangan orientaliss pembelaan terhadap teori Schacht dilakukan
oleh Robert Brunschvigh, Patricia Crone, Norman Calder, G. H. A. Juynboll. Adapun, kritik atas
asumsi dan kesimpulan Schacht dilakukan oleh Noel Coulson, Michael Cook, Harald Motzki,
dan Uri Rubin.”2

Munculnya pemikir dan modernis di Mesir dan IndiaPakistan menjadi babak baru bagi
perkembangan inkar sunnah. Kehadiran pemikir-pemikir muslim yang sering disebut mujaddid
atau reformer menunjukkan demikian kuatnya pengaruh modernisasi di Dunia Islam. Beberapa
pemikir yang muncul sejak awal abad kesembilan hingga pertengahan abad keduapuluh
mengemukakan pemikiran mereka tentang hadits. Pemikiran-pemikiran mereka ada yang secara
implisit mengingkari hadits, namun ada juga yang secara tegas menolak Otoritas hadits sebagai
sumber ajaran Islam.

Indikasi tersebut di atas akan semakin kuat apabila ditinjau dari aspek geografis. Inkir al-
sunnah di zaman modern pertamatama muncul di Mesir dan India, dua kawasan yang merupakan
pusat perkembangan ilmu pengetahuan di masanya. Mesir sejak berdirinya Universitas al-Azhar
telah memegang peranan yang sangat strategis pagi perkembangan ilmu pengetahuan Islam di
Timur Tengah hingga ke belahan dunia Islam lainnya. Demikian pula India sebelum terpecah
menjadi tiga negara (dengan terpisahnya Pakistan dan Bangladesh sebagai negara yang berdiri
sendiri) merupakan negara dengan tingkat populasi penduduk muslim terbesar di dunia. Dengan
munculnya pemikir-pemikir muslim yang pemikirannya telah terkontaminasi oleh pemikiran

2
Syamsuddin Arif ,”Gugatan Orientalis terhadap Hadits Dan Gaungnya di Dunia Islam”dalam Al insan:
Jurnal Kajian Islam, Nomor 2,Vol.I,2005,Hlm.10-18.
orientalis diharapkan akan memengaruhi dan mewarnai pemahaman umat islam terhadap hadits.
Baik orientalisme maupun Yahudi dalam kaitan dengan perkembangan inkar alhadis memiliki
tujuan yang sama yaitu menimbulkan keraguan di tubuh umat Islam terhadap orisinalitas hadits
yang ujung ujungnya akan melahirkan sikap pengingkaran terhadap hadits.3

Asumsi-asumsi tentang latar belakang muncul dan berkembangnya inkar al-hadis secara
global, seperti dikemukakan di atas, umumnya berdasarkan prasangka teologis-ideologis.
Asumsi-asumsi tersebut perlu dibuktikan lebih lanjut, sebab bisa jadi asumsi tersebut
berkembang sebagai bentuk fobia kalangan tertentu terhadap segala bentuk pemikiran dan
peradaban yang berasal dari luar Islam.

Perkembangan inkar sunnah di zaman modern ini menunjukkan bahwa pengingkaran


terhadap hadits masih berbentuk gerakan pemikiran untuk tidak menyebutnya sebagai wacana.
Sebagai gerakan pemikiran belum mencerminkan pergeseran agidah pemikirnya sehingga hanya
bisa disebut mazhab pemikiran. Mazhab pemikiran tersebut belum melahirkan sebuah aliran atau
ajaran baru yang mengubah praktik pengamalan ajaran Islam. Pengingkaran terhadap hadits
sebagai sumber ajaran mencapai puncaknya dengan terbentuknya suatu aliran atau ajaran.
Sejumlah pemikiran dan ajaran pengingkar sunnah yang mirip dengan pemikiran Hadits di
tempat lain, antara lain pada keyakinan bahwa Al-Ouran sudah lengkap dan sudah
mengakomodasi kebutuhan dan permasalahan keberagamaan umat manusia,” penolakan
terhadap Hadits karena pembukuannya yang terlambat4 yang menyebabkan statusnya dzanni
alwurid. pendefinisian hadis dengan tidak mengidentikkannya dengan Hadits Nabi, serta
anggapan bahwa berdasarkan pengalaman sejarah Hadits justru menjadi penyebab
keterbelakangan dan perpecahan umat Islam.” Adanya kemiripan atau yang lebih tepat disebut
sebagai keseragaman argumentasi, memerlukan kajian lebih lanjut untuk mencari dan
menemukan adanya jaringan intelektual antara pengingkar Hadits.

Dari uraian yang dikemukakan di atas tampak bahwa perkembangan inkar sunnah dengan
segala dinamikanya harus diakui sebagai satu kenyataan sejarah. Penanganan terhadap gejala
inkir sunnah dari masa ke masa dan di belahan dunia yang berbeda disikapi oleh umat Islam
dengan cara yang berbeda sesuai dengan konteks sosialnya. Gejala pengingkaran terhadap
sunnah yang muncul pada masa klasik bisa diatasi dengan upaya dialogis dan menyadarkan
3
Azami,Hadits Nabi,Hlm 15;Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadits,Hlm.47-51
4
Kassim Ahmad ,Hadits Suatu Penilaian Semula, Hlm.62-63,66-74 Tawfiq Shidqy
lawan dialognya. Dalam hal ini Imam al-Syafi'1 menjadi tokoh penting yang karenanya beliau
digelari nishir al-sunnah. Kehadiran inkar sunnah di Mesir pada masa modern direspons dengan
sikap yang berbeda. Respons tersebut dilakukan umumnya bersifat akademik, ulama dan
lembaga keilmuan khususnya al-Azhar memainkan peranan yang penting. Peran ulama di Mesir
tampak pada upaya meng-counter pemikiran-pemikiran yang dianggap mengingkari Hadits, di
antaranya munculnya sejumlah tulisan yang membantah tulisan Ahmad Amin, Mahmud Abu
Rayyah, Ahmad Shubhi Manshiir, Mushtafa Mahmiid, dan lain-lain.” Upaya tersebut ada yang
berhasil dengan menyadarkan tokoh tertentu dari penolakannya terhadap sunnah seperti yang
terjadi pada Tawfig Shidgy.5 Adapun al-Azhar lebih menggunakan posisinya sebagai pemegang
otoritas keilmuan di Mesir, dengan melarang peredaran buku buku para pengingkar Hadits”?
hingga memberhentikan ulamaal-Azhar yang tertuduh atau terbukti mengingkari hadits, seperti
yang dialami oleh Ahmad Subhi Manshur.'

Pengalaman yang berbeda dalam menangani pengingkaran terhadap hadits dilakukan


oleh Pakistan. Adalah Fazlur Rahman, melalui Pakistans' Central Institute for Islamic Research,
lembaga keagamaan yang dibentuk oleh Pemerintahan Jenderal Ayub Khan, memublikasikan
sejumlah artikelnya yang dimulai dengan melakukan definisi ulang tentang sunnah dan
menganjurkan untuk kembali kepada sunnah.6

Di Indonesia pun upaya menyikapi penyebaran inkar sunnah cukup banyak dengan
pendekatan yang beragam. Majelis Ulama Indonesia melakukan pendekatan normatif dengan
mengeluarkan fatwa tentang Inkarsunnah,”" Kejaksaan Agung menempuh pendekatan yuridis
dengan mengeluarkan tiga surat keputusan mulai yang melarang peredaran buku-buku yang
mengandung ajaran Inkarsunnah hh larangan penyebaran kaset rekaman yang berisi ajaran
tersebut, pengembangan ajarannya.” Kelompok masyarakat tertentu pun ikut terlibat melakukan
penanganan dengan menempuh pendekatan tersendiri, misalnya dengan melakukan
penggerebegan terhadap aktivitas-aktivitas keagamaan komunitas pengingkar Hadits.??2 Sejauh
ini tidak ditempuh upaya penanganan yang lebih komunikatif. Hal ini lebih disebabkan karena
tokoh agama dan institusi keagamaan lebih memahami realitas inkar al-hadis dengan pendekatan

5
Muhammad Rasyid Ridha, Al-Manar,Juz X,jilid XXI:493.
6
Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (London: Cambridge University
Pres,1996),hlm 102.
teologis. Hal ini di satu sisi merupakan kewajaran, karena umumnya pengingkar Hadits tidak
bisa diajak berdialog dengan baik.”

Menyikapi keberadaan inkar assunnah dan mengantisipasi kemungkinan semakin


maraknya inkar assunnah, umat Islam tidak perlu bersikap reaktif yang cenderung emosional,
tetapi sebaiknya mengembangkan pendekatan filosofis dan argumentasi yang rasional guna
meyakinkan mereka yang berpaham demikian, bahwa adalah sesuatu yang mustahil
dilepaskannya hadits sebagai sumber ajaran Islam setelah Alquran.”” Oleh karena itu,
mengantisipasi berkembangnya inkar assunnah, perlu dilakukan upaya-upaya dalam dua tataran
sekaligus, yaitu tataran akademik dan tataran praktis.

a) Tataran akademik

Pada tataran teoritis-akademik, sejumlah upaya telah dilakukan ulama dalam rangka
mengatasi berkembangnya inkar al-hadis. Upaya-upaya tersebut umumnya bersifat pembelaan
dengan menegaskan kembali kedudukan Hadits sebagai sumber ajaran Islam. Penegasan tersebut
diperkuat dengan argumentasi nagliyah dan agliyah, sekaligus menunjukkan kelemahan
argumentasi yang dikemukakan pada pengingkar Hadits.” Selain itu, ulama juga berupaya
mengembangkan pemikiran sekitar Hadits Nabi saw.

b) Tataran praktisi

Pada tataran praktis, upaya membendung penyebaran ajaran inkar al-hadis adalah dengan
memahami dengan baik realitas masyarakat di mana ajaran tersebut berkembang. Oleh karena
itulah, diperlukan peningkatan pengetahuan masyarakat muslim tentang aspek-aspek ajaran
Islam. Gambaran terdahulu menunjukkan rendahnya tingkat pengetahuan agama dan
kecenderungan praktis-pragmatisme dalam menjalankan ajaran agama adalah dampak langsung
dari rendahnya pengetahuan agama tersebut.

Upaya Mengantisipasi Inkar Sunnah

Beberapa upaya yang lain dalam mengantisipasi paham inkar sunnah adalah

1. Lebih mendalami ilmu agama agar tidak mudah terpengaruh aliran sesat
2. Memahami isi kandungan alquran dan hadis
3. Waspada terhadap pendapat pendapat yang muncul ,yang tidak sesuai dengan alquran dan
hadis
4. Meyakini bahwa sunnah dan hadis adalah sumber kedua hukum islam
5. Menjauhi aliran aliran yang menganggap bahwa sunnah dan hadis tidak benar
6. Pihak berwajib melarang penyebaran paham inkar assunnah di wilayah nya
DAFTAR PUSTAKA

Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadits ,Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus,2000),Hlm. 39-40

Syamsuddin Arif ,”Gugatan Orientalis terhadap Hadits Dan Gaungnya di Dunia Islam”dalam Al
insan: Jurnal Kajian Islam, Nomor 2,Vol.I,2005,Hlm.10-18.

Azami,Hadits Nabi,Hlm 15;Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadits,Hlm.47-51


Kassim Ahmad ,Hadits Suatu Penilaian Semula, Hlm.62-63,66-74 Tawfiq Shidqy
Muhammad Rasyid Ridha, Al-Manar,Juz X,jilid XXI:493.
Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (London: Cambridge University
Pres,1996),hlm 102.

Anda mungkin juga menyukai