Anda di halaman 1dari 16

Diskusi Reguler

Al-Mizân Study Club Kairo


Selasa, 31 Oktober 2006

Kebebasan Wanita; Paparan Tentang Sejarah dan Realita


(Edisi pelengkap dari Feminisme: Sebuah Bentuk Perlawanan)

Prolog

Kebebasan merupakan harapan bagi tiap-tiap individu yang ingin maju dan terus berkembang
dalam mencari keautentikan diri menuju pada titik kesempurnaan. Kata bebas dalam kamus besar
bahasa Indonesia bermakna lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya
sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa). 1 Dalam konteks dan
rana pemikiran, terma kebebasan merupakan keharusan yang harus dijunjung tinggi, sehingga
tanpa kebebasan, pemikiran hanya akan menjadi sebuah keniscayaan. Qasim Amin dalam
al-‘Amâl al-Kâmilah menyatakan bahwa kebebasan yang sejati akan menimbulkan berbagai
corak pemikiran dan kebangkitan berbagai ragam aliran serta menciptakan suasana sirkulasi atau
peredaran pemikiran.2 Kebebasan yang berkembang pada akhirnya akan menciptakan pola pikir
yang berbeda dalam menyikapi problematika kehidupan. Ibn Rusyd mengkiaskan pemikiran
dengan makanan. Makanan bagi sebagian mahluk akan menjadi vitamin dan sumber penguat
dalam menjalankan roda aktivitas kehidupan, sementara bagi sebagian lainnya akan menjadi
racun yang pada akhirnya menjadi sumber malapetaka dan kelemahan. Lebih lanjut Ibnu Rusyd
menyatakan bahwa memaksakan pemikiran sama halnya dengan menjadikan makanan menjadi
vitamin bagi semua mahluk dan melarang kebebasan dalam berpikir sama halnya memaksakan
diri untuk menyatakan bahwa makanan adalah racun bagi semua mahluk.3

Secara garis besar, pemikiran bisa kita kategorikan menjadi dua yaitu; pemikiran yang dilandasi
oleh sifat-sifat intrinsik yang ada pada diri manusia dengan dilandasi oleh perasaan dan keinginan
yang kuat untuk mengetahui, memiliki dan menguasai. Dan pemikiran yang timbul akibat
dorongan, kebutuhan yang datang dari luar diri manusia misalnya kebutuhan sosial dan ekonomi.
Pemikiran yang mampu memberikan konstribusi dalam menjawab, memajukan hasrat dan
kebutuhan manusia secara benar akan terus berkembang, sementara pemikiran yang tidak mampu
menjawab tantangan yang terjadi maka ia akan musnah dengan sendirinya.4

Tuntutan akan kebebasan sering kali muncul di tengah-tengah komunitas prural, komunitas yang
penuh warna warni. Hal itu karena setiap individu memiliki sudut pandang yang berbeda
dalam menjawab dan menyelesaikan problematika masyarakat yang berkembang.
Perbedaan sudut pandang tentunya akan menghasilkan out put yang berbeda pula. Dalam
kaca mata kesetaraan gender, terma kebebasan lebih ditempatkan pada tuntutan akan

1
Lihat; Lukman Ali, et. al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, cet. IV, 1995, hal. 103
2
Lihat; DR. ‘Imârah, Qâsim Amĩn al-‘Amâl al-Kâmilah, Dar al-Syurûq, Kairo, tt., hal. 138
3
Lihat; DR. ‘Âthif al-‘Irâqĩ, al-Naz’ah al-Aqliyah fĩ falsafah ibn Rusyd, Dar al-Ma’ârif, Kairo, cet. V,
1993, hal. 308-309
4
Lihat: DR. ‘Abdu al-‘Azhĩm Ramadhân, Mahrajân al-Qirâah li al-Jamĩ’i 2004 al-Fikr al-Tsawrâ fĩ Misr
Qabla Tsawrah 23 Yûliyyuh, Maktabah al-Usrah, Kairo, 2004, hal. Muqaddimah. Baca juga, al-Imâm
Hujjah al-Islam Abĩ Hâmid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlĩ, Maqâshid al-
Falâsifah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Bayrouth, Liban, cet. I, 2003, hal. 152

1
kesejajaran hak antara kaum wanita dan kaum laki-laki. Tuntutan itu muncul didasari oleh
keinginan untuk mencari format yang lebih progresif dalam mengusung terma pembaharuan.

Pembaharuan seringkali dinisbatkan pada perubahan yang mengarah pada kemajuan,


perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Bagi kaum Orientalis, pembaharuan yang terjadi
dalam tubuh umat Islam dikategorikan dalam tiga periodeisasi; masa klasik, pertengahan dan
modern. Masa klasik (650-1250 M) terbagi menjadi dua fase, pertama; fase ekspansi (650-1000
M), masa-masa integrasi dan punca kemajuan umat Islam. Pada masa tersebut, Islam berkembang
luas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke India di
Timur. Pada fase ini pula muncul beberapa ulama besar yang keberadaannya menjadi referensi
bagi ulama selanjutnya. Diantaranya; Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ibnu
Hambal, Imam al-Asy’ari, Imam al-Maturidi, Wasil bin ‘Ata’, Abu al-Huzail, al-Nazzam, al-
Jubba’i, Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn
Miskawaih, Ibn al-Haisam, Ibn Hayyan, al-Khawarizmi, al-Mas’udi, dan al-Razi. Fase kedua
(1000-1250 M) merupakan fase kemunduran bagi umat Islam terutama dalam bidang politik. Fase
ini ditandai dengan runtuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad dan pada akhirnya dikuasai oleh
Hulagu pada tahun 1258 M.

Periode Pertengahan (1250-1800 M) juga terbagi dalam dua fase; pertama, masa kemunduran
(1250-1500 M). Pada masa ini, umat Islam mengalami disintegrasi dan desentralisasi. Peristiwa
itu disebabkan adanya perbedaan antara kaum Sunni dan Syi’ah, serta diperparah oleh perpecahan
yang terjadi antara Arab dan Persia. Arab berdiri dengan sekutunya yang terdiri atas Arabiah,
Irak, Suriah, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai central. Sementara Persia
terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tenggara dengan Iran sebagai pusat. Sementara
umat Islam di Spanyol dipaksa untuk memeluk agama Kristen atau ke luar dari daerah tersebut.
Fase kedua (1500-1800 M) ditandai oleh munculnya tiga kerajaan besar. Fase tersebut dimulai
dari masa kemajuan (1500-1700 M) dan masa kemunduran (1700-1800 M). Ketiga kerajaan besar
itu antara lain; kerajaan Utsmani (Ottoman Empire) di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan
kerajaan Mughal di India. Masa kemajuan ketiga kerajaan besar tersebut ditandai dengan
maraknya literatur-literatur dan arsitektis yang terpasang indah di gedung-gedung masjid dengan
ciri dan corok khasnya. Sementara masa kemunduran pada periode ini ditandai dengan runtuhnya
kerajaan Utsmani yang dipukul mundur di Eropa, hancurnya kerajaan Safawi karena serangan-
serangan suku bangsa Afghan, dan mengecilnya kekuasaan kerajaan Mughal karena dipaksa
tunduk oleh para raja India. Masa tersebut, Islam menjadi agama yang statis.

Periode Modern (1800 M dan seterusnya) merupakan masa kebangkitan umat Islam kembali.
Jatuhnya Mesir ketangan Napoleon pada tahun 1798 M menjadikan umat Islam kembali
membuka mata bahwa di Barat telah muncul kekuatan-kekuatan baru yang jauh lebih besar
daripada kekuatan umat Islam yang tentunya akan menjadi ancaman tersendiri bagi
perkembangan umat Islam. Pada masa ini muncullah berbagai aliran dan ide-ide pembaharuan
dalam tubuh umat Islam.5

Pada dasarnya berbagai perkembangan dan perubahan telah muncul pada masa nabi Muhammad
Saw, Islam yang dibawa nabi Muhammad merupakan kelanjutan dari risalah-risalah yang pernah
disampaikan oleh nabi-nabi sebelumnya. Kebebasan dan hak asasi manusia telah dijunjung tinggi
sejak nabi Muhammad mengikrarkan bahwa tidak ada perbedaan antara kaum Arab dan non

5
Lihat; Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang,
Jakarta, cet. XIII, 2001, hal. 5-6. lihat juga DR. Ahmad Mahmûd Shubhĩ, fĩ ‘Ilm al-Kalâm Dirâsah
falsafiah li ârâi al-Firq al-Islamiah fĩ ushûl al-Dĩn 2 al-Asyâ’irah, Muassasah al-Tsaqâfah al-Jâmi’iyyah,
Alexande, Kairo, 1992, hal. 8-9

2
Arab, bangsa kulit putih dan kulit hitam, antara kaum borjuis dan proletar kecuali rasa takwa
kepada Allah Swt.

Setelah kita membahas tentang fenomena feminisme dalam tinjauan sosial-ekonomi pada
pertemuan yang lalu dengan saudari Nurul Fajariyah sebagai presentator, maka pada makalah
sederhana ini, penulis akan berusaha mengetengahkan beberapa pandangan umat Islam tentang
kebebasan wanita ditinjau dari problematika yang bersifat domestik atau dalam bahasa lain yang
bersifat syar’i tanpa harus menafikan tinjauan sejarah yang melatar belakangi adanya penerapan
ajaran-ajaran tersebut. Sehingga diharapkan makalah ini akan menjadi pelengkap dari edisi
sebelumnya sebagai mata rantai dari silabus yang telah disepakati.

Tinjauan Historis Teologis

Sejarah adalah silsilah, asal usul (keturunan), kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi
pada masa lampau.6 Dengan sejarah, manusia akan mampu membuka tabir kehidupan sebagai
pintu awal membangun masa depan yang lebih cerah. Sejarah juga membawa manusia kerana
objektifitas dalam melakukan penilaian terhadap fenomena-fenomena yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, kajian tentang sejarah merupakan keharusan bagi
tiap-tiap individu yang menceburkan dirinya dalam penelitian dan kajian tentang fenomen yang
terjadi di masyarakat.

Dalam konteks agama samawi, sejarah tentang kehidupan dan peran wanita telah tertuang dalam
kitab Perjanjian Lama yang diyakini sebagai kitab suci bagi kaum Yahudi. Kitab Perjanjian Lama
menempatkan wanita sebagai sumber utama dari kesalahan. Hal itu terkisahkan dalam bentuk
cerita atau kisah-kisah yangdiyakini kebenarannya. Dikisahkan bahwa Hawa adalah penyebab
dikeluarkannya Adam dari surga karena telah merayu Adam untuk ikut serta memakan buah
khuldi setelah sebelumnya dia terpesona oleh rayuan iblis. Tidak hanya itu, kitab Perjanjian Lama
juga mengisahkan peristiwa antara nabi Luth dan putrinya. Nabi Luth sebagai pembawa risalah
dijadikan sampel sebagai laki-laki yang terpesona oleh rayuan wanita, yaitu putrinya. Dikisahkan
bahwa nabi Luth melakukan uzlah ke gunung kemudian dia mendiami gua yang terdapat di
gunung tersebut. Sebagai seorang anak, putri dari nabi Luth tersebut memberikan pengabdian
dengan mengantar bahan makanan kepada ayahnya. Suatu hari, putri nabi Luth tersebut mengajak
dan menggoda nabi Luth untuk ikut serta menikmati bir yang dia bawa. Sehingga pada akhirnya
mereka terlena dalam kemabukan, kemudian mereka melakukan tindakan amoral yang pada
akhirnya menyebabkan putri nabi Luth tersebut menjadi hamil.7

Syari’ah Yahudi juga mewajibkan bagi orang yang telah meninggal untuk melimpahkan hak
waris kepada anak laki-laki tanpa sedikitpun melibatkan anak wanita. Dalam pasal 419 juga
tertulis bahwa harta benda yang dimiliki oleh istri adalah hak atau milik suami secara penuh,
sementara sang istri hanya berhak memiliki harta benda yang menjadi mahar dalam pernikahan.
Dalam pasal 429 dinyatakan bahwa laki-laki memiliki hak veto untuk menceraikan istri yang
dianggap telah melakukan tindakan-tindakan amoral seperti zina dan sebagainya. Sementara
dalam pasal 433 tertulis bahwa istri tidak memiliki hak sama sekali untuk meminta cerai
walaupun ia telah mengetahui secara nyata bahwa si suami telah melakukan tindakan amoral.
Dalam pasal 430 dinyatakan bahwa bagi suami yang tidak mampu memberikan nafkah dari hasil
kerja kepada istri selama sepuluh tahun maka wajib untuk menceraikan istrinya dan menikah

6
Lihat; Lukman Ali, et. al., op. cit., hal. 891
7
Lihat; Dr. As’ad al-Sahamrânĩ, al-Mar’ah fĩ al-Târĩkh wa al-Syarĩ’ah, Dar al-Nafâis, Bayrouth, Liban,
cet. I, 1989, hal. 43-45. Baca juga; Nasr Hâmid Abû Zhaid, Dawâir al-Khauf Qirâah fĩ Khithâb al-Mar’ah,
al-Markaz al-‘Arabiy, Bayrouth, Liban, cet. II, 2000, hal. 18-21

3
dengan wanita lain.8 Yahudi telah mengklaim wanita sebagai mahluk yang najis sehingga segala
hal yang pernah disentuhnya, baik itu berupa manusia, hewan, atau pun makanan menjadi kotor
dan najis. Ironisnya, Yahudi menyandarkan segala kesalahan atau perbuatan amoral yang
dilakukan oleh laki-laki menjadi tanggungjawab wanita.9

Dari beberapa kisah di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa wanita bagi kaum Yahudi tak ubahnya
sebagai malapetaka dan alat pemuas kebutuhan biologis bagi laki-laki. Wanita nyaris tidak
memiliki peranan penting dalam membangun tatanan kehidupan yang harmonis dan dinamis.
Kata kebebasan dan kesetaraan hanya menjadi impian utopis bagi kaum wanita Yahudi.

Sementara kaum Nasrani dengan Perjanjian Baru sebagai kitab suci yang mereka yakini
kebenarannya memposisikan wanita sebagaimana Perjanjian Lama. Mereka menyakini bahwa
wanita merupakan penyebab utama menjauhnya kaum adam atau laki-laki dari Tuhan. Mereka
menetapkan bahwa satu-satunya jalan menuju kedekatan kepada Sang Pencipta adalah dengan
menjaukan diri dari wanita. Mereka meyakini bahwa Isa As yang terbunuh dalam keadaan
tersalib diutus ke bumi untuk menembus dosa-dosa Adam yang disebabkan oleh Hawa. 10 Kaum
Nasrani juga melarang wanita untuk mengangkat suara di dalam Gereja, karena bagi mereka
suara wanita adalah penyebab atau sumber fitnah. Selain itu, Perjanjian Lama juga
mensyari’ahkan agar wanita selalu menutupi tubuhnya dengan pakean yang sederhana serta
menutupi kepalanya dengan hijab. Mereka kaum Nasrani menyakini bahwa di atas kepala wanita
terdapat syetan sehingga bagi wanita Nasrani yang tidak mau menutupi kepalanya harus
digundul.11 Al-Maududi berpendapat bahwa agama kaum Nasrani telah banyak melakukan
penyimpangan dalam menerapkan ajaran syari’ahnya. Wanita telah dijadikan sebagai sumber
kesesatan dan menyatakan bahwa kecantikan yang dimiliki seorang wanita merupakan senjata
ampuh bagi iblis untuk menyesatkan manusia.12

Secara garis besar, perlakuan Nasrani atas kaum wanita tidak jauh berbeda dengan apa yang telah
dilakukan oleh umat sebelumnya (baca; Yahudi). Nasrani menjadikan wanita sebagai orang kedua
yang ditempatkan di bawah kekuasaan laki-laki.

Islam datang ke Jazirah Arab dengan membawa ajaran-ajaran baru yang cenderung menentang
dan memperbaharui tradisi-tradisi masyarakat yang berkembang pada kala itu. Tentu saja tradisi
yang bisa diakomodir ke dalam Islam ialah yang sejalan atau tidak bertentangan dengan ajaran
dasar Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kemanusiaan. Islam menentang ajaran yang
diyakini oleh kaum Yahudi dan Nasrani yang menghegemoni kaum wanita. Islam menjawab
bahwa peristiwa keluarnya Adam dan Hawa dari surga adalah atas tipu daya yang dilakukan oleh
iblis semata tanpa mencari justifikasi kepada Adam atau Hawa. Hal itu bisa dilihat dari bahasa al-
Qur’an yang sama sekali tidak menyebutkan nama Adam atau Hawa, melainkan dengan
menggunakan gaya bahasa umum (baca; dhamir humâ).13 Islam menjunjung tinggi egaliter
dengan memposisikan wanita sebagai mahluk yang memiliki tempat yang sama di hadapan
Tuhan. Imam Mahmud Syaltut berpendapat bahwa Islam memposisikan wanita sebagai mitra
bagi kaum laki-laki, sehingga Islam menyamaratakan antara hak dan kewajiban bagi wanita dan
8
Lihat; DR. Muhammad Husânayn Ahmad al-Bathh, Dirâsât Haula al-Nizhâm al-Ijtimâ’ĩ wa al-Iqtishâdĩ
fĩ al-Islâm, Kairo, tt., hal. 64-66
9
Lihat; DR. ‘Abdul al-Muta’âli Muhammad al-Jabarĩ, al-Mar’ah fĩ al-Tashawwur al-Islâmĩy, Maktabah
Wahbah, Kairo, cet. X, 1994, hal. 159
10
Ibid., hal. 159
11
Lihat; Dr. As’ad al-Sahamrânĩ, op, cit., hal. 51-55
12
Lihat; DR. Muhammad Husânayn Ahmad al-Bathh, op, cit., hal. 67 Baca juga; ‘Athiyyah Shaqar,
Mausû’ah al-Usrah tahta Ri’âyah al-Islâm, al-Dar al-Misr li al-Kitâb, jilid 2, cet. III, tt., hal. 325
13
Lihat; Dr. As’ad al-Sahamrânĩ, op, cit., hal. 99-103

4
laki-laki.14 Islam memberikan hak bagi wanita dalam pendidikan, kehidupan, ibadah, dan dalam
menyampaikan pendapat.15 Muhammad Abduh berpendapat bahwa pengangkatan derajat
terhadap kaum wanita dalam tubuh umat Islam belum pernah dilakukan oleh agama-agama
samawi sebelumnya. Bahkan ia menyatakan bahwa wanita Eropa yang diklaim memiliki
kebebasan dalam menjalankan roda kehidupan masih memiliki batasan-batasan dengan tidak
diperkenankan memiliki harta benda tanpa adanya izin dari si suami.16

Dari pembahasan sederhana di atas, bisa diambil kesimpulan sementara bahwa Islam datang
dengan membawa ajaran baru yang lebih bersifat humanis daripada agama samawi sebelumnya.
Islam dengan ajaran-ajaran barunya telah mengislamisasikan tradisi yang ada dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat.

Tinjauan Antropologis

Setiap lingkungan memiliki tradisi dan keyakinan yang mengakar di tengah-tengah masyarakat.
Tradisi dan keyakinan tersebut dibentuk berdasarkan keinginan dan kebutuhan masyarakat
setempat. Oleh karena itu, kajian tentang antropologi merupakan keharusan dalam menilai sejarah
secara objektif. Maka tidak lengkap kiranya jika kajian tentang wanita tanpa dilengkapi dengan
kajian antropologis yang melatar belakangi adanya pengekangan dan tuntutan kebebasan wanita.

Arab pada abad ke-VI M masih berupa jazirah yang berada di kawasan Timur Tengah. Masyarkat
yang berdomisili masih bersifat nomaden. Hal itu dikarenakan kebutuhan akan bahan makanan
dan minuman yang menjadi kebutuhan pokok dalam melangsungkan kehidupan, sehingga apabila
persediaan makanan telah habis maka mereka harus mencari tempat lain yang masih
menyediakan kebutuhan bahan pokok tersebut. Kehidupan nomaden menjadikan watak dan sifat
bangsa Arab keras dan kasar. Suasana itulah yang pada akhirnya menjadikan orang-orang Arab
lebih bangga memiliki anak laki-laki dari pada wanita. Hak waris hanya diberikan kepada laki-
laki, sementara wanita hanya menerima caci-maki yang tidak manusiawi.17

Di Mesir, wanita memiliki penghormatan yang luar biasa. Wanita memiliki hak veto dalam
memimpin pasukan. Kisah Cleopatra, Arlena Cawis, Nefertiti, menjadi bukti sejarah bahwa
wanita di Mesir memiliki kekuatan dan kemampuan untuk memimpin pasukan atau kerajaan. 18
Tercatat dalam sejarah, peristiwa Fir’aun dan bala tentaranya yang tenggelam ketika melakukan
pengejaran terhadap nabi Musa. Peristiwa itu menyebabkan keberadaan wanita Mesir lebih
banyak dibanding laki-laki sehingga pada waktu itu laki-laki memanggil kaum wanita dengan
sebutan sitti (sayyidatĩ). Bahkan wanita diagungkan dengan menyembah kepadanya.19 Namun

14
Lihat; DR. Muhammad Husânayn Ahmad al-Bathh, op, cit.,hal. 81
15
Dalam hal penyampaian pendapat, dikisahkan bahwa Ummu Samah istri nabi Muhammad Saw pernah
memberikan saran kepada nabi Muhammad Saw ketika umat Islam pada waktu itu tidak mau
mendengarkan perintah Rasulullah untuk memakai kain ihram dan mencukur rambut setelah peristiwa
Hudaibiyah. Kemudian Ummu samah menyarankan kepada Rasullah agar beliau melakukan perintah itu
terlebih dahulu sebelum memerintah kepada umat Islam. Setelah Rasulallah mengikuti saran dan anjuran
dari Ummu Samma, maka secara serentak umat Islam yang ada pada waktu itu mengikuti perintahnya.
Kemudian peritiwa Khaulah binti Tsa’labah yang menyampaikan pengaduan kepada nabi Muhammad atas
perlakukan suaminya, yang menyebabkan ternjadinya dialog antara Khaulah binti Tsa’labah dan nabi
Muhammad sehingga pada akhirnya Allah menurunkan surat al-Mujâdalah.
16
Lihat; DR. Muhammad Husânayn Ahmad al-Bathh, op, cit., hal. 86
17
Ibid., hal. 77-78
18
Lihat; al-‘Amĩd al-Rakn Muhammad Dhâhir Watar, Makânah al-Mar’ah fĩ al-Syuûn al-Idâriyyah wa al-
Buthûlât al-Qitâliyyah, Muassasah al-Risâlah, Bairut, Libanon, 1979, hal. 344
19
Lihat; DR. Muhammad Husânayn Ahmad al-Bathh, op, cit., hal. 71

5
pada masa Turki Utsmani, kebebasan terhadap wanita telah mengalami pengurangan dan
pengekangan. Pada masa itu pula muncul berbagai aliran yang menghendaki adanya kebangkitan
wanita kembali. Abad XIX merupakan awal bangkitnya kembali wanita Mesir. Diantara para
pembaharu yang menghendaki kebangkitan kembali wanita Mesir antara lain; Rifâ’ al-Thahtâwiy
dalam bukunya talkhĩsh al-ibrĩz ilâ talkhĩsh bâriz (1834). Dalam buku ini al-Thahtâwiy
menuliskan tentang perjalanannya ke Paris dan pada masa-masa berdomisili di sana dalam rangka
mencari ilmu pengetahuan. Namun yang paling urgen dari kitab ini adalah pemaparan dia tentang
kemajuan dan gaya hidup masyarakat Perancis. Di dalamnya terangkum tentang sistem
pemerintahan Perancis, sistem penanganan kesehatan, sistem penerapan hukum atau
konstitusional dan sistem pendidikan serta adat-istiadat bangsa Eropa. Kemudian buku manâhij
al-albâb al-misriyyah fĩ manâhij al-adab al-Ashriyyah (1870), di dalamnya tertulis arti pentingnya
perekonomian masyarakat. Al-thahtâwiy berpendapat bahwa majunya sebuah bangsa bisa
ditempuh dengan dua hal yaitu dengan berpegang teguh pada ajaran agama dan perbaikan
ekonomi. Kemudia di dalam buku al-mursyid al-amĩn li al-banât wa al-banĩn (1872), al-
Thahtâwiy menerangkan bahwa pendidikan harus bersifat universal dengan tidak membedakan
antara golongan laki-laki dan wanita. Kaum ibu harus memiliki pendidikan yang sama sehingga
diharapkan kaum ibu bisa menemani suami dalam kehidupan intelektual dan dapat mendidik
anak-anaknya yang diharapkan dikemudian hari akan menjadi aset bangsa. Selain al-Thahtâwiy,
Mesir juga memiliki Ali Mubârak yang dengan gigih memperjuangkan dan menyuarakan
kebebasan wanita pada tahun 1823-1893 M.20 Muhammad Abduh berpendapat bahwa kaum
wanita dalam Islam sebenarnya memiliki kedudukan yang tinggi, namun karena pengaruh adat-
istiadat masyarakat yang berkembang, akhirnya wanita memiliki nilai rendah di mata
masyarakat.21 Kemudian pada perkembangan selanjutnya, kebebasan wanita yang disuarakan
lebih banyak mengarah pada tuntutan akan hak pendidikan, ekonomi dan politik.

Sementara di Eropa, wanita diperlakukan sebagai mahluk kedua setelah laki-laki. Wanita tidak
memiliki hak pendidikan, ekonomi dan politik sebagaimana laki-laki. Di Inggris, wanita dilarang
membaca kita suci Perjanjian Lama, hal itu karena dipengaruhi oleh kekuatan Gereja yang
menempatkan wanita sebagai sumber kesalahan dan kesesatan. Di Perancis, wanita baru diberi
haknya dalam bidang pendidikan pada tahun 1892 walaupun sebelumnya pada tahun 1875 telah
ada seorang wanita yang meraih gelar doktor di bidang kedokteran. 22 Berbeda dengan sumber di
atas, Ahmad Amin menulis bahwa wanita Barat lebih maju daripada wanita Timur, hal itu karena
wanita Barat memiliki kebudayaan jauh lebih luas. Wanita Barat menerapkan metodologi ilmiah
dalam mendidik dan mengajar anak-anaknya, sementara wanita Timur lebih mengedepankan
metodologi hayalan (baca; khurâfat). Wanita Barat memiliki keberanian dan keteguhan dalam
menuntut dan menjalankan hak-haknya, sementara wanita Timur hanya menunggu dan tidak mau
tahu tentang hak-haknya. Sehingga wanita Timur selalu hidup dalam kekangan laki-laki. 23

Tinjauan Teoritis

Berbagai sumber menyebutkan bahwa salah satu penyebab adanya dikotomi antara wanita dan
laki-laki karena disebabkan oleh fungsi organ tubuh dan kebutuhan biologis yang tidak sama
sejak mereka diciptakan. Masalah biologis, pisikologis, struktur sosial dan sebagainya merupakan
tema besar yang sering kali diusung dalam isu-isu feminisme, gender atau kebebasan wanita.
20
Lihat; Ahmad Husain al-Thamâwiy, Wadh’u al-Mar’ah fĩ Misr Qabla Da’wah Qâsim Amien, dalam al-
Tsaqâfah al-Jadĩdah, edisi 192, Juli 2006, Kairo, hal. 154-155 Baca juga; Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, op. cit., hal. 37-39
21
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, op. cit., hal. 70
22
Lihat; DR. As’ad al-Sahamrânĩ, op, cit., hal. 59-63
23
Lihat; DR. Ahmad Amĩn, al-Syarq wa al-Gharb, Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, Kairo, 1955, hal.
112-113

6
Manusia adalah mahluk biologis yang memiliki keistimewaan lebih dari pada mahluk lainnya.
Keistimewaan itulah yang menjadikan manusia terutus sebagai khalifah di muka bumi. Bagi
sebagian ilmuan menyatakan bahwa perbedaan unsur-unsur biologis yang terdapat pada tubuh
laki-laki dan wanita akan berpengaruh besar terhadap perkembangan emosional dan
keintelektualan. Secara garis besar perbedaan laki-laki dan wanita secara emosional bisa
digambarkan sebagai berikut:
Laki-laki Wanita
- Sangat Agresif - Tidak terlalu agresif
- Independen - Tidak telalu independen
- Tidak emosional - Lebih emosional
- Dapat menyembunyikan emosi - Sulit menyembunyikan emosi
- Lebih Objektif - Lebih subjektif
- Tidak mudah terpengaruh - Mudah terpengaruh
- Tidak submisif - Lebih submisif
- Sangat menyukai pengetahuan eksakta - Kurang menyenangi eksakta
- Tidak mudah goyang terhadap krisis - Mudah goyang menghadapi krisis
- Lebih aktif - Lebih pasif
- Lebih kompetitif - Kurang kompetitif
- Lebih logis - Kurang logis
- Lebih mendunia - Berorientasi ke rumah
- Lebih terampil berbisnis - Kurang terampil berbisnis
- Lebih berterus-terang - Kurang berterus-terang
-Memahami seluk beluk perkembangan dunia -Kurang memahami seluk-beluk
- Berperasaan tidak mudah tersinggung perkembangan dunia
- Lebih suka bertualang - Berperasaan mudah tersinggung
- Mudah mengatasi persoalan - Tidak suka bertualang
- Jarang menangis - Sulit mengatasi persoalan
-Umumnya selalu tampil sebagai pemimpin - Lebih sering menangis
- Penuh rasa percaya diri - Tidak umum tampil sebagai pemimpin
- Lebih banyak mendukung sikap agresif - Kurang rasa percaya diri
- Lebih ambisi - Kurang senang terhadap sikap agresif
- Lebih mudah membedakan antara rasa dan - Kurang ambisi
rasio - Sulit membedakan antara rasa dan rasio
- Lebih merdeka - Kurang merdeka
- Tidak canggung dalam penampilan - Lebih canggung dalam penampilan
- Pemikiran lebih unggul - Pemikiran kurang unggul
- Lebih bebas berbicara - Kurang bebas berbicara24

Menurut Sigmund Freud, kenyataan seorang laki-laki mempunyai alat kelamin menonjol yang
tidak dimiliki perempuan menimbulkan masalah kecemburuan alat kelamin yang mempunyai
implikasi lebih jauh; anak laki-laki merasa superior dan anak perempuan merasa inferior.25

24
Lihat; DR. Nasaruddin Umar, MA., Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, Paramadinah,
Jakarta, cet. I, 1999, hal. 42-43
25
Hal itu bisa dipahami dari ungkapan Sigmund Freud; she has seen it and knows she is without it and
wants to have it... the hope of someday obtaining a penis in spite of everything and so off becoming like a
man may a persist to an incredibly late age and may become a motive for the strangest and otherwise
unaccountable actions. Or again, a process may set in which might be described as a “denial”.... a girl
may refuse to accept the fact of being castrated, may harden herself in the conviction that she does posses
a penis and may subsequently be compelled to behave as though she were a man. Ibid., hal. 48

7
Agust Comte (1798-1857 M) yang menyamakan antara teori sosiologi dan biologi menyatakan
dengan teori fungsionalismenya bahwa kesatuan dalam masyarakat hanya akan terbentuk ketika
elemen-elemen biologis dan sosial yang terdapat pada tubuh organik telah solid. Herbert Spencer
(1820-1930 M) yang menjadi penerus teori Comte berusaha membedakan antara konsep
“struktur” dan konsep “fungsi” yang terdapat pada organisme masyarakat dan organisme
individu. Ia menyatakan;
“Apabila sebuah organisasi terdiri dari serangkaian konstruksi yang menyatu di mana setiap
bagian hanya dapat berfungsi melalui cara saling ketergantungan antara satu sama lainnya, maka
pemisahan salah satu bagian dari kesatuan organisasinya akan menyebabkan berubahnya fungsi
dari bagian-bagian lain secara kelesuruhan”
Sementara Emile Durkheim (1858-1917 M) menyatakan bahwa kelangsungan hidup dalam
masyarakat hanya akan bisa diperoleh ketika para elemen masyarakat telah memiliki kesadaran
dalam pembagian tugas atau kerja (division of labor).26

Dari pembahasan sederhana di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa Adanya perbedaan biologis
antara laki-laki dan wanita nyaris tidak mendapatkan pertentangan, namun yang menjadi
perselisihan adalah pengaruh atau efek dari perbedaan biologis itu dalam penyikapan perilaku
manusia.

Studi Kasus tentang Poligami

Manusia termasuk mahluk yang tercipta berpasang-pasangan sebagaimana mahluk-mahluk


lainnya. Keberpasangan merupakan sunnatullah yang telah terjadi sepanjang masa. Dalam
konteks syari’ah, istilah keberpasangan lebih dikenal dengan istilah pernikahan (al-zawâj). As’ad
al-Samrâniy berpendapat bahwa makna kalimat min nafsin wâhid memiliki makna kebersatuan
antara laki-laki dan wanita dalam lingkaran pernikahan, dengan kata lain bersama dalam
membangun rumah tangga.27 Qasim Amien seorang ahli hukum yang menempuh pendidikan di
Perancis dan memiliki kedekatan kepada Muhammad Abduh mengkritik beberapa fuqaha yang
hanya memandang bahwa pernikahan bertujuan untuk kesenangan, pengekangan terhadap wanita
dan pemenuhan kebutuhan biologis semata. Bagi Qasim Amein pengertian itu hanya akan
menurunkan derajat ajaran al-Qur’an yang secara nyata menyatakan bahwa tujuan dari
pernikahan atau keberpasangan adalah untuk menciptakan kasih sayang dan ketenangan. Kasih
sayang akan didapat ketika kedua pasangan saling menerima satu sama lainnya, saling mengerti,
saling memahami dan saling menghormati.28 al-Thahtâwiy mengutarakan bahwa pernikahan
merupakan peristiwa bersatunya dua insan yang berbeda berdasarkan ajaran-ajaran syari’ah
dengan tujuan menciptakan keturunan. Al-thahtâwiy mengamini hadis nabi yang mengatakan
bahwa keluarga tanpa adanya keturunan tidak akan mendatangkan berkah dari Allah. Hadis itu
muncul dan berkembang karena masyarakat Arab waktu itu merasa takut terhadap kemiskinan
jika harus melahirkan keturunan.29 Pernikahan adalah awal dari proses terciptanya tatanan
kehidupan keluarga. Keluarga adalah asas utama terbentuknya masyarakat dan umat. Eksistensi
masyarakat secara luas ditentukan oleh mapan tidaknya tatanan kehidupan keluarga. 30 Secara
tidak langsung, kepandaian dan kelihayan seorang wanita yang menjadi pendidik utama dalam

26
Lihat; Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang tentang Relasi Gender, Pustaka Mizan,
Bandung, cet. II, 2001, hal. 58-61
27
Lihat; DR. As’ad al-Sahamrânĩ, op, cit., hal. 75
28
Lihat; DR. ‘Imârah, op. cit., hal. 387-388. Lihat juga; Qâsim Amĩn, Tahrĩr al-Mar’ah, Maktabah al-
Adâb, Kairo, 1899, hal. 114-115
29
Lihat; Rifa’ al-Thahtâwiy, al-Mursyid al-Amĩn li al-Banât wa al-Banĩn, al-Majlis al-‘Alâ li al-Tsaqâfah,
Kairo, 2002, hal. 134-135
30
Lihat; Muhammad Abduh, al-A’mâl al-Kâmilah li al-Imâm al-Syeh Muhammad Abduh, ditahkik oleh
DR. Muhammad ‘Imârah, Dar al-Syurûq, Kairo, cet. I, 1993, hal. 171

8
keluarga akan menjadi ujung tombak bagi terbentuknya bibit-bibit bangsa. Dalam pernikahan kita
akan mengenal beberapa istilah diantaranya poligami, talak, hak waris dan sebagainya.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata poligami memiliki arti; sistem perkawinan yang salah
satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.31
Tradisi poligami telah ada sejak jaman Yunani kuno. Pada jaman itu, peran wanita hanya sebagai
pemuas nafsu laki-laki dan sebagai pelayan. Berbagai peristiwa peperangan yang terjadi sejak
tahun 415 SM telah menjadikan poligami sebagai kebutuhan yang terlegalisasikan oleh hukum
negara. Socrate termasuk filosof Yunani yang menganjurkan poligami, karena ia melihat
banyaknya wanita yang hidup tanpa pasangan karena disebabkan oleh banyaknya peperangan
yang terjadi.32

Ajaran Yahudi ikut serta melegitimasi poligami dalam kitab sucinya. Kitab Perjanjian Lama
mengajarkan bahwa nabi Ibrahim As menikah dengan Sârah, Hâjar, Qathûrah. Nabi Daud disebut
sebagai nabi yang memiliki banyak istri, sementara nabi Sulaiman dikatakan memiliki 200 istri.
Hal itu terkisahkan karena ajaran mereka mengatakan jika seorang istri ditinggal mati oleh
suaminya maka secara otomatis dia menjadi milik dari salah-satu saudara si suami.33

Jazirah Arab sebelum kedatangan Islam telah mengenal istilah pernikahan, poligami, dan
sebagainya. Pernikahan di masa Jahiliyah memiliki empat tipe, diantaranya, pernikahan yang kita
kenal saat ini atau yang lazim terjadi di tengah-tengah masyarakat, kemudian pernikahan yang
bersifat poligami. Poligami yang diterapkan pada waktu itu disesuaikan dengan keadaan
masyarakat yang sifatnya nomaden, dalam bahasa lain, bahwa kaum laki-laki di masa Jahiliyah
seringkali menikahi wanita-wanita setempat yang pernah menjadi tempat singgahan. Namun
orang-orang Arab masih menasabkan keturunannya kepada pihak keluarga ibu. Penasaban itu
tidak bermakna bahwa wanita memiliki hak dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Robertson
Smith menulis bahwa penasaban keturunan orang Arab pada pihak ibu terus berlanjut sampai
Islam datang dengan ajaran baru yaitu dengan menasabkan keturunan kepada pihak ayah.
Sementara Montgomery Watt menulis bahwa tradisi poligami di jazirah Arab telah ada sejak
sebelum datangnya Islam. Islam datang dengan memperjuangkan kebebasan wanita, hal itu
tercatat dalam sejarah bagaimana kedua istri nabi Muhammad Saw, Khatijah dan Aisyah menjadi
jargon bagi kebebasan kaum wanita Arab. Khatijah sebagai istri nabi Muhammad yang pertama
merupakan contoh seorang wanita Jahiliyah yang mampu menjalankan roda kehidupan ekonomi,
dan memberikan kekuatan pendorong bagi perjuangan sang suami. Kehidupan rumah tangga nabi
Muhammad dan Khatijah masih belum menunjukkan adanya syari’ah-syari’ah Islam dalam hal
membangun rumah tangga akan tetapi lebih didominasi oleh tradisi jahiliyah. Hal itu karena nabi
Muhammad baru menerima wahyu setelah kurang lebih lima belas tahun menikah dengan
Khatijah. Pada waktu itu usia nabi Muhammad mencapai empat puluh tahun sementara Khatijah
telah berusia lima puluh tahunan. Aisyah adalah istri nabi Muhammad yang kepadanya turun
berbagai perintah tentang hal-hal yang berkaitan dengan wanita seperti; hijab dan sebagainya.34

Secara garis besar, pembahasan poligami dalam Islam bisa dipetakan pada dua sudut pandang
yaitu kajian teologis dan sosio-masyarakat. Mahmud Syaltut mengetengahkan pembahasan
tentang poligami dalam Islam dengan dua sudut pandang yang bersamaan. Ia melakukan kajian
teologis dengan memaparkan adanya komparasi dalam surat al-Nisa’ ayat 3 dan ayat 129.
31
Lihat; Lukman Ali, et. al., op. cit., hal. 779
32
Lihat; DR. As’ad al-Sahamrânĩ, op, cit., hal. 32-33
33
Ibid., hal. 46-48
34
Lihat; Laila Ahmad, al-Mar’ah wa al-Junûsah fĩ al-Islâm al-Judzûr al-Târikhiyyah li Qadhiyyah
Jadaliyyah Hadĩtsah, diterjemahkan oleh Muny Ibrâhĩm, Hâlah Kamâl, al-Masyrû’ al-Qaumiy li al-
Tarjamah, al-Majlis al-‘Alâ li al-Tsaqâfah, Kairo, 1999, hal. 45-47

9
Komparasi itu diungkapkan sebagai bukti bahwa ajaran poligami dalam Islam tidak bersifat
anjuran akan tetapi lebih mengarah pada larangan, hal itu karena al-Qur’an sendiri telah
menegaskan bahwa tidak akan ada satupun yang mampu berlaku adil diantara wanita-wanitanya.
Yang menarik dari pembahasan Mahmud Syaltut adalah bagaimana dia mampu menjawab dan
mengkritisi pendapat-pendapat ulama terdahulu. Bahkan Mahmud Syaltut mengutip dan
mengkritik pendapat al-Ghazali tentang poligami, bagi dia, seorang al-Ghazali masih terbawa
pada fatwa-fatwa ulama terdahulu dengan menjadikan poligami sebagai anjuran, dilihat dari
kebutuhan seksual sebagian laki-laki yang tidak mungkin terpenuhi hanya dengan satu orang istri.
Sementara kajian sosial-antropologis yang dikedepankan Mahmud Syaltut adalah kemaslahatan
masyarakat. Bagi dia poligami merupakan keresahan bagi golongan wanita sehingga akan
merusak tatanan rumah tangga yang pada akhirnya akan berdampak pada tatanan masyarakat
yang lebih luas.35

Syeh Ali Jum’ah memaparkan bahwa ajaran Islam tentang poligami diiringi dengan batasan
jumlah. Hal itu bisa dilihat dalam sejarah bagaimana nabi Muhammad memerintah para sahabat
untuk memilih empat orang dari istri-istrinya dan memerintahkan untuk menceraikan selebihnya.
Islam juga memberikan persyaratan khusus dalam praktek poligami. Menurut Ali Jum’ah, tujuan
utama dari poligami dalam Islam adalah untuk membebaskan para yatim piatu dan janda-janda.
Lebih jelas dia menjelaskan tentang pentingnya sikap adil dalam menjalankan ajaran poligami.36

Muhammad Abduh berfatwa bahwa syarat diperbolehkannya poligami adalah sifat dan sikap adil.
Bagi Abduh, aturan poligami tersebut tidak hanya terbatas bagi orang-orang Timur, akan tetapi
bagi orang Barat juga. Apabila seorang laki-laki tidak mampu bersifat adil maka dianjurkan untuk
tidak melakukan praktek poligami, karena hal itu akan merusak tatanan rumah tangga yang telah
mapan. Sehingga perintah poligami bukan berupa perintah yang bersifat anjuran akan tetapi
perintah yang bersifat dibenci. Lebih lanjut Abduh menyatakan bahwa salah satu sebab
diperbolehkannya poligami adalah karena jumlah wanita melebihi kuota laki-laki, hal itu
dikarenakan adanya berbagai rangkaian peperangan. Kemudian Abduh menolak para pemikir
Barat yang menyatakan bahwa ajaran poligami dalam Islam adalah hasil adobsi dari tradisi
Jahiliyah. Islam menganjurkan poligami dengan tujuan kemaslahatan sehingga poligami dalam
Islam masih dalam pembatasan (baca; empat). Berbeda dengan tradisi Jahiliyah yang menerapkan
aturan poligami tanpa batas. Poligami dalam Islam juga bertujuan menegakkan nilai-nilai
kemanusiaan, yaitu pembebasan para wanita dari derita kemiskinan. Abduh juga menentang
aturan perbudakan dalam penerapan ajaran poligami. Karena bagi Abduh, sistem perbudakan
dalam Islam telah usai seiring dengan perkembangan dan kemajuan jaman. Terakhir Abduh
menyarankan kepada para hakim untuk melarang poligami kepada laki-laki yang dianggap tidak
mampu berlaku dan bersifat adil, karena hal itu akan merendahkan martabat wanita dan
menghancurkan masa depan keturunannya.37 Secara garis besar, pemikiran Muhammad Abduh
lebih diilhami oleh ayat suci al-Qur’an. Abduh menjadikan al-Qur’an sebagai landasan awal
dalam memaparkan pemikirannya.

Berbeda dengan Abduh, Qasim Amin lebih mendahulukan kajian sosio-masyarakat dalam
memaparkan pendapat tentang poligami. Bagi Qasim Amin poligami hanya akan merusak tatanan
keluraga yang pada akhirnya akan berdampak pada tatanan masyarakat luas. Qasim Amin
mengungkapkan bahwa tidak ada satu wanita pun yang akan rela ketika dia melihat suaminya
berduaan atau menjalin kasih dengan wanita lain sebagaimana laki-laki tidak akan pernah rela
jika melihat istrinya memadu kasih dengan laki-laki lain. Lebih lantang Qasim Amin menjelaskan
35
Lihat; Mahmûd Syaltût, al-Islâm Agĩdah wa Syarĩ’ah, Dar Syurûq, Kairo, cet. VIII, 2001, hal. 179-191
36
Lihat; ‘Aliy Jum’ah Muhammad, al-Mar’ah fĩ al-Hadhârah al-Islâmiyah baina Nushûsh al-Syar’ wa
Turâts al-Fiqh, Dar al-Salâm, Kairo, cet. I, 2006, hal. 51-51
37
Lihat; Muhammad Abduh, op. cit., hal. 177-179

10
bahwa poligami merupakan pelecehan paling besar terhadap kaum wanita, hal itu karena
poligami hanya akan menyisakan kesengsaraan, kecemasan dan kesedihan bagi kaum wanita.
Qasim Amin juga menentang secara keras ungkapan fuqaha yang menafsirkan makna adil dengan
sikap adil dalam membagi harta tanpa sikap adil dalam kasih sayang. Jika demikian adanya, maka
Qasim Amin menganggap interpretasi itu hanya memposisikan wanita tak ubahnya binatang
peliharaan. Qasim Amin juga menjelaskan bahwa tidak ada satupun laki-laki yang mampu
berbuat adil kepada para wanitanya, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, sehingga dia
menolak adanya poligami dalam konteks sikap adil. Namun lebih lanjut Qasim Amin
menjelaskan, bahwa ia sependapat dengan poligami apabila si istri memiliki penyakit yang tidak
bisa memberikan keturunan kepada si suami. Jika tidak ditemukan celah itu, maka Qasim Amin
menganjurkan kepada hakim sebagimana Muhammad Abduh untuk melarang kaum laki-laki
melakukan praktek poligami. Hal itu demi kemaslahatan rumah tangga secara khusus dan
kemaslahatan umat secara umum.38

Berbeda dengan Muhammad Abduh dan Qasim Amin, Ahmad Luthfi al-Sayyid yang menjunjung
tinggi demokrasisasi di Mesir, diklaim oleh para rival atau pesaingnya sebagai pemikir yang
menghendaki adanya demokrasisasi dalam pernikahan. Sehingga dikatakan bahwa Ahmad Luthi
al-Sayyid mendukung adanya poligami dan poliandri!39

Studi Kasus tentang Penceraian

Keseimbangan merupakan kunci utama dalam membangun kesinambungan. Keseimbangan


hanya bisa diperoleh ketika dua unsur yang berbeda saling memberi dan menerima dalam porsi
yang sama. Salah satu tujuan dari dianjurkannya ajaran pernikahan adalah untuk menyeibangkan
dua insan yang berbeda. Dalam pernikahan, sang istri diharpkan menjadi penyeimbang atau
dalam kata lain mitra bagi sang suami. Untuk itu, seorang istri harus mampu menyeimbangi
keintelektualan dan kebutuhan yang diinginkan oleh suami sebagimana sang suami juga harus
memanjakan sang istri. Di sinilah salah satu penyebab dasar digemborkannya emansipasi wanita
oleh al-Thathâwiy, Muhammad Abduh, Qasim Amin dan sebagainya.

Dalam perjalanan tentu rintangan pasti akan datang menghadang, cobaan pasti datang menghujat.
Hanya sebuah keyakinan dan tekat bulat yang akan menjadikan manusia mengerti akan arti
kehidupan. Begitu juga dalam kehidupan rumaha tangga, berbagai bentuk problematika
kehidupan selalu hadir dan memaksa untuk melakukan tindakan-tindakan yang pada akhirnya
mengarah pada penceraian. Al-thalâq, bergitu orang Arab memberikan istilah pada kata
penceraian. Al-thalâq merupakan kata serapan asing yang dalam kamus besar bahasa Indonesia
tertulis dengan kata talak. Talak memilik arti penceraian dalam hukum Islam antara suami istri
atas kehendak suami.40

Sebelum penulis membahas lebih jauh tentang talak, penulis akan mengetengahkan beberapa hak
dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam rumah tangga. Hal ini sangat urgen untuk menentukan
apakah bahtera rumah tangga akan berakhir dengan kata talak atau tidak! Diantara kewajiban
seorang istri adalah memelihara harta benda rumah tangga sebagimana kewajiban suami untuk
mengadakan harta tersebut. Diriwayatkan, apabila seorang istri menginfakkan hartanya maka dia
akan menerima pahala dari harta infak, sementara suami akan mendapatkan pahala dari jerih
payah dalam mendapatkan harta tersebut. Istri berkewajiban menjaga pergaulan dengan tidak

38
Lihat juga; Qâsim Amĩn, Tahrĩr al-Mar’ah, op. cit., hal. 123-130
39
Lihat; DR. Sâmiyah Hasan al-Sâ’âtiy, Silsilah al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah al-Mar’ah wa al-Mujtama’al-
Mu’âshir, Maktabah al-Usrah, Kairo, 2006, hal. 17
40
Lihat; Lukman Ali, et. al., op. cit., hal. 995

11
keluar rumah tanpa seizin suami sementara kewajiban suami adalah memenuhi segala kebutuhan
istri dan dengan memperlakukan istri sebaik mungkin.41

Kemaslahatan dalam rumah tangga merupakan tanggung jawab bersama antara istri dan suami.
Rasa saling pengertian, perhatian, saling memaafkan, kesabaran dan kasih sayang harus terus
dipupuk dan disiram. Paling tidak istri dan suami mampu membangun keseimbangan dalam
menjalankan kewajiban dan memperoleh hak. Hal itu akan dicapai dengan rasa adil dan
kesabaran. Tanpa itu semua, mustahil keharmonisan keluarga akan terbentuk. Ketika
keharmonisan rumah tangga telah hilang, maka jalan satu-satunya adalah talak. Pada dasarnya
talak muncul seiring dengan kebutuhan manusia akan pernikahan.

Secara teologis, talak telak diterapkan dalam kitab suci Taurat. Kaum Yahudi memperkenankan
adanya talak jika terdapat dua celah pada diri si istri. Pertama; cacat fisik, seperti; penglihat
buram, juling, bau mulut yang tidak menyenangkan, bongkok, pincang dan mandul. Kedua; cacat
akhlak, seperti; tidak memiliki rasa malu, kotor, banyak bicara, mudah emosi, durhaka, berlebih-
lebihan, tamak, rakus, dan gemar dengan makanan-makanan serta sifat sombom. Apabila suami
menemukan salah-satu dari celah tersebut di atas, maka ia berhak untuk menceraikan istrinya.
Sementara apabila istri menemukan salah-satu celah tersebut pada diri suami, maka ia tidak
berhak untuk menjatuhkan talak atau meminta untuk di talak. Perzinaan adalah penyebab utama
diperkenankannya suami menceraikan istrinya.42

Selain di atas, kaum Yahudi juga memerintah tiap-tiap suami untuk menceraikan istrinya dan
menikah dengan wanita lain apabila dalam jangka waktu sepuluh tahun dia masih belum memiliki
penghasilan. Ajaran Yahudi juga menjatuhkan hukum talak bagi suami yang berniat menceraikan
istrinya walau tanpa mengungkapkan niat itu 43 Bagi laki-laki Yahudi yang merasa tidak
mendapatkan kenikmatan dari istri-istrinya diwajibkan untuk bercerai dan memerintah si istri
menikah dengan laki-laki lain. Tanpa ada kesempatan sekali lagi untuk kembali kepangkuan
suami pertama.

Sementara perintah talak dalam syari’ah Nasrani jauh lebih manusiawi dibanding ajaran-ajaran
sebelumnya. Nasrani menetapkan barang siapa menceraikan istrinya tanpa alasan istrinya telah
melakukan perzinaan, maka ia telah terjerumus pada perzinaan. Dan barang siapa yang menikah
dengan wanita yang telah diceraikan oleh suami sebelumnya, maka ia juga telah terjerumus dalam
lembah perzinaan. Demikian tertuang dalam Ijin yang mengisahkan Isa As ketika ditanya tentang
talak.44 Kalau dikaji sekilas, perintah itu terkesan bersifat larangan terhadap talak.

Berbeda dengan ajaran sebelumnya, Islam menjadikan talak sebagai solusi paling akhir dalam
menjaga kemaslahatan rumah tangga. Talak adalah perintah yang sifatnya dibenci untuk tidak
mengatakan dilarang.45 Islam memberikan aturan-aturan khusus yang harus dijalankan sebelum
melakukan penceraian. Diantara aturan tersebut yaitu; pertama, apabila mempelai merasakan
ketidakcocokan, aturan yang diberiakan oleh Islam adalah dengan melakukan intropeksi diri
dengan keyakinan bahwa sesuatu yang dianggap jelek bisa jadi memiliki hikmah dan berkah di
dalamnya. Jika cara pertama masih belum mampu menyatukan kedua mempelai kembali, maka
yang kedua, Islam mengajarkan agar mempelai berdialektika tentang talak tanpa didasari niat atau
41
Lihat; Rifa’ al-Thahtâwiy, op. cit., hal. 278-282. Baca juga, Mahmûd Syaltût, op. cit., hal. 160-163
42
Lihat; Muhammad Rasyĩd Ridhâ, al-Thalâq fĩ al-Islâm, dalam Hishâd al-Fikr al-‘Arabiy al-Hadĩts fĩ
Qadhâyâ al-Mar’ah, Muassasah Nâsr li al-Tsaqâfah, cet. I, 1980, hal. 250-251
43
Ibdi., hal. 254. Baca juga; DR. Muhammad Husânayn Ahmad al-Bathh, op. cit., hal. 64-66
44
Lihat; ‘Abbâs Mahmûd al-‘Aqâd, al-Mar’ah fĩ al-Qur’ân, Nahdhah Misr, Kairo, 2003, hal. 91-92. Baca
juga; DR. ‘Imârah, op. cit., hal. 397
45
Ibid., hal. 95

12
keinginan kuat untuk melakukannya.46 Jika masih belum cukup menyelesaikan masalah, Islam
memerintahkan untuk berpisah ranjang atau tempat tidur. Apabila hal itu masih belum mampu
membangun keharmonisan, dan kedua mempelai, suami dan istri merasa khawatir atau takut akan
terjadi perpecahan maka aturan yang harus dipenuhi adalah dengan memanggil penengah (hakim)
dari kedua belah pihak.47 Kalaupun masih belum menemukan kata sepakat, Islam menganjurkan
untuk melakukan talak dengan masa tenggang empat puluh hari. Talak dalam Islam berlaku
sebanyak dua kali, jika sampai tiga kali maka Islam mensyari’ahkan untuk tidak menyatukan
kedua pasangan kembali kecuali telah dinikahi oleh laki-laki lain.48 Islam juga memberikan
kesempatan bagi wanita yang merasa tidak mendapatkan hak-nya untuk mengajukan talak,
dengan syarat membayar uang tebusan atau dalam istilah fikihnya disebut al-khul’.49 Islam
memberikan aturan-aturan yang begitu sulit dan berlapis-lapis, hal itu mengisaratkan bahwa talak
dalam Islam bukan perintah yang mudah dilakukan dan bukan merupakan perintah yang
dianjurkan. Karena talak akan berdampak pada perkembangan dan kemaslahatan masyarakat
secara umum.

Muhammad Abduh melihat bahwa talak akan berdampak pada kerusakan tatanan rumah tangga
yang pada akhirnya akan berpengaruh besar terhadap dinamika dan kemaslahatan masyarakat.
Oleh karena itu, Muhammad Abduh menempatkan aturan baru dengan memberikan hak
penceraian hanya kepada hakim setempat. Dengan tujuan agar tidak ada pelecehan dalam
keluarga yang menyebabkan kekerasan dan berakhir pada penceraian. Aturan-aturan itu antara
lain; pertama, apabila suami menginginkan perceraian, maka ia harus mengajukan penceraian ke
hakim dan menjelaskan sebab-sebab ketidakcocokan atau perpecahan yang terjadi. Kedua, setelah
mendengarkan keluh-kesah suami, maka hakim wajib memberikan nasehat kepada keduanya
sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan Hadis yang mengarah pada pernyataan bahwa talak adalah
perihal yang dibenci oleh agama. Setelah itu, hakim harus memberikan jedah waktu kepada
mempelai untuk berpikir lebih lanjut selama kurang lebih satu minggu. Ketiga, apabila si suami
masih bertekat untuk melakukan talak, maka tugas selanjutnya bagi hakim adalah memanggil
wali dari kedua mempelai dan mempertemukannya. Keempat, apabila masih belum menemukan
titik temu untuk membangun kembali rumah tangga, maka tugas hakim selanjutnya adalah
mengizinkan penceraian tersebut. Kelima, penceraian atau talak dinyatakan tidak syah jika tidak
dilakukan di depan hakim dan disaksikan oleh minimal dua orang saksi serta harus dalam
keadaan tertulis dalam bentuk akte cerai yang resmi. Muhammad Abduh menjelaskan bahwa
tugas pembentukan hakim adalah tugas negara dan umat Islam secara keseluruhan. Hal itu untuk
menjaga kemaslahatan generasi masa depan, keluarga dan masyarakat secara umum.50

Qasim Amin melihat bahwa talak pada dasarnya bersifat larangan, namun diperkenankan apabila
dalam keadaan darurat. Pendapat tersebut, diilhami dari beberapa ayat al-Qur’an diantaranya
surat al-Nisâ’ ayat 19, ayat 35 dan ayat 128. Ditambah dengan hadis nabi yang mengatakan
bahwa talak adalah perbuatan yang halal namun dibenci oleh Allah, serta perkataan Ali bin Abi
Thalib “menikahlah kamu dan janganlah bercerai karena itu akan merusak tatanan”. Qasim Amin
juga mengankat perihal perbedaan ulama fikih tentang hukum talak. Secara garis besar Qasim
Amin mengelompokkan pokok persoalan talak menjadi tiga bagian. Pertama, pendapat madzhab
Hanafiyah yang menyepakati adanya talak tanpa didasari oleh niat. Pendapat ini dikritik oleh
Qasim Amin karena secara langsung bertentangan dengan ajaran agama Islam tentang makna dan
fungsi niat. Kedua, kelompok ahli fikih yang membagi talak menjadi dua, pertama, talak dengan
jelas (sharĩh) dan kedua talak secara samar (kinâyah). Talak secara jelas dihukumi sebanyak satu
46
Ibid., hal. 95
47
Lihat; Mahmûd Syaltût, op. cit., hal. 170-171
48
Lihat; ‘Abbâs Mahmûd al-‘Aqâd, op. cit., hal. 95-96
49
Lihat; Mahmûd Syaltût, op. cit., hal. 172
50
Lihat; Muhammad Abduh, op. cit., hal. 174-175

13
kali dan memungkinkan untuk kembali lagi, sementara talak yang tidak jelas dihukumi sebagai
talak tiga kali dan tidak diperkenankan untuk kembali lagi kecuali setelah dinikahi oleh orang
lain. Sementara madzhab Syafi’iyah berpendapat bahwa talak yang samar dihukumi sebagai satu
kali talak dan memungkinkan untuk kembali. Ketiga, golongan yang secara umum menyepakati
bahwa batasan talak sampai tiga terkecuali dalam masa haid, namun mereka masih berpeda
pendapat dalam memahami kata “talak tiga”. Qasim Amin berbeda pendapat dengan para fuqaha
yang lebih menitik beratkan pada persoalan bahasa. Qasim Amin menegaskan bahwa makna dari
talak adalah keinginan mempelai untuk memutuskan tali pernikahan karena berbagai alasan dan
pertimbangan, sehingga talak tidak bermakna mengucapkan kata yang terdiri dari beberapa huruf
sebagaimana dipersoalkan oleh para ahli fikih. Qasim Amin menyayangkan tindakan para ahli
fikih yang hanya berputar pada lingkaran bahasan bahasa tanpa melihat lebih jauh tentang sejarah
dan sebab-sebab dibolehkannya talak. Qasim Amin menjelaskan, kita sekarang hidup dimasa
beribu-ribu laki-laki dan beribu-ribu talak. Seolah-olah kaum laki-laki memiliki kekuatan penuh
untuk mempermainkan istrinya dengan ajaran talak. Oleh karena itu, Qasim Amin mengamini
pendapat Muhammad Abduh dengan aturan-aturan tentang diperbolehkannya talak.51

Studi Kasus tentang Hak Waris dan Kesaksian Wanita

Kehidupan bagaikan jarum jam yang selalu berputar, perputaran yang memiliki keterkaitan antara
satu titik dengan titik yang lain. Begitu juga alam raya, ia tercipta dalam keterikatan antara satu
unsur dengan unsur lainya. Hagel dengan teori ketergantungannya mengatakan bahwa tidak ada
satu unsurpun yang mampu berdiri dengan sendirinya. Ia mengkiaskan bahwa angka satu bisa ada
karena sebelumnya ada angka nol begitu juga seterusnya.

Tujuan dari terbentuknya keluarga adalah karena teori ketergantungan dan keterikan itu. Istri
diwajibkan memberikan hak-hak suami sebagaimana suami juga diwajibkan menjalankan
kewajibanya memenuhi hak-hak istri. Perhatian dan pengertian merupakan kunci utama menuju
keharmonisan keluarga. Untuk itu, setiap individu dalam keluarga memiliki kesamaan dalam hak
dan kewajiban sesuai dengan fitrah masing-masing!

Hak waris merupakan salah-satu problematika keluarga yang sampai saat ini masih menjadi
perhatian khusus para pemerhati gender, hak asasi manusia dan sebagainya. Kata waris memiliki
makna orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal.52 Secara
teologis, ajaran Yahudi melarang wanita atau istri untuk memiliki harta benda yang dimiliki oleh
suami, hal itu sebagai rentetan dari pelecehan atas kaum wanita. Dalam kitab Perjanjian Lama
tertulis bahwa tiga golongan yang tidak berhak memiliki harta benda yaitu; istri, anak dan
budak.53 Arab Jahiliyah menetapkan bahwa wanita tidak berhak untuk menerima harta warisan
dari suami, bahkan wanita tidak berhak memiliki harta suami kecuali harta rampasan perang. Di
Perancis pada awal abad ke-XIX setelah revolusi Perancis, wanita masih belum diberi hak untuk
mendapatkan atau memiliki harta benda yang dimiliki oleh suami tanpa seizin dan restu dari
suami.54

Pada masa saat ini, banyak pemerhati kajian keislaman yang menyatakan bahwa agama Islam
menempatkan hak asasi kaum wanita lebih rendah daripada kaum laki-laki. Hal itu dilihat dari
aturan yang diterapkan dalam Islam tentang pembagian harta warisan dan kesaksian wanita.
51
Lihat; DR. ‘Imârah, op. cit., hal. 399-406. Baca juga; Qâsim Amĩn, Tahrĩr al-Mar’ah, op. cit., hal. 130-
145. Bandingkan dengan, Muhammad Abduh, op. cit., hal. 174-175
52
Lihat; Lukman Ali, et. al., op. cit., hal. 1125
53
Lihat; DR. As’ad al-Sahamrânĩ, op, cit., hal. 27
54
Ibid., hal. 210

14
Mereka melandaskan pendapatnya pada ayat al-Qur’an surat al-Nisâ’ ayat 11 tentang hak waris
dan surat al-Baqarah ayat 282 tentang kedudukan wanita sebagai saksi. Mahmud Syaltut
menjawab bahwa persoalan hak waris dalam Islam bukan dititik beratkan pada persoalan hak
asasi manusia yang harus rata antara laki-laki dan wanita, akan tetapi lebih melihat pada aspek
kebutuhan dan tanggungjawab laki-laki yang jauh lebih banyak daripada wanita. Laki-laki dalam
Islam memiliki kewajiban untuk menafkahi istri, anak dan sanak saudaranya, sedangkan wanita
tidak memiliki tanggungjawab itu. Begitu juga laki-laki dalam Islam memiliki kewajiban
memberi maskawin atau mahar kepada istri, sementara istri diberi hak untuk menentukan
nominasi maharnya. Sehingga bagi Mahmud Syaltut, pembagian harta warisan yang diterima oleh
laki-laki melebihi jatah wanita tidak bisa dikatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.55

Rasyid Rida dalam bukunya huqûq al-nisâ’ fĩ al-Islâm memaparkan bahwa tanggungjawab dan
kebutuhan laki-laki terhadap harta benda jauh lebih banyak dibanding wanita. Rasyid Rida juga
memaparkan bahwa laki-laki memiliki kewajiban membayar mahar ketika akan menikah dengan
wanita dan memiliki kewajiban untuk menafkahkan sebagian hartanya kepada fakir miskin
sebagaimana Mahmud Syaltut menjelaskan di atas.56 Ali Jum’ah menambahkan bahwa laki-laki
juga memiliki tanggung jawab menafkahi istri walaupun si istri memiliki harta benda.57

Sementara untuk menjawab rongrongan dari pemerhati Islam yang menganggap ajaran Islam
telah menurunkan derajat wanita dalam perihal kesaksian, Mahmud Syaltut benjawab bahwa
surat al-Baqarah ayat 282 tidak menerangkan tentang kesaksian wanita dalam peradilan akan
tetapi isyarat yang mengarah pada ketenangan dan ketentraman hati bagi para amil yang mencatat
dan menjadi saksi dalam pencatatan piutang. Muhammad Abduh memaparkan bahwa persoalan
harta benda bukan urusan atau tugas utama bagi wanita sehingga daya ingat atau kepekaannya
terhadap harta benda tergolong lemah. Sementara daya ingat laki-laki terhadap harta benda sangat
kuat.58

Ali Jum’ah menjelaskan bahwa kesaksian adalah tangungjawab yang besar dan berat, maka
ketika Islam menganjurkan adanya dua saksi dari wanita, secara tidak langsung telah menjadikan
wanita lebih terhormat karena tidak terbebani oleh tanggungjawab yang tinggi. Ada kesamaan
dalam kesaksian antara wanita dan laki-laki, diantaranya; pertama, kesaksian seorang wanita
dalam melihat bulan sabit pada bulan ramadhan sama dengan kesaksian seorang laki-laki. Kedua,
kesaksian seorang wanita dianggap sama dalam peradilan (mulâ’inah). Ketiga, kesaksian seorang
wanita dapat diterima dalam persoalan khusus bagi wanita seperti; kelahiran, penyusuan,
kesaksian terhadap penyakit yang ada di balik baju seperti keperawanan, penyakit kusta dan
sebagainya. Keempat, kesaksian seorang wanita yang hanya menyaksikan dengan kesendiriannya.
Kelima, kesaksian seorang wanita yang didahului oleh kesaksian laki-laki setelah mendengar
kabar dari dua saksi. Keenam, kesaksian yang berbeda dalam hal penetapan riwayat.59

Kesaksian dalam Islam tidak mengarah kepada jumlah akan tetapi bagaimana seorang hakim bisa
merasa percaya dan tenang dengan kesaksian seorang saksi baik itu wanita atau laki-laki dilihat
dari kepribadian dan penampilannya. Hal itu diperkuat oleh pendapat Ibnu Taimiyah, Ibnu
Qayyim, Muhammad Abduh dan Mahmud Syaltut. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa
keterangan diperoleh dari penuntut, sementara sumpah dilakukan oleh terdakwah. Keterangan
bisa diterima dari empat, tiga, dua atau satu saksi. Jika keterangan yang disampaikan penuntut
55
Lihat; Mahmûd Syaltût, op. cit., hal. 237-239
56
Ibid., hal. 213
57
Lihat; ‘Aliy Jum’ah Muhammad, op. cit., hal. 28
58
Lihat; Mahmûd Syaltût, op. cit., hal. 239-240
59
Lihat; ‘Aliy Jum’ah Muhammad, op. cit., hal. 41-43

15
memenuhi keriteria, maka terdakwa berhak dihukum. Imam Malik dan Ahmad berpendapat
bahwa keterangan yang diberikan oleh seorang wanita yang berakal, istiqamah dalam
menjalankan ajaran agamanya, dapat dijadikan bukti atau bisa dikabulkan. 60 Dari beberapa
pendapat di atas, membuktikan bahwa kesaksian seorang wanita memiliki kedudukan yang sama
dalam Islam. Adapun yang dimaksud surat al-Baqarah ayat 282 hanya sebatas pada persoalan
piutang yang disebabkan karena daya ingat wanita yang terkesan lemah dalam mengingat perihal
harta benda. Pada akhirnya, Islam menyamaratakan antara kesaksian seorang wanita dan
kesaksian seorang laki-laki.61
Epilog
Masa kolonialisme telah melahirkan para pembaharu Islam yang membawa pencerah-pencerah
baru bagi perubahan dan pengembangan penerapan ajaran agama Islam. Al-Thatawiy dengan
teori pendidikan dan ekonominya telah berhasil memberikan konstribusi progresif bagi
perkembangan dan kemajuan Mesir pada jamanya. Begitu pula Muhammad Abduh dengan teori
pendidikan dan pembelaanya terhadap kaum tertindas menjadikan ia sebagai sosok yang selalu
dikenang. Qasim Amin dengan dua karya besarnya tahrĩr al-mar’ah dan al-mar’ah al-jadĩdah
telah berhasil membongkar kejumutan yang menimpa umat Islam pada waktu itu.
Masa kolonialisme dalam bentuk peperangan telah semakin pudar, imprealisme selalu muncul
dalam bentuk dan wajah baru. Kesiapan, kesigapan dan pertahanan umat Islam tentu sangat
dibutuhkan. Dan untuk menjawab itu semua tidak ada jalan lain selain kembali memperlajari
ajaran-ajaran keislaman yang tidak hanya berlandaskan pada al-Qur’an, hadis, pendapat ulama
dahulu, akan tetapi juga berlandaskan pada kebutuhan dan tantangan masyarakat modern yang
semakin lama semakin komplek. Islam sebagai sebuah ajaran telah sempurna dengan berakhirnya
wahyu dari Allah kepada nabi-Nya Muhammad Saw, namun problematika umat dan jaman masih
terus berkembang. Oleh karena itu mari kita kaji bersama! Walahu’alam.
Oleh; Muhammad Masykur Abdillah
Mahasiswa al-Azhar tk. III, Jurusan Tafsir

60
Ibid., hal. 44-45
61
Firman Allah dalam surat al-Nur ayat 6-9; Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal
mereka tidak mempunyai saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian orang itu adalah dengan
bersumpah dengan atas nama Allah sebanyak empat kali, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang
benar. Dan (sumpah) yang kelima; bahwa murka Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang
berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpah suaminya sebanyak empat kali atas nama
Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima;
bahwa murka Allah atasnya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar.

16

Anda mungkin juga menyukai