Anda di halaman 1dari 10

Andalusia Neneng Permatasari dan Susi Fauziah

Linguistik Kognitif
Pendahuluan
Dalam penyelidikan bahasa terdapat dua aliran, yaitu aliran formal dan
fungsional. Aliran formal di antaranya generative grammar sering dikaitkan dengan
pandangan Noam Chomsky. Aliran ini melakukan penyelidikan bahasa dengan
asumsi bahwa bahasa adalah mental faculty dan kemampuan berbahasa ditopang oleh
pengetahuan bahasa tertentu. Pengetahuan bahasa, struktur dan tata bahasa,
merupakan autonomous modules, independen dari proses mental, memori dan
reasoning ‘pikiran’ atau external modularity. Aliran formal menggunakan internal
modularity untuk analisis bahasa, misalnya fonologi, sintaksis, semantik, dsb. Secara
eksternal, analisis bahasa tidak mengacu kepada mental faculty lain dan secara
internal analisis bahasa, misalnya sintaksis, tidak mengacu kepada semantic content
(Saeed 2005: 343).

“Dalam model generatif, struktur ekspresi bahasa ditentukan oleh formal rule
system yang sama sekali terlepas dari makna.... Generatif grammarian
berpendapat bahwa manusia seperangkat konstruksi dalam otaknya (universal
grammar) yang khusus untuk bahasa. ... there is a specific “organ” in human
brain devoted exclusively to language” (Lee 2001:1).

Di pihak lain, aliran fungsionalisme memiliki pandangan yang berbeda. Aliran


ini menyatakan bahwa secara eksternal, penggunaan bahasa mewujudkan asas-asas
Kognitif, dan secara internal analisis bahasa harus bersifat cross boundaries di antara
tingkat analisis bahasa. Aliran ini menegaskan bahwa pemerian gramatika tidak akan
lengkap tanpa melibatkan makna.
Konsep Dasar Lingusitik Kognitif
Pandangan linguistik kognitif beroposisi dengan pandangan aliran formalisme.
Lingusitik kognitif berpendapat bahwa tidak ada pemisahan antara pengetahuan
bahasa dengan general thinking ‘pikiran’ atau kognisi. Linguistik kognitif
memandang bahwa perilaku berbahasa merupakan bagian dari kemampuan kognitif
yang memungkinkan manusia untuk mengetahui sesuatu, dsb. Senada dengan
fungsionalisme, lingusitik kognitif berpandangan bahwa pemisahan tingkat analisis
bahasa sangat riskan dalam pengkonsepsian bahasa. Contohnya, sintaksis tidak
otonom dari semantik atau pragmatik. Analisis gramatika harus melibatkan makna
dan konteks tutur. Pemerian pola gramatika tidak dapat hanya dengan kaidah sintaksis
saja tetapi juga melibatkan makna yang dimaksudkan oleh si penutur dalam konteks
Andalusia Neneng Permatasari dan Susi Fauziah

Linguistik Kognitif
pemakaian bahasa.
Menurut kognitif semantik makna ‘meaning’ dibentuk bedasarkan struktur
konseptual konvensional. Oleh sebab itu, struktur semantik dan domain kognisi
merefleksikan kategori mental yang kita bentuk dalam pengalaman hidup dan perilaku
kita.
Kognivis berargumen bahwa struktur bahasa merupakan refleksi langsung
kognisi, yaitu ekspresi bahasa tertentu berkaitan dengan suatu cara
konseptualisasi situasi tertentu. Walaupun mungkin ada kaidah universal yang
mengendalikan bahasa, tetapi kaidah-kaidah tersebut berakar dari kognisi (Lee
2001:1).

Secara pintas lingusitik kognitif dapat direpresentasikan dengan slogan


“linguistic knowledge is part of general cognition (Saeed 2005: 343)”

1. Hubungan Linguistik Kognitif dengan Linguistik Antropologi

Linguistik kognitif dan linguistik antropologi sama-sama berpijak pada teori


Linguis Amerika Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Hal inilah yang menjadikan
linguistik antropologi dikatakan mempengaruhi linguistik kognitif. Teori Edward
Sapir dan Benjamin Lee Whorf itu dikenal dengan hipotesis Sapir-Whorf, yang
mengatakan bahwa bahasa itu memiliki kedudukan sentral. Bahasa (struktur bahasa)
membentuk cara berpikir penutur-penuturnya, dan sebagai konsekuensinya
menentukan bagaimana mereka itu melihat dunia ini (sudut pandang) (Asim
Gunarwan, 2007: 25).

Bahasa memang tidak membentuk pandangan dunia (world view), melainkan


hanyalah menyebabkan para penuturnya cenderung memiliki pandangan tertentu.
Artinya, karena bahasa yang dipakailah, kita cenderung berbeda dalam melihat dunia.
Kesimpulannya, bahasa itu cenderung mempengaruhi cara pandang pada dunia dan
cara pandang itu secara tidak langsung membentuk budaya, maka bahasa dapat
dikatakan mempengaruhi budaya. Oleh karena itulah bahasa dikatakan sebagai bagian
dari budaya.

Kesamaan pijakan inilah yang membuat linguistik kognitif memiliki hubungan


dengan linguistik antropologi. Jika linguistik antropologi mengatakan bahwa bahasa
ditentukan oleh keadaan budaya masyarakat penuturnya, maka linguistik kognitif
meyakini bahwa bahasa ditentukan oleh kognisi penuturnya masing-masing.

Seperti halnya salah satu pemikiran penting dari linguistik kognitif bahwa tata
Andalusia Neneng Permatasari dan Susi Fauziah

Linguistik Kognitif
bahasa (grammar) itu konseptualisasi yang merupakan oposan dari truth-conditional
(logical) semantics, maka dalam pemaknaan terhadap sesuatu pun linguistik kognitif
menyatakan bahwa konsep yang saling terkait dengan tanda bahasa dipengaruhi juga
oleh pengalaman. Bagaimana sebuah kata pada akhirnya berhasil menunjukkan, atau
menyimbolkan, sebuah makna terletak pada asumsi dasar bahwa kata menunjukkan,
atau menyimbolkan, sebuah ‘konsep’, sebuah unit makna (Croft dan Cruse 2005:7).
‘Konsep’ yang disimbolkan oleh kata tersebut dapat dibandingkan atau bahkan
dikontraskan satu sama lain (Croft dan Cruse 2005:7).

Perbandingan kata ini merupakan salah satu pendekatan yang digunakan oleh
semantik struktural yang memang ‘bertugas’ menganalisis tipe-tipe relasi makna
antarkata. ‘Konsep’ yang disimbolkan oleh kata juga didefinisikan oleh pendekatan
logical semantics atas dasar kondisi kebenaran-nya (its truth condition), yakni
kondisi yang melatari sebuah konsep yang bergantung pada situasi (Croft dan Cruse
2005:7). Dalam pemahaman ini, terlihat bahwa ‘konsep’tidak mengambang secara
acak di dalam benak manusia.

Dalam hal ini, ‘konsep’ merupakan ‘yang ditandai’ dan ‘kata’ merupakan citra
akustik atau ‘yang menandai’. Namun semantik kognitif memberi penekanan lebih
jauh yakni bahwa ‘konsep’ juga dapat diatur tidak melulu berdasarkan relasinya
dengan ‘kata’ yang mewakilinya namun juga diatur dalam benak dan kognisi
berdasarkan pengalaman (Croft dan Cruse 2005:7). Beberapa konsep bahkan ‘saling
memiliki satu sama lain’ karena saling diasosiasikan dan diambil berdasarkan
pengalaman. Sebagai contoh, konsep yang disimbolkan oleh kata restoran tidak
hanya merepresentasikan makna ‘sebuah institusi penyedia barang dan jasa kuliner’,
melainkan juga terkait dengan konsep-konsep lainnya seperti pelanggan, pelayan,
pemesanan, aktivitas makan, hidangan, bon makan, dan lain-lain. Konsep-konsep
ini tidak berelasi secara makna struktural seperti berelasi secara hiponimi, antonimi,
atau meronimi, melainkan berelasi berdasarkan pengalaman (manusia dalam
kehidupan sehari-hari).

Kata restoran ketika diucapkan dipengaruhi oleh pikiran masing-masing


penuturnya, oleh karena itu untuk konsep restoran itu sendiri tentu setiap penutur
memiliki konsepnya sendiri. Untuk yang ada di kota besar, restoran haruslah tempat
penyedia barang dan jasa kuliner yang nyaman baik tempat ataupun pelayanannya.
Andalusia Neneng Permatasari dan Susi Fauziah

Linguistik Kognitif
Ruangannya besar, makanan beragam, dan pelayanan yang maksimal. Jika tidak
seperti itu bukanlah restoran melainkan warung, pondok, dan lain-lain. Lain hal untuk
masyarakat yang ada di desa, konsep restoran pastilah berbeda dengan konsep yang
ada pada masyarakat kota besar.

Perbedaan konsep ini menunjukkan pengalaman yang berbeda sekaligus cara


pandang yang berbeda tentang restoran. Cara pandang ini ada dalam pikiran (kognisi)
masing-masing individu, dan cara berpikir ini terkadang dipengaruhi oleh keadaan
budaya (konteks dan situasi) di mana kegiatan berbahasa itu terjadi. Hal inilah yang
memperlihatkan adanya suatu hubungan antara linguistik kognitif dan linguistik
antropologi.

2. Hubungan Linguistik Kognitif dengan Generative Grammar

Pada awalnya, linguistik kognitif dikembangkan sebagai sebuah teori bahasa


yang dikembangkan sebagai teori yang beroposisi dengan paradigma dominan dalam
bidang bahasa, yaitu teori generative grammar yang diasosiasikan dengan Noam
Chomsky (Croft dan Cruse, 2005:1). Hal tersebut dapat dilihat dari para pendukung
linguistik kognitif yang sebelumnya merupakan muridnya Chomsky, seperti Fillmore.
Hal ini terjadi karena Fillmore dan lain- lain menganggap bahwa teori kognitif
linguistik berhasil mendalami hal- hal yang gagal dibahas oleh generative grammar
(Lee, 2004: 1).

Menurut Croft dan Cruse (2005: 1), linguistik kognitif memiliki tiga hipotesis
utama, yaitu:

1. Bahasa bukanlah sebuah cognitive faculty yang otonom


2. Grammar adalah sebuah konseptualisasi
3. Pengetahuan berbahasa lahir dari penggunaan bahasa
Hipotesis pertama jelas sekali sangat berlawanan dengan generative grammar.
Seperti yang telah diketahui bersama, generative grammar menganggap kemampuan
berbahasa manusia sebagai suatu kemampuan kognitif khusus, otonom dan berbeda/
terpisah dengan kemampuan kognitif lainnya yang bersifat nonlinguistik. Akan tetapi,
menurut kognitif linguistik, representasi pengetahuan linguistik sama dengan
representasi konseptual lainnya. Selain itu, proses kognitif linguistik sama dengan
proses kognitif non linguistik, seperti persepsi visual, berfikir atau aktivitas motorik
Andalusia Neneng Permatasari dan Susi Fauziah

Linguistik Kognitif
(Croft dan Cruse, 2005: 2). Oleh karena itu, bertolak belakang dengan generative
grammar yang membagi linguistik pada tingkatan- tingkatan yang berbeda (fonologi,
morfologi, sintaksis, semantik dll) dan menganggap sintaksis sebagai titik sentral
pembahasan linguistik, linguistik kognitif menganggap bahwa linguistik adalah
representasi kognitif seseorang sehingga tidak terjadi pemisahan tingkatan linguistik.

Sedangkan hipotesis kedua merupakan oposan terhadap truth-conditional


(logical) semantics. Dalam truth- conditional semantics (semantik struktural), makna
harus dipahami berdasarkan kesesuaiannya dengan kenyataan, yaitu sesuai atau tidak
sesuai. Jadi, semantik struktural memahami realitas sebagai realitas objektif yang
dapat dinilai benar atau salahnya. Sedangkan menurut linguistik kognitif, realitas
tidaklah eksis. Yang eksis adalah bagaimana manusia memahami realitas tersebut
berdasarkan makna yang dipahaminya. Oleh karena itu, aspek utama dari kemampuan
kognitif manusia adalah konseptualisasi dari pengalaman yang dikomunikasikan
kepada orang lain dan konseptualisasi pengetahuan linguistik yang kita miliki (Croft
dan Cruse, 2005: 3).

Hipotesis ketiga merupakan oposan terhadap generative grammar dan truth-


conditional (logical) semantics. Jadi, kategori dan struktur dalam semantik, sintaksis,
morfologi dan fonologi terbentuk dari ujaran tertentu yang digunakan pada peristiwa
tertentu(Croft dan Cruse, 2005: 4). Hal tersebut menunjukkan pentingnya konteks
dalam suatu ujaran. Sebagai contoh, dalam kasus ironi, makna penggunaan suatu kata
dalam suatu peristiwa yang satu dengan peristiwa lainnya dapat berbeda. A berkata
pada B: “Bajumu bagus!” Padahal sebenarnya jika konteks ujaran diteliti, ternyata
baju yang dikenakan B robek dan jelek. Jadi, kata bagus yang digunakan pada
konteks ini memiliki makna sindiran dan berbeda dengan makna kata bagus pada
umumnya.

Selanjutnya, karakteristik utama yang membedakan secara signifikan antara


linguistic kognitif dari generative grammar adalah hal penempatan makna (Lee,
2004:1). Dalam generative model, struktur sebuah ekspresi bahasa ditentukan oleh
sistem aturan formal yang independen dari maknanya. Oleh karena itu, sintaksis
adalah tingkatan tersendiri dan terpisah dari semantik. Sedangkan lingusitik kognitif
berargumen sebaliknya, yakni struktur bahasa merupakan cerminan kognisi si
penutur. Oleh karena itu, ekspresi-ekspresi bahasa tertentu berkaitan dengan
Andalusia Neneng Permatasari dan Susi Fauziah

Linguistik Kognitif
pengkonseptualisasian situasi yang melatari eskpresi bahasa tersebut (Lee, 2004: 1).

Sebagai tambahan, maka tidaklah mengherankan kalau semantik kognitif


dalam linguistik kognitif diidentifikasi sebagai bagian dari fungsionalisme, yakni
sebuah cara pandang terhadap bahasa yang secara eksternal meyakini bahwa dalam
prinsip-prinsip penggunaan bahasa terkandung prinsip-prinsip kognitif, dan secara
internal, penjelasan atau deskripsi terhadap sebuah konsep dalam bahasa bersifat
lintas batas yang melibatkan berbagai tataran analisis (Saeed 2003:343).

Karakteristik pembeda tersebut pada akhirnya menyebabkan perbedaan cara


pandang terhadap hubungan yang ada antara bahasa dan kognisi secara umum.
Generative grammar menyatakan bahwa Universal Grammar, yaitu seperangkat
prinsip pemeroduksian bahasa terdapat di kepala setiap penutur bahasa. Sedangkan
linguistik kognitif menyatakan bahwa meskipun prinsip universal yang mengatur
produksi bahasa itu benar ada, tetapi prinsip universal tersebut hanya akan dapat
ditemukan dalam proses kognisi. Oleh karena itu, para kognitivist cenderung skeptis
atau kurang percaya tentang keberadaan ‘organ’ bahasa dalam diri tiap manusia (Lee,
2004: 1).

3. Konsep-konsep dasar Linguistik Kognitif

Ada beberapa konsep dasar dalam teori linguistik kognitif yang menunjukkan
hubungan antara pikiran, makna dan struktur linguistik.

a. Konstrual (Pembentukan secara sintaksis)

Menurut linguistik tradisional, peran bahasa adalah memetakan elemen-


elemen yang ada dalam dunia nyata ke dalam bentuk bahasa. Oleh karena itu, bahasa
sebagai cerminan dari dunia nyata diatur melalui aturan formal grammar. Sebaliknya,
linguistik kognitif membantah hal tersebut dengan menyatakan bahwa situasi tertentu
dapat dibentuk/ diciptakan dalam berbagai cara, di mana tiap cara tersebut akan
menciptakan konseptualisasi yang berbeda (Lee, 2004: 2).

Sebagai contoh:

(1) “Dhuha gives the diamond ring to Eneng”

(2) “Dhuha gives Eneng the diamond ring”


Andalusia Neneng Permatasari dan Susi Fauziah

Linguistik Kognitif
Linguistik tradisional akan menganggap bahwa kalimat (1) dan (2) adalah
sama karena situasinya juga sama. Akan tetapi, linguistik kognitif menganggap kedua
kalimat tersebut memiliki konseptual yang berbeda dalam menyajikan satu situasi
yang sama. Pada kalimat (1), objek yang diutamakan adalah the diamond ring.
Sedangkan pada kalimat (2), objek yang diutamakan adalah Eneng.

b. Perspektif (Cara Pandang)

Faktor lain yang berhubungan dengan konstrual adalah perspektif, yaitu cara
pandang yang digunakan dalam merekonstruksi bahasa (Lee, 2004: 2). Sebagai
contoh:

Dalam suatu situasi, Eneng duduk di antara Dhuha dan Harjuli. Kita dapat
menggunakan cara pandang yang berbeda untuk menggambarkan situasi yang sama.

Dari sebelah kanan, kita mengatakan: (1) Eneng duduk di samping Harjuli.

Dari sebelah kiri, kita mengatakan: (2) Eneng duduk di samping Dhuha.

Contoh lainnya:

(1) Dhuha tertarik kepada Eneng.

(2) Eneng tertarik kepada Dhuha.

Pada kalimat (1), cara pandang yang digunakan adalah cara pandang Dhuha.
Oleh karena itu, ketertarikan yang dimaksud adalah ketertarikan seorang laki- laki
terhadap seorang wanita sebagai contoh, ketertarikan secara fisik (kecantikan) atau
tertarik karena sikap Eneng yang feminin atau keibuan. Akan tetapi, pada kalimat (2),
cara pandang yang digunakan adalah cara pandang Eneng. Jadi, yang dimaksud
adalah ketertarikan seorang wanita terhadap seorang laki- laki, seperti ketertarikan
secara fisik (kegagahan dan ketampanan) atau tertarik pada sikap Dhuha yang
maskulin atau macho.

Contoh lainnya:

(1) Pak Yusup Irawan pelit.


Andalusia Neneng Permatasari dan Susi Fauziah

Linguistik Kognitif
(2) Pak Yusup Irawan hemat.

Pada kalimat (1), kata pelit memiliki konotasi yang tidak baik, yaitu tidak suka
menggunakan uang untuk hal yang berguna atau kebaikan. Sebagai akibatnya, subjek
ditampilkan secara negatif. Sedangkan pada kalimat (2), kata hemat memiliki
konotasi yang baik, yaitu menggunakan uang dengan penuh perhitungan. Jadi, subjek
ditampilkan secara positif.

c. Foregrounding

Faktor kedua yang terlibat dalam pembentukan konstrual adalah


foregrounding, yaitu penekanan satu komponen dalam satu situasi yang sama (Lee,
2004: 4).

Sebagai contoh:

(1) Dhuha mencintai Eneng.

(2) Eneng mencintai Dhuha.

Pada kalimat (1), subjek yang ditekankan atau menjadi inti pembicaraan
adalah Dhuha. Sedangkan pada kalimat (2), subjek yang menjadi inti pembicaraan
adalah Eneng.

Contoh lainnya:

(1) Para mahasiswa menyukai Bapak Umar Muslim dan ibu Felicia.

(2) Bapak Umar Muslim dan ibu Felicia disukai oleh para mahasiswa.

Pada kalimat (1) yang memiliki bentuk aktif, subjek yang ditekankan atau
menjadi inti pembicaraan adalah para mahasiswa. Sedangkan pada kalimat (2) yang
memiliki bentuk pasif, subjek yang ditekankan atau menjadi inti pembicaraan adalah
bapak Umar Muslim dan ibu Felicia.

d. Metafora

Konsep metafora berkaitan dengan konstrual karena cara berpikir yang


berbeda mengenai sebuah fenomena dapat diasosiasikan dengan metafora yang
berbeda. Sebagai contoh, konsep kedekatan (intimacy) dapat direpresentasikan oleh
Andalusia Neneng Permatasari dan Susi Fauziah

Linguistik Kognitif
metafora yang berhubungan dengan jarak (Lee, 2004: 6). Sebagai contoh:

(1) Bu Sri merasa dekat dengan pak Adi karena mereka memiliki latar belakang yang
sama.

(2) Itra adalah seorang wanita yang sangat mandiri sehingga ia sulit didekati oleh pria
manapun.

(3) Pak Umar adalah seorang pribadi yang rendah hati sehingga terkesan kalau ia
tidak berjarak dengan mahasiswanya.

Untuk lebih jelasnya, metafora adalah gaya bahasa yang


mengkonseptualisasikan satu domain pengalaman dengan menggunakan domain
lainnya atau memahami sesuatu melalui sesuatu yang lain. Jadi, dalam
mengidentifikasi metafora, kita akan menemukan source domain dan target domain
(Lee, 2004: 6).

Sebagai contoh: Yusup adalah seorang bintang kelas. Jadi, source domainnya
adalah seseorang yang selalu juara atau ranking satu di kelas. Sedangkan target
domainnya adalah bintang kelas, yaitu konsep abstrak dari suatu hal yang bagus.

e. Frame

Frame bukanlah makna sebuah kata tetapi adalah suatu konsep yang harus ada
supaya suatu kata dapat dipahami maknanya (Lee, 2004: 8). Sebagai contoh, kata
emak dalam bahasa Sunda dapat dimengerti jika kita mengetahui dan memahami
hubungan kekerabatan dalam bahasa Sunda, yaitu kaitan antara bapa, uwa, emang,
dan lain- lain.

Ada hubungan yang erat antara konsep frame dan foregrounding (Lee, 2004:
6). Sebagai contoh, segi tiga terbalik hanya dapat dipahami jika kita sudah
mengetahui apa yang dimaksud dengan segi tiga tersebut atau definisi segi tiga. Jadi,
seperti halnya kata emak, segi tiga terbalik juga adalah kata yang menjadi foreground
dengan cara menempatkan sebuah elemen dalam frame yang lebih besar.

Frame bersifat multidimensional (Lee, 2004: 8). Sebagai contoh kata ibu
dalam bahasa Indonesia memiliki dimensi konseptual dan kultural.

(1) Itra adalah ibunya Hadiyansyah.


Andalusia Neneng Permatasari dan Susi Fauziah

Linguistik Kognitif
(2) Ibu Itra dipersilakan memasuki ruangan.

Pada kalimat (1), ibu berada pada frame genetik dan merujuk pada hubungan
biologis di mana itra adalah ibu kandung Hadiyansyah karena ia melahirkannya ke
dunia. Pada tataran dimensi konseptual, makna ibu kontras dengan kata lain seperti,
ayah, anak perempuan, anak laki- laki, dan lain- lain. Selain itu, ibu dibedakan
oleh fitur semantik yang membedakannya dengan kata lain yang berada dalam frame
yang sama. Sedangkan kata ibu pada kalimat (2), berada pada frame sosial atau
dimensi kultural. Pada tataran ini, kata ini membawa asosiasi makna yang
jangkauannya kompleks sehingga akan sulit didefinisikan secara jelas tetapi bisa
dipahami saat diinterpretasikan sesuai dengan konteksnya.

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: (1)
Linguistik kognitif memiliki hubungan yang erat dengan antropologi linguistik karena
kedua teori tersebut sama- sama berpijak pada hipotesis Sapir-Wolf. (2) Linguistik
kognitif adalah teori yang bertolak belakang dengan generative grammar. (3) Ada
lima konsep dasar dalam linguistik kognitif, yaitu konstrual, perspektif,
foregrounding, metafora dan frame.

Sumber Rujukan

Croft & D. Alan Cruse. 2005. Cognitive Linguistics. Cambridge Press: United
Kingdom.
Gunarwan, Asim. 2007. Pragmatik Teori dan Kajian Nusantara. Jakarta: Penerbit
Universitas Atma Jaya.
Lee, David. 2001. Cognitive Linguistics: An Introduction. Oxford: United Kingdom.
Saeed, John L. 2005. Semantics. Blackwell: United Kingdom.

Anda mungkin juga menyukai