Anda di halaman 1dari 28

ANNISA NURUL IZMI

1751141014

SASTRA INDONESIA 2017

MAKRO LINGUISTIK
A. PSIKOLINGUISTIK

1. Keterkaitan Antara Bahasa dan Pikiran

Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami
ujaran. Dapat dikatakan bahwa psikolinguistik adalah studi tentang mekanisme mental yang
terjadi pada orang yang menggunakan bahasa, baik pada saat memproduksi atau memahami
ujaran .Dengan kata lain, dalam penggunaan bahasa terjadi proses mengubah pikiran
menjadi kode dan mengubah kode menjadi pikiran. Ujaran merupakan sintesis dari proses
pengubahan konsep menjadi kode, sedangkan pemahaman pesan tersebut hasil analisis kode.

Bahasa sebagai wujud atau hasil proses dan sebagai sesuatu yang diproses baik
berupa bahasa lisan maupun bahasa tulis, sebagaimana dikemukakan oleh Kempen
dalam Marat (1983: 5) bahwa Psikolinguistik adalah studi mengenai manusia sebagai pemakai
bahasa, yaitu studi mengenai sistem-sistem bahasa yang ada pada manusia yang dapat
menjelaskan cara manusia dapat menangkap ide-ide orang lain dan bagaimana ia dapat
mengekspresikan ide-idenya sendiri melalui bahasa, baik secara tertulis ataupun secara
lisan. Apabila dikaitkan dengan keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh seseorang,
hal ini berkaitan dengan keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis.

Semua bahasa yang diperoleh pada hakikatnya dibutuhkan untuk berkomunikasi. Karena
itu, Slama (Pateda, 1990: 13) mengemukakan bahwa psycholinguistics is the study of
relations between our needs for expression and communications and the means offered to
us by a language learned in ones childhood and later psikolinguistik adalah telaah tentang
hubungan antara kebutuhan-kebutuhan kita untuk berekspresi dan berkomunikasi dan
benda-benda yang ditawarkan kepada kita melalui bahasa yang kita pelajari sejak kecil dan
tahap-tahap selanjutnya. Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan
lainnya dalam kata-kata yang terbahasakan. Bahasa yang dipelajari semenjak anak-anak
bukanlah bahasa yang netral dalam mengkoding realitas objektif. Bahasa memiliki orientasi
yang subjektif dalam menggambarkan dunia pengalaman manusia. Orientasi inilah yang
selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia berpikir dan berkata.
Perilaku yang tampak dalam berbahasa adalah perilaku manusia ketika berbicara dan
menulis atau ketika dia memproduksi bahasa, sedangkan prilaku yang tidak tampak adalah
perilaku manusia ketika memahami yang disimak atau dibaca sehingga menjadi sesuatu yang
dimilikinya atau memproses sesuatu yang akan diucapkan atau ditulisnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan ruang lingkup Psikolinguistik yaitu penerolehan
bahasa, pemakaian bahasa, pemproduksian bahasa, pemprosesan bahasa, proses
pengkodean, hubungan antara bahasa dan prilaku manusia, hubungan antara bahasa dengan
otak. Berkaitan dengan hal ini Yudibrata, (1998: 9) menyatakan bahwa Psikolinguistik
meliputi pemerolehan atau akuaisisi bahasa, hubungan bahasa dengan otak, pengaruh
pemerolehan bahasa dan penguasaan bahasa terhadap kecerdasan cara berpikir, hubungan
encoding (proses mengkode) dengan decoding (penafsiran/pemaknaan kode), hubungan
antara pengetahuan bahasa dengan pemakaian bahasa dan perubahan bahasa).

Manusia sebagai pengguna bahasa dapat dianggap sebagai organisme yang beraktivitas
untuk mencapai ranah-ranah psikologi, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Kemampuan menggunakan bahasa baik secara reseptif (menyimak dan membaca) ataupun
produktif (berbicara dan menulis) melibatkan ketiga ranah tadi.

Neisser dalam Syah (2004:22) mengatakan bahwa istilah cognitive berasal


dari cognition yang padanannya knowing berarti mengetahui. Dalam arti yang
luas cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan

Dalam perkembangan selanjutnya istilah kognitiflah yang menjadi populer sebagai salah
satu domain, ranah/wilayah/bidang psikologis manusia yang meliputi perilaku mental manusia
yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pemecahan masalah, pengolahan
informasi, kesengajaan, dan keyakinan.

Menurut Chaplin dalam Syah (2004:22) mengemukakan bahwa ranah ini berpusat di otak
yang juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian
dengan ranah rasa. Ranah kognitif yang berpusat di otak merupakan ranah yang yang
terpenting Ranah ini merupakan sumner sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya,
yaitu ranah efektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Dalam kaitan ini Syah (2004: 22)
mengemukakan bahwa tanpa ranah kognitif sulit dibayangkan seseorang dapat berpikir.
Tanpa kemampuan berpikir mustahil seseongr tersebut dapat memahami dan meyakini
faedah materi-materi yang disajikan kepadanya.

Afektif adalah ranah psikologi yang meliputi seluruh fenomena perasaan seperti cinta,
sedih, senang, benci, serta sikap-sikap tertentu terhadap diri sendiri dan lingkungannya.
Sedangkan, psikomotor adalah ranah psikologi yang segala amal jasmaniah yang konkret dan
mudah diamati baik kuantitas maupun kualitasnya karena sifatnya terbuka (Syah, 2004:
52).
Beberapa ahli mencoba memaparkan bentuk hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih
disempitkan lagi, bagaimana bahasa mempengaruhi pikiran manusia. Dari banyak tokoh yang
memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran, penulis melihat bahwa paparan Edward
Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh berbagai peneliti dalam meneliti
hubungan bahasa dan pikiran.

Sapir dan Worf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk
dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Sapir dan Worf menguraikan dua
hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.

Hipotesis pertama adalah lingusitic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa


perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa
(nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang
menggunakan bahasa tersebut.

Hipotesis kedua adalah linguistics determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa
mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain,
struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam
bahasa.

Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan beroperasinya aspek
formal bahasa, misalnya gramar dan leksikon. Whorf mengatakan grammatical and lexical
resources of individual languages heavily constrain the conceptual representations available
to their speakers. Gramar dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu representasi
konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut. Selain habituasi dan aspek formal
bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep Whorf dan Sapir adalah masalah
bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia yang akan menjadi premis dalam
berpikir, seperti apa yang dikatakan oleh Whorf berikut ini :

Kita membelah alam dengan garis yang dibuat oleh bahasa native kita. Kategori dan tipe
yang kita isolasi dari dunia fenomena tidak dapat kita temui karena semua fenomena
tersebut tertangkap oleh majah tiap observer. Secara kontras, dunia mempresentasikan
sebuah kaleidoscopic flux yang penuh impresi yang dikategorikan oleh pikiran kita, dan ini
adalah sistem bahasa yang ada di pikiran kita. Kita membelah alam, mengorganisasikannya
ke dalam konsep, memilah unsur-unsur yang penting.

Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial dan mengkondisikan pikiran individu tentang
sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya
dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh
simbol-simbol bahasa tertentu yang menjadi medium komunikasi sosial. Tidak ada dua
bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai
masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik
yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentag dunia
dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun
berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yangmasuk seperti yang diprogramkan
oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang
berbeda memiliki perbedaan sensori pula (Rakhmat, 1999).

2. Kompleksitas dalam Ujaran dan Pikiran

Pada umumnya suatu pemikiran yang kompleks dinyatakan dalam kalimat yang kompleks pula.
Hal ini, dapat diartikan pula apabila dalam mengungkapkan sebuah kalimat, dibutuhkan
pemikiran yang kompleks. Kompleksitas makna dalam kalimat yang kompleks muncul, karena
dalam kalimat tersebut terdapat proposisi yang jumlahnya sangat banyak. Dalam penerapan
proposisi-proposisi tersebut dapat bertindak sebagai anak kalimat yang menjadi pelengkap
untuk kalimat induk, selain itu, kalimat itu dapat diperpanjang selama setiap akhir dari
kalimat tersebut adalah nomina.

Kompleksitas makna dapat terwujud dalam bentuk-bentuk lain, salah satu penyebabnya
adalah karena keadaan. Menurut kalian psikolinguistik, hal ini terbagi menjadi dua, yakni
netral (unmarked) dan tak netral (marked). Seperti terlihat pada contoh berikut :

a. UNS mempunyai 120.000 mahasiswa yang terbagi menjadi 9 fakultas.

b. UNS mempunyai 70.000 mahasiswi.

Kata mahasiswa pada (a) bersifat netral, karena kata mahasiswa mempunyai arti luas, yakni
semua pelajar baik laki-laki dan perempuan. Sedangkan pada (b) mempunyai makna pelajar
perempuan saja, pada makna ini disebut tak netral, karena telah mengerucut pada salah
satu kelompok jenis kelamin saja.

Dalam sebuah kalimat yang menggunakan bahasa Inggris, netral dan tak netral akan lebih
mudah untuk dijelaskan, seperti pada kalimat berikut ini:

a. How tall is your daughter?

b. How short is your daughter?

Dalam kalimat tersebut jika ditanyakan pada seseorang maka lebih mudah untuk menjawab
pertanyaan (a) daripada (b), karena kalimat (a) mempunyai sifat netral. Dalam pembelajaran
psikolinguistik konsep netral (unmarked) umumnya merujuk pada makna positif. Dalam
bahasa Inggris, kata-kata netral mempunyai sisi kebalikannya,
misal happy menjadi unhappy. Sedangkan pada kata tak netral, misal sad, tidak dapat kita
membuat sisi positifnya.

3. Gejala Psikolinguistik Orang Marah.


Secara umum psikologi seseorang berbeda-beda. Hal ini terlihat dari setiap gejala yang
dirunut misalnya pada saat seseorang marah. Kemarahan setiap orang tentunya tidak bisa
ditebak secara pasti, karena gejala yang diperlihatkan kadang kala tidak sesuai dengan
kenyatannya. Misalnya saja orang yang jengkel belum tentu dia marah. Orang yang marah,
terkadang bisa saja tenang bahkan malah tertawa. Ini membuktikan bahwa setiap keadan
jiwa seseorang berbeda-beda.

Di bawah ini akan diilustrasikan mengenai gejala psikolinguistik orang marah, adapun
identitas dari subjek penelitian ini adalah sebagai berikut. Contoh:

1. Nama : Ni Luh Ari Susanti

Alamat : Benda, Kec. Sirampog, Kab. Brebes.

Umur : 20 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

2. Nama : Kadek Asdinata

Alamat : Benda, Kec. Sirampog, Kab. Brebes.

Umur : 19 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Ilustrasi gejala psikolinguistik marah yang dapat dirunut adalah sebagai berikut.

Ari Susanti yang akrab dipanggil Arik adalah seorang mahasiswi di X jurusan Pendidikan
Ekonomi. Arik mempunyai seorang pacar yang bernama Kadek Herman Ariasta. Seperti
biasa, sekitar pukul 7 malam Arik ditelepon pacarnya. Awalnya biasa-biasa saja, tetapi
terdengar nada suara Arik semakin lama semakin tinggi. Arik marah-marah kepada pacarnya
dengan berujar Brengsek beberapa kali. Setelah itu Arik membanting pintu kamarnya.
Selain itu terdengar pula suara barang pecah. Ia mengurung diri sambil menangis. Ketika
teman-teman lain mengetuk pintu dan memanggil Arik, tidak ada jawaban. Inilah kemarahan
yang diperlihatkan Arik.

Jadi, kesimpulannya, gejala yang dapat dirunut dari keadaan marah pada sampel pertama
yaitu :

1. Diam, tidak mau bicara dengan orang lain.

2. Memaki-maki atau melontarkan kata-kata kasar.

3. Membanting barang untuk melampiaskan kemarahan.


Kadek Asdinata adalah mahasiswa jurusan D3 Informatika di undiksha. Kadek Asdinata
memiliki sifat yang sangat emosional, cepat tersinggung dan cepat marah. Suatu malam,
Kadek menelepon ke rumah untuk meminta uang karena uang saku yang diberikan oleh orang
tuanya seminggu yang lalu sudah habis. Ternyata, orang tuanya tidak memiliki uang dan
mereka justru ragu kepada kadek, takut kalau uang saku yang mereka berikan bigunakan
untuk hura-hura. Kadek marah-marah ditelepon dan dengan kasar membanting
handphonenya ke kasur. Mukanya merah, dan langsung memukul tembok. Ketika diajak
berbicara, ia hanya diam. Inilah kemarahan yang diperlihatkan Asdinata, yang tidak jauh
berbeda dengan subjek pertama.

Jadi, kesimpulannya, gejala yang dapat diruntut dari keadaan marah pada sampel kedua
yaitu:.

1. Cemberut

2. Diam, tidak mau berbicara

3. Memukul pintu atau tembok

4. Aspek Linguistik dari Gejala Psikolinguistik Orang Marah

Kadang kala dalam keadaan marah seseorang masih saja bisa mengungkapkan kesedihannya
dengan berkata-kata sesuai dengan keinginannya entah disampaikan dengan teman
dekatnya, atau bahkan berbicara sendiri tanpa disadari. Hal tersebut dikarenakan cara
penyampaikan seseorang jika dalam keadaan marah berbeda-beda mengingat karekteristik
setiap orang pun berbeda-beda. Dibawah ini akan disajikan aspek linguistik pada
psikolinguistik marah yang diungkapkan melalui percakapan sebagai berikut.

Pengamatan yang dilakukan pada sampel yang pertama.

Dialog ilustrasi di bawah ini sedang marah sebagai berikut.

Arik: Dek, nyen to Rina?

Kadek: timpal ajak dek magae. Engken saying?

Arik: dugasne maan pesu kone jak Rina to, saja?

Kadek: DEk jak Rina Cuma matimpal biasa.

Arik: mun dek sing nu saying jak rik orahin gen. dek selingkuh kan jumah?

Kadek: sing ada, saying!

Arik: da Boong, brengsek!!!

Kata-kata yang menunjukkan gejala marah adalah :


Da boong, brengsek!!! (kalimat tersebut diujarkan dengan nada yang tinggi/membentak)

Ciri ciri lingustik dari psikolingustik marah sebagai berikut:

1. Bahasa yang diujarkan kasar

2. Bahasa yang diujarkan keras

Penggunaan bahasa dengan intonasi yang tinggi/keras menunjukkan secara jelas


bahwa Arik dalam keadaan marah.

Pengamatan yang dilakukan pada subjek yang kedua, yaitu Kadek Asdinata

Dialog yang diamati pada saat subjek ini sedang marah adalah sebagai berikut.

Kadek: pak, titipin pis jak Eva, nah? Pis yange suba telah.

Bapak: anggon gena, dek? Dugasne kan ba baang?

Kadek: anggon mayah buku jak baju kelas.

Bapak: Seken to? Nyanan anggon dek ngawag-ngawag pise?

Kadek: Nah! Da ba kirimange pis. Terserah lamun sing percaya ajak panak padidi.

Kata-kata yang menunjukkan gejala marah adalah :

Nah! Da ba kirimange pis. Terserah lamun sing percaya ajak panak padidi.

Ciri ciri lingustik dari psikolingustik marah sebagai berikut

1. Bahasa yang diujarkan kasar

2. Bahasa yang diujarkan menggunakan intonasi yang tinggi

3. Bahasa yang diujarkan terdengar sinis

Penggunaan bahasa dengan intonasi yang tinggi/keras menunjukkan secara jelas bahwa Ari
dalam keadaan marah. Ketika dimintai maaf oleh temannya, jawaban yang diberikan oleh Ari
sangat sinis. Hal tersebut juga dengan jelas bahwa Ari memperlihatkan gejala orang yang
sedang marah.

5. Aspek Pikiran dari Gejala Psikolinguistik Orang Marah

Dalam melakukan sesuatu atau mengungkapkan suatu ide pokok tentunya dipengaruhi oleh
proses kognitif. Di dalam pikiran, seseorang akan memiliki suatu keinginan untuk bisa
menyampaikan perasaan mereka entah itu dengan memperlihatkan tingkah laku ataupun
berujar. Dari hasil observasi yang dilakukan, aspek kognitif yang dapat dicermati yaitu
sebagai berikut.
1. Aspek pikiran yang mempengaruhi Arik marah yaitu Arik menduga pacarnya yang berada
di Denpasar sudah tidak setia lagi, sehingga pacarnyaselingkuh. Arik merasa kecewa dan
dikhianati oleh pacarnya.

2. Aspek pikiran yang mempengaruhi Kadek Asdinata marah adalah alasan Kadek yang
menelepon ke rumah untuk meminta uang lagi tidak dipercayai oleh orang tuanya. Kadek
Asdinata merasa kecewa karena ia tidak dipercayai oleh orang tuanya sendiri.

B. SOSIOLINGUISTIK

Analisis data dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah analisis struktur wacana
percakapan. Setelah melakukan analisis terhadap strukturnya baru dilanjutkan dengan
analisis secara sosiolinguistik. Analisis data ini adalah analisis urutan dari transkrip
percakapan yang akan menunjukkan apakah ada interpretasi makna sosial dari ujaran atau
percakapan. Apakah ada keberadaan budaya dari etnis Jawa yang tergambar dari transkrip
percakapan tersebut. Transkrip yang telah dianalisis ini kemudian dihubungkan dengan
situasinya, apakah percakapan terjadi antarpedagang, antarapenjual serta pembeli, dan
untuk pembeli bisa dipilah lagi menjadi pelanggan-bukan pelanggan, beretnis sama-berbeda
etnis. Dari sini hipotesis penelitian tentang pilihan kode, hubungan sosial antar anggota
pasar, dapat dibentuk.

Analisis struktur wacana akan menjawab pertanyaan penelitian ini yaitu pertanyaan pertama
dan kedua. Berikut salah satu percakapan di pasar X.

Tabel 1. Fungsi Penutur Ujaran Fungsi ujaran


ujaran di pasar
X
Giliran
1 Pembeli Bu, ada apel Fuji? Pertanyaan
2 Penjual Berapa yang? Pertanyaan
3 B Mau beli satu Jawaban
kilo.
4 B Tapi bisa ditawar Pertanyaan
nggak Bu?
5 J Ya Konfirmasi
6 J Berapa? Bertanya
7 B Sepuluh ribu Bertanya
bisa?
8 J Ooo, nggak bisa Membantah/menolak
yang,
9 J lima belas ribu. Pernyataan
10 B Oooo Pernyataan
11 B ya udah Bu, nggak Menutup percakapan
jadi.
12 J Yoo Konfirmasi
13 B2 Ibu, berapa? Pertanyaan
14 J Apa,anggur? Pertanyaan
15 B2 Ya Pertanyaan
16 B2 berapa? Pertanyaan
12 J Tigapuluh tiga Jawaban
ribu
13 B2 Nggak bisa Pertanyaan
kurang Bu?
14 J Nggak bisa. Jawaban
15 B2 Ooo Menutup percakapan
16 J Koe opo wae? Pertanyaan
17 B3 Jeruk Jawaban
18 J Tiga ratus kali Pernyataan
empat kali empat
puluh enam.
19 J apel Fuji satu ya? Pertanyaan
20 J tiga empat lima Pernyataan
21 J Pir-e nggowo po Pertanyaan
ora?
22 B3 Sik, tak pikirne Jawaban
ndisik
23 J Lebihnya banyak Pernyataan
24 B3 Kurange, ngawur Membantah
wae
25 J Lha wong iki luwih Membantah
26 B3 Lambene pait Bantahan
27 J Yo, yo. Sing sabar Penerimaan
28 B3 Alah yo ra Bantahan
nyampe lah
26 J Go rene sing Perintah
telung atus
27 J Wis? Pertanyaan
28 J Pir-e njalok Pertanyaan
patang kilo?
29 B3 Yo Jawaban
30 B3 Pir-e njalok Pernyataan
patang kilo
31 J Nek mu ngetung Perintah
ki arep kene
mboe
32 J Pir-e patang kilo, Pernyataan
beh, okeh tenan
33 B3 Eleh-eleh, batine Pernyataan
seneng
34 J Wong koq moto Pernyataan
duiten.
Pada dua percakapan awal, percakapan dimulai oleh pembeli menggunakan bahasa Indonesia.
Pada percakapan ketiga, penjual yang menginisiasi percakapan. Fungsi yang muncul adalah
Pertanyaan, Pernyataan, dan tawaran. Berikut rekapitulasi jumlah fungsi ujaran dari masing-
masing pihak.

Rekapitulasi Fungsi Ujaran 1.Bukan Pelanggan

? + - @ ! # * < > ^
Penjual 2 1 1 1 0 0 0 1 0 1
Pembeli 1 3 1 0 2 0 0 0 1 0 1
Rekapitulasi Fungsi Ujaran 2.Pelanggan

? + - @ ! # * < > ^
Penjual 5 0 0 5 2 0 0 1 0 1
Pembeli 3 0 3 0 2 0 0 0 1 0 1
Catatan:

-Pertanyaan (?), -Mengiyakan (+), - Menidakkan (-),-Pernyataan (@)

-Perintah (!), -Melaksanakan (#), -Menolak (*), -Tawaran (<), -Penerimaan (>), -Penolakan (^)

Dari analisis struktur, terlihat bahwa ujaran berpasangan tidak selalu berbanding secara
simetris.

1. ANALISIS SOSIOLINGUISTIK

Wacana percakapan adalah refleksi interaksi sosial dari masyarakat yang menggunakannya.
Wacana ini dapat menjelaskan kepada pendengarnya sikap para penutur dalam berinteraksi.
Suatu saat penutur menjadi bagian dari dunia yang tidak terpisah-pisah oleh budaya dan
tradisi tertentu tetapi di saat lain mereka menarik diri ke dalam keanggotaan etnis atau ras
tertentu.

Inilah yang terjadi dalam percakapan antara pedagang di pasar dan antara pedagang dengan
pembeli. Untuk menganalisis fenomena ini, data wacana percakapan ini dapat dianalisis
dengan pendekatan sosiolinguistik. Pendekatan sosiolinguistik yang dimaksud adalah
pendekatan yang menggunakan fenomena adanya alih kode dan campur kode dalam
percakapan.

Alih kode adalah peristiwa pergantian bahasa atau berubahnya satu ragam bahasa ke ragam
lainnya karena sebab-sebab tertentu (Abdul Chaer dan Agustina 1995). Romaine (1995)
mendefinisikan alih kode sebagai pemilihan kode yang di dalamnya penutur mengganti ragam
ujaran berdasarkan konteks dan domain pembicaraan, biasanya perubahan ragam standar ke
ragam daerah, tetapi juga dari satu bahasa ke bahasa yang lain.

Pada bagian ini disajikan ilustrasi data sebagai contoh analisis pola-pola alih kode.

Transkrip 1 Percakapan di pasar Pasir Gintung

Pembeli (B) : Anggur berapa Bu?

Penjual (J) tiga puluh tiga ribu

B : nggak iso kurang? (tidak bisa kurang?)

J : Nggak

B2 : Lek, apel Fuji

J : Terus opo meneh? (terus apa lagi?)

B2 : Sing tak peseni wingi? (yang saya pesan kemarin?)

J : Gong, rung teko. (kosong, belum datang)

B2 : Yo,yo. (ya,ya)

Pada percakapan di atas, ada tiga peserta percakapan. Satu penjual (J), dan dua pembeli (B
dan B2). B2 adalah langganan si penjual sementara B tidak. Dalam waktu yang hampir
bersamaan kedua pembeli ini datang membeli buah kepada penjual. Pada pembeli B, si
penjual tetap menggunakan bahasa Indonesia walaupun B sudah berupaya melakukan alih
kode menggunakan bahasa Jawa dengan ujaran nggak iso kurang agar dapat lebih jauh
masuk kepada si penjual secara budaya tetapi tidak ditanggapi. Pada penggalan ini code
switching B tidak ditanggapi oleh J. Hal yang sebaliknya terjadi kepada pembeli B2. Dengan
inisiasi percakapan menggunakan sapaan Lek ia diterima oleh si penjual dan mereka
meneruskan percakapan jual beli itu dengan menggunakan bahasa Jawa. Secara otomatis J
melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. Jadi faktor pelanggan yang
datang dan beretnis Jawa mendorong penjual untuk melakukan alih kode situasional.

2. JENIS-JENIS ALIH KODE


Alih kode terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu; 1) Alih Kode Situasional; 2) Alih Kode
Metaforikal. Percakapan antarpedagang atau antarpembeli dan penjual di pasar ini yang
terjadi adalah alih kode situasional, yaitu alih kode untuk mencapai tujuan sesaat sesuai
dengan setting sosial percakapan, dalam hal ini tujuannya adalah berjual beli dengan seting
di pasar, situasinya informal. Tingkat formalitas semakin menurun bila penjual bertemu
dengan penjual, atau penjual bertemu dengan pelanggan.

C. PRAGMATIK

Di dalam arus percakapan, tuturan (T) yang bermuatan implikatur pecakapan (IP) meluncur
bersama T lain yang berupa tuturan-langsung. Untuk memahami keberadaan suatu IP,
menurut Grice (1991:310), petutur perlu mengolah data yang berupa: (1) makna konvensional
kata-kata yang dipakai beserta referensinya, jikalau ada; (2) prinsip kerja sama (PK) dan
maksim-maksimnya; (3) konteks linguistiknya; (4) hal-hal yang berkaitan dengan latar
pengetahuan; dan (5) kenyataan adanya kesamaan dari keempat hal itu pada partisipan, baik
pada penutur (n) maupun pada petutur (t), dan keduanya dapat saling memahami.

Menurut Leech (1989:13) pragmatik adalah studi makna dalam kaitannya dengan situasi
ujaran (SU). Oleh karena itu, prasyarat yang diperlukan untuk melakukan analisis pragmatik
atas T, termasuk T yang bermuatan IP, adalah situasi ujaran yang mendukung keberadaan
suatu T dalam percakapan. Situasi ujaran meliputi unsur-unsur: (1) penutur (n) dan petutur
(t); (2) konteks; (3) tujuan; (4) tindak tutur atau tindak verbal; (5) tuturan (T) sebagai
produk tindak verbal; (6) waktu; dan (7) tempat. Selanjutnya, untuk mengenal lebih jauh
tentang analisis pragmatik dan contoh penggunaannya, dalam pembahasan ini secara
berurutan dibahas perihal (1) konteks, (2) satuan analisis, (3) contoh analisis, dan (4)
penutup.

1. KONTEKS

Pemahaman konteks sangat diperlukan dalam analisis pragmatik. Mengapa? Bertolak dari
pemahaman konteks inilah satuan-satuan bahasa dalam suatu tuturan dapat dijelaskan.
Konteks ialah segala aspek yang berkaitan dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah
tuturan. Leech (1989:13) mengartikan konteks sebagai pengetahuan latar belakang tuturan
yang sama-sama dimiliki baik oleh n maupun oleh t dan yang membantu t menafsirkan makna
T. Dengan demikian, konteks dapat mengacu pada T sebelum dan sesudah T yang dimaksud,
mengacu kepada keadaan sekitar yang berkaitan dengan kebiasaan partisipan, adat istiadat,
dan budaya masyarakat. Konteks pun dapat mengacu pada kondisi fisik, mental, serta
pengetahuan yang ada di benak n maupun t.
Unsur waktu dan tempat terkait erat dengan hal-hal tersebut. Oleh karena itu, konteks
sangat besar andilnya dalam D. T selalu memuat tujuan yang hendak dicapai oleh n. Tujuan
dapat berupa tujuan personal yang dicerminkan oleh proposisi (P) pada T atau berupa tujuan
sosial seperti menaati prinsip pragmatik yang berupa PK dan prinsip sopan santun (PS).

Tujuan personal lazimnya dicapai melalui tujuan-tujuan sosial. Dalam hal ini Leech merasa
lebih tepat memakai istilah tujuan atau fungsi daripada memakai makna yang dimaksud n
atau maksud n mengucapkan sesuatu. Berkaitan erat dengan tujuan adalah tindak tutur,
terutama tindak ilokusi atau yang biasanya hanya disebut ilokusi. Tindak itu berperan
menegosiasikan suatu P di antara n dan t dalam komunikasi. Jika tata bahasa berurusan
dengan maujud statis yang abstrak seperti kalimat (dalam sintaksis) dan P (dalam
semantik), pragmatik berurusan dengan tindak tutur atau performansi verbal yang terjadi
dalam SU tertentu.

Dengan demikian, pragmatik menangani bahasa pada tingkatan yang lebih kongkret daripada
tata bahasa. Tindak tutur pada mulanya dicetuskan oleh seorang filosof Inggris, Austin
(1962), dalam bukunya How to Do Things with Words. Austin pada dasarnya memandang
bahwa manusia, dengan menggunakan bahasa dapat melakukan tindakan-tindakan yang
disebut tindak tutur (speech Act). Austin (1978:101) membedakan adanya tiga macam
tindak tutur, yakni lokusi, ilokusi dan perlokusi. Ketiganya terjadi secara serentak. Lokusi
mengaitkan suatu topik dengan suatu keterangan dalam suatu ungkapan (subjek-predikat).
Ilokusi yaitu tindakan mengucapkan suatu pernyataan, tawaran, pertanyaan, dan sebagainya.
Perlokusi yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada t sesuai dengan
situasi dan kondisi pengucapan ungkapan. Menurut Nababan (1987:18), dalam ilmu bahasa
lokusi dapat disejajarkan dengan predikasi, ilokusi dengan bentuk kalimat (berdasarkan
maknanya), dan perlokusi dengan maksud ungkapan.

Berdasarkan ide Austin itu, Searle (1987:24), murid Austin, mengemukakan bahwa suatu
tindak tutur mendukung tiga macam tindak yang terjadi secara simultan, yakni (1) tindak
pengujaran kata (morfem, kalimat) (utterance act); (2) pengacuan dan predikasi yang
disebut tindak proposisi (propositional act); dan (3) pernyataan, pertanyaan, perintah, janji,
dan sebagainya yang disebut tindak ilokusi (illocutionary act). Dari ketiga macam tindak itu,
tindak ilokusi atau singkatnya ilokusi kemudian memegang peranan penting di dalam studi
pragmatik. Gunarwan (1994:43) menyatakan hal yang serupa bahwa tindak tutur mempunyai
kedudukan penting di dalam pragmatik karena tindak tutur merupakan salah satu satuan
analisisnya.

Searle (1979:39) memandang bahwa tindak ilokusi merupakan unit terkecil dari komunikasi
linguistik. Ia membedakan adanya lima macam tindak ilokusi, yakni tindak ilokusi asertif,
direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi. Tindak ilokusi asertif ialah ilokusi yang
menyatakan kebenaran, misalnya: menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh,
mengemukakan pendapat, dan melaporkan. Tindak ilokusi direktif ialah ilokusi yang
menghasilkan efek berupa tindakan yang dilakukan oleh t, misalnya: memesan, memerintah,
memohon, menuntut, dan memberi nasihat. Tindak ilokusi komisif ialah ilokusi yang membuat
n terikat pada suatu tindakan di masa mendatang, misalnya: menjanjikan, menawarkan, dan
berkaul. Tindak ilokusi ekspresif ialah ilokusi yang mengutarakan sikap psikologis n
terhadap yang tersirat dalam ilokusi, misalnya: mengucapkan terima kasih, mengucapkan
selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, dan meng-ucapkan belasungkawa.

Tindak ilokusi deklarasi ialah ilokusi yang keberhasilan pelaksanannya mengakibatkan


kesesuaian antara isi P dengan realitas, misalnya: memecat, mengundurkan diri, membaptis,
menamai, menjatuhkan hukuman, mengucilkan/membuang, serta mengangkat pegawai (Leech,
1989:105).

2. SATUAN ANALISIS

Satuan analisis dalam pragmatik yang menjadi unit dasar atau satuan terkecil dalam
komunikasi linguistik sesuai dengan tindak tutur yang dikemukakan oleh Searle adalah
satuan yang mendukung ilokusi dan proposisi (P). Satuan itu dalam analisis pragmatik
disebut satuan pragmatis (SP). Setiap SP mengandung muatan yang berupa paduan antara
ilokusi dan P. Sudah dijelaskan bahwa, pragmatik mempelajari makna yang tidak terjangkau
pemecahannya oleh semantik, yaitu makna yang muncul dalam konteks pemakaian kalimat di
dalam komunikasi. Analisis pragmatik perlu dilakukan untuk memperoleh pemecahan masalah
makna pada T yang bermuatan IP. Satuan pragmatis suatu IP akan dapat dideskripsikan
melalui proses pemecahan masalah atas masalah yang dihadapi antara n dan t tatkala n
mengucapkan T sehingga pada gilirannya dapat ditarik implikasi pragmatis yang

menjadi IP dari suatu T.

Leech (1989:36) menyatakan bahwa prosedur pemecahan masalah itu membutuhkan


inteligensi manusia yang dapat mencari dan menemukan pilihan- pilihan kemungkinan
bardasarkan bukti kontekstual. Prosedur pemecahan masalah dapat dipandang dari dua
sudut pandang, yaitu dari sudut pandang n dan dari sudut pandang t. Dari sudut pandang n,
dapat digunakan analisis cara-tujuan yang menggambarkan keadaan awal sebagai masalah,
keadaan tengahan, dan keadaan akhir sebagai tujuan n untuk mengatasi masalah melalui cara
yang terletak di dalam rangkaian antara masalah dan tujuan. Analisis cara-tujuan itu dapat
diperjelas dengan Bagan 1.

Bagan 1 sesungguhnya mencerminkan pandangan Searle yang mengemukakan bahwa tindak


tutur tidak langsung (tindakan a) merupakan cara untuk melakukan tindak tutur lain
(tindakan b). Dengan mengujarkan T Udaranya panas yang SP-nya berilokusi
menginformasikan fakta, n mengimplikasikan ke dalam SP itu ilokusi yang meminta atau
menyuruh t untuk menyalakan alat pendingin. Untuk menyuruh t menyalakan alat pendingin,
n tidak secara terus-terang langsung menyuruh t, tetapi berputar dulu dengan mengujarkan
T Udaranya panas sebagai tuturan tidak langsung untuk sampai pada keadaan akhir yang
menjadi tujuan n mengujarkan T.

Agar dapat diperoleh gambaran yang lebih konkret, berikut ini disajikan sebuah contoh
analisis heuristik. Analisis dilakukan terhadap IP X yang diciptakan oleh Reli pada data
berikut ini.

Situasi Pukul 04.40 biasanya Reli sudah bangun dan belajar. Pukul 06.00 mandi langsung
memakai baju sekolah. Sambil menanti Wugar dan ayahnya siap untuk sarapan bersama, Reli
sering mengikuti tayangan TPI sambil berdandan. Selesai berbedak dan menyisir
rambutnya, ia ke kamar mendekati ayahnya yang masih belum bangun dari tempat tidurnya,
meskipun matanya telah terbuka dan tadi sudah salat subuh. Reli memiliki kebiasaan yang
baik setelah mandi dan berdandan ia selalu mencium ayahnya. Pagi ini setelah menyisir
rambutnya, ia pun melakukan hal itu, dansebaliknya.

Percakapan:

R: Pa, cium, Pa!

M: Heem.

R: (Reli mencium pipi kanan, kiri, dan dahi ayahnya dan begitu.

pula sebaliknya si ayah.)

Sudah siang, Pa. (X)

M: Ya.

R: Papa belum mandi. (Y)

Implikasi: Reli menyuruh ayahnya bangun. Reli menyuruh ayahnya mandi.

Hipotesis T berbunyi:

A. n mengatakan kepada t bahwa (P)= n mengatakan kepada t bahwa (hari sudah siang)

Hipotesis daya P dari T:

B. Tujuan n ialah agar [t mengetahui (bahwa P)= Tujuan n ialah agar [t mengetahui (bahwa
hari sudah siang)]

Hipotesis daya P itu menyatakan bahwa T adalah tuturan n yang menginformasikan fakta
kepada t. Kemudian dilakukan pengajian hipotesis berdasarkan PK apakah sesuai dengan
bukti kontekstual yang ada ataukah tidak

dengan mencocokkan bukti itu pada konsekuensi C, D, dan E berikut ini.


C. n yakin (bahwa P) = n yakin (bahwa hari sudah siang) (Maksim Kualitas)

D. n yakin [bahwa t tidak mengetahui (bahwa P)] = n yakin [bahwa t tidak mengetahui
(bahwa, hari sudah siang)] (Maksim Kuantitas).

E. n yakin (bahwa sebaiknya [t mengetahui(bahwa P)]) = n yakin (bahwa sebaiknya [t


mengetahui (bahwa hari sudah siang)]) (Maksim Hubungan).

Ternyata konsekuensi C didukung bukti yang ada dalam data bahwa memang benar hari
sudah siang: pukul 06.20. Tetapi, konsekuensi D tidak demikian, karena data yang ada
menunjukkan bahwa si ayah telah mengetahui bahwa hari sudah siang, ia sudah sembahyang,
tidak tidur lagi, sudah bangun, dan sudah mencium Reli. Reli mengetahui semua itu sehingga
n tidak yakin bahwa t tidak mengetahui bahwa hari sudah siang. Dengan demikian n
melanggar maksim kuantitas karena tidak memberikan informasi baru bagi t. Akibat dari
itu, n pun melanggar maksim hubungan karena konsekuensi E pun tidak terdukung bukti, n
tidak yakin bahwa ayahnya sebaiknya diberi tahu bahwa hari sudah siang karena Reli
mengetahui bahwa

ayahnya telah tahu. Pemberitahuan itu tidak relevan dengan tujuan yang ada pada rumusan
B. Karena konsekuensi D dan E tidak sesuai dengan bukti kontekstual, maka hipotesis B
ditolak. Untuk selanjutnya, disusun hipotesis baru yang paling dekat dengan bukti
kontekstual yang ada dan yang sangat besar peluangnya untuk dapat diterima.

A. n mengatakan kepada t (bangun)

B. Tujuan n ialah menyuruh agar [t (bangun)]

C. n yakin (bahwa perlu menyuruh t bangun)

D. n yakin [bahwa t tidak mengetahui maksud (bahwa n menyuruh t bangun)]

E. n yakin (bahwa sebaiknya [t mengetahui (bahwa n menyuruh t bangun)])

Hipotesis B diuji dengan membandingkan konsekuensi C, D, dan E dengan data yang ada.
Setelah diuji, ternyata bahwa C didukung oleh data: Reli yang sudah berdandan bertujuan
menyuruh ayahnya segera bangun untuk melakukan aktivitas mandi, berpakaian, sarapan
bersama, lalu ayahnya mengantar ke sekolah sebagaimana yang biasa mereka lakukan setiap
pagi. Reli memakai SP menginformasikan fakta karena ia menaati PS. Sebagai anak ia telah
memahami bahwa tidak sopan untuk memerintah ayahnya secara langsung sehingga ia tidak
mau memakai SP menyuruh. Konsekuensi D pun didukung data. Reli yakin bahwa ayahnya
yang berada di kamar tidak mengetahui bahwa Reli sudah mandi, sudah mengenakan baju
sekolah, dan bahkan sudah berdandan sehingga menghendaki ayahnya bangun. Oleh karena.
itu, cukup relevan jika, Reli menyuruh ayahnya untuk bangun sehingga, konsekuensi E pun
sesuai dengan data kontekstual.
Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa konsekuensi C, D, E sesuai dengan data
kontekstual. Dengan demikian, hipotesis B dapat diterima. Interpretasi tesis B adalah
bahwa tuturan X, Sudah siang, Pa, yang diproduksi oleh Reli termasuk T yang bermuatan IP.
T itu mempunyai implikasi pragmatis menyuruh, yaitu, Reli menyuruh ayahnya untuk bangun.
Hasil interpretasi IP seperti yang telah dilakukan dengan analisis heuristik itu sifatnya
tidak terlalu pasti. Dalam hal ini Leech (1989:30) menyatakan bahwa penjelasan terhadap
implikatur mengandung sifat probabilitas. Apa yang dimaksudkan oleh n dengan T-nya tidak
pernah dapat diketahui secara pasti. Faktor kondisi yang diamati, T, dan konteksnya
mengarahkan untuk menyimpulkan interpretasi dari peluang-peluang yang paling mungkin.
Menafsirkan daya P sebuah T sama dengan pekerjaan tebak menebak atau dengan istilah
canggihnya menciptakan hipotesis-hipotesis. Seorang penafsir yang baik sekalipun tidak
selalu sanggup membuat kesimpulan yang pasti mengenai maksud n karena sering kali terjadi
suatu T sengaja dikaburkan oleh penuturnya. Agaknya demikian juga, penafsiran IP anak
usia SD yang masih berada dalam proses usaha menguasai BI. Satu T yang berupa BL
mengekspresikan suatu SP. SP dapat menyiratkan satu atau lebih SP lain sebagai implikasi
pragmatis yang mewujudkan IP pada diri t.

D. ANTROPOLINGUISTIK

1. Pengantar

Dalam masyarakat yang berbeda orang tidak hanya berbicara dengan bahasa dan dialek
yang berbeda, tetapi cara berbicaranya juga berbeda. Dalam beberapa masyarakat
percakapan yang normal berisi perdebatan, suara yang meninggi, dan emosi yang menonjol.
Dalam masyarakat yang lain orang justru menghindari perdebatan, berbicara dengan suara
yang lembut dan menjaga perilakunya. Pada beberapa negara di dunia berbicara pada saat
orang lain sedang berbicara dianggap tidak sopan, sedangkan pada beberapa negara lainnya
hal ini malah dianggap sebagai bagian dari kepandaian berbicara.

Dalam semua penelitian lintas budaya, masalah metode yang dikesampingkan adalah bias
etnosentris, yaitu memahami praktik wacana kebudayaan lain melalui prisma kebudayaan
sendiri. Ada kebutuhan untuk menemukan perspektif universal dari bahasa yang mandiri
pada struktur wacana dan nilai-nilai kebudayaannya.

Dalam bab ini akan diselidiki berbagai ancangan yang berbeda dalam kajian wacana
dan kebudayaan kemudian diungkapkan aspek wacana budaya dari lima kebudayaan yang
berbeda (Jepang dan Melayu).

Dengan cara ini akan digambarkan beberapa dimensi utama perbedaan lintas budaya dalam
wacana. Dalam semua penelitian lintas budaya, masalah metode yang dikesampingkan adalah
bias etnosentris, yaitu memahami praktik wacana kebudayaan lain melalui prisma
kebudayaan sendiri. Ada kebutuhan untuk menemukan perspektif universal dari bahasa yang
mandiri pada struktur wacana dan nilai-nilai kebudayaannya.

Dalam bab ini akan diselidiki berbagai ancangan yang berbeda dalam kajian wacana dan
kebudayaan kemudian diungkapkan aspek wacana budaya dari dua kebudayaan yang berbeda
(Jepang dan Melayu). Dengan cara ini akan digambarkan beberapa dimensi utama perbedaan
lintas budaya dalam wacana.

Pada bagian ini akan ditelaah dua fenomena wacana yang terdapat dalam masyarakat,
budaya, dan geografi yang berbeda. Di antara fenomena wacana tersebut akan
diperlihatkan pilihan kata yang berbeda dalam hubungannya dengan keinginan, pendapat, dan
perasaan, konvensi yang berbeda sewaktu berpartisipasi dalam percakapan, gaya ujaran
khusus, kebiasaan dan genre budaya-khusus.

Berdasarkan tekstur bahasa, perbedaan yang selalu ada mencakup frekuensi imperatif dan
pertanyaan, bentuk panggilan dan vokatif, bentuk-bentuk khusus untuk mengacu pada diri
sendiri, keberterimaan negasi yang jelas, eksklamasi dan partikel wacana, dan penggunaan
kosakata yang bermarkah dalam berbagai cara.

2. Kajian Budaya

Pada beberapa tingkatan dimungkinkan berbicara tentang gaya wacana (discourse style)
yang lebih disukai dari sebuah kebudayaan, paling tidak jika dibatasi pada bidang yang
umum, yaitu situasi di mana para peserta tidak mengenal satu sama lain dengan baik dan
kemudian diamati peserta lainnya ketika mereka sedang berbicara. Umumnya dalam
literature ditemukan istilah, seperti ketaklangsungan (inderectiness) dan pengendalian
(restraint) yang diterapkan pada seluruh kebudayaan. Pada bagian ini akan dibandingkan dua
kebudayaan yang tidak berhubungan (Jepang dan Melayu).

Bagaimanakah persamaan kedua kebudayaan itu ?

Adakah logika kebudayaan dalam pilihan wacananya ?

Bahasa Jepang

Kebudayaan Jepang sering dicirikan dengan penindasan atau tidak percaya dengan kata-
kata. Contohnya, Doi (1988:33) mencatat bahwa tradisi Barat menekankan
pentingnya kata-kata. Di Jepang tradisi ini tidak ada. Saya tidak bermaksud memberi
kesan bahwa budaya Jepang meremehkan kata-kata, tetapi terdapat kesadaran tentang
kata-kata yang tidak terungkap. Penulis lainnya menunjukkan bahwa penganut Budha
menekankan inutility dari komunikasi bahasa dan pilihan budaya Jepang untuk komunikasi
nonverbal dalam pendidikan tradisional dan dalam interaksi antara ibu dan anaknya.

Salah satu sumber budaya penting pengendalian verbal adalah budaya enryo, yang biasanya
diterjemahkan dengan restraint pengendalian atau reserve sikap hati-
hati. Enryo menghalangi pembicara Jepang untuk menyampaikan keinginannya secara
langsung. Juga, secara kultural dianggap kurang sopan meminta langsung pada orang lain apa
yang diinginkan. Mitzutani dan Mitzutani (1987:49) menjelaskan bahwa "kecuali dengan
keluarga dan teman dekat, pada orang lain akan tidak sopan jika dikatakan *Nani-o-tabetai-
desu-ka 'Apakah Anda ingin makan ?' dan *Nani-ga-hosii-desu-ka 'Apa yang ingin Anda
miliki ?'

Seorang tamu di Jepang tidak terus-menerus ditawarkan pilihan oleh tuan rumah yang
penuh perhatian, seperti di Amerika Serikat. Tuan rumah bertanggung jawab dalam
mengantisipasi apa yang menyenangkan tamunya dan secara sederhana menyajikan makanan
dan minuman, kemudian mendesak mereka untuk memakannya; dalam frase standar, 'tanpa
enryo'. Kendala budaya yang sama mencegah orang-orang di Jepang untuk menyatakan
pilihan dengan jelas, bahkan dalam menanggapi pertanyaan langsung. Orang Jepang, ketika
ditanya hal-hal yang menyenangkan, menghindari jawaban dengan ungkapan, seperti (1a).
Fenomena yang terkait adalah sengaja menggunakan ungkapan numerikal yang tidak tepat.
Misalnya, ketika ingin membeli tiga buah apel, orang Jepang akan lebih menyukai
ungkapan about threesekitar tiga, seperti (1b). Ketika memberi saran, ungkapan open-
ended, seperti demo dan nado lebih disukai, seperti (1c).

(1a) Itsu-demo kekkoo-desu. 'Kapan pun akan dilakukan'

Doko-demo kamaimasen. 'Di mana pun baik untuk saya'.

Nan-demo kamaimasen. 'Apa pun akan cocok untuk saya'.

(1b) Mitsu-hodo/gurai/bakari kudasai. 'Tolong, berikan saya tiga'.

(1c) Eiga-demo mimashoo-ka ? 'Bagaimana kalau menonton bioskop atau yang lain ?'

Seperti halnya keinginan seseorang, demikian pula pikiran dan perasaannya. Bukan hanya
pertanyaan kapan mengekspresikannya, tetapi apakah orang harus mengekspresikan
semuanya, sebuah kenyataan yang menyebabkan beberapa pengamat menggambarkan orang-
orang Jepang sebagai pengawal dirinya sendiri (guarded self).

Perbedaan yang sangat mencolok antara orang Jepang dan orang Amerika tidak hanya
menyangkut ranah topik yang mereka siapkan untuk dibicarakan, tetapi juga ranah orang,
yaitu kepada siapa mereka berbicara untuk menyampaikan pikiran dan maksudnya. (1) Jika
seseorang berbicara, maka dihindari menyatakan sesuatu yang dapat menyakiti atau
menghina seseorang atau memalukan pembicara sendiri. Semua pengamatan ini
mengisyaratkan wacana kebudayaan Jepang; (2) sering tidak baik mengatakan apa pun pada
orang lain; (3) tidak baik mengatakan sesuatu seperti ini pada orang lain, seperti "Saya ingin
ini", "Saya tidak ingin ini", "Saya kira ini", "Saya kira bukan ini" jika saya mengatakan
sesuatu seperti ini, seseorang akan merasakan sesuatu yang buruk; (4) sebelum saya
mengatakan sesuatu pada seseorang adalah baik memikirkan sesuatu seperti, (saya tidak
dapat mengatakan semua yang saya pikirkan jika saya lakukan, seseorang akan merasakan
sesuatu yang buruk).

Budaya Jepang lain yang relevan dengan pilihan wacananya adalah Omoiyari, yang
diperkenalkan oleh beberapa penanggap kebudayaan sebagai salah satu kunci sifat
orang Jepang. Lebra (1976:38) menggambarkannya seperti di bawah ini.

Omoiyari refers to the ability and willingness to feel what others are feeling,
tovicariously experience the pleasure or pain that they are undergoing, and to help them
satisy their wishes ... without being told verbally.

Omoiyari mengacu pada kemampuan dan kesediaan merasakan apa yang dirasakan oleh
orang lain, seolah-olah mengalami sendiri kesenangan atau kesedihan yang mereka alami dan
membantu mereka memenuhi keinginannya tanpa disampaikan secara verbal.

Tentu saja tidak sulit menemukan bukti untuk mendukung gambaran Lebra tentang
kebudayaan Jepang, seperti budaya omoiyari. Misalnya, pada kolom pembaca di surat kabar
Shikoku Shimbun, tempat pembaca menempatkan foto anak-anaknya dan menyatakan
harapan dan keinginan mereka, salah satu yang paling umum adalah Omoiyari no aru hitoni
nattene 'Silakan menjadi orang bersama omoiyari'. Pada buku pedoman pendidikan untuk
guru, yang pertama adalah Omoiyari no kokoro o taisetsuni shimashoo 'Marilah memperkaya
pikiran/hati dengan omoiyari'. Dalam hubungan sempai/koohai 'senior/junior' di
perusahanperusahaan Jepang, omoiyari berperan penting : sempai diharapkan bisa
mengantisipasi kebutuhan koohai dan memuaskannya, kepadanya akan diberi kesetiaan yang
mutlak.

Orang Jepang bersikap tegas dalam mengungkapkan perasaan. Orang Jepang yang tidak
bisa mengendalikan emosinya dianggap belum dewasa. Ini tidak hanya diterapkan pada emosi
negatif, seperti marah, takut, muak, dan sedih, tetapi juga pada ekspresi gembira.Sikap
saling mengimbangi ini tampak pada wacana di bawah. Pada (5a) dan (5b), sikap budaya
Jepang menghindari orang dalam menyatakan perasaannya, tetapi pada saat yang sama
mendorong kepekaan emosi melalui orang lain.

Wacana terakhir melarang pembicara Jepang menghindari perselisihan yang terbuka dan
mengekspresikan persetujuan yang positif.
(5.a) jika saya merasakan sesuatu tidak baik mengatakan sesuatu tentang hal itu pada orang
lain jika saya lakukan, orang ini dapat merasakan sesuatu yang buruk saya tidak dapat
mengatakan apa yang saya rasakanb. rasanya baik jika saya dapat mengetahui apa yang
dirasakan orang lain orang ini tidak mengatakan sesuatu pada saya

(6) jika seseorang mengatakan sesuatu pada saya tentang sesuatu saya tidak dapat
mengatakan sesuatu seperti ini : "Saya pikir tidak sama" rasanya baik mengatakan sesuatu
seperti ini : "Saya akan mengatakan hal yang sama"

Aspek lain dari gaya wacana bahasa Jepang juga dapat dimengerti dari wacana

kebudayaan ini. Misalnya, ganti bicara (turn-taking) mengikuti pola yang berbeda dari
masyarakat Anglo-Amerika. Percakapan bahasa Jepang diharapkan menjadi suatu karya
kolektif dari interlokutor dan ketergantungan pada kata-kata balasan yang dalam bahasa
Jepang disebut aizuchi. Istilah ini dapat dijelaskan sebagai berikut : aibermakna
'melakukan sesuatu bersama-sama dan tsuchi bermakna 'sebuah palu'. Jadi, dua orang yang
sedang berbicara dan saling bertukar kata-kata disamakan dengan dua palu di atas mata
pisau.

Penutur bahasa Jepang selalu membiarkan kalimatnya belum lengkap supaya pendengar
dapat melengkapinya : 'melengkapi kalimat seseorang terkesan seperti orang yang menolak
partisipasi orang lain (Mizutani dan Mizutani, 1987:27).

Bahasa Melayu

Kebudayaan tradisional orang Melayu menaruh perhatian pada tingkah laku yang

sopan, dan bagian integralnya ialah berbicara dengan cara yang sopan. Norma ujaran yang
halus dalam bahasa Melayu agak mirip dengan bahasa Jepang, tetapi jika diamati
lebih mendalam persamaan itu menjadi dangkal.

Para peneliti umumnya menggambarkan budaya Melayu dengan nilai-nilai pengendalian yang
halus dan ramah-tamah. Orang Melayu digambarkan sebagai orang yang sopan, lembut, dan
luwes. Secara tradisional mereka adalah orang desa, sumber penghidupannya bergantung
pada perikanan, perkebunan, dan pertanian.

Orang Melayu sudah lama menjadi muslim meskipun tradisi (adat)-nya sangat menuansai
kegiatan Islam mereka. Kebudayaannya kaya dengan kata-kata, peribahasa, pantun, dan
syair. Pentingnya bahasa dalam kebudayaan Melayu dibuktikan dengan kenyataan bahwa
bahasa mempunyai makna kedua, yaitu 'rasa hormat' dan 'tata krama'.

Satu konsep dasar dalam pergaulan orang Melayu adalah rasa malu. Walaupun jenis perasaan
ini selalu diterjemahkan dengan ashamed, shy, atau embarrassed, terjemahannya tidak
menyampaikan fakta bahwa orang Melayu menganggap kemampuan untuk merasa malu
sebagai suatu kebaikan sosial, sama dengan rasa sopan.

Keinginan menghindari rasa malu merupakan kekuatan utama dalam hubungan sosial orang
Melayu. Dua konsep sosial yang berhubungan ialah maruah dan harga diri (selfesteem), yang
keduanya terancam oleh kemungkinan tidak disetujui konsep lain, yaitu rasa malu. Vreeland
(1977:117) menekankan pentingnya konsep ini bagi perilaku orang Melayu pada umumnya.

The social value system is predicated on the dignity of the individual and ideally all social
behaviour is regulated in such a way as to preserve ones own amour propre and to avoid
disturbing the same feelings of dignity and self-esteem in others,

sistem nilai sosial didasarkan pada martabat pribadi dan idealnya semua perilaku sosial
diatur dengan cara tersebut selama dipertahankan harga diri mereka dan dihindari
menyinggung gengsi dan harga diri satu sama lain.

Seperti di Jepang, orang mengira masyarakat Melayu berpikir sebelum berbicara. Ada
ungkapan yang menyebutkan "Kalau cakap pikirlah sedikit dulu" (Jika kamu akan berbicara
berpikirlah lebih dahulu'). Namun, sikap budaya yang mendasar sedikit berbeda dengan di
Jepang. Seperti keinginan menghindari teman bicara merasakan sesuatu yang buruk (dengan
mengatakan "jaga hati orang" ('jagalah perasaan orang lain'), dalam bahasa Melayu
peringatan ini dimotivasi oleh keinginan menghindari teman bicara memikirkan sesuatu yang
buruk tentang seseorang, seperti sebelum saya mengatakan sesuatu pada seseorang,
rasanya baik berpikir: saya tidak ingin orang ini merasakan sesuatu yang buruk, saya tidak
ingin orang ini memikirkan sesuatu yang buruk tentang saya.

Perbedaan lain adalah bahwa nilai budaya Melayu ditentukan oleh kemampuan berbicara.
Cara berbicaranya yang halus sangat dikagumi yang membawa kebanggaan pada dirinya dan
pendidikannya. Cara berbicara ini adalah keterampilan yang dipelajari di rumah dan sama
sekali tidak berhubungan dengan kekayaan, keturunan, atau pendidikan formal.

Seorang petani yang hanya mendapat pendidikan dasar mungkin saja berbicara lebih sopan
daripada seorang pegawai di kantor pemerintah atau swasra. Ujaran yang halus akan
bernilai dalam situasi formal atau ketika berbicara dengan orang lain yang berada di luar
lingkungan keluarganya. Orang Melayu selalu merasa orang lain menjaga dan menyampaikan
pendapatnya, siap menghinanya tanpa kecakapan berbicara, seperti kurang ajar, tidak tahu
aturan. Cara yang sopan akan mendapat kebanggaan. Sikap budaya ini digambarkan sebagai
seperti jika orang mendengar seseorang mengatakan sesuatu kadang-kadang mereka
memikirkan sesuatu seperti ini: orang ini tahu bagaimana mengatakan sesuatu dengan baik
pada orang lain, ini baik; kadang-kadang mereka memikirkan sesuatu seperti, orang ini tidak
tahu bagaimana mengatakan sesuatu dengan baik pada orang lain ini buruk.
Ciri ujaran yang halus termasuk penggunaan frase yang bernilai tinggi sebagai pengganti
kosakata yang biasa, perhatian yang besar untuk membentuk acuan pribadi (misalnya,
menghindari teman bicara dan mengacu pada diri sendiri); dan untuk inventaris yang besar
dari peribahasa untuk menyinggung hal-hal yang paling sensitif. Nada yang lembut (lunak)
juga penting. Perilaku ini tidak hanya diterapkan dalam berbicara, tetapi juga pada ranah
perilaku nonverbal; misalnya, melepas sepatu sebelum masuk ke rumah, memakan sedikit
makanan yang ditawarkan, bersikap khusus ketika melewati orang yang sedang duduk,
menggunakan tangan kanan ketika makan atau memberikan sesuatu, menghindari sentuhan
fisik dengan anggota yang berbeda jenis kelamin, menunjuk dan memberi isyarat dengan
cara tertentu.

Budaya Melayu menghindari orang mengekspresikan perasaannya. Berbeda dengan situasi di


Jepang yang menyatakan perasaan dengan ekspresi yang berhubungan dengan muka dan
tindakan orang lain, ada asumsi yang mendasar bahwa orang dipercaya menjadi sensitif pada
manifestasi nonverbal. Wacananya seperti di bawah ini.

( jika saya merasakan sesuatu tidak baik mengatakan sesuatu seperti ini pada orang lain:
'saya merasakan seperti ini' jika orang lain dapat melihat saya, mereka akan tahu apa yang
saya rasakan)

Pandangan yang bermakna merupakan strategi nonverbal yang tepat. Misalnya, verba
bertenung menggambarkan pandangan yang digunakan untuk menyampaikan kejengkelan
terhadap perilaku orang lain, misalnya, anak yang berkelakuan tidak sopan atau seseorang di
dalam sebuah ruangan yang membunyikan bolpoin dengan cara menjengkelkan. Mata
terbeliak menyampaikan celaan; merendahkan mata dan sengaja menoleh tanpa berbicara
menandakan orang itu muak pada seseorang; mengatupkan kedua bibir dan menjuihkannya
menandakan kejengkelan.Ekspresi nonverbal merupakan kritik untuk teman dekat; dalam
bahasa Inggris disebut angry,yang tidak dikaitkan dengan suasana dari 'kata-kata marah'
(didukung wacana kebudayaan Anglo tentang kebebasan berekspresi), tetapi dengan wajah
yang sedih dan cemberut yang dalam bahasa Melayu disebut merajuk.

Terbukti dari perbandingan antara bahasa Jepang dengan bahasa Melayu adanya pilihan
wacana yang bervariasi dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Sebuah gaya yang biasa
dalam satu kebudayaan mungkin terlihat sedikit mengejutkan dan menghina, atau
membosankan dan menjengkelkan dari sudut pandang kebudayaan yang lain. Untuk
memahami variasi kebudayaan itu penting kiranya diamati pola ujaran tanpa memperhatikan
nilai dan norma-norma yang menjelaskannya. Perlu diingat pula bahwa pola ujaran yang
kelihatannya mirip (misalnya, pilihan untuk pengendalian verbal) mungkin berasal dari nilai
kebudayaan yang berbeda dan dihubungkan dengan makna sosial yang berbeda dalam latar
kebudayaan yang berbeda. Untuk memperjelas hal ini dan bahkan untuk mendeskripsikan
pola ujaran itu tanpa distorsi etnosentris, dibutuhkan perhatian khusus pada metabahasa
dari deskripsi dan analisis.

E. NEUROLINGUISTIK

1. Kajian Neurolinguistik

Perkembangan bahasa pada anak bergantung pada maturasi otak, lingkungan, perkembangan
motorik dan kognitif, integritas struktural, dan fungsional dari organism (Sidiarto,
1991:134). Apabila terdapat gangguan pada proses perkembangan anak, maka akan
berimplikasi pula terhadap pembelajaran bahasa pada anak. Kajian ini berkaitan dengan apa
yang terjadi di dalam otak, yang satu lagi berkaitan dengan apa yang diekspresikan dalam
tuturan dan tulisan. Penelitian ini ditekanan pada ekspresi pemahaman anak autis oleh
subjek tunggal yang mempunyai dasar neurologis. Objek kajian secara teoritis memakai
psiko-neurolinguistik oleh Nunan dalam Sastra (2005:105), yaitu dengan merekam, merasa,
dan memahami fenomena yang sebenarnya terjadi, baik dari diri subjek maupun
perkembangan subjek dan lingkungannya. Kajian neurolinguistik merupakan kajian yang
berupaya memahami kerja otak untuk memproses kegiatan berbahasa sebagaimana
psikolinguistik hanya saja fokusnya berbeda. Neurolinguistik lebih berkecimpung dalam
memahami kesulitan berbahasa atau gangguan berbahasa, yang mencakup kegiatam bicara,
mendengar, membaca menulis, dan berbahasa isyarat yang menganggu kemampuan
berkomunikasi (Lauder, 2005:238).

Neurolinguistik dapat ditelusuri latar belakang subjek mengalami autis, yaitu terdapat
kerusakan pada sistem syaraf yang membuat kemampuan mengingat mengalami
keterbatasan. Peneliti mencoba mengaplikasikan teoretis sejalan dengan data yang berada
di lapangan. pembahasannya dapat dikemukakan berikutnya.

1) Gambaran Ekspresi Anak Autis

Gambaran ekspresi subjek di antaranya sebagai berikut:

(1) Perilaku Kognitif pada Subjek Tunggal.

Subjek dalam hal kecepatan belajar (learning rate), anak autis jauh ketinggalan dari anak-
anak normal. Hal ini membuat respons yang dimiliki subjek mengalami kekurangan. Subjek
memerlukan waktu yang lebih lama bila ingin berkembang. Fleksibilitas mental yang kurang
mengakibatkan kesulitan dalam hal komunikasi dan menangkap informasi, ini dianggap sulit
oleh subjek. Kemampuan memori anak normal dengan anak autis berbeda. Perkembangan
pada anak autis khususnya subjek tunggal yang diteliti mengalami hambatan sehingga tidak
mencapai tahap perkembangan yang optimal. Subjek mengalami hambatan defisit dalam
perolehan pengetahuan khususnya dalam berbahasa dan menulis.

(2) Perilaku Psikomotor pada Subjek Tunggal.

Kemampuan berbahasa sejalan dengan perkembangan manusia, semua terdapat pada alat
artikulasi dan auditori yang normal. Namun, proses memproduksi kata-kata sebenarnya
berlangsung terus, seperti pada proses pengembangan pengenalan. Hal ini merupakan
abstraksi atau kata-kata yang terkandung pada makna. Proses berbicara dan menulis
merupakan proses serebal yang berarti proses ekspresi verbal, komprehensi, dan
kompentensi yang dibentuk oleh sel-sel saraf otak pada neuron.

Di bawah ini analisis kemampuan berbahasa subjek pada saat melafalkan kata-kata, di
antaranya sebagai berikut.

telepon /telepo/ [telepo]

telepon = [telepo]

penghilangan fonem /n/ kata telepon diucapkan telepo oleh ilustrasi responden. Kata
telepon mengalami penghilangan fonem /n/ di akhir kata menjadi telepo. Namun dapat di
temukan secara pengucap subjek ketikan melafalkan /n/ secara sengau.

ayah /hayah/ [hayah]

ayah = [h/a/y/a/h]

Penambahan fonem /h/ kata ayah diucapkan hayah ilustrasi responden. Kata ayah mengalami
penambahan fonem /h/ di awal kata menjadi hayah.

Di bawah ini rekapitulasi kemampuan subjek dalam mengucapkan kata-kata. rekapitulasi


variasi pelafalan tipe perubahan bunyi. Berdasarkan rekapitulasi dapat diperoleh bahwa
kemampuan berbahasa subjek mengalami protesis dan sinkope. Saat subjek mengucapkan
kata mengalami pelepasan huruf diakhir dan penambahan huruf di awal kata. Hal tersebut
terjadi berdasarkan data yang diperoleh.

(3) Perkembangan Afektif pada Subjek Tunggal

Perkembangan perilaku afektif yang dimiliki subjek berdasarkan dorongan dan emosi yang
berkaitan dengan tingkah laku ditunjukkan pada saat penyesuaian berinteraksi sosial. Hal ini
menjadi proses kepribadian sosial. Hal ini terbukti ketika karakter emosi yang dimiliki
subjek. Subjek merupakan seorang wanita yang mudah dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh,
kurang dapat menahan diri, cenderung melanggar ketentuan, sensitivitas yang tinggi. Hal ini
terjadi karena tidak ada penyesuaian diri dan kecanggungan. Kecenderungan hal negatif
dilakukan subjek adalah selalu ingin bermain handphone.
2) Deskripsi Pemahaman Anak Autis

Pemahaman dalam mendeskripsikan dari subjek yaitu suatu tulisan. Hasil motorik subjek, di
antarnya; (1) gangguan dalam komunikasi verbal maupun nonverbal seperti terlambat bicara,
mengeluarkan kata-kata sama bahasanya sendiri yang tidak dapat dimengerti, echolalia,
sering meniru dan mengulang kata tanpa ia mengerti maknanya; (2) gangguan dalam interaksi
sosial, seperti menghindar kontak mata, tidak melihat jika dipanggil, menolak untuk dipeluk,
lebih suka bermain sendiri; (3) gangguan pada bidang perilaku yang terlihat dan adanya
perilaku yang berlebih (excessive) dan kekurangan (deficient), seperti impulsive, hiperaktif,
repetitive.

Contoh:

(a) Lama sakali Ane betung dengan kakak jarta.

Maksudnya: Lama sekali ane tidak bertemu dengan kakak yang di jakarta

(b) Setiap hari ribur ane pergi retona utuk makan.

Maksudnya : setiap hari libur ane pergi ke restoran untuk makan

(c) Ane dan kakak nail parasawar terbang.

Maksudnya: Ane dan kakak naik pesawat terbang

Data di atas mempunyai kesalahan dalam penulisan sehingga mempunyai pemahaman yang
berbeda, namun secara maksudnya dimaknai tidak utuh. Dalam tata penulisan mengalami
kesalahan penulisan huruf, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Bahkan, mengalami perubahan
dan penghilangan huruf.

(d) Lama sakali Ane betung dengan kakak jarta

(e) Lama sekali Ane betung dengan kakak jarta

Maksudnya: lama sekali Ane tidak bertemu kakak yang di Jakarta.

Berdasarkan data (d dan e) mengalami penghilangan kata yang dapat menimbulkan


pemaknaan yang berbeda sehingga dapat membuat kesalahan. Di samping itu, terjadi
pengulangan kalimat yang ditulis subjek atau biasa disebut echolali.

3) Kemampuan Anak Autis Memahami Bahasa

Secara khas gangguan yang termasuk dalam kategori ini ditandai dengan distorsi
perkembangan fungsi psikologis dasar majemuk yang meliputi perkembangan keterampilan
sosial dan berbahasa, seperti perhatian, persepsi, daya nilai terhadap realitas, dan
gerakan-gerakan motorik. Perkembangan bahasa berkaitan dengan kemampuan bahasa
disebut semantik. Subjek menunjukkan perkembangan semantik lebih lambat daripada anak
normal. Perkembangan vacabulary anak autis hasilnya menunjukkan bahwa subjek lebih
lambat daripada anak normal (kata per menit). Subjek lebih banyak menggunakan kata-kata
positif, lebih sering menggunakan kata-kata yang lebih umum, hampir tidak pernah
menggunakan katakata bersifat khusus, tidak pernah menggunakan kata ganti, lebih sering
menggunakan kata-kata tunggal, dan subjek dapat menggunakan kata-kata yang bervariasi.

Berdasarkan gambaran data responden memiliki karakteristik, sebagai berikut. 1) Subjek


mengalami di bidang komunikasi: perkembangan bahasa anak autisme lambat atau sama
sekali tidak ada. Senang membeo (echolalia) dan senang menarik tangan orang lain untuk
menyatakan keinginannya. 2) Tipe perubahan bunyi berasal dari kualitas bunyi, sehingga
diperoleh beberapa macam tipe perubahan bunyi yang diproduksi oleh subjek tunggal di
antaranya, yaitu protesis dan sinkope. 3) Tingkat kemampuan kognitif, berbahasa, dan
menulis pada subjek tunggal, dalam hal ini sangat minim atau terbatas. 4) Subjek memiliki
kekhasan dalam memahami kata, frasa, klausa, dan kalimat serta ekspresi yang didapatkan
bervariatif.

SUMBER

http://muhammadriyantonss.blogspot.co.id/2012/04/kajian-linguistik-makro-dan-
mikro.html

Anda mungkin juga menyukai