Anda di halaman 1dari 2

Tugas editor sesungguhnya

December 22, 2011. DALAM berbagai perbincangan, sepertinya masih banyak teman saya yang menganggap bahwa tugas seorang editor di sebuah media (termasuk buku) hanyalah berpusing pada urusan mencari kesalahan mengetik (typing error, atau typo). Bolehlah saya katakan, mungkin pekerjaan tersebut malah bukan tugas utama seorang editor. Di media-media mapan, ada bagian lain yang memang khusus menangani masalah typo, yakni korektor, penyelaras bahasa, atau juga kerap disebut proofreader. Pada umumnya, tugas korektor tidak menyentuh masalah substansi tulisan meski tidak menutup kemungkinan untuk itu. Tugas editor, atau redaktur, jauh melebihi urusan teknis tulis-menulis, sebetulnya. Di sebuah koran atau majalah, editor, bersama editor lainnya dalam dewan redaksi, menentukan arah isi media tersebut. Dari edisi ke edisi, editor memikirkan, dengan berbagai pertimbangan, isu apa yang ingin diangkat sebagai isu utama, dan berita yang mana yang akan ditampilkan sebagai berita non-utama. Untuk sebuah media yang tidak bergantung pada peristiwa sehari-hari, katakanlah majalah bulanan seperti National Geographic, tempat saya bekerja, seorang editor bahkan harus menciptakan dan mengembangkan isu sendiri, juga dengan berbagai pertimbangan dan argumentasi. Selain itu, jika sebuah reportase membutuhkan kontributor, adalah tugas seorang editor untuk membuatkan paket penugasan (assignment) yang terdiri dari proposal peliputan, terms of reference (TOR), termasuk di dalamnya menentukan siapa penulis, fotografer, infografer, atau ilustrator yang ingin dilibatkan dalam proyek liputan tersebut. Pada titik ini, seorang editor harus memiliki kejelian dalam memilih tim peliputan, memadupadankan antara topik yang ingin diangkat dan penulis atau fotografer yang bisa meliput isu tersebut dengan hasil sesuai dengan yang kita inginkan. Untuk memastikan hal itu, editor juga berkewajiban untuk memberikan taklimat kepada para kontributor yang ditugaskan mengenai segala hal terkait penugasan, danyang terpenting menentukan sudut pandang (angle) penulisan. Sementara editor foto menentukan konsep fotografinya, dan editor visual menentukan konsep visual lainnya (infografik, tabel, ilustrasi, peta, konsep tata letak atau layout, tipografi, dan sebagainya). Akan tetapi, biasanya editor teks juga sudah memikirkan konsep visualnya secara kasar. Setelah proses liputan selesai, editor mesti mengecek semua data dan fakta yang ditulis oleh penulis. Tentu saja, typo termasuk di dalamnya: utamanya penulisan nama orang (narasumber), nama tempat (nama jalan, desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi, negara, bentukan geografis), nama perusahaan atau organisasi yang disebut dalam tulisan, dan lain-lain, karena itu bagian dari akurasi yang juga harus dijaga oleh seorang editor. Penulisan data berupa angka, termasuk faktor konversi, jika ada, juga merupakan hal yang harus dicek oleh editor. Namun, secara umum, urusan typo nantinya akan dicek ulang oleh tim korektor dan subeditor (copy editor). Update: beberapa media besar di Amerika juga memiliki fact-checker untuk memeriksa datadata keras seperti di atas. Selain data dan fakta, seorang editor harus memastikan bahwa tulisan yang dihasilkan sudah menggunakan logika yang runut dan konsisten, dan memiliki alur penceritaan yang tidak memusingkan pembaca dan menimbulkan pertanyaan. Tidak jarang, editor harus merombak

ritme tulisan dari sang penulis, mengubah urut-urutan munculnya fakta agar tidak membingungkan pembaca. Meski demikian, proses penulisan ulang (rewriting) sebisa mungkin dihindari. Kalaupun terpaksa, yang melakukannya haruslah si penulisnya sendiri, bukan editor. Editor bidang di sebuah koran harian, misalnya editor halaman opini, memiliki tanggung jawab untuk menyortir (memilih) dan menyunting kiriman tulisan opini dari pembaca. Hal ini tentu saja bukan hal yang gampang karena dia harus mempertimbangkan aktualitas, kualitas penulisan, sudut pandang, akurasi data, danpada titik tertentunama atau profesi sang penulis, sebagai bagian dari parameter kredibilitas. Bayangkan berapa banyak tulisan yang harus dia baca dan periksa setiap hari? Jadi, jelas bahwa tugas seorang editor jauh lebih kompleks daripada yang selama ini mungkin ada dalam benak banyak orang Indonesia. Karena tugasnya itu, seorang editor harus memiliki tingkat skeptisisme (keraguan) yang tinggi terhadap segala hal, karena dengan begitu dia akan tergerak untuk mengecek kebenarannya. Mungkin karena anggapan bahwa tugas editor sekadar mengecek typo pula yang membuat profesi ini di Indonesia agak kurang dihargai. Menurut Felicia Utorodewi, pengajar bahasa Indonesia di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, yang juga telah menyunting banyak buku, menilai bahwa profesi editor masih kurang mendapat apresiasi di negeri ini. Di Amerika, seorang editor lepas yang berpengalaman bisa dicari-cari oleh penerbit dan surat kabar, dan dibayar amat mahal, ujar Felicia, atau akrab disapa Ibu Cis, dalam sebuah sesi pelatihan penyuntingan. Di Indonesia, celakanya, masih banyak perusahaan media yang juga memperlakukan editor sebagai tukang periksa teks semata. Itu bukan hal yang buruk, tetapi terlalu menyederhanakan tugas seorang editor, jika tidak bisa dibilang menyepelekan. Tidak jarang, editor bahkan diperbantukan untuk menulis naskah iklan (advertorial) dan bernegosiasi dengan klien yang jelas-jelas menyalahi etika jurnalistik. Untuk urusan ini mungkin saya bisa membahasnya lebih detail di kesempatan lain karena sudah menyangkut proses bisnis media yang lebih luas. Semoga paparan ini bisa membantu menjelaskan apa dan bagaimana sesungguhnya tugas seorang editor. Catatan: oh ya, tiga paragraf terakhir jangan diartikan sebagai curcol bahwa saya menuntut gaji yang lebih besar. Tetapi tentu saja saya tidak menolak jika memang ditawarkan, hah

Anda mungkin juga menyukai