Anda di halaman 1dari 8

I.

Pendahuluan

Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa. Berdasarkan tingkatan analisisnya,

linguistik terbagi menjadi makro dan mikro. Mikrolinguistik mencakup fonologi, morfologi,

sintaksis, semantik. Fonologi menganalisis bunyi bahasa, sintaksis menganalisis pada

tingkatan kalimat sedangkan semantik menganalisis arti kata dan kalimat (Saeed, 1998: 3).

Semantik penting untuk mempelajari makna dalam komunikasi. Ketika komunikasi

menjadi bagian integral dari organisasi sosial, kebutuhan untuk mempelajari semantik

menjadi niscaya. Sementara itu, di sisi lain, semiotik sebagai ilmu tanda juga tidak bisa

diabaikan; tanpa tanda, komunikasi tidak akan berjalan karena kata, gerak, bendera, lampu

lalu lintas, dan sebagainya adalah tanda.

Makalah ini akan membahas secara ringkas apa itu semantik dan semiotik, hubungan

antara keduanya, serta teori tanda menurut Saussure, Ogden dan Richards, dan Bűhler.

II. Pembahasan

Semantik

Semantik adalah bidang linguistik yang mempelajari makna tanda bahasa, yaitu kaitan

antara konsep dan tanda bahasa yang melambangkannya (Darmajuwono, 2005 : 114).

Sementara itu, menurut Saeed, “Semantics is the study of meaning communicated through

language. ..... semantics is the study of the meaning of words and sentences” (Saeed, 1998:

3). Kedua definisi tersebut sama dengan pengertian Lyons yang mengatakan bahwa secara

umum, semantik adalah ilmu yang mempelajari makna. (Lyons, 1977: 1).

Istilah semantik sebagai ilmu pertama kali digunakan dalam makalah berjudul

“Reflected Meanings: a Point in Semantics” yang dipresentasikan di Asosiasi Filologi

Amerika pada tahun 1894 (Palmer, 1976: 1). Dalam perkembangannya semantik menjadi
bagian dari linguistik, karena hampir semua linguis menerima model linguistik yang

menganggap bahwa apabila gramatika itu berada di tengah, di kedua sisinya ada fonologi dan

semantik.

Dalam semantik yang menjadi kajian bukanlah makna individual, tetapi makna yang

diterima secara umum. Contohnya, jika seseorang menyapa dengan ungkapan “hai say!”,

kemudian dia memaknai say sebagai kependekan dari “sayton” (setan dalam bahasa Arab)

sebagai ganti “sayang” (makna universalnya), hal itu bukan bagian dari pembahasan umum

semantik. Lain halnya jika say dimaknai dengan “sayang”, itu adalah bagian dari kajian

semantik.

Makna

Kata meaning sesuai dengan verba mean merupakan istilah yang paling banyak

dipermasalahkan di dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu, pada tahun 1923, Ogden dan

Richards menuliskan 22 definisi tentang makna dalam bukunya yang berjudul “The Meaning

of Meaning” untuk mencoba menunjukkan bagaimana kebingungan dan kesalahpahaman

timbul karena tidak ada kesesuaian paham mengenai istilah makna.

Beberapa definisi makna tersebut adalah sebagai berikut:

1. Suatu sifat intrinsik.

2. Konotasi suatu makna.

3. Tempat sesuatu di dalam sistem.

4. Sesuatu yang diacu oleh pemakai lambang.

5. Sesuatu yang menurut keyakinan pemakai lambang dipakai sebagai acuan.


6. Sesuatu yang oleh penafsir lambang a. diacu b. diyakini bahwa ia sendiri mengacu padanya

c. diyakini bahwa pemakai mengacu padanya

Semantik dan Semiotik

Saussure berpendapat kalau ilmu yang mempelajari makna (semantik) adalah bagian

dari ilmu yang mempelajari tanda bahasa, yang disebut semiotik (Saeed, 1998: 5). Semiotik

mempelajari makna dari berbagai macam tanda mulai dari lambang gambar dan lain- lain

sedangkan semantik hanya mempelajari makna tanda bahasa saja, berupa kata atau kalimat.

Sebagai contoh, cincin yang dipakai oleh sepasang pria dan wanita menunjukkan kalau

mereka adalah sepasang suami istri. Cincin tersebut yang merupakan lambang pernikahan

dianalisis oleh semiotik. Sedangkan apabila diungkapkan dalam kalimat “dia adalah istri

saya," menjadi kajian semantik. Selanjutnya, akan dibahas lebih detil tentang semiotik.

Semiotik

Semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda.” Filsuf Amerika,

Charles Sanders Peirce menegaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan sarana tanda.

Sudah pasti bahwa tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi. Untuk lebih jelas, akan

dibahas tiga model pendekatan semiotik.

1. Saussure

Saussure mengusulkan sebuah tanda model ‘dyadic’ atau dua bagian dari tanda.

Saussure membatasi sebagai: Sebuah penanda atau ‘signifier’

(signifiant) – bentuk dimana tanda itu berada; dan Petanda

‘signified’ (signifie) – konsep terwakili.


Menurut Saussure, bahasa pada dasarnya adalah sebuah proses signifikasi yang

kompleks. Bahasa terdiri dari langue dan parole. Tanda dalam bahasa terdiri dari yang

menandai (signifiant, signifier, penanda) dan yang ditandai (signifie, signified, petanda). Baik

penanda maupun petanda tidaklah dapat dipisahkan satu dari yang lainnya. Baik penanda

maupun tanda bersifat mental; penanda adalah citra bunyi sedangkan petanda adalah gagasan

atau konsep (Husen (ed.), 2001: 26- 27). Sebagai contoh penanda adalah bunyi /air/ dan

petandanya adalah konsep air yang ada baik dalam pikiran pendengar maupun pembicara.

Saussure juga menyatakan kalau di dalam langue terdapat hubungan sintagmatik dan

asosiatif. Hubungan sintagmatik adalah hubungan mata rantai di dalam rangkaian ujaran

(Zaimar, 2008: 10). Jadi, unsur- unsurnya berada dalam susunan yang berada dalam ruang

dan waktu yang sama. Sebagai contoh, saya -> mengetik -> makalah. Saya (subjek),

mengetik (verba) dan makalah (objek), ketiga- tiganya memiliki hubungan sintagmatik.

Sedangkan hubungan asosiatif adalah hubungan in absentia, yaitu unsur- unsurnya

tidak berada dalam ruang dan waktu yang sama tetapi merupakan jaringan yang didasari oleh

perbedaan. Asosiatif dapat juga dijelaskan sebagai kata- kata yang mempunyai kesamaan

berasosiasi dalam pikiran (Zaimar, 2008: 58). Sebagai contoh, dalam kalimat: Saya makan es

krim. Kata saya dapat diganti dengan kata lain seperti kamu, dia, anak kecil, ibu, ayah dan

kata lainnya. Contoh lainnya, verba makan dapat pula diganti dengan verba lainnya sehingga

kalimat tersebut menjadi: Saya membeli es krim.

Selain itu, Saussure menyatakan kalau tanda tidak memiliki acuan ke realitas objektif.

Jadi, imej akustik tidak mengacu kepada objek tetapi mengacu kepada konsep. Oleh karena

itu, makna tanda ditentukan oleh oposisi dwipihak (binary opposition), yaitu hubungan

perbedaan antara satu tanda dengan tanda lainnya yang digunakan (Husen (ed.), 2001: 27).
Contohnya /makan/ dan /pakan/ menunjukkan kalau /m/ dan /p/ adalah fonem yang berbeda

karena kedua fonem tersebut membedakan arti.

2. Ogden dan Richards

Ogden dan Richards memperkenalkan segitiga semantik yang berdasarkan teori penanda dan

petandanya Saussure.

Konsep
Reference

Penanda ------------------------ acuan


symbol referent

Seperti yang diungkapkan Ferdinand de Saussure bahwa penanda adalah imaji akustik

atau bentuk bahasa yang disebut Ogden dan Richards sebagai simbol, dan petanda adalah

konsepnya yang disebut reference. Hubungan antara penanda dan petanda bersifat manasuka

(arbiter), artinya tidak ada hubungan wajib antara deretan fonem pembentuk kata dengan

maknanya. Namun hubungannya bersifat konvensional artinya disepakati oleh setiap anggota

masyarakat pendukung bahasa.

Ogden dan Richards menambahkan unsur acuan (referen) yang berada di luar bahasa.

Menurutnya tidak ada hubungan langsung antara penanda dan acuannya (bahasa dan dunia),

hubungan itu harus melalui konsep yang ada dalam pikiran manusia. Itulah sebabnya dalam

segitiga semantik ini, garis yang menghubungkan antara penanda dan acuan ditampilkan

dengan garis terputus-putus.


Sebagai contoh kita sebut saja kata <meja>. Kata meja ini mengandung konsep meja

pada umumnya, meja apa saja, dan berbagai jenis meja. Jadi, kata <meja> ini merupakan

abstraksi keseluruhan meja yang ada. Tetapi dalam dunia nyata kita akan mendapati berbagai

macam meja yang ukuran, bentuk, dan bahannya masing-masing tidak sama.

Hal ini memperlihatkan bahwa hubungan antara kata <meja> sebagai sign dengan

maknanya atau konsepnya bersifat langsung. Begitu juga hubungan antara makna itu dengan

meja tertentu di dunia nyata bersifat langsung. Namun, hubungan antara kata <meja> dengan

sebuah meja di dunia nyata tidak bersifar langsung yang ditandai dengan garis terputus-putus

antara simbol dan referen.

3. Karl Buhler

Karl Buhler (1879-1963), merupakan salah satu sarjana Jerman, guru besar psikologi

di Universitas Wina (1922-1938), menulis beberapa karya mengenai psikologi, filsafat, dan

filsafat bahasa.

Untuk menjelaskan tanda, Buhler mengajukan model organon berikut ini


Berbeda dengan Saussure dan Ogden dan Richards, Buhler melihat tanda dengan

melibatkan pembicara dan pendengar. Pembicara mengirim symptom, yaitu ujaran yang

mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran si pembicara. Sehingga, pendengar akhirnya

mendapatkan pemaknaan tanda “signal”. Pemaknaan tanda oleh pendengar terhadap ujaran

pembicara bisa saja berbeda dengan yang diharapkan oleh pembicara.

Menurut Buhler, ada tiga fungsi utama bahasa, yakni fungsi emotif (mengungkapkan

perasaan pembicara), fungsi referensial (memberi informasi yang mengacu pada sesuatu),

dan fungsi konatif (membuat pendengar melakukan sesuatu).

Referensial

referen

Emotif konatif

III. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, semantik merupakan substruktur dari semiotik. Hal

ini disebabkan semantik dan semiotik fokus kajiannya sama-sama menggali makna. Jika

semantik menggali makna bahasa, maka semiotik lebih dari itu, tidak hanya bahasa. Artinya,

cakupan semiotik itu lebih luas daripada cakupan semantik.

Daftar Pustaka

Aminudin. 2003. Semantik. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Husen, Ida Sundari dan Rahayu Hidayat. (ed.). 2001. Meretas Ranah Bahasa, Semiotika dan
Budaya. Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Kushartanti. Untung Yuwono dan Multamia RMT Launder. 2005. Pesona Bahasa. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Lyons, John. 1977. Semantics. Vol. I. Cambridge: Cambridge University Press.

Palmer, F.R. 1976. Semantics: A New Outline. Cambridge: Cambridge University Press.

Saeed, John. J. 1998. Semantics. Massachusetts: Blackwell Publisher Inc.

De Saussure, Ferdinand. 1988. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Smith, Philip. 2001. Cultural Theory An Introduction. New York: Blackwell Publishing.

Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest. 1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia.

Zaimar, Okke. K. S. 2008. Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai