Anda di halaman 1dari 4

MAKALAH TEORI DAN APRESIASI SASTRA

PENDEKATAN SASTRA: SEMIOTIK

A. Pengertian Semiotika
Semiotik berasal dari bahasa Yunani “semion” yang berarti tanda.
Semiotika adalah ilmu sastra yang sungguh-sungguh mencoba
menemukan konvensi-konvensi yang memungkinkan adanya makna.
Makna yang telah ditemukan tersebut akan membuat pembaca memahami
lebih mendalam nilai yang tekandung dalam karya sastra. Ratna (Setiawan
& Andayani, 2019). Tokoh penting semiotika adalah Ferdinand de
Saussure dan Charles Sanders Perce.
Mengenai semiotika menurut Pierce (Setiawan & Andayani, 2019),
logika hendaknya harus mempelajari cara orang bernalar. Penalaran
tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan tanda-tanda, karena dengan
tanda-tanda sangat memungkinkan seseorang untuk berpikir, berinteraksi
dengan orang lain, dan memberikan pemaknaan terhadap segala sesuatu
yang terjadi di alam semesta. Sementara Saussure (Fajrin, 2020)
menggunakan istilah semiologi. Saussure memulai teori semiologinya dari
teori linguistik umum. Ia menganggap bahwa bahasa itu adalah sistem
tanda sehingga semiologi lah yang berisi teori tentang tanda-tanda yang
terdapat dalam linguistik.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan-
aturan, dan konvensi-konsvensi yang memungkinkan tanda untuk
dianalisis karena mempunyai makna. Tanda yang dimaksud dapat berupa
kata-kata (bahasa). Semiotik juga dapat digunakan dalam menganalisis
karya sastra yang merupakan refleksi dari kehidupan.

B. Manfaat Semiotika
Semiotika bermanfaat untuk mengetahui gagasan (konsep) atau
makna yang terkandung dalam suatu tanda. Semiotika sangat bermanfaat
dalam tanda-tanda bahasa, yang dalam hal ini ialah kebahasaan (linguistik)
yang terdapat dalam karya sastra.
Sebagai contoh puisi merupakan salah satu jenis karya sastra yang
menggunakan bahasa berbeda dengan pemakaian bahasa pada kehidupan
sehari-hari. Puisi menyampaikan pesan secara tidak langsung dengan
memanfaatkan tanda-tanda, dengan demikian semiotika bermanfaat untuk
memahami makna yang terkandung dalam puisi.

C. Ruang Lingkup Semiotika


Belum ada kesepakatan mengenai ruang lingkup semiotika.
Namun, ada beberapa pendapat ahli mengenai ruang lingkup semiotika.
North (Setiawan & Andayani, 2019) menjelaskan bahwa semiotika
mempunya tiga ruang lingkup yaitu pure semiotics (semiotika murni),
descriptive semiotics (semiotika deskriptif), dan applied semiotics
(semiotika terapan). Eco menyatakan bahwa ruang lingkup semiotika
sangat luas, ia memandang semiotika sebagai ilmu pengetahuan yang
menjajah seluruh objek tetapi dengan batasan-batasan sementara antara
lain batasan politis, batasan alami, dan batasan epistemologis. Fiske
berpendapat bahwa semiotika mempunya tiga bidang utama. Pertama yaitu
tanda itu sendiri, terkait dengan berbagai tanda yang berbeda, cara tanda
menyampaikan maknanya, dan cara tanda itu berhubungan dengan
manusia yang menggunakannya. Kedua yaitu kode atau sistem yang
mengorganisasikan tanda mencakup cara mengembangkan berbagai kode,
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Terakhir yaitu kebudayaan tempat
kode dan tanda bekerja, hal ini bergantung pada penggunaan kode-kode,
tanda-tanda untuk keberadaaan, dan bentuk sendiri.
Berdasarkan pendapat-perndapat tersebut dapat disimpulkan
semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam objek
tertentu. Semiotika bermanfaat untuk memahami makna-makna yang
terkandung di dalamnya.

D. Teori Semiotika Riffaterre


Teori semiotika Riffaterre muncul sebagai wujud penolakan
terhadap semiotika Jakobson. Hal tersebut karena Jakobson dalam teorinya
hanya melihat aspek linguistik dalam pengerjaan yang terbatas dan tidak
memperhatikan aspek yang lainnya, seperti aspek pragmatik dan ekspresif
yang di dalamnya ada peran pembaca dan penulis yang bisa diungkap.
Teori semiotika Riffaterre juga menganggap bahwa fenomena sosial
(masyarakat dan kebudayaan) sebagai suatu tanda.
Riffaterre (Setiawan & Andayani, 2019) menjelaskan bahwa puisi
selalu mengalami perubahan karena konsep estetik dan mengalami evolusi
sesuai dengan perkembangan zaman. Meskipun demikian, ada hal yang
tidak mengalami perubahan yakni puisi menyampaikan pesan secara tidak
langsung. Puisi mengungkapkan satu hal dan memiliki arti lain. Hal
tersebut disesbabkan puisi merupakan sebuah sistem tanda dan
mengandung makna. Puisi sebagai media komunikasi berfungsi dalam
konteks stilistik dan konteks harapan pembaca.
Pada teori semiotika Riffaterre (Fajrin, 2020) terdapat empat unsur
pokok yang harus diperhatikan dalam pemaknaan sastra. Keempat hal itu
adalah (1) ketidaklangsungan ekspresi puisi (menyatakan suatu hal dengan
arti yang lain) (2) pembacaan heuritsik dan hermeneutik atau retroaktif. (3)
matriks, model, dan varian-varian, dan (4) hipogram atau hubungan
intertekstual.
Ketidaklangsungan ekspresi disebabkan karena yang disebabkan
penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distoring of
meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Pergantian arti
disebabkan karena penggunaan bahasa kiasan. Sebuah karya sastra akan
mengalami perubahan sehingga ketidaklangsungan ekspresi ini nantinya
akan menjelaskan maksud kara sesuai dengan penjelasan yang lain.
Pembacaan heuristik merupakan pembacaan berdasarkan struktur
bahasanya atau disebut pembacaan semiotik tingkat pertama. Pada
pembacaan heuristik arti kata-kata dan sinonim diperjalan sehingga akan
ditemukan arti dalam puisi secara tekstual. Sedangkan pembacaan
hermeneutik adalah permbacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan
heuristik sesuai dengan konvensi sastranya. Pada pembacaan hermeneutik
ini puisi dimaknai secara keseluruhan.
Matriks, model, dan varian. Matriks ialah sumber seluruh makna
yang ada dalam puisi. Matriks dapat berupa kata, frasa, klausa, atau
kalimat sederhana. Matriks merupakan kata kunci untuk menafsirkan puisi
yang dikonkretisasikan. Matriks diaktulisasikan melalui model. Model
ialah kata atau kalimat yang mewakili bait dalam puisi. Model dapat
dijabarkan dalam bentuk varian-varian yang terdapat dalam setiap baris
atau bait.
Hipogram merupakan hubungan antara suatu karya sastra dengan
karya ilmiah. Hipogram juga dapat dilihat dari keterkaitan suatu karya
sastra dengan sejarahnya. Hipogram juga dapat diartikan sebagai latar
penciptaan sebuah karya sastra yang meliputi kondisi masyarakat,
peristiwa dalam sejarah atau alam, dan kehidupan penyair.
DAFTAR PUSTAKA
Fajrin, S. F. (2020). Semiotika Michael Camille Riffaterre; Studi Analisis Alquran
dalam Surat Al-Baqarah Ayat 223. Al Furqan: Jurnal Ilmu Al-Quran dan
Tafsir.
Setiawan, K. E., & Andayani. (2019). Strategi Ampuh Memahami Makna Puisi
Teori Semiotika Michael Riffaterre dan Penerapannya. Cirebon:
Eduvision.

Anda mungkin juga menyukai