Anda di halaman 1dari 5

Teori Hubungan Internasional : English School and Copenhagen School

Dosen Pengampu: Ahmad Jamaan, S.IP, M.Si

Herry Wahyudi, S.IP,MA

Di susun oleh:

Nurhamni Ichwarti

1601114411

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS NEGERI RIAU

2018
English School and Copenhagen School

English School

English School merupakan salah satu perspektif yang ada dalam Hubungan
Internasional. Meski kemunculannya jauh setelah kemunculan perspektif realisme dan
liberalisme, namun English School memiliki kontribusi yang cukup besar pula dalam abad ke-
21 ini dalam melihat fenomena hubungan internasional yang ada.

English School pertama kali muncul pada tahun 1970-an, sebagai hasil dari proyek
tulisan sekelompok penulis-penulis kritis asal Inggris yang menggunakan masyarakat
internasional sebagai objek utama dalam pembahasannya. Para pencetus dari English School
ini sendiri diantaranya adalah Hedley Bull, Martin Wight, dan Adam Watson (Dunne,
2007:128). Hedley Bull adalah staf di Departemen Hubungan Internasional pada salah satu
sekolah ekonomi di London. Ide yang tercetus oleh Bull ini adalah bentuk respon dari
ketidakpuasan Bull dengan apa yang telah ditawarkan oleh perspektif realisme, dan idealisme
dalam melihat hubungan internasional. Bull menginginkan adanya analisis baru dalam
mengkaji hubungan internasional yang telah mengalami banyak perubahan pada pertengahan
abad 20 tersebut (Dunne, 2007:129). Sebagai perspektif yang baru, English School perlu proses
dalam mendapatkan posisi penting atas pemikirannya di dalam Hubungan Internasional.
Kemudian barulah pada tahun 1990-an, English School mulai menjadi salah satu cabang
penting dalam politik internasional meskipun lingkungan pengaruhnya masih hanya di sekitar
kawasan Inggris dan beberapa universitas yang mempelajari Hubungan Internasional.

English School mengusulkan sebuah pandangan baru pada Hubungan Internasional


yang menggabungkan teori dan sejarah, moralitas dan power, agen dan struktur (Dunne,
2007:128). Ini merupakan analisis konsep baru dalam melihat bagaimana politik dunia
dimengerti dalam dinamika ketergantungan dari sistem, masyarakat, dan juga komunitas
internasional. English School memandang bahwasanya kerangka umum dari Hubungan
Internasional itu adalah sistem politik global yang berarti posisi dari negara, institusi, NGOs,
TNCs, dan individu juga dikaji didalamnya. Jika realisme menekankan pada sistem
internasional, dan liberalisme pada masyarakat dunia, English School mengambil fokus
ditengah-tengah kedua perspektif besar tersebut, yaitu masyarakat internasional (Dunne,
2007:133). Hal ini didasarkan pada kapabilitas negara yang dapat membentuk masyarakat
internasional itu sendiri. Dari satu hal mendasar ini, dapat mulai terlihat jelas bagaimana
English School membedakan dirinya dari perspektif-perspektif sebelumnya.
English School merupakan perspektif yang menarik dari studi Hubungan Internasional.
Karena, English School menginginkan semua negara memiliki kedaulatan yang sama, sederajat
tanpa adanya pemerintahan dunia diatas negara-negara berdaulat atau disebut anarki. Tetapi
bagi English School, perdamaian dunia dapat dicapai bila tiap-tiap negara memiliki kesadaran
untuk mematuhi segala aturan yang diatur di negaranya masing-masing. Dengan demikian,
English School juga tidak dapat menghiraukan hirarki. Inti pendekatan English School adalah
negara-negara dianggap sebagai organisasi manusi1.

Martin Wight (1991) melihat terdapat teori Hubungan Internasional klasik dapat
diklasifikasikan kedalam tiga kategori dasar, yakni: realis, rasionalis, dan revolusionis. Ketiga
perspektif ini disebut juga sebagai triad. Kaum realis adalah kaum yang menekankan pada
aspek anarki dalam sistem internasional. Kaum rasionalis adalah kaum yang menekankan pada
aspek dialog dan pergaulan internasional. Sedangkan revolusionis adalah kaum yang
menekankan pada aspek persatuan moral dari masyarakat internasional. Jika kaum realis
memperjuangkan konsep anarki, rasionalisme yakin bahwa manusia menggunakan akal
pikiran, sehingga dapat mengenali hal yang benar untuk dilakukan, dan dapat belajar dari
kesalahannya dan dari yang lainnya. Bagi kaum rasionalis, masyarakat dunia dapat diatur untuk
hidup berdampingan tanpa adanya kekerasan. Masyarakat dunia akan saling mengerti,
menghargai satu sama lain dan menaati hukum yang berlaku dalam negaranya. Selanjutnya,
revolusionis menunjukkan dirinya dengan rasa kemanusiaan dan yakin pada persatuan moral
dari masyarakat dunia di luar negara. Tiga perspektif ini kemudian yang menjadi dasar dari
English School dalam mengembangkan pandangannya mengenai masyarakat internasional. 2

Kecondongan English School terhadap kaum rasionalis mengakibatkan English School


memandang bahwa norma merupakan hal mendasar dari terwujudnya perdamaian dunia
(Dunne, 2007:140). Norma tersebut membuat negara-negara sebagai aktor hubungan
internasional memiliki kepentingan yang sama sehingga membuat timbulnya aturan yang
menjadi komitmen untuk mengatur hubungan antar aktor-aktornya. Dalam arti lain, norma
disini sabagai alat untuk membentuk masyarakat internasional yang damai dan tertib. Namun,
dengan melihat fenomena anarki baik eksplisit maupun implisit yang terjadi dalam hubungan
internasional, English School menapat kritikan dari kaum realis, bahwa English School
berupaya menghindari pilihan sulit antara (1) egoisme dan konflik negara dan (2) keinginan

1
Robert Jackson & Georg Sørensen, 2013.Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,232.
2
Ibid.238
baik manusia dan kerjasama yang dimunculkan oleh perdebatan antara realisme dan liberalisme
(Jackson&Sorensen, 2009:183). Realis menantang pembuktian pengaturan kebijakan luar dan
dalam negeri yang dipengaruhi oleh norma internasional. Ada pula kritik yang dilontarkan
kaum liberalis dan kaum EPI yang menganggap English School terlalu memperhatikan sektor
politik saja sehingga mengabaikan sektor ekonomi dan kelas sosial dalam hubungan
internasional.

Dapat ditarik kesimpulan, English School adalah perspektif baru yang berhasil
mendapat tempat dalah Hubungan Internasional. Perspektif ini berhasil mengkombinasikan
hal-hal relevan dari perspektif sebelumnya untuk kemudian dikaji kembali dalam lingkup
masyarakat internasional. Negara adalah aktor yang berperan penting dalam pandangan
English School sebagai pemegang norma dan pembentuk masyarakat internasional demi
terciptanya perdamaian internasional. Penulis sependapat dengan realis dan liberalis mengenai
kelemahan dari perspektif ini. English tidak mengkaji cakupan pada bidang yang lebih holistik
pada hubungan internasional, sehingga mengakibatkan perspektif kurang dapat menjawab
tantangan-tantangan fenomena dalam dinamika hubungan internasional.

Copenhagen School

Studi keamanan pada awalnya berfokus pada isu militer/strategis yang memiliki
kecenderungan terpengaruh oleh aliran realisme. Pada perkembangannya, studi keamanan
menjadi bagian dari teori politik, namun tetap membahas hal teknis seperti senjata, personil
militer, dsb. Selanjutnya, pendekatan kritis terhadap studi keamanan berusaha menantang
pendekatan yang bersifat tradisional.

Pendekatan keamanan kritis melihat bahwa keamanan tradisional mengabaikan isu-isu


seperti gender, kelas, dan ras. Pendekatan keamanan tradisional dinilai tidak memperhatikan
isu, misal kekerasan terhadap perempuan dan kemiskinan yang tingkat kematiannya melebihi
jumlah korban perang. Kritik tersebut memunculkan pendekatan keamanan nontradisional
pada era akhir 1980-an.

Pendekatan ini dikenal dengan Copenhagen School yang terdapat pemikir-pemikir


seperti Ole Waever, Barry Buzan, dll. Copenhagen school menambahkan 5 dimensi keamanan
dan referent object. Adapun 5 dimensi tersebut meliputi ekonomi, sosial, politik, lingkungan,
dan militer. Sementara itu, referent object dari keamanannya yaitu negara dan masyarakat.
Suatu isu dapat dikatakan isu keamanan apabila aktor keamanan menyatakan melalui tindakan
speech act bahwa isu tersebut merupakan ancaman (meskipun tadinya isu tersebut bersifat non-
politik dan politik). Tindakan tersebut dikenal dengan istilah sekuritisasi, yang menjadi
tawaran Copenhagen school terkait penyelesaian suatu ancaman.

Terdapat kelebihan dan kekurangan dari sekuritisasi. Kelebihan dari sekuritisasi adalah
konsep ini menjadi tools bagi pemegang kekuasaan dalam menanggulangi suatu ancaman
secara cepat (tanpa melalui logika politik). Sementara itu, kelemahan dari konsep ini adalah
pemegang kekuasaan cenderung dapat melakukan abuse of power ketika hak sipil dan hak
oposisi ditekan karena alasan penanggulangan ancaman melalui tindakan sekuritisasi.3

DAFTAR PUSTAKA

Jackson,Robert & Georg Sørensen, 2013.Pengantar Studi Hubungan Internasional,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Dunne, Tim, 2007. “The English School”, dalam International Relations Theories, Oxford
University Press

Hartono,Budi.Copenhegen School : Sekuritisasi [Online].


https://www.academia.edu/10012303/Copenhagen_School_Sekuritisasi [Diakses 25 April
2018]

3
Budi Hartono.Copenhegen School : Sekuritisasi [Online].
https://www.academia.edu/10012303/Copenhagen_School_Sekuritisasi [Diakses 25 April 2018]

Anda mungkin juga menyukai