Anda di halaman 1dari 15

Liberalisme Lama dan Baru

William Ebenstein, Great Political Thinkers, 1960

Oleh Agus Sutisna


Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik
Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional Jakarta

1. Pendahuluan
Seperti mata air abadi, diskursus dan perhatian para ahli seputar faham liberalisme
terus mengalir dari abad ke abad. Buku Great Political Thinkers (1960) yang ditulis William
Ebenstein adalah salah satu dari ratusan buku yang mengupas seputar liberalisme, ideologi
yang telah mengalami “penyempurnaan” sekaligus kritik dari para ahli sosiologi dan politik
di berbagai negara. Topik liberalisme ini dibahas Ebenstein di dalam Bagian Ke-22 dibawah
judul Liberalism : Old and New. Di kalangan ilmuwan Indonesia, istilah “old and new” dalam
konteks faham liberalisme yang digunakan Ebenstein juga sering diterjemahkan dengan
istilah “klasik dan modern”.
Pemikiran liberalisme, baik yang klasik maupun modern, sebetulnya diperkenalkan
dan dikembangkan oleh banyak tokoh. Di kalangan pemikir klasik (lama) misalnya,
terdapat nama-nama besar seperti John Locke (1632-1704), Jeremy Bentham (1748-1832),
dan Adam Smith (1723-1790). Sementara di kalangan pemikir liberalisme modern (baru)
tercatat nama-nama Thomas Hill Green (1836-1882), John Dewey (1859-1952), Franklin D.
Roosevelt (1882-1945). Dalam buku ini, Ebenstein menampilkan dua tokoh yang dianggap
paling berpengaruh, yang masing-masing mewakili aliran pemikiran klasik dan modern.
Kedua tokoh itu adalah Herbert Spencer (1820-1903) yang mewakili pemikiran liberalisme
klasik dan John Maynard Keynes (1883-1946) yang mewakili aliran pemikiran liberalisme
modern.
Tulisan ini berusaha mengemukakan kembali pokok-pokok pikiran Herbert Spencer
tentang Liberalisme Klasik (Lama) dan John Maynard Keynes tentang Liberalisme Modern
(Baru) sebagaimana diuraikan oleh William Ebenstain dalam bukunya, disertai dengan
beberapa catatan kritis penulis terhadap pemikiran kedua tokoh liberalisme ini. Kemudian
sebagai pelengkap, dalam tulisan ini juga disertakan uraian riwayat ringkas kedua tokoh

1
dan konteks sejarah hidupnya yang memiliki relevansi dengan pemikiran-pemikiran mereka
tentang liberalisme.

2. Herbert Spencer dan Liberalisme Klasik

Riwayat Hidup Spencer


Herbert Spencer lahir pada 27 April 1820 di kota kecil Derbyshire, Midland, Inggris.
Ayahnya seorang guru, yang memutuskan Spencer menempuh pendidikan dasar dan
menengahnya di rumah sendiri (secara ekslusif) karena alasan kesehatan. Seperti ditulis
oleh banyak pemerhati kehidupannya, lingkungan tinggal Spencer pada saat itu terbilang
sangat buruk oleh karena polusi akut yang ditebarkan pabrik-pabrik yang berdesakan
dengan pemukiman. Dalam usia yang relatif sangat muda, 17 tahun, Spencer menjadi
insinyur sipil dan bekerja di sebuah perusahaan kereta api di Birmingham London.
Pekerjaannya ini dijalani Spencer selama kurang lebih 9 tahun (1837-1846) sambil
melanjutkan studinya. Pada periode ini pula minatnya terhadap masalah-masalah sosiologi,
politik, ekonomi dan filsafat tumbuh, dan Spencer mulai rajin menulis artikel-artikel sosial.
Saat masih bekerja sebagai ahli mesin di perusahaan itu, tepatnya tahun 1842,
tulisan pertamanya di bidang sosial, “The Proper Sphere of Government” diterbitkan oleh
majalah Non Conformist. Enam tahun kemudian (1848), tulisan yang sama dipublikasikan
lagi di majalah The Economist. Sebuah majalah ekonomi terkemuka yang berbasis di
London, yang menjadi corong kaum oposisi dan pendukung ide-ide perdagangan bebas. Di
majalah ini pula, Spencer kemudian membangun profesi barunya sebagai penulis masalah-
masalah sosial, dan sempat menduduki jabatan sebagai Wakil Editor, setelah memutuskan
keluar dari perushaan tempat ia bekerja sebagai ahli mekanik. Tahun 1851, saat usianya
memasuki 31 tahun, buku pertama Spencer berjudul Social Static terbit. Inilah buku pertama
dimana Spencer mulai merumuskan ide-ide liberalisnya seputar individualisme, the survival
of the fittes, laissez faire dan peran negara yang cukup menjadi “penjaga malam” bagi
rakyatnya.
Tahun 1853, Spencer memperoleh warisan kekayaan yang sangat banyak dari
pamannya (Thomas Spencer). Dengan bekal harta waris ini, Spencer kemudian

2
memutuskan keluar dari tempatnya bekerja, dan mengambil jalan hidup sebagai penulis
bebas yang mencurahkan pikiran sepenuhnya untuk mendalami dan mengkaji masalah-
masalah sosial. Sejak itulah buku-buku Spencer kemudian terbit berkesinambungan,
diantaranya : Social Statics (1851), Principles of Psychology (1855), Its Law and Cause (1857),
Principles of Biology (1861 dan 1864), First Principles (1862), The Study of Sociology (1873),
Descriptive Sociology (1874), The Principles of Sociology (1877), Principles of Ethics (1883), dan
The Man versus The State (1884). Tanggal 8 Desember 1903 Herbert Spencer meninggal
dunia, dan dikenang sebagai salah seorang sosiolog terkemuka meski selama hidupnya ia
tidak pernah menduduki jabatan akademik formal di perguruan tinggi manapun.

Liberalisme Klasik Spencer


Seperti disinggung didepan tadi, masa kanak-kanak Spencer dan pertumbuhannya
banyak dijalani dalam suatu “lingkungan” yang serba ekslusif. Ia dididik di rumahnya
sendiri; dan diarahkan oleh ayahnya untuk fokus mempelajari sains dan teknologi. Spencer
tidak mengenal banyak sejarah dan ilmu-ilmu humaniora yang memungkinkannya
bersentuhan secara intensif dan memadai dengan isu-isu sosial-kemanusiaan. Meski terlalu
simplistik untuk menyimpulkan bahwa latar situasi inilah yang telah membuat Spencer
kemudian menjadi seorang individualis (akar dari liberalisme) sejati. Namun mengawali
pembahasannya pada Bab 22 ini, William Ebenstein menyatakan : “the most extreme reflection
of nineteenth-century individualism is to be found in the encyclopedic system of Herbert Spencer (1820-
1903)” dalam rangkaian ilustrasinya perihal perkembangan puncak individualisme abad ke-
19 di Eropa sejak John Locke (1632-1704) memeloporinya pada abad ke-16.
Faktanya memang, warisan-warisan pemikiran yang ditinggalkan Spencer
menunjukkan betapa ia adalah seorang “penyempurna” faham liberalisme klasik (lama)
yang paling berpengaruh hingga liberalisme lama ini mencapai puncaknya pada abad 19,
sebelum dikoreksi oleh pemikir-pemikir liberalisme modern (baru) pada awal abad 20
sebagaimana akan diuraikan di belakang dalam tulisan ini. Secara umum, sebagaimana
tercermin dalam gagasan dan pemikiran-pemikiran Spencer, liberalisme klasik (lama) ini
memiliki sejumlah karakter yang khas, antara lain semangat empirisme untuk dunia filsafat,
etika utilitarian, agnotisme agama, persaingan ekonomi, anti-otoritarianisme dalam

3
kehidupan politik, semangat anti imperalisme, pasifisme dan perdagangan bebas dalam
dunia hubungan inetrnasional.
Warisan pemikiran penting Spencer yang pertama dipublikasikan dalam majalah
Nonconformist pada awal tahun 1842, berupa serangkaian artikel berjudul The Proper Sphere of
Government. Dalam bukunya ini Spencer menyatakan keyakinan pandangannya, bahwa
segala sesuatu di alam ini memiliki hukum-hukumnya sendiri, dan manusia tunduk pada
hukum alam itu. Hukum alam menciptakan “keadilannya” sendiri bagi kehidupan pelbagai
makhluk di dunia. Jika seekor banteng yang sudah tua dan penyakitan, lalu diterkam
harimau dan mati, ini adalah “keadilan” yang diberikan alam, dan karenanya tidak perlu
disesali. Pada waktunya di kemudian hari nanti, si harimau perkasa itu pastilah juga akan
mati. Cepat atau lambat kematian itu menjemputnya sangat bergantung pada
kemampuannya menyesuaikan diri dengan alamnya (survival of the fittest). Karena itu, hidup
dan mati bagi Spencer adalah kebutuhan alamiah, bukan suatu kecelakaan.
Dalam konteks inilah, Spencer mengadopsi teori evolusi biologis-nya Charles
Darwin dan memperkenalkannya dalam kehidupan sosial dan politik. Seperti dalam dunia
hewan dan tumbuhan, dalam masyarakat manusia pun, evolusi akan terjadi dan prinsip the
survival of the fittest pasti berlaku. Evolusi sosial akan mengubah tata kehidupan masyarakat
manusia dari homogen dan stagnan menuju heterogen dan berkemajuan. Dan dalam
kerangka evolusi sosial ini akan terjadi proses seleksi alamiah tadi : mereka yang “kuat”
(memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi) akan bertahan, dan yang “lemah” (tidak
memiliki kemampuan adaptasi yang memadai) akan terpinggirkan dan kalah. Aspek yang
paling fundamental dan menjadi gagasan utama dimana liberalisme klasik berpijak dari
pemikiran Spencer ini adalah, bahwa dalam proses seleksi alamiah itu setiap orang harus
dibiarkan bebas dan berikhtiar sendiri-sendiri. Negara tidak perlu campur tangan; bahkan
membantu orang miskin pun tidak perlu. Inilah yang oleh Ebenstein disebut sebagai filsafat
politik Spencer tentang individualisme ekstrem dan laissez faire.
Masih didalam karyanya The Proper Sphere of Government, Spencer juga memberi
perhatian terhadap fungsi negara. Menurut Spencer, fungsi utama negara adalah mengatur
aparat pemerintah (birokrasi) dan administrasi lembaga yudikatif untuk memastikan hak-
hak dasar manusia yakni kehidupan dan harta kekayaannya terlindungi. Negara tidak perlu
mengatur urusan agama, mengatur perdagangan, dan mendorong kolonialisasi. Liberalisme

4
klasik memang anti-kolonialisme. Pandangan-pandangan fundamental Spencer tentang
negara ini diuraikan, baik dalam karya pertamanya maupun dalam bukunya yang kedua,
Social Statics (1851). Namun ada dua gagasan baru dalam bukunya yang kedua ini, yaitu
bahwa negara juga tidak perlu mengatur urusan mata uang dan ekonomi secara umum.
Kedua urusan ini menurut Spencer akan lebih efisien diserahkan kepada pihak swasta.
Dalam konteks evolusi tadi, Spencer hanya tertarik sedikit terhadap bentuk-bentuk
pemerintahan yang dibedakan secara tradisional kedalam model monarki, aristokrasi dan
demokrasi. Menurutnya, dalam kerangka teori evolusi ini ada 2 (dua) bentuk negara dan
masyarakat : Negara Militer dan Negara Industri. Negara militer adalah bentuk awal dari
organisasi sosial yang sifatnya masih primitif, barbar, dan selalu memiliki hasrat untuk
berperang. Dan pemimpin militer memiliki posisi seperti pemimpin politik, yang
didalamnya terdapat hubungan erat antara militeristik dengan tindakan kesewenang-
wenangan. Individu dinilai tidak lebih dari sekedar alat untuk mencapai tujuan akhir
negara, yaitu mencapai kemenangan dalam setiap peperangan.
Dalam bidang perekonomian, negara militer tunduk kepada kepentingan dan
kebutuhan khas militer. Maka tujuan ekonomi sendiri tidak diarahkan pada bagaimana
mencapai dan mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat banyak, melainkan
sekedar diproyeksikan untuk tujuan-tujuan meningkatkan kekuatan militer demi
keberhasilan dalam peperangan dan penaklukan-penaklukan negara lain seperti yang
kemudian tampak pada fenomena kolonialisme dan imperialisme. Bahwa dalam negara
militer, suatu hubungan sosial dan kerjasama diantara individu-individu atau kelompok-
kelompok terjadi, hal ini lebih karena terpaksa atau dipaksakan oleh kekuasaan negara,
bukan lahir atas pertimbangan dan kesadaran sukarela masyarakat. Dalam situasi dimana
keamanan publik dianggap segala-galanya oleh kekuasaan, maka ruang kebebasan individu
dalam negara militer menjadi sempit.
Situasi militeristik dalam negara militer itu pada akhirnya mengalami
perkembangan demikian rupa, teritori negara makin luas disertai dengan tercapainya
keamanan dan stabilitas dalam jangka waktu yang lama, sehingga secara bertahap
menimbulkan perubahan yang memungkinkan tumbuhnya ciri-ciri masyarakat industri
didalam negara dan masyakarat. Cara hidup bernegara dan bermasyarakat dalam tradisi
industrialis (negara industri) ini didasarkan pada kerja sama secara bebas dan

5
dihapuskannya segala bentuk paksaan dan kekerasan dalam segala aspek kehidupan.
Spontanitas, keragaman, dan perbedaan adalah ciri-ciri penting yang membentuk
masyarakat industri; dan tujuan negara dan masyarakat industri sendiri memang jelas,
yakni menjamin kebebasan dan mewujudkan kebahagiaan warganya secara maksimal.
Akhirnya Spencer meyakini, bahwa perkembangan masyarakat dan negara dari
bentuk militer ke industri yang ditandai dengan adanya prakarsa-prakarsa kerjasama dalam
suasana damai dan sukarela, bebas eksploitasi dan paksaan mengindikasikan bahwa peran
pemerintah akan terus berkurang secara simultan dalam mengurus masyarakat. Sebab
menurut Spencer, keberadaan negara tidak lebih dari “proof of still-existing barbarism”, bukti
masih eksisnya barbarianisme. Jadi, semakin masyarakat dan individu belajar untuk bekerja
sama secara damai, bebas dan saling menguntungkan, maka semakin dekat masyarakat
kepada bentuk ideal dari negara industri; dan dengan sendirinya pula akan semakin
berkurang kebutuhan masyarakat terhadap kehadiran pemerintah.
Tetapi dari semua karya tulis yang pernah dipublikasikan Spencer sepanjang
hidupnya, buku berjudul The Man versus The State dianggap merupakan buah pikirannya
yang paling komprehensif dalam bidang kajian sosiologi politik, sekaligus paling
berpengaruh dalam konteks filosofi laissez faire. Buku ini diterbitkan tahun 1884, dan
merupakan kompilasi dari 4 (empat) esainya yang diterbitkan oleh Contemporary Review.
Keempat esai Spencer itu adalah The New Tories, The Coming Slavery, The Sins of Legislators,
dan The Great Political Superstition.
Dalam esainya yang pertama Spencer mengrkitik kaum liberalis Inggris yang
meniggalkan prinsip individualisme ekonomi demi program negara kesejahteraan, yang
hendak memberikan peran besar kepada negara untuk mengurus masalah-masalah
perekonomian. Dalam esai keduanya Spencer meyakini bahwa program negara
kesejahteraan hanya akan melahirkan gejala perbudakan (baru) berupa penindasan kaum
buruh dibawah kendali rezim yang menerapkan prinsip sosialisme dan marxisme.
Sementara dalam esainya yang ketiga Spencer menegaskan bahwa kemajuan bukanlah hasil
regulasi pemerintah, melainkan berasal dari hasrat untuk meningkatkan kesejahteraan
pribadi. Dalam esainya yang terakhir Spencer menolak hak sakral para raja, yang sekarang
hadir menjadi hak sakral parlemen, yang disebutnya sebagai takhayul politik besar.

6
Akhirnya Spencer sampai pada kesimpulan , bahwa pemerintah bukanlah institusi
sakral, agung dan luar biasa, serta berada di atas segalanya. Pemerintah hanyalah sebuah
komite manajemen yang tidak memiliki otoritas dan kekuasaan selain dari yang telah
diberikan atas dasar persetujuan bebas oleh rakyatnya. Dalam konteks inilah kemudian
Spencer menegaskan, bahwa fungsi liberalisme di masa lalu adalah untuk membatasi
kekuasaan raja-raja, dan dimasa kini fungsi liberalisme adalah untuk membatasi kekuasaan
parlemen yang sering mengatasnamakan kedaulatan rakyat kemudian bertindak terlalu jauh
hingga merampas hak-hak individu, lalu menciptakan despotisme baru. Situasi ini bukan
yang dikehendaki Spencer sebagaimana tertuang dalam pemikirannya tentang laissez faire
dan survival of the fittest sebagai ruh dari faham liberalism klasik.
Dalam faham liberalism klasik, kebebasan berarti ada sejumlah orang yang akan
menang dan sejumlah orang yang akan kalah. Kemenangan dan kekalahan ini terjadi
karena persaingan bebas. Sehingga kebebasan akan diartikan sebagai memiliki hak-hak dan
mampu menggunakan hak-hak itu dengan memperkecil turut campurnnya pihak lain dalam
hal ini adalah pemerintah. Kaum liberal menyatakan bahwa masyarakat pasar kapitalis
adalah masyarakat yang bebas dan masyarakat yang produktif. Kapitalisme bekerja
menghasilkan dinamika, peluang dan kesempatan, serta kompetisi yang sehat atas dasar
kepentingan-kepentingan individu sebagai motor penggeraknya. Dan Spencer meyakini,
bahwa mekanisme pasar ini akan melahirkan keseimbangan alamiah.
Liberalisme klasi, dengan landasan pembenar kebebasan bertujuan mengembalikan
kepercayaan pada kekuasaan pasar. Seperti pada contoh kasus upah pekerja; dalam
pemahaman liberalisme, pemerintah tidak berhak ikut campur dalam penentuan gaji
pekerja atau dalam masalah-masalah ketenagakerjaan lainnya; ini sepenuhnya merupakan
urusan antara para pemilik modal (pengusaha) dan para pekerja. Pendorong utama
kembalinya kekuatan kekuasaan pasar adalah privatisasi aktivitas-aktivitas ekonomi,
terutajma usaha-usaha industri yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah. Dengan
demikian, liberalisme menghendaki bahwa manajemen ekonomi haruslah berbasis
permintaan yang diciptakan oleh mekanisme pasar tadi, dan bukan didasarkan pada
persediaan yang diciptakan oleh pemerintah. Dalam hal ini tugas pemerintah hanya
menciptakan lingkungan yang kondusif sehingga modal dapat bergerak bebas dengan baik.
Pemerintah juga harus menjalankan kebijakan-kebijakan pengurangan anggaran rutin,

7
anggaran-anggaran subsidi untuk kepentingan publik dan fasilitas-fasilitas untuk
kesejahteraan. Bagi liberalisme ini tidak sesuai dengan prinsip the survival of the fittest.
Dengan demikian, logika pasarlah yang kemudian akan mengendalikan kehidupan
publik. Inilah sejatinya pondasi dasar liberalism : menundukan kehidupan publik ke dalam
logika mekanisme pasar. Pelayanan publik dalam bentuk berbagai subsidi dianggap hanya
akan mengakibatkan pemborosan dan inefisiensi. Maka dalam konteks politik, liberalisme
klasik menawarkan pemikiran yang simpel, bahwa hingga batas tertentu, kekuasaan negara
(politik) tidak lagi mempunyai makna selain apa yang ditentukan oleh pasar; relasi bebas
antara pengusaha dan para pekerja. Dalam pemikiran liberalisme politik adalah keputusan-
keputusan yang menawarkan nilai-nilai; dan liberalisme menganggap hanya ada satu cara
rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar. Maka semua pemikiran diluar konteks pasar
adalah salah. Kapitalisme liberal menganggap wilayah politik adalah tempat dimana pasar
berkuasa.

3. John Maynard Keynes dan Liberalisme Modern

Riwayat Hidup Keynes


John Maynard Keynes lahir di Cambridge, Cambridgeshire Inggris pada tanggal 5
Juni 1883. Ia dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga menengah dan
terhormat. Ayahnya, John Neville Keynes adalah ahli filsafat dan ekonom terkemuka di
Universitas Cambridge. Dan ibunya sempat menjadi walikota. Keynes dididik di sekolah
terbaik di Inggris pada waktu, Eton College. Seperti diungkapkan oleh para pemerhati
sejarah hidupnya, Keynes cemerlang sejak masih kanak-kanak. Saat berusia empat setengah
tahun, Keynes sudah memikirkan arti bunga dilihat dari segi ekonomi. Pada umur enam
tahun ia sudah ingin mengetahui bagaimana kerja otak manusia. Tidak heran jika di
kemudian hari Keynes menduduki banyak jabatan penting dan terhormat di pelbagai
lembaga terkemuka.
Setelah lulus memuaskan dari Universitas Cambridge, Spencer memilih bekerja di
British Civil Service dan ditempatkan di India tahun 1906. Dua tahun kemudian ia kembali
ke negaranya, lalu memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studinya di King’s College.

8
Pada periode ini, Keynes memulai aktifitasnya sebagai intelektual dengan menjadi dosen
matakuliah ilmu ekonomi dan keuangan di almamaternya, Cambridge. Tiga tahun setelah
itu ia dipercaya menjabat posisi Redaktur di Economic Journal, sebuah penerbitan terkemuka
dan paling prestisius diseluruh dunia pada waktu itu.
Sejumlah posisi penting dan strategis pernah dijabat Keynes selama masa hidupnya,
antara lain : Bendahara King’s College, Anggota Royal Commision, Presiden Komisaris
pada National Mutual Life Assurance Society dan memimpin suatu perusahaan investasi,
dan beberapa kali mewakili negaranya dalam sejumlah konferensi internasional. Pada tahun
1941 Keynes diangkat menjadi Direktur Bank of England (Bank Sentral Inggris) dan pada
tahun 1942 Ia menjadi The First Baron Keynes of Tilton, sebuah gelar sangat terhormat yang
dianugerahkan pihak kerajaan berkat sumbangan pikirannya yang sangat besar pada
negaranya. Pada tahun-tahun terakhir masa hidupnya, Keynes dipercaya memimpin
delegasi Inggris ke Konferensi Moneter dan Keuangan PBB di Bretton Woods, Anierika
pada bulan Juli 1944. Dari konferensi inilah kemudian lahir lembaga paling berpengaruh di
dunia saat ini : Dana Moneter International (International Monetary Fund) dan Bank Dunia
(World Bank).
Sebagai ilmuwan, Keynes banyak menerbitkan buku, beberapa diantaranya adalah
The Economic Consequences of the Peace (1919), A Treatise on Probability (1921), A Revision of
Treaty (1922), A Tract of Monetary Reform (1923), Monetary Reform (1924), The Economic
Consequences of Mr Churchill (1925), The End Of Laissez Fair (1926), dan The General Theory of
Employment, Interest and Money (1936). Dua bukunya yang terakhir dianggap paling penting
dan berpengaruh dalam konteks perkembangan faham liberalisme, yang menandai
berakhirnya era liberalisme klasik (lama) dan dimulainya era liberalisme modern (baru).
Keynes meninggal dunia di Tilson, East Sussex Inggris pada tanggal 21 April 1946, dan
dikenang sebagai peletak dasar liberalisme modern. Tidak banyak yang tahu, di sisi
kecemerlangan karir dan pelbagai posisinya yang terhormat itu, nyaris sepanjang hidupnya
Keynes mengidap orientasi heteroseksual yang tak dapat disembuhkan.

Liberalisme Modern Keynes


Faham liberalisme modern (baru) merupakan antitesa yang mengoreksi prinsip-
prinsip fundamental liberalisme klasik (lama) sebagaimana diuraikan Spencer yang sebagian

9
besar pijakan gagasan-gagasannya didasarkan pada pemikiran Adam Smith (1723-1790).
Sebagaimana telah disinggung didepan dalam tulisan ini, dalam membahas kembali isu
liberalisme lama dan baru, Ebenstein mengambil John Maynard Keynes sebagai
representasi dari pemikiran liberalisme modern. Pertimbangannya sangat jelas dan masuk
akal : Keynes, yang pernah hidup dan bersentuhan dengan pemikiran Spencer, adalah tokoh
liberalisme utama yang secara keras dan gamblang mengoreksi prinsip-prinsip liberalisme
klasik model Smith dan Spencer.
Oleh karena pikiran-pikirannya sebagaimana ia kemukakan terutama dalam dua
bukunya yang terakhir, The End Of Laissez Fair (1926), dan The General Theory of Employment,
Interest and Money (1936), Keynes bahkan dianggap sebagai “penyelamat” liberalisme dari
kebangkrutannya lantaran keliru dalam memahami dan mempraktikan faham laissez faire.
Dalam sebuah pidato, berjudul “The End of Laissez Faire” (judul pidatonya ini kelak menjadi
judul salah satu bukunya) yang dikemukakan tahun 1926, Keynes menegaskan : “Tidak
benar bahwa individu mempunyai kebebasan alamiah dalam aktivitas ekonominya. Juga tidak benar
bahwa kepentingan diri umumnya adalah baik. Pengalaman tidak menunjukkan bahwa individu,
ketika mereka berada dalam unit sosial, selalu lebih berpandangan jernih dibandingkan ketika mereka
bertindak sendirian”.
Pemikiran-pemikiran Keynes, terutama yang dijabarkannya dalam buku The General
Theory of Employment, Interest and Money (1936), yang terbit sepuluh tahun kemudian sejak
pidato terkenalnya itu memang bertolak dari keprihatinan dan kegalauannya menyaksikan
pelbagai distorsi dari penerapan faham laissez faire murni yang mengakibatkan depresi
besar tahun 1930-an di Eropa dan Amerika. Keynes melihat ada yang keliru dalam faham
laissez faire. Berikut ini adalah pokok-pokok pikirannya yang mengoreksi kekeliruan-
kekeliruan liberalisme klasik itu.
Pertama sekali Keynes menegaskan bahwa untuk menolong sistem perekonomian
negara-negara penganut liberalisme klasik dari kebangkrutannya karena krisis ekonomi
pada tahun 1930an itu, bangsa-bangsa harus bersedia meninggalkan ideologi laissez faire
yang murni. Artinya, prinsip membebaskan individu-individu dalam mengelola dan
menjalankan kehidupan ekonominya tanpa melibatkan pemerintah harus dihentikan.
Pemerintah harus melakukan campur tangan lebih banyak dalam mengendalikan
perekonomian nasional.

10
Keynes mengatakan bahwa kegiatan produksi dan pemilikan faktor-faktor produksi
masih tetap bisa dipegang oleh pihak swasta, tetapi pemerintah wajib mengambil langkah-
langkah kebijakan yang secara aktif akan dan harus mampu mempengaruhi gerak
perekonomian negaranya. Sebagai contoh, pada saat terjadi depresi itu, pemerintah harus
mengambil prakarsa melakukan berbagai program atau kegiatan yang secara langsung dapat
meyerap tenaga kerja (yang tidak tertampung di sektor swasta), meskipun untuk itu negara
harus menggelontorkan anggaran (subsidi) yang sangat besar. Jika tidak, maka
pengangguran akan merebak dimana-mana, dan ini tentu berdampak luas dalam kehidupan
sosial.
Dalam konteks ini, Keynes dan para pendukung pemikirannya sama sekali tidak
percaya perihal kekuatan hakiki dari sistem laissez faire yang akan mengoreksi dirinya
sendiri sehingga tercapai kondisi efisien (full employment) secara otomatis. Kondisi full-
employment sebagaimana pernah dijelaskan Spencer akan tercapai dengan sendirinya
melalui mekanisme pasar itu, dalam pandangan Keynes hanya dapat dicapai dengan
tindakan-tindakan terencana dan sistematik. Dan ini tentu membutuhkan “pihak ketiga”
dalam ruang aktifitas perekenomian dan bisnis. Pihak ketiga inilah pemerintah.
Sebagaimana sudah diuraikan dalam pemikiran Spencer, para pendukung
liberalisme klasik berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu campur tangan dalam
perekonomian. Alasannya, mereka menganggap dan meyakini bahwa perekonomian akan
dengan sendirinya mampu mengatur dirinya sendiri sedemikian rupa sehingga sumberdaya
ekonomi yang ada akan mampu digunakan secara efisien, dan akan selalu terjadi keadaan
dimana kondisi perekonomian pada full employment. Pandangan dan keyakinan ini cukup
lama berakar dan dipegang sebagai landasan perekonomian sebelum munculnya Keyness
yang membawa perspektif baru dalam tradisi liberalism. Perspektif baru Keynes ini, sekali
lagi bertumpu pada keyaninan bahwa intervensi pemerintah itu diperlukan dalam
perekonomian dalam upaya membuat suatu kehidupan bersama yang lebih baik.
Apa yang melatarbelakangi lahirnya perspektif baru liberalisme dari Keynes ? Seperti
telah banyak diungkap dalam sejarah perkembangan liberalisme lama dan baru, kelahiran
perspektif Keynes tidak terlepas dari fenomena yang mengagetkan kaum liberalisme klasik.
Yakni terjadinya depresi besar (great depression) yang mengakibatkan terjadinya
pengangguran besar-besaran, yang dialami oleh negara-negara barat penganut prinsip

11
liberalisme klasik. Pengangguran besar-besaran ini merupakan fenomena yang terbukti tidak
dapat dijawab oleh kaum klasik pada waktu itu. Kaum klasik mengatakan bahwa di dalam
perekonomian yang full employment (padahal mereka mengatakan perekonomian selalu
full employment) tidak ada pengagguran (unemployment). Tetapi kenyataan pada saat itu
terjadi pengangguran besar-besaran. Munculnya pemikiran Keynes ini juga sekaligus
membuka cakrawala baru dan menjadi tonggak sejarah penting bagi keberadaan
makroekonomi.
Pijakan dasar konsep ekonomi-politik liberalisme baru sebagaimana digagas Keynes
antara lain bermuara pada gagasan anti-naturalistik tentang pasar dan kompetisi. Keynes
melihat dan memposisikan pasar sebagai salah satu dari berbagai macam model hubungan
sosial bentukan manusia. Pasar bukanlah gejala alami. Oleh karena itu maka pasar
sesungguhnya dapat diciptakan dan dibatalkan menurut desain kehendak manusia sendiri.
Tidak ada ekonomi yang terpisah dari politik, sebagaimana juga tidak ada politik yang
terlepas dari ekonomi, sehingga kinerja pasar juga membutuhkan adanya tindakan-tindakan
politik yang bertugas menciptakan serangkaian prakondisi bagi operasinya agar adil namun
tetap kompetitif.
Selanjutnya Keynes menegaskan, bahwa harus ada penolakan atas kinerja
kapitalisme yang hanya didasarkan pada logika modal atau capital semata. Transaksi
ekonomi hanyalah salah satu bentuk dari relasi sosial manusia, oleh karenanya hubungan-
hubungan sosial manusia bukanlah untuk mengabdi kepada kapitalisme, melainkan
kapitalisme yang harus mengabdi untuk membantu kebutuhan relasi sosial manusia agar
berlangsung dengan adil dan kompetitif.
Dan bagi Keynes, kapitalisme hanyalah merupakan sistem ciptaan manusia atau
human construct, oleh sebab itu pastilah dapat diubah serta dimodifikasi dan desain ulang
oleh manusia. Dalam rangka proses mengubah dan memodifikasi kapitalisme itu, maka
diperlukan suatu proses transformasi kapitalisme, dimana dilakukan upaya-upaya untuk
menciptakan perspektif dan bentuk-bentuk baru kapitalisme yang lebih sesuai dengan
kebutuhan relasi sosial manusia.
Gejala konsentrasi kekuasaan ekonomi pada segelintir pengusaha bukanlah suatu
gejala alami atau nasib alami dari sistem ekonomi kapitalisme. Hal tersebut semata
merupakan suatu strategi ekonomi-politik yang gagal, dan produk gagal itu dapat dicegah

12
dengan rangkaian berbagai politik kebijakan sosial dalam suatu kebijakan sistem
kesejahteraan atau Welfare System.
Selanjutnya dalam gagasan liberal baru kebijakan sosial merupakan prasyarat mutlak
bagi bekerjanya ekonomi yang adil dan kompetitif. Serangkaian kebijakan sosial, mutlak
diperlukan sebagai pencegah terjadinya kesenjangan kekuasaan ekonomi yang tajam, serta
untuk menciptakan dan memperluas semangat usaha masyarakat disamping untuk
menciptakan iklim inovasi disegala bidang
Pada kesempatan lain, Keynes menyatakan bahwa permasalahan politik yang
dihadapi oleh umat manusia sesungguhnya terdiri dari kombinasi 3 (tiga) hal yaitu :
efisiensi ekonomi, keadilan sosial dan kebebasan individu. Dalam efisiensi ekonomi
dibutuhkan adanya sikap kritis, langkah-langkah penghematan dan pengetahuan teknis
yang memadai. Menyangkut masalah keadilan sosial, dibutuhkan adanya sikap terbuka
yang mengedepankan kepentingan publik atau rakyat banyak. Dan berkenan kebebasan
individu, masyarakat manapun sesungguhnya memerlukan adanya sikap toleransi,
kebesaran hati dan apresiasi yang tinggi atas keragaman; dan yang paling penting adalah
pemberian kesempatan yang seluas-luasnya bagi keinginan dan cita-cita yang tinggi dari
setiap warga negara.

4. Beberapa Catatan Seputar Liberalisme

Pertama, prinsip Laissez Faire yang berpijak pada filosopi tentang kebebasan
individu-individu manusia dalam pemikiran liberalisme klasik (lama) sebagaimana
diuraikan Spencer terlalu percaya pada sisi baik dari manusia. Sehingga dengan cara
membiarkan setiap individu, dengan kebebasannya masing-masing, berkreasi dan berusaha
mengejar dan memenuhi kepentingan hidupnya masing-masing dianggap dengan sendirinya
akan mendorong dan melahirkan kerjasama dan harmoni diantara mereka, yang pada
akhirnya akan menghasilkan suatu ekuilibrium dalam masyarakat.
Spencer dan para pendukung liberalisme klasik lupa, bahwa setiap individu manusia
memiliki potensi buruk didalam dirinya, yakni egoisme yang tidak mudah dikendalikan dan
ditundukan baik oleh dirinya sendiri maupun terutama oleh “kekuatan pasar”. Potensi ini

13
dalam prakteknya dengan mudah dapat menegasikan potensi-potensi baik individu seperti
dorongan kerjasama dan penciptaan harmoni sosial. Inilah yang terjadi pada abad 19
Masehi yang ditunjukkan oleh perilaku para tuan tanah yang menguasai modal dan alat-
alat produksi, yang dalam kenyataannya sangat lalim dan sewenang-wenang. Dalam situasi
yang demikian, apa yang oleh Spencer disebut kerjasama bebas antar individu yang
menghasilkan kemajuan-kemajuan dan keseimbangan alamiah tidak selalu terbukti dalam
kenyataan.
Kedua, asumsi bahwa laissez faire yang mendorong perubahan masyarakat dari
karakteristik militer ke masyarakat industri yang ditandai oleh adanya kerjasama dan
persaingan yang sehat yang kemudian melahirkan kemandirian masyarakat dalam
mengurus diri mereka sendiri, yang dengan demikian kehadiran pemerintah dengan
sendirinya akan lenyap atau setidaknya tidak diperlukan, adalah kesimpulan yang terlalu
gegabah. Bahwa peran-peran pemerintah akan berkurang pada aspek-aspek tertentu
(perekonomian itu misalnya), sangat mungkin. Tetapi menafikan keberadaan pemerintah
dalam seluruh konteks tatakelola kehidupan bersama adalah sesuatu yang mustahil dan
memang tidak mungkin dibiarkan terjadi.
Bagaimanapun segala hal yang terjadi didalam masyarakat tentu akan berdampak
pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah, dan demikian pula sebaliknya. Proses
kebijakan yang diambil oleh pemerintah sangatlah kompleks. Hal tersebut terjadi karena
pada hakekatnya proses kebijakan adalah juga sebuah proses politik. Sehingga segala
kompleksitas persoalan yang muncul pada ranah politik, juga ditemui di ranah kebijakan
yang menyangkut publik (ekonomi).
Ketiga, faham the survival of the fittest yang diadopsinya dari teori evolusi Darwin,
yang kemudian diterapkan dalam ranah kehidupan sosial menurut hemat penulis adalah
cara pandang yang terlalu ekstrim, bahkan “kejam”. Kehidupan sosial adalah kehidupan
masyarakat manusia, bukan kehidupan dunia hewan yang tidak memiliki nurani dan akal
budi. Membiarkan individu-individu yang tidak berdaya (bodoh, pemalas, miskin,
tertinggal, tidak kreatif dll) dan tidak memiliki kesanggupan untuk mengadaptasikan diri
secara cepat dengan lingkungannya yang serba kompetitif, hingga punah, tanpa sedikitpun
empati dan ikhtiar membantunya, adalah sikap dan tindakan yang jauh dari manusiawi.
Spencer dan para pendukung liberalisme klasik lupa, bahwa manusia dilahirkan dalam

14
kondisi yang berbeda tingkatan kemampuannya. Dengan kondisi seperti ini adalah tidak
adil dan jauh dari manusiawi jika mereka dibiarkan dalam kompetisi bebas seperti
kompetisi para harimau berebut mangsa.
Bagaimanapun, untuk menciptakan kebahagiaan rakyat (bonnum publicum) sebagai
tujuan akhir hidup bernegara (bersama), usaha-usaha perlindungan (proteksi) berupa subsidi
dan bantuan-bantuan fasilitas publik, serta regulasi yang mengatur kehidupan bersama
termasuk dalam bidang aktifitas bisnis dan ekonomi tetap diperlukan. Dan dalam konteks
inilah kehadiran dan peran pemerintah dibutuhkan lebih dari sekedar sebagai “penjaga
malam” kehidupan sosial. Cara pandang ini pula, sebagaimana telah diuraikan diatas,
menjadi pijakan dasar John Maynard Keynes dan para pengoreksi liberalisme klasik di awal
abad 20, yang akhirnya melahirkan alternatif yang lebih “manusiawi” sekaligus perspektif
baru dari liberalisme.
Oktober 2014
agus sutisna/tisna_1965@ymail.com

15

Anda mungkin juga menyukai