Anda di halaman 1dari 3

Deanita Nurkhalisa (071911233112)_Week 6

English School
Teori English School (ES) biasa juga disebut dengan realisme liberal, rasionalisme, Grotianisme, institusionalis
Inggris, masyarakat internasional, dan LSE School (Dugis, 2020). Istilah ‘English School’ sendiri baru
diperkenalkan oleh Roy Jones pada 1981. Meski dinamakan English School, tidak semua akademisi yang
menganut pemahaman tersebut berasal dari Inggris. Argumen English School banyak disalahartikan dan bahkan
cenderung diabaikan oleh para penstudi Hubungan Internasional (HI) dikarenakan anggapannya yang tumpang
tindih dengan realisme dan liberalisme (Linklater, 2001 dalam Dugis, 2020). Versi pertama dari kelahiran ES
menjelaskan bahwa ES berkembang di Departemen HI, London School of Economics dengan tokohnya Charles
Manning dan lainnya. Fokus mereka adalah studi mengenai politik dunia. Versi kedua adalah bahwa ES lahir
dari British Committee on the Theory of International Politics yang memiliki agenda rutin diskusi. Meski
demikian, pada dasarnya ES mulai dikenal pada era 1960-80 dan bertujuan untuk mensistematisasi banyak
pemahaman mengenai dinamika internasional. Sejak 1990-an ES telah mengalami berbagai tahapan
perkembangan. Pada tahun 1950-1980 disebut dengan ‘periode klasik’ yang dipimpin oleh Charles Manning
dan Herbert Butterfield. Pasca 1990 dan setelahnya atau ‘periode pascaklasik’ banyak dikontribusi oleh Barry
Buzan, Andrew Hurrel, dan lainnya.

Esensi dari English School sendiri adalah sebuah tradisi pemikiran penjelasan politik dan interaksi internasional
yang berdasarkan bukan hanya kemampuan material, melainkan juga mengakui pengaruh yang diberikan ide
dan nilai-nilai (Dugis, 2020). English School berada di posisi tengah di antara realisme dan liberalisme dengan
mengambil gagasan terbaik yang ditawarkan kedua pihak. Dengan begitu English School memiliki titel ‘via
media’ yang berarti penjembatan antara realisme dan idealisme. ES mengakui adanya anarki, meskipun begitu
ES menjelaskan adanya masyarakat internasional yang terdiri dari negara berdaulat yang memiliki aturan serta
institusinya sendiri-sendiri. Masyarakat internasional akan terbentuk jika ada kesamaan kepentingan dan nilai
yang sekaligus akan menjadi pengikat dan pengontrol masyarakat internasional yang anarkis. Hal itu membawa
teori ini menuju asumsi dasar pertamanya yaitu bahwa teorikus English School menomorsatukan adanya tatanan
(order) yang tidak ekstrem realis maupun liberalis. Anggota English School, meskipun menaruh perhatian pada
gagasan realis dan liberalis, tidak pernah benar-benar sepenuhnya menyesuaikan dengan setiap konsep yang
dianut oleh kedua teori tersebut. Posisi teori English School berada di tengah kedua posisi teori tertua
Hubungan Internasional tersebut. Asumsi kedua, yaitu bahwa tatanan atau order tadi secara konstan bergerak
menuju ke kecenderungan realis maupun liberalis, tetapi situasi dimana realisme maupun liberalisme secara
lengkap mendominasi dinamika hubungan internasional tidak akan pernah tercapai.
Deanita Nurkhalisa (071911233112)_Week 6

Masyarakat internasional ini dibagi menjadi dua, yaitu pluralis dan solidaris (Dugis, 2020). Pluralis
menekankan pada konsep bahwa negara mengikuti aturan karena adanya keinginan untuk mempertahankan
tatanan (order). Tatanan ini menghasilkan keseimbangan kekuatan, diplomasi, dan kerja sama antarkekuatan di
masing-masing negara. Sedangkan solidaris memiliki fokus pada penyesuaian institusi internasional yang dapat
mengerahkan negara untuk menjaga hak asasi manusia dan mematuhi aturan internasional dengan tujuan
tatanan yang damai. Menurut Dunne (et al., 2007 dalam Dugis, 2020), terdapat tiga elemen yang berpengaruh
besar dalam pemahaman ES yaitu sistem internasional (international system), masyarakat internasional
(international society) dan masyarakat dunia (world society). Pertama, gagasan sistem internasional yang
dikembangkan Hobbes dan Machiavelli yang menekankan pada kekuatan politik dan proses anarki
internasional. Konsep ini banyak berkembang dalam paradigma realisme. Kedua, masyarakat internasional
(international society) yang dikembangkan Grotius, dimana ia memaparkan bahwa adanya institutionalisasi
kepentingan dan identitas para negara. Gagasan masyarakat internasional ini menjadi salah satu fokus perhatian
dalam pemikiran English School. Ketiga, masyarakat dunia (world society) yang dijelaskan oleh Kant, dimana
ia melihat bahwa individu, aktor nonnegara, dan organisasi merupakan bagian dari pembentukan identitas
global. Pada masa modern perspektif ketiga dianggap sebagai liberalisme, tetapi hingga saat ini belum memiliki
penjelasan secara sistematis.

ES telah berusaha untuk membangun dialog antara keabsolutan realisme dan liberalisme klasik. Ia menolak
perspektif pesimis tunggal dimana negara harus mengedepankan keamanan dan kepentingan nasionalnya
sehingga membuat tiap aktor negara rentan dengan konflik. Sebaliknya, ia menjelaskan bahwa ada sebuah
masyarakat internasional yang memiliki aturan dan norma tersendiri yang harus dipatuhi sehingga tidak
menciptakan konflik yang berkelanjutan. Di sisi lain ia juga menolak perspektif liberalis yang cenderung
optimis dan utopis dimana interaksi internasional dapat berkembang secara tidak berkesudahan dan pada
akhirnya mencapai kedamaian abadi; dibandingkan hal tersebut, ia menekankan pada utilitarianisme dan
agnotisisme dalam kaidah HI. ES menganggap interaksi antarnegara sebagai sebuah ‘masyarakat’ dilandasi oleh
beberapa hal, yaitu pertama, masyarakat tersebut tercipta dari negara yang harus secara konstan saling
berinteraksi satu sama lain. Masing-masing negara menyadari tanggung jawab dan kewajiban mereka terhadap
satu sama lain dan masyarakat secara utuh yang dibuktikan dengan adanya hukum internasional dan diplomasi;
kedua, negara dapat bertindak sesuai kepentingan nasionalnya, tetapi dikontrol oleh norma internasional yang
akan menahan dampak dari anarki internasional. Jika tidak maka akan membahayakan eksistensi dari
masyarakat internasional ini sendiri; ketiga, sifat manusia tidak ditentukan sekali untuk selamanya, tetapi dapat
berproses melalui sejarah dan interaksi antarmanusia, begitu pun sifat negara-negara. Oleh karena itu secara
Deanita Nurkhalisa (071911233112)_Week 6

singkat dapat dikatakan bahwa ES menganggap aktor negara sebagai sesuatu yang esensial dari individu
pemerannya maupun interaksi yang dijalaninya.

Referensi:
Dugis, V., 2020. English School. Disampaikan pada mata kuliah Teori Hubungan Internasional, Program Studi
Internasional, Universitas Airlangga [tanggal 5 Maret 2020].

Anda mungkin juga menyukai