Anda di halaman 1dari 6

BAB 2

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN SOSIOLOGI

Sejarah dan perkembangan perkembangan sosiologi secara kronologis dan singkat


dapat dikemukakan sebagai berikut.

A. Pada Jaman Keemasan Filsafat Yunani


Pada masa ini sosiologi dipandang sebagai bagian tentang kehidupan
bersama secara filsafati. Pada masa itu Plato (429-347 SM) seorang filasof
terkenal dari Yunani, dalam pencariannya tentang makna negara dia berhasil
merumuskan teori organis tentang masyarakat yang mencakup kehidupan sosial
dan ekonomi. Plato menganggap bahwa institusi-institusi dalam masyarakat saling
bergantung secara fungsional. Kalau ada satu institusi yang tidak jalan maka
secara keseluruhan kehidupan masyarakat akan terganggu. Seperti halnya Plato
maka Aristoteles (384-322 SM) juga menganggap bawa masyarakat adalah suatu
organisma hidup (seperti pandangan kaum biologiwan) dengan basis
kehidupannya adalah moral (yang baik). Pada masa ini kaum agamawan yang
berkuasa sehingga kehidupan sosial lebih diwarnai oleh keputusan-keputusan
kaum agamawan yang berkuasa.

B. Zaman Renaissance (1200-1600)


Machiavelii adalah orang pertama yang memisahkan antara politik dan
moral sehingga terjadi suatu pendekatan yang mekanis terhadap masyarakat. Di
sini muncul ajaran bahwa teori-teori politik dan sosial memusatkan perhatian pada
mekanisme pemerintahan. Sejak masa ini maka pengaruh kaum agamawan mulai
memperoleh tantangan.

C. Abad Pencerahan (abad ke 16 dan 17)


Pada masa ini muncul Thomas Hobbes (1588-1679) yang mengarang
buku yang dikena! sebagai The Leviathan. Inti ajarannya diilhami oteh hukum
alam, fisika dan matematika. Pada masa ini pengaruh keagamaan mulai
ditinggalkan dan digantikan oleh pandangan-pandangan yang bersifat hukum
sebagai kodrat keduniawiannya. Berdasar pandangan kelompok inilah kemudian
muncul suatu kesepakatan antar manusia (kelompok) yang dikenal sebagai
kontrak sosial. Pada mulanya interaksi antar manusia berada dalam kondisi chaos
karena saling mencurigai dan saling bersaing untuk memperebutkan sumber daya
alam dan manusia yang ada. Kondisi yang bersifat kodrati (sesuai dengan hukum

1
alam) ini kemudian dipandang akan selalu menyengsarakan kehidupan manusia.
Oleh sebab itu dibuatlah kesepakatan-kesepakatan pengaturan antar kelompok
yang dapat saling berterima dan saling menguntungkan, yang kemudian dikenal
sebagai kontrak sosial.

D. Abad Ke 18
Pada masa ini munculah John Locke (1632-1704) yang dianggap sebagai
bapak Hak Asasi Manusia (HAM). Dia berpandangan bahwa pada dasarnya setiap
manusia mempunyai hak-hak dasar yang sangat pribadi yang tidak dapat dirampas
oleh siapapun termasuk oleh negara (seperti hak hidup, hak berpikir dan berbicara,
berserikat, dan lain-lain). Tokoh lain yang muncul adalah J.J. Rousseau (1712-
1778) yang masih berpegang pada ide kontrak sosialnya Hobbes. Dia
berpandangan bahwa kontrak antara pemerintah (negara?) dengan yang diperintah
(rakyat?) menyebabkan munculnya suatu kolektifitas yang mempunyai keinginan-
keinginan tersendiri yang kemudian menjadi keinginan umum. Keinginan umum
inilah yang harusnya menjadi dasar penyusunan kontrak sosial antara negara
dengan rakyatnya.

E. Abad ke 19
Abad ke 19 dapat dianggap sebagai abad mulai berkembangnya
sosiologi, terutama sesudah Auguste Comte (1798-1853) memperkenalkan istilah
sosiologi, sebagai usaha untuk menjawab adanya perkembangan interaksi sosial
dalam masa industrialisasi.
Pada masa ini sosiologi dianggap mulai dapat mandiri. Kondisi yang baru
dalam taraf mulai mandiri ini disebabkan walaupun sosiologi sudah dapat
menunjukkan adanya obyek yang dijadikan fokus pembahasan (interaksi
manusia), namun di dalam pengembangan ilmunya masih menggunakan metode-
metode ilmu-ilmu yang lain (ilmu ekonomi misalnya).

F. Abad ke 20
Baru pada abad ke 20 inilah sosiologi dapat benar-benar dianggap
mandiri karena:
1. Mempunyai obyek khusus yaitu interaksi antar manusia,
2. Mampu mengembangkan teori-teori sosiologi,
3. Mampu mengembangkan metode khusus sosiologi untuk pengembangan
sosiologi,

2
4. Sosiologi menjadi sangat relevan dengan semakin banyaknya kegagalan
pembangunan karena tidak mendasarkan dan memperhatikan masukan dari
sosiologi.
Pada akhir abad ke 20 ini, maka salah satu kelemahan (masih dianggap
ketinggalan) dari sosiologi, namun yang pada saat ini juga sudah mulai dapat
dipecahkan, yaitu dalam kaitannya dengan perkembangan dan permasalahan
global. Di sini interaksi antar manusia yang dapat diamati adalah adalah interaksi
tidak langsung lewat telepon, internet, dan lain-lain yang menghubungkan
manusia yang saling berjauhan letaknya.

G. Perkembangan Sosiologi di Eropa


Setelah mengetahui bahwa sosiologi merupakan sebuah ilmu pengetahuan,
Anda mungkin bertanya bagaimana perkembangan sosiologi hingga mencapai
bentuknya seperti sekarang. Sosiologi awalnya menjadi bagian dari fllsafat sosial.
Ilmu ini membahas tentang masyarakat. Namun saat itu, pembahasan tentang
masyarakat hanya berkisar pada hal-hal yang menarik perhatian umum saja,
seperti perang, ketegangan atau konflik sosial, dan kekuasaan dalam kelas-kelas
penguasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pembahasan tentang masyarakat
meningkat pada cakupan yang lebih mendalam yakni menyangkut susunan
kehidupan yang diharapkan dan norma-norma yang harus ditaati oleh seluruh
anggota masyarakat. Sejak itu, berkembanglah satu kajian baru tentang
masyarakat yang disebut sosiologi.
Menurut Berger dan Berger, sosiologi berkembang menjadi ilmu yang
berdiri sendiri karena adanya ancaman terhadap tatanan sosial yang selama ini
dianggap sudah seharusnya demikian nyata dan benar (threats to the taken for
granted world). L. Laeyendecker mengidentifikasi ancaman tersebut meliputi:
1. terjadinya dua revolusi, yakni revolusi industri dan revolusi Prancis,
2. tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15,
3. perubahan di bidang sosial dan politik,
4. perubahan yang terjadi akibat gerakan reformasi yang dicetuskan Martin
Luther,
5. meningkatnya individualisme,
6. lahirnya ilmu pengetahuan modern,
7. berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri.
Menurut Laeyendecker, ancaman-ancaman tersebut menyebabkan
perubahan-perubahan jangka panjang yang ketika itu sangat mengguncang
masyarakat Eropa dan seakan membangunkannya setelah terlena beberapa abad.
Auguste Comte, seorang filsuf Prancis, melihat perubahan-perubahan tersebut

3
tidak saja bersifat positif seperti berkembangnya demokratisasi dalam masyarakat,
tetapi juga berdampak negatif. Salah satu dampak negatif tersebut adalah
terjadinya konflik antarkelas dalam masyarakat. Menurut Comte, konflik-konflik
tersebut terjadi karena hilangnya norma atau pegangan (normless) bagi
masyarakat dalam bertindak. Comte berkaca dari apa yang terjadi dalam
masyarakat Prancis ketika itu (abad ke-19). Setelah pecahnya Revolusi Prancis,
masyarakat Prancis dilanda konflik antarkelas. Comte melihat hal itu terjadi
karena masyarakat tidak lagi mengetahui bagaimana mengatasi perubahan akibat
revolusi dan hukum-hukum apa saja yang dapat dipakai untuk mengatur tatanan
sosial masyarakat. Oleh karena itu, Comte menyarankan agar semua penelitian
tentang masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri. Comte
membayangkan suatu penemuan hukum-hukum yang dapat mengatur gejala-
gejala sosial. Namun, Comte belum berhasil mengembangkan hukum-hukum
sosial tersebut menjadi sebuah ilmu. la hanya memberi istilah bagi ilmu yang akan
lahir itu dengan istilah sosiologi. Sosiologi baru berkembang menjadi sebuah ilmu
setelah Emile Durkheim mengembangkan metodologi sosiologi melalui bukunya
Rules of Sociological Method. Meskipun demikian, atas jasanya terhadap lahirnya
sosiologi, Auguste Comte tetap disebut sebagai Bapak Sosiologi.
Meskipun Comte menciptakan istilah sosiologi, Herbert Spencer-lah yang
mempopulerkan istilah tersebut melalui buku Principles of Sociology. Di dalam
buku tersebut, Spencer mengembangkan sistem penelitian tentang masyarakat. la
menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan
teori besar tentang evolusi sosial yang diterima secara luas di masyarakat.
Menurut Comte, suatu organ akan lebih sempurna jika organ itu bertambah
kompleks karena ada diferensiasi (proses pembedaan) di dalam bagian-bagiannya.
Spencer melihat masyarakat sebagai sebuah sistem yang tersusun atas bagian-
bagian yang saling bergantung sebagaimana pada organisme hidup. Evolusi dan
perkembangan sosial pada dasarnya akan berarti jika ada peningkatan diferensiasi
dan integrasi, peningkatan pembagian kerja, dan suatu transisi dari homogen ke
heterogen dari kondisi yang sederhana ke yang kompleks. Setelah buku Spencer
tersebut terbit, sosiologi kemudian berkembang dengan pesat ke seluruh dunia,
termasuk Indonesia.

H. Perkembangan Sosiologi di Indonesia


Sosiologi di Indonesia sebenarnya telah berkembang sejak zaman dahulu.
Walaupun tidak mempelajari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, para pujangga
dan tokoh bangsa Indonesia telah banyak memasukkan unsur-unsur sosiologi
dalam ajaran-ajaran mereka. Sri Paduka Mangkunegoro IV, misalnya, telah

4
memasukkan unsur tata hubungan manusia pada berbagai golongan yang berbeda
(intergroup relation) dalam ajaran Wulang Reh.
Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara yang dikenal sebagai peletak dasar
pendidikan nasional Indonesia banyak  mempraktikkan konsep – konsep penting
sosiologi seperti kepemimpinan dan kekeluargaan dalam proses pendidikan di
Taman Siswa yang didirikannya. Hal yang sama dapat juga kita selidiki dari
berbagai karya tentang Indonesia yang ditulis oleh beberapa orang Belanda seperti
Snouck Hurgronje dan Van Volenhaven sekitar abad 19. Mereka menggunakan
unsur-unsur sosiologi sebagai kerangka berpikir untuk memahami masyarakat
Indonesia. Snouck Hurgronje, misalnya, menggunakan pendekatan sosiologis
untuk memahami masyarakat Aceh yang hasilnya dipergunakan oleh pemerintah
Belanda untuk menguasai daerah tersebut.
Dari uraian di atas terlihat bahwa sosiologi di Indonesia pada awalnya,
yakni sebelum Perang Dunia II hanya dianggap sebagai ilmu pembantu bagi ilmu-
ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain, sosiologi belum dianggap cukup
penting untuk dipelajari dan digunakan sebagai ilmu pengetahuan, yang terlepas
dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain.
Secara formal, Sekolah Tinggi Hukum (Rechtsshogeschool) di Jakarta
pada waktu itu menjadi saru-satunya lembaga perguruan tinggi yang mengajarkan
mata kuliah sosiologi di Indonesia walaupun hanya sebagai pelengkap mata kuliah
ilmu hukum. Namun, seiring perjalanan waktu, mata kuliah tersebut kemudian
ditiadakan dengan alasan bahwa pengetahuan tentang bentuk dan susunan
masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam
pelajaran hukum. Dalam pandangan mereka, yang perlu diketahui hanyalah
perumusan peraturannya dan sistem-sistem untuk menafsirkannya. Sementara,
penyebab terjadinya sebuah peraturan dan tujuan sebuah peraturan dianggap
tidaklah penting.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, sosiologi di Indonesia
mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Adalah Soenario Kolopaking
yang pertama kali memberikan kuliah sosiologi dalam bahasa Indonesia pada
tahun 1948 di Akademi Ilmu Politik Yogyakarta (sekarang menjadi Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik UGM). Akibatnya, sosiologi mulai mendapat tempat dalam
insan akademisi di Indonesia apalagi setelah semakin terbukanya kesempatan bagi
masyarakat Indonesia untuk menuntut ilmu di luar negeri sejak tahun 1950.
Banyak para pelajar Indonesia yang khusus memperdalam sosiologi di luar negeri,
kemudian mengajarkan ilmu itu di Indonesia.
Buku sosiologi dalam bahasa Indonesia pertama kali diterbitkan oleh
Djody Gondokusumo dengan judul Sosiologi Indonesia yang memuat beberapa

5
pengertian mendasar dari sosiologi. Kehadiran buku ini mendapat sambutan baik
dari golongan terpelajar di Indonesia mengingat situasi revolusi yang terjadi saat
itu. Buku ini seakan mengobati kehausan mereka akan ilmu yang dapat membantu
mereka dalam usaha memahami perubahan-perubahan yang terjadi demikian
cepat dalam masyarakat Indonesia saat itu. Selepas itu, muncul buku sosiologi
yang diterbitkan oleh Bardosono yang merupakan sebuah diktat kuliah sosiologi
yang ditulis oleh seorang mahasiswa.
Selanjutnya bermunculan buku-buku sosiologi baik yang tulis oleh orang
Indonesia maupun yang merupakan terjemahan dari bahasa asing. Sebagai contoh,
buku Social Changes in Yogyakarta karya Selo Soemardjan yang terbit pada
tahun 1962. Tidak kurang pentingnya, tulisan-tulisan tentang masalah-masalah
sosiologi yang tersebar di berbagai majalah, koran, dan jurnal. Selain itu, muncul
pula fakultas ilmu sosial dan politik berbagai universitas di Indonesia di mana
sosiologi mulai dipelajari secara lebih mendalam bahkan pada beberapa
universitas, didirikan jurusan sosiologi yang diharapkan dapat mempercepat dan
memperluas perkembangan sosiologi di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai