PENDAHULUAN
1. SEJARAH SOSIOLOGI
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 1
2) Perubahan di bidang sosial dan politik,
4) Meningkatnya individualisme,
Secara riil dan dahsyat juga terjadinya dua revolusi yang terjadi
di abad ke- 18, yaitu Revolusi Industri dan Revolusi Perancis yang
memiliki dampak yang serius terhadap perubahan sosial
kemasyarakatan (Laeyendecker, 1983).
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 2
kepercayaan yang diyakininya, ditampung dan diuniversalisasikan
secara etis oleh Emmanuel Kant yang membedakan moralitas dan
legalitas (1724-1804). Dalam bidang filsafat politik menimbulkan
individualisme dan penghargaan yang tinggi terhadap kebebasan
individu yang terungkap pada masalah hak asasi manusia.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 3
diterima begitu saja, melainkan dapat diketahui penyebab dan
akibatnya;
2) Harus dicari metode ilmiah yang jelas agar dapat menjadi alat
bantu untuk menjelaskan perubahan dalam masyarakat dengan
bukti-bukti yang kuat serta masuk akal;
2. PENGERTIAN SOSIOLOGI
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 4
lain.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 5
ilmiah untuk mempelajari masyarakat dan perilaku sosial
anggotanya dan menjadikan masyarakat yang bersangkutan dalam
berbagai kelompok dan kondisi.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 6
2) Sosiologis bersifat teoretis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu
berusaha untuk menyusun abstraksi dan hasil-hasil observasi.
Abstraksi tersebut merupakan kerangka dad unsur-unsur yang
tersusun secara logis serta bertujuan unbtuk menjelaskan
hubungan-hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 7
BAB II
PEMERINTAHAN
1. SEJARAH PEMERINTAHAN
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 8
2. PENGERTIAN PEMERINTAH
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 9
bagaimana manusia-manusia dapat diperintah (a science of haw
men are governed).
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 10
dan kelas atau kelompok kaya.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 11
hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 12
there are three mazn regimes involved in good governance. They are
the State, the Civil Socies and the Private Sector. Dalam The
International Encliclopedia of Social Science (1974), pemerintah
diartikan sebagai sekelompok orang yang bertanggung jawab atas
penggunaan kekuasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
pemerintah diartikan sebagai sistem menjalankan wewenang dan
kekuasaan, atau sistem menjalankan perintah, yang memerintah. Di
Belanda, pemerintah disebut juga administrative untuk pemerintah
dalam arti luas, bestuur dalam arti sempit. Dalam konteks lain
disebut juga overheid, yang di Indonesia disebut penguasa. Filsuf
J.J. Rousseau, pencetus teori The Social Contract, mengartikan
pemerintah sebagai suatu badan penengah yang didirikan antara
rakyat sebagai subjek dan penguasa, untuk saling menyesuaikan,
ditugaskan melaksanakan hukum dan memelihara dengan baik
kemerdekaan sipil dan politik. Sementara, Max Weber (dalam DahJ,
1994) mengartikan pemerintah sebagai apa pun yang berhasil
menopang klaim bahwa dialah yang secara ekslusif berhak
menggunakan kekuatan fisik untuk memaksakan autran-aturannya
dalam suatu batas wilayah tertentu. Soewargono, (1997)
mengartikan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan politik,
sering disebut pula penguasa sebagai penyelenggara pemerintahan
umum. Ramlan Surbakti (1992: 167) menjelaskan bahwa pemerintah
(government) secara etimologis berasal dari kata Yunani; kubernan
atau nakhoda kapal, artinya menatap ke depan, menentukan
berbagai kebijakan yang diselenggarkan untuk mencapai tujuan
masyarakat-negara, memperkirakan arah perkembangan
masyarakat-negara pada masa yang akan datang dan
mempersiapkan langkah-langkah untuk menyongsong
perkembangan masyarakat serta mengelola dan mengarahkan
masyarakat ke tujuan yang ditetapkan. Oleh karena itu, kegiatan
pemerintah lebih menyangkut pembuatan dan pelaksanaan
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 13
keputusan politik dalam rangka mencapai tujuan masyarakat-negara.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 14
3. TUJUAN, PERAN, DAN FUNGSI PEMERINTAH
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 15
Sub Kultur Ekonomi (SKE); 2) mengontrol SKE, memberdayakan,
dan meredistribusikan nilai-nilai yang telah berhasil ditingkatkan atau
dibentuk oleh SKE, melalui pelayanan kepada pelanggan oleh Sub
Kultur kekuasaan (SKK); 3) Mengontrol SKK oleh peran Sub Kultur
pelanggan (SKP). Jika tujuan tersebut tercapai, pemerintahan
(governance) berkualifikasi baik (sehat, good).
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 16
BAB III
SOSIOLOGI PEMERINTAHAN
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 17
adalah produk sosiologi, yang kemudian diadopsi oleh ilmu
pemerintahan menjadi konsep pemerintahan, yang kemudian
terbentuklah body of knowledge yang desebut sosiologi
pemerintahan.
Perkembangan sosiologi tidak terlepas dad sumbangan para
perintis sosiologi yang berdampak pada kemajuan ilmu sosial,
humaniora termasuk sosiologi pemerintahan. Sejak awal masehi
hingga abad 19, Eropa dapat dikatakan menjadi pusat tumbuhnya
peradaban dunia, para ilmuwan ketika itu mulai menyadari
perlunya secara khusus mempelajari kondisi dan perubahan
sosial. Para ilmuwan itu kemudian berupaya membangun suatu
teori sosial berdasarkan ciri-ciri hakiki masyarakat pada tiap tahap
peradaban manusia. Para ilmuwan yang dianggap sebagai
perintis sosiologi yang sangat menonjol (masters of sociological
thought/classical founders) adalah Comte, Spencer, Durkheim,
Weber, dan Marx.
Teori Durkheim selalu diadopsi dalam ilmu sosial, termasuk
dalam konteks ilmu pemerintahan. Emile Durkheim
memperkenalkan pendekatan fun~siona1isme yang berupaya
menelusuri fungsi berbagai elemen sosial sebagai pengikat
sekaligus pemelihara keteraturan sosial. Buah budinya mengenai
sosiologi dapat terbaca pada beberapa karyanya berikut ini.
Dalam buku The Division of Labour in Society (1968),
Durkheim menelaah soal masalah pembagian kerja dalam
masyarakat. Dalam perkembangan ekonomi khususnya dalam
bidang industri modern terjadi penggunaan mesin serta
konsentrasi modal dan tenaga kerja yang mengakibatkan adanya
pembagian kerja dalam bentuk spesialisasi gejala pembagian
kerja ini juga dapat dijumpai di bidang hukum, politik, kesenian,
dan bahkan keluarga (Durkheim, 1968). Pembagian kerja memiliki
fungsi penting dalam meningkatkan solidaritas.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 18
Buku Rules of Sociological Method (1965) Durkheim
menegaskan bahwa bidang yang harus dipelajari sosiologi ialah
fakta sosial, yaitu fakta yang berisikan cara bertindak, berpikir dan
merasakan yang mengendalikan individu tersebut. Fakta sosial
adalah cara bertindak, yang telah baku atau pun tidak, yang dapat
melakukan pemaksaan dari luar terhadap individu. Fakta sosial
tersebut mengendalikan dan memaksa individu, karena bila
individu melanggarnya ia akan terkena sanksi. Fakta sosial seperti
inilah yang menurut Durkheim menjadi pokok perhatian sosiologi.
Konsep dan teori Weber sering diadopsi dalam ilmu
pemerintahan berkaitan dengan birokrasi. Weber sangat produktif
dalam tulis menulis, namun yang menjadi fokus kita pada
kesempatan ini adalah kajiannya mengenai konsep dasar
sosiologi. Beliau menegaskan bahwa sosiologi merupakan ilmu
yang berupaya memahami tindakan sosial. ‘Sosiology a science
which attempts the interpretwe understanding of social action in
order thereby to arrive at a causal explanation of its course and
effects” (Weber, 1964: 88). Tesisnya ini kemudian sering menjadi
acuan bagi dikembangkannya teori sosiologi yang membahas
interaksi sosial.
Pemikiran sosiolgi yang juga dilahirkan oleh Weber adalah
konsep ideal type (tipe ideal) birokrasi modern. Model itulah yang
sering diadopsi dalam berbagai rujukan birokrasi negara kita,
walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa dilakukan.
Tipe ideal itu melekat dalam struktur organisasi rasional dengan
prinsip “rasionalitas”, yang bercirikan pembagian kerja,
pelimpahan wewenang, impersonalitas, kualifikasi teknis, dan
efisiensi. Pada dasarnya, tipe ideal birokrasi yang diusung oleh
Weber bertujuan ingin menghasilkan efisiensi dalam pengaturan
negara.
Herbet Spencer juga menjadi sosiolog yang selalu
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 19
dlipergunakan konsep teorinya. Dalam dunia sosiologi, Spencer
adalah orang yang pertama menulis tentang masyarakat atas
dasar data empiris yang konkret.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 20
umum/universal evolusi. Masyarakat mempunyai hubungan fisik
dengan lingkungan yang mengakomodasi dalam bentuk tertentu
dalam rnasyarakat.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 21
seefisien mungkin, sehemat mungkin, seproduktif mungkin,
seterbuka mungkin, sehingga biaya dan tarif serendah mungkin,
bisa seterjangkau mungkin oleh setiap orang, sediaannya
memadai sehingga semua orang kebagian, dengan cara
sedemikian rupa sehingga setiap orang berkesempatan sama
untuk mengunakannya.
Lebih lanjut Ndraha memetakan Materi Kajian Sosiologi
Pemerintahan menjadi berikut ini.
b) pengaturan masyarakat;
c) pemberdayaan masyarakat;
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 22
tanggung jawab tersebut, meliputi : demokrasi, komunikasi,
legitimasi sosial, careerism, profesionalisme, responsibility,
amicabi1ity ethicality, social acceptability, resposiveness.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 23
demikian, sosiologi pemerintahan bertugas untuk mengkaji,
mempelajari gejala pemerintah dalam upaya menjalankan
fungsinya untuk memenuhi kebutuhan yang diperintah, baik di
bidang pelayanan publik maupun pelayanan sipil.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 24
pemerintahan mengacu pada proses pengambilan kepusun dan
proses di mana keputusan-keputusan tersebut dilaksanakan atau
tidak dilaksanakan. Governance dapat digunakan dalam beberapa
konteks seperti corporate governance, international governance,
national governance and local governance.
Pemerintahan merupakan salah satu dan pelaku-pelaku
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Aktor-aktor lain yang
terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan beragam
bergantung pada level pemerintahan yang scdang dibicarakan. Di
daerah pedesaan, misalnya, pelaku-pelaku lain termasuk tuan-
tuan tanah yang berpengaruh, asosiasi petani, koperasi, LSM,
leinbaga penelitian, pemimpin agama, lembaga keuangan, partai
politik, militer dan sebagainya. Keadaan di daerah perkotaan jauh
lebih kompleks. Gambar 1 memberikan saling keterkaitan antara
para pelaku yang terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan
kota. Pada tingkat nasional, di samping pelaku-pelaku di atas,
media, para pelobi, para donatur internasional, perusahaan
multinasional, dan seterusnya bisa berperan dalam pembuatan
keputusan atau dalam mempengaruhi proses pembuatan
keputusan.
Struktur pemerintah formal adalah satu cara dengan mana
keputusan-keputusan dicapai dan dilaksanakan. Pada tingkat
nasional, struktur pengambilan keputusan informal, seperti
‘kabinet dapur’ atau para penasihatjuga ada. Di daerah-daerah
perkotaan, sindikat-sindikat kejahatan, terorganisir seperti ‘mafia
tanah’ bisa saja mempengaruhi pengambilan keputusan. Di
beberapa daerah pedesaan keluarga-keluarga yang secara lokal
berkuasa bisa membuat atau mempengaruhi pengambilan
keputusan. Pengambilan keputusan seperti itu sering merupakan
hasil dan praktik-praktik korup atau menyebabkan praktik-praktik
yang korup.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 25
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 26
Konsep pemerintahan yang baik (good governance) perlu
dipahami dalam interaksi antarnegara, masyarakat warga dan
pasar. “Pemerintahan” dipahami sebagai mekanisme pengelolaan
sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pemerintah dan
non-pemerintah dalam kerja keras bersama.
Dalam konteks Indonesia, yang mengalami krisis multi
dimensional, pemerintahan didefinisikan sebagai “mekanisme
pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial untuk tujuan
pembangunan.” Dengan demikian, pemerintahan yang bersih
dapat diartikan sebagai mekanisme pengelolaan sumber daya
eonomi dan sosial dengan substansi dan implementasi yang
ditujukan untuk mencapai pembangunan yang stabil, efisien dan
secara adil.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 27
b) Masyarakat telah kehilangan kemampuan yang
sangat berarti untuk menangani berbagai masalah
dengan berbasis tradisional dan komunal. sementara
itu berbagai pengelompkkan kota dan profesional
bermunculan, berkembang dan membutuhkan
pengaturan hukum yang formal. Artinya, pada
awalnya pemerintahan yang bersih memfokuskan
usahanya pada perbaikan arsitektur hukum bagi
pembanguinan ekonomi dan politik.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 28
1) ‘participatory,
2) consensus oriented,
3) accountable,
4) transparent,
5) responsive,
6) equitable;
7) inclusive and
1) Partisipasi
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 29
lain.
2) Aturan Hukum
3) Transparansi
4) Ketanggapan
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 30
5) Consensus Oriented
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 31
Penyelenggaraan pemerlntahan yang baik berarti bahwa
proses-proses dan lembaga-lembaga memberikan hasil-hasil
yang memenuhi kebutuhankebutuhan masyarakat sementara
memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya-sumber
daya yang ada. Konsep efisiensi dalam konteks
penyelengaaran pemerintahan yang baik juga mencakup
penggunaan surnber daya alam berkelanjutan dan
perlindungan lingkungan.
8) Akuntabilitas
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 32
membuatnya menjadi kenyataan.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 33
pembuatan kebijakan yang didasari pada skala preferensi
masyarakat ;
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 34
yang dapat dilihat pada gambar berikut.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 35
Menurut Ndraha, pemerintah adalah pelaku SKK, dan
hanyalah salah satu diantara tiga subkultur ini, tidak terjadi
pemerintahan. Tanpa SKE dan SKS atau subkultur pelanggan
(SKP), yang terjadi adalah untuk kekuatan, pemaksaan, aksi
kekerasan, kesewenang-wewnangan, dan penindasan SKK
terhadap dua subkultur lainnya. Oleh karena itu, SKE
berfungsi membentuk dan meningkatkan nilai setiap sumber
daya setiap sumber daya, SKK mengontrol SKE agar SKE
berfungsi dengan sehat. Selain itu, SKK meredistribusi nilai
melalui pelayanan sipil dan pelayanan publik kepada SKP.
Sedangka SKP berfungsi mengontrol SKK agar memenuhi
kewajibannya dan menggunakan wewenangnya dengan
penuh tanggung jawab kepada SKP. Oleh karena itu, sangat
penting adanya interaksi antar tiga subkultur tersebut yang
selaras, seimbang, serasi dan berkesinambungan. Dengan
kata lain, inteaksi antar ketiganya seperti interaksi antar
pemain (SKE), wasit (SKK) dan penonton (SKP/SKS) dalam
sebuah pertandingan.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 36
Serasi, artinya interaksi ketiga subkultur berjalan serasi.
Karena, sering antara SKS dan SKK tidak serasi. Pemerintah
berjalan dengan kemewahannya. Tidak senyawa dengan
masyarakat yang sekarat. Dinamis, artinya perlu dinamika di
antara tiga subkultur. Dinamis yang satu itu, membawa
kemajuan bagi yang lain, bukan kemajuan sendiri-sendiri,
kemajuan yang kompetitif. Berkelanjutan, artinya proses
interaksi ketiga subkultur itu terjadi harus terus-menerus,
jangan terpotong-potong.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 37
BAB IV
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 38
Gejala pemerintahan adalah gejala sosial khusus. Identifikasi
gejala pemerintahan berawal dari definisi pemerintahan dan ilmu
pemerintahan, yaitu bahwa pemerintahan adalah multi proses yang
hasil interasksi antara tiga subkultur yakni SKE, SKK dan SKP/SKS
yang bertujuan memenuhi dan melindungi kebutuhan pihak yang
diperintah, yakni masyarakat akan jasa publik yang tidak
diprivatisasikan dan layanan sipil kepada setiap orang pada saat
diperlukan.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 39
BAB V
A. PENGERTIAN.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 40
pengakuan terhadap kebenaran yang melandasi hubungan antar
perilaku. Satu dengan yang lain, akan merespons atau menerima dan
memiliki kepercayaan apabila menunjukkan sikap yang dapat
dipercaya, di mana kepercayaan tersebut berkaitan dengan keyakinan
dan pengakuan atas suatu kebenaran.
Dalam konteks hubungan pemerintahan (antara pemerintah
dengan yang-diperintah), kepercayaan dapat dikatakan sebagai
penghubung atau perekat hubungan komunikasi yang efektif antara
pemerintah dengan masyarakat. Kepercayaan masyarakat terbangun
apabila pemerintah menunjukkan sikap dan perilaku yang dapat
dipercaya. Kepercayaan masyarakat berimplikasi pada tumbuhnya
pengakuan dan keyakinan masyarakat yang bermuara pada sikap dan
perilaku masyarakat yang menunjukkan dukungan, kepekaan,
responsivitas, ketaatan, penghargaan bahkan pengorbanan.
Sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, dalam konteks
hubungan pemerintahan menurut Ndraha (200), merupakan
hubungan janji dengan percaya. Dalam hubungan tersebut,
tumbuhnya kepercayaan masyarakat berdasarkan kemampuan dan
kualitas pemenuhan janji dan kewajiban pemerintah dan kemampuan
pemerintah untuk menanggung risiko atau dampak pelaksanaan tugas
dan fungsi serta dorongan nurani yang bebas untuk melakukan
sesuatu demi masyarakat.
Dengan demikian, maka tingkat kepercayaan masyarakat
kepada pemerintah dapat dikatakan sebagai suatu keyakinan,
pengakuan dan respons masyarakat terhadap pemerintah
berdasarkan bukti yang ditunjukkan pemerintah melalui pemenuhan
janji/komitmen untuk melayani dan melaksanakan tugas dan fungsi
yang berkenaan dengan pelayanan publik, memiliki kerelaan
menerima dan menghadapi akibat, dampak, risiko dan bahkan sanksi,
serta adanya dorongan etis untuk melakukan sesuatu hal walaupun di
luar tugas dan fungsi.
1. Faktor yang Mempengaruhi Kepercayaan Masyarakat
kepada Pemerintah
Kepercayaan masyarakat dalam konteks etika politik pemerintahan
mengarah pada upaya meningkatnya keyakinan dan harapan publik
dan tinjauan legitimasi. Kepercayaan publik akan merosot, apabila
legitimasi kekuasaan yang menjadi dasar wewenang penguasa
merosot. Suseno (1991:58-61) berpendapat bahwa pada
prinsipnya, ada tiga kemungkinan kriteria atau faktor yang
mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat.
a. Legistimasi sostologis. Kriteria ini
menjelaskan bahwa kepercayaan publik dipengaruhi oleh
adanya keyakinan masyarakat terhadap pejabat penguasa
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 41
berdasarkan legitimasi tradisional, karismatik dan rasional-legal.
b. Legalitas. Kriteria ini menjelaskan
bahwa kepercayaan publik dipengaruhi oleh adanya keyakinan
masyarakat bahwa keberadaan suatu pemerintahan atau
perilaku pejabat pemerintah berdasarkan hukum atau peraturan
yang berlaku.
c. Legitimasi etis. Kriteria ini menjelaskan
bahwa kepercayaan publik dipengaruhi oleh adanya keyakinan
masyarakat bahwa pemerintah atau penguasa telah bertindak
menurut norma-norma moral.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan
cenderung akan meningkat apabila suatu pemerintahan dikelola
oleh pejabat atau penguasa yang secara sosiologis memiliki
legitimasi tradisional, karismatik dan rasional-legal, secara
legalitas didasarkan atas hukum dan peraturan yang berlaku dan
secara etis, didasarkan kepada nilai atau norma moral yang
berlaku dalam masyarakat.
Pada sisi lain, Suseno (1991:3 18) juga
mengemukakan bahwa kepercayaan atau keyakinan masyarakat
terkait erat dengan tanggung jawab sosial negara.
Dikemukakannya bahwa:
Negara bertugas untuk menjamin kesejahteraan
umum mempunyai implikasi bahwa negara bertanggung
jawab secara kkusus terhadap mereka dalam masyarakat
yang lemah, kurang berpendapatan atau bahkan miskin,
yang sakit, cacat, tua, pokoknya terhadap mereka semua
yang tidak dapat menyelamatkan diri mereka sendiri dan
keterlantaran.
Oleh karena itu, apabila tanggung jawab sosial negara
atau pemerintah diwujudkan melalui tindakan dan kepedulian
terhadap masyarakat yang membutuhkan pertolongan, maka
semakin meningkatkan keyakinan dan pengakuan masyarakat.
Dalam kaitan itu, Osborne dan Plastrik (1997)
mengemukakan bahwa nilai kepercayaan, antara lain bergantung
pada tingkat kemampuan dan kapabilitas diri yang dimiliki aktor
pejabat atau pegawai untuk mengontrol diri dan pekerjaannya.
Dengan demikian, seseorang atau suatu organisasi pemerintah
akan lebih dipercaya, apabila pelaku pemerintahan memiliki
kemampuan dalam melaksanakan pekerjaannya.
2. Kepercayaan dalam Konteks Pemerintahan
Dalam proses hubungan pemerintahan, percaya atau kepercayaan
dapat dilihat dalam dua macam, yaitu : kepercayaan sebagai input
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 42
dan kepercayaan sebagai output (Ndraha: 2000:83-84).
a. Sebagai input,
kepercayaan merupakan akibat langsung legitimasi.
Kepercayaan menjadi sumber legitimasi dalam proses awal
suatu pemerintahan. Kepercayaan masyarakat diwujudkan
dalam pemberian suara pada pemilihan umum terhadap
pemerintah (partai politik) yang akan memerintah atau dipercaya.
Namun, dalam hubungan pemerintahan,
b. kepercayaan sebagai input
berjumlah cukup, sehingga perlu didukung oleh kepercayaan
sebagai output. Sebagai output, kepercayaan adalah akibat dan
pemenuhan janji atau pemenuhan kebutuhan dan kepentingan
masyarakat oleh pemerintah yang memerintah. Kepercayaan
sebagai output adalah hal yang terpenting dalam hubungan
pemerintahan.
Kepercayaan publik kepada pemerintah sudah menjadi
semakin penting sebagaimana penjaringan pendapat
menunjukkan penurunan yang konstan dan kepercayaan publik
kepada pemerintah. Kepercayaan terhadap lembaga-lembaga
publik sudah dianggap sebagai suatu indikator dan masalah
fundamental dalam sifat sistem politik demokratis. Jikalau
pemerintah dan lembaga-lembaga yang dihubungkan dengan
pemerintah kehilangan legitimasi masyarakat (popular
legitimacy), kapasitas sistem pemerintah untuk memegang
kewenangan, khususnya melalui voluntary compliance, bisa
saja sedang terancam.
Kepercayaan publik atau masyarakat kepada lembaga
pemerintahan dan prangkatnya serta kinerja pemerintah
bergantung pada seberapa besar tercapainya harapan
masyarakat akan terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Semakin
rendahnya kinerja pemerintahan dalam memenuhi tuntutan
publik. Karena itu, kepercayaan publik erat kaitannya dengan
fungsi pengharapan akan besarnya dan tingginya kinerja
pemerintah terhadap keinginan masyarakat. Keinginan
masyarakat dipenuhi melalui kinerja pemerintah, maka
kepercayaan akan tinggi. Akan tetapi, kinerja pemerintah dalam
memenuhi harapan masyarakat rendah, maka di situlah letak
merosotnya kepercayaan publik kepada pemerintah.
Konteks menurunnya dukungan publik kepada beragam
lembaga menjadi pusat perhatian dalam hubungan dengan
menurunnya dukungan publik kepada pemerintah. Nyan (2000:
4-8) memberikan tiga tingkatan analisis untuk menjelaskan faktor
yang mempengaruhi kepercayaan masyarakat pada pemerintah,
antara lain sebagai berikut.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 43
a. Analisis makro yang cenderung fokus pada kekuatan-
kekuatan sosioekonomi dan internasional (broad soczo-
economic and internationalforces) yang sudah berkontribusi
terhadap ketidakpuasan masyarakat kepada pemerintah
(public dissatisfaction with government).
b. Sistem pemerintahan nasional dan hubungan kekuasaan
(national systems of government and power relationships)
yang memberikan kerangka kerja dalam mana pemerintah
beroperasi.
c. Kinerja lembaga pemerintah dan hubungannya dengan warga
masyarakat (the performance of government institutions and
their relationship with citizens).
Dengan demikian, menjadi penting bahwa unsur kepercayaan
masyarakat masih sangat menentukan keberadaan suatu
pemerintahan. Walaupun suatu pemerintahan dibangun atas dasar
kepercayaan masyarakat melalui proses pemilihan, namun
pemerintahan tersebut bisa menjadi pemerintahan yang tak berarti
apabila tidak didukung oleh masyarakat. Kuat dukungan
masyarakat terhadap satu pemerintah terlestari apabila, harapan
yang dijanjikan pemerintah sebelum dipilih terwujud. Dengan
demikian, tingkat legitimasi pemerintahan tersebut kuat dan
mendapat pengakuan masyarakat.
B. Partisipasi Masyarakat
1. Perkembangan Istilah Partisipasi
Istilah partisipasi banyak dikemukakan dalam berbagai
kegiatan terutama kegiatan pembangunan. Hal tersebut
disebabkan oleh istilah partisipasi (participation) yang berarti hal
turut berperan serta dalam suatu -. kegiatan, keikut sertaan, peran
serta (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1996: 732).
Partisipasi berarti peran serta seseorang atau sekelompok
masyarakat dalam proses pembangunan baik dalam bentuk
pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberikan
masukan berupa pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau
meteri, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil
pembangunan.
Partisipasi merupakan sikap keterbukaan terhadap
persepsi dan perasaan pihak lain. Partisipasi berarti perhatian
mendalam mengenai perbedaan atau perubahan yang akan
dihasilkan dalam satu pembangunan sehubungan dengan
kehidupan masyarakat. Partisipasi merupakan kesadaran
mengenai kontribusi yang dapat diberikan oleh pihak-pihak lain
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 44
untuk suatu kegiatan.
Secara tradisional, partisipasi lebih dilihat sebagai proses
administrasi dan politis. Nelson dalam Bryant dan White (1982)
melihat partisipasi politik dan administrasi sebagai bentuk
partisipasi horizontal dan vertikal. Partisipasi selama ini
diidentifikasikan dengan perilaku yang bersifat partisan atau
politis, seperti pemungutan suara, kampanye, kegiatan kelompok
kepentingan, dan lobbying Kegiatan-kegiatan itu oleh Joan Nelson
disebut sebagai bentuk-bentuk partisipasi horizontal. Ada juga
partisipasi vertikal sebagaimana dilukiskan oleh Nelson.
Partisipasi ini mencakup segala kesempatan ketika semua
anggota masyarakat mengembangkan hubungan tertentu dengan
kelompok elit dan pejabat; dan hubungan tersebut bermanfaat
bagi kedua belah pihak, contohnya antara lain jaringan patron -
klien dalam mekanisme politik (political mechines). Dalam kedua
kasus tersebut perhatian besar masyarakat bukan terletak
bagaimana mempengaruhi pemerintah melainkan lebih pada
pengembangan hubungan tertentu yang dapat memberikan
manfaat.
Partisipasi dalam proses administrasi merupakan fase
ketiga untuk partisipasi. Bentuknya berupa kegiatan-kegiatan
kepentingan untuk mengolah keputusan administratif, atau
pertukaran (exchange) tertentu antara patron dan Mien.
Pada tahun l950-an, partisipasi dikaitkan dengan
bagairnana mengontrol besar dan jenis partisipasi. Umpamanya
militer berupaya menyumbat partisipasi pada tingkat nasional. Ada
juga ketakutan terhadap peran serta karena dampak pecah belah.
Karena itu, peran serta pada tingkatan ini berorientasi pada
pertumbuhan (growth-oriented) .dan konsisten dengan definisi
administrasi sebagai Suatu struktur hierarki dan “atas ke bawah”
(top-down). ini digerakan misalnya melalui partai-partai yang
digalakkan sebagai sarana pengendali dan pengelola energi serta
tuntutan politik dan masyarakat.
Bryant dan White (1982:272) menganalisis bahwa arti
partisipasi pada era 1970-an, bergeser bukan sebagai proses
penguatan politik tetapi lebih dilihat sebagai alternatif bagi
gerakan-gerakan revolusioner dan pemberontakan petani. Dalam
arti, jika rakyat dimobilisasi menjadi bagian proses pembangunan,
berkuranglah kemungkinan mereka untuk dibangkitkan dalam
revolusi. Partisipasi masyarakat lebih diarahkan pada
pembangunan, makanya partisipasi mendapat ciii baru, yaitu
peran serta dalam perencanaan dan pelaksanaan program-
program dapat mengembangkan pembangunan kemandirian (self-
reliance) yang dibutuhkan oleh para anggota masyarakat,
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 45
khususnya masyarakat pedesaan demi akselerasi pembangunan.
Dengan kata lain, partisipasi mulai bergeser pada
pembangunan nyata bagi masyarakat yang masih berkembang
sehingga partisipasi dapat didefinisikan sebagai pelibatan diri
masyarakat lokal - para petani, misalnya - dalam penyusunan
rencana dan pelaksanaan proyek, dan sebagai komitmen dalam
bentuk kerja atau uang. Dan hasil kajian dan pengalaman aktual di
lapangan menyatakan bahwa partisipasi ternyata berarti ikut
dalam proses perencanaan dan pelaksanaan kegiatan suatu
proyek bersama. Partisipasi tidak disamakan dengan politik
pemilihan umum melainkan diberi arti yang lebih pragmatis yakini
melibatkan masyarakat dalam perencanaan pembangunan yang
mempunyai pengaruh langsung terhadap mereka.
2. Partisipasi Dalam Pembangunan
Dalam kaitan dengan pembangunan, Mikkelsen (2001:63)
berpendapat seperti berikut.
Pendekatan pembangunan partisipatoris harus mulai dengan
orang-orang yang paling mengetahui tentang sistem kehidupan
mereka sendiri. Pendekatan ini harus menilai dan
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka dan
memberikan sarana dan yang perlu bagi mereka supaya dapat
mengembangkan diri. ini memerlukan perombakan dalam
seluruh praktik dan pemikiran di samping bantuan
pembangunan.
Masyarakat akan berpartisipasi dalam pembangunan,
apabila mereka dapat memperoleh apa yang mereka inginkan.
Karena itu tugas utama dan mereka yang bertanggung jawab di
dalam program pembangunan masyarakat ialah mengidentifikasi
kebutuhan yang dirasakan masyarakat. Masyarakat penlu
mendapatkan bantuan tentang apa yang menjadi kebutuhan
mereka termasuk bagaimana menjadikan mereka memperoleh
kepuasan. Dan yang paling penting adalah bagaimana mereka
mampu mengidentifikasi kebutuhan yang belum mereka rasakan
dan memiliki rasa sadar akan pentingnya rasa kepuasan bagi
mereka.
Untuk menciptakan partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan program pembangunan, United Nations (1978: 5)
mengemukakan:
People will not participate in community development program
unless they are getting what they want. Accordingly, the first duty
of those responsible ommunity development programs to identify
the felt needs of the people. They should also assist the people
in making better judgments for them selves on that their needs
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 46
are and how to satisfi them. Finally they should be able to identify
needs not yet perceived and make the people conscious of them
and aware of the importance of satisfying them..
Untuk itu, perlu adanya paradigma baru yang di sebut
sebagai pembangunan partisipatoris yang mengindikasikan dua
perspektif. Pertama, pelibatan masyarakat setempat dalam
pemilihan, perancangan, perencanaan, dan pelaksanaan program
atau proyek yang akan mewarnai hidup mereka, sehingga dengan
demikian dapatlah dijamin bahwa persepsi setempat, pola sikap,
dan pola berpikir serta nilai-nilai dan pengetahuannya ikut
dipertimbangkan secara penuh. Kedua, membuat umpan balik
(feedback) yang pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak
terlepaskan dan kegiatan pembangunan.
Setiap bentuk partisipasi merupakan sekuen proses
pembangunan, mulai dan bentuknya sebagai gagasan sampai
dengan bentuknya sebagai bangunan. Partisipasi yang dilakukan
sepanjang proses ini didefinisikan sebagai partisipasi prosesional,
sedangkan partisipasi yang hanya dilakukan pada satu atau
beberapa fase saja dinamakan partisipasi parsial (Ndraha1990).
Partisipasi mengambil bentuk dalam berbagai pola atau
aktivitas. Partisipasi yang selalu dikaitkan dengan kegiatan
masyarakat, pemerintah dan swasta adalah partisipasi dalam
pembangunan. Mubyarto (1984: 36), menjelaskan bentuk
partisipasi masyarakat dalam pembangunan sebagai berikut.
a. Kitiga sasaran pembangunan masyarakat, yaitu perbaikan
kondisi dan peningkatan taraf hidup masyarakat, pembangkitan
partisipasi masyarakat, dan penumbuhan kemampuan
masyarakat untuk berkembang secara mandiri, tidak berdiri
sendiri-sendiri, melainkan diusahakan agar yang satu berkaitan
dengan yang lain, sehingga ketiganya dapat dianggap sebagai
satu paket usaha.
b. Peningkatan taraf hidup masyarakat diusahakan sebagai upaya
pemenuhan dan peningkatan swadaya masyarakat, dan juga
sebagai usaha menggerakkan partisipasi masyarakat.
c. Partisipasi masyarakat dapat meningkatkan upaya peningkatan
taraf hidup masyarakat.
d. Antara partisipasi masyarakat dengan kemampuannya
berkembang secara mandiri terhadap hubungan yang erat
sekali, ibarat dua sisi satu mata uang, tidak dapat dipisahkan
tetapi dapat dibedakan. Masyarakat yang berkemampuan
demikian bisa membangun desahnya dengan atau tanpa
partisipasi vertikal dengan pihak lain.
e. Kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 47
dapat ditumbuhkan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi
partisipasi masyarakat dalam pembangunan desahnya.
Penjelasan mengenai konsep dan pelaksanaan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan dapat dirangkum melalui
gambar berikut :
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 48
manusia harus mendapat prioritas di samping sumber daya alam
yang ada.
Upaya pembangunan masyarakat bertujuan untuk
membangun basis masyarakat yang lebih mandiri, dalam arti
masyarakat itu sendiri mampu memecahkan masalah-masalah
yang mereka hadapi, dan sanggup memenuhi kebutuhannya
dengan tidak menggantungkan hidup mereka pada bantuan pihak
mar baik pemerintah maupun organisasi-organisasi non-
pemerintah. Jika pembangunan dilakukan oleh pemerintah guna
mensukseskannya, maka masyarakat harus dengan sadar untuk
berpartisipasi dalam penyelenggaraannya.
Dalam pamtisipasi masyarakat berlaku prinsip pertukaran
dasar (basic exchange principles), sebagaimana dikemukakan
oleh Peter M. Blau (dalam Ndraha, 1990: 105), bahwa semakin
banyak manfaat yang diduga akan diperoleh suatu pihak dan
pihak lain melalui kegiatan tertentu, semakin kuat pihak itu akan
terlibat dalam kegiatan tersebut.
Partisipasi masyarakat juga dikenal dalam konteks pembangunan
sosial politik. Menurut Budiardjo (1982:2) partisipasi masyarakat
didasarkan pada pertimbangan berikut.
Bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat yang melaksanakannya
melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan serta masa
depan masyarakat itu dan untuk menentukan arang-orang yang
akan memegang tampuk pimpinan untuk masa berikutnya.
Pernyataan Budiandjo di atas didukung oleh Riwu Kaho (2003: 124)
bahwa konsepsi partisipasi terkait secara langsung dengan ide demokrasi,
di mana prinsip dasar demokrasi “dani, oleh, dan untuk rakyat”. Partisipasi
pembangunan politik harus mengarah pada proses demokratisasi.
Berkaitan dengan itu, konsepsi partisipasi dalam demokrasi dijelaskan
oleh Michles (1984:2) berikut.
Memberikan pada setiap warga negara kemungkinan untuk menaiki
jenjang skala sosial dan dengan demikian menurut hukum membuka
jalan bagi hak-hak masyarakat untuk meniadakan semua hak itimewa
yang dibawa sejak lahir serta menginginkan agar perjuangan demi
keunggulan dalam masyarakat ditentukan semata-mata oleh
kemampuan seseorang, atau dengan kata lain perinsip partisipasi
bertujuan untuk menjamin pengaruh dan partisipasi yang sama dalam
mengatur kepentingan bersama bagi semuanya.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 49
pemerintahan daerah harus dilandasi dengan prinsip di atas, atau dengan
kata lain, partisipasi merupakan bagian yang inheren dalam setiap
penyelenggaran otonomi daerah. Dalam rangka pembangunan bangsa
yang meliputi segala aspek kehidupan, partisipasi masyarakat memiliki
peranan penting, bahkan Tjokroamidjojo (1981: 222) menegaskan,
“Pembangunan meliputi segala aspek kehidupan, politik, ekonomi dan
sosial budaya itu baru akan berhasil apabila merupakan kegiatan yang
melibatkan partisipasi dan seluruh rakyat di dalam suatu negara”.
Akhirnya, partisipasi bukan untuk partisipasi. Partisipasi dijalankan
untuk kepentingan manusia, karena itu, penting untuk menjamin asas
pemanfaatannya. Untuk menentukan kriteria manfaatnya, kita mengadopsi
lima kriteria Uphoff (dalam Cernea 1998) untuk menjamin partisipasi
pemanfaat dalam rancangan program dan pelaksanaan. Pertama, taraf
partisipasi yang dikehendaki mesti diperjelas sejak semula dan dengan
cara yang dapat diterima untuk semua pihak yang bersangkutan. Kedua,
harus ada tujuan yang realistis untuk partisipasi dan kelonggaran mesti
diberikan untuk kenyataan bahwa beberapa tahap perencanaan, seperti
konsultasi rancangan, akan secara relatif berlarut-larut. Ketiga, diperlukan
untuk memanfaatkan organisasi-organisasi yang ada untuk mencapai
tujuan, dan rancangan untuk mempermudah organisasi yang sesuai
dengan budaya setempat. Keempat mesti ada komitmen keuangan yang
yang terpisah, memadai untuk partisipasi masyarakat, kemauan baik saja
belum cukup. Kelirna, rnesti ada rencana untuk bersama-sama memikul
tanggung jawab disemua tahap siklus program dan proyek.
3. Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan, Proses, dan
Implemenasi Pembangunan
Istilah partisipasi banyak dikemukakan dalam berbagai kegiatan,
terutama kegiatan pembangunan. Hal tersebut disebabkan oleh istilah
partisipasi (participation), yang berarti hal turut berperan serta dalam
suatu kegiatan, keikutsertaan, peran serta (Kamus Umum Bahasa
Indonesia, 1996).
Stephens (1988) membedakan tahap partisipasi dalam proses
pembangunan atas: (1) partisipasi pada tahap perencanaan, (2)
partisipasi pada tahap pelaksanaan, (3) partisipasi pada tahap
pemanfaatan, dan (4) partisipasi pada tahap penilaian hasil
pembangunan. Jika dimensi partisipasi masyarakat dikonstruksikan
secara logis mengikuti proses pembangunan, maka bisa saja seseorang
atau kelompok masyarakat berpartisipasi sepanjang proses pembangunan
(partisipasi prosesional) dan dapat pula berpartisipasi hanya pada satu
atau beberapa fase dan proses pembangunan (partisipasi parsial).
Partisipasi masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan
Mengenai pentingnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan
pembangunan kalangan ilmuwan menyimpulkan bahwa bila masyarakat
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 50
tidak diikutsertakan secara dini dalam proses perencanaan pembangunan
sulit diharapkan masyarakat dapat berpartisipasi sepenuhnya dalam
pelaksanaan pembangunan. Siagian (1983) menyatakan bahwa
pembangunan untuk masyarakat akan terwujud dengan cara atau melalui
dan bersama rakyat sendiri. Ide atau rencana dibawa dalam rapat dan
rakyat diberitahu serta diajak untuk berdiskusi.
Pelaksanaan pembangunan akan berjalan bilamana anggota
masyarakat sejak awal proses kegiatan telah diikutsertakan, khususnya
dalam penyusunan rencana pernbangunan. Ndraha (1982: 49)
berpendapat bahwa partisipasi dalam perencanaan wujudnya bisa berupa
kehadiran dalam rapat, pemikiran dan waktu. Partisipasi mayarakat dalam
pengambilan keputusan menyangkut pemberian saran yang bertujuan
menerima dan menolaknya. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan
(proses pembuatan keputusan) ditegaskan pula oleh Cohen dan Uphoff
(1987: 28) yang menyatakan hahwa partisipasi dalam pembuatan
keputusan itu akan mencakup keterlibatan dalam pertemuan, diskusi,
voting mungkin juga lobbying, menyatakan keluhan-keluhan, ikut
berkontribusi dalam organisasi-organisasi dan bahkan mungkin mencakup
kegiatan demonstrasi atm oposisi.
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa partisipasi masyarakat
dalam perencanaan pada hakikatnya meliputi partisipasi dalam pemilihan
alternatif tujuan yang akan dicapai dalam kegiatan yang dapat berwujud
usul, saran, tanggapan dan penentuan pilihan, kesemuanya disampaikan
dalam rapat. Pada prinsipnya, keberhasilan pembangunan tergantung
pada adanya keterlibatan aktif masyarakat, sebaliknya pembangunan
dapat merangsang partisipasi aktif masyarakat apabila benar-benar
mencerminkan kepentingan atau aspirasi masyarakat.
Partisipasi masyarakat dalam Pelaksanaan pembangunan
Dalam hubungan dengan partisipasi dalam pelaksanaan
pembangunan, Cohen dan Uphoff (1987) menegaskan: Participation in
implementation... Deal... with: (a) Resource contribution, (b) Participation
in administration and coordination, and enlisment in programs (partisipasi
dalam pelaksanaan pembangunan itu akan meliputi (a) partisipasi dalam
sumber daya, (b) partisipasi dalam adminstrasi dan kordinasi, dan (c)
partisipasi dalam program).
Pendapat lain, dikemukakan Ndraha (1982:49) bahwa partisipasi
dalam pelaksanaan pembangunan meliputi: (a) mengarahkan daya dan
dana, (b) administrasi dan koordinasi, (c) penjabaran ke dalam program.
Sebagaimana yang dimaksud sebagai partisipasi dalam memikul beban
pembangunan, termasuk dalam pengertian ini. Terutama beban berupa
material, bahan, tenaga, waktu, tanah, alat, dan sebagainya.
Sejalan dengan itu, Kboentjaraningrat (1984: 15) mengemukakan
bahwa dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan, rakyat dapat
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 51
diajak untuk berpartisipasi dengan jalan menyumbangkan tenaga atau
harus kepada proyek-proyek pembangunan yang khusus, biasanya
bersifat fisik.
Beranjak dan berbagai pendapat di atas, maka dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa partisipasi secara operasional berupa kontribusi di
dalam memberikan dana, tenaga, bahan, dan yang sejenisnya.
Partisipasi Masyarakat dalam Menerima Hasil Pembangunan
Partisipasi pada katagori ini dimaksudkan sebagai partisipasi dalam
menerima atau outcome keluaran yang wujudnya dapat bersifat fisik
output dan nonfisik. Cohen dan Uphoff (1987) menyebutkan partisipasi
jenis rni merupakan “partictation in benefit” yang pada uraiannya
dibedakan menjadi: pertama, manfaat materil seperti peningkatan income
atau aset lain yang penting bagi kepentingan pribadi. Kedua, manfaat
sosial seperti pendidikan,kesehatan dan jasa-jasa lain. Ketiga, manfaat
individual seperti pengembangan diri, kekuasaan politik dan kepercayaan
umum bahwa seseorang mulai dapat mengendalikan kuasanya. Keempat,
konsekuansi yang diharapkan.
Ndraha (1982: 50) mengemukakan bahwa partisipasi dalam
menerima kembali hasil pembangunan itu berarti:
menerima setiap hasil pembangunan sebagai seolah-olah milik sendiri;
menggunakan/memanfaatkan setiap hasil pembangunan;
mengusahakan (menjadikan suatu lapangan usaha,
mengekspolitasikannya) misalnya pembangkit tenaga listrik,
perusahaan desa, dan sebagainya.
merawat/memelihara secara rutin dan sistematis, tidak dibiarkan rusak,
dengan anggapan bahwa kelak, toh ada bantuan pemerintah untuk
pembangunan yang barn. Dalam hubungan ini, perlu diperhatikan
“engineering life” dan “accounting” prasarana atau bangunan yang
bersangkutan.
mengatur penggunaannya dan pemanfaatannya, pengusahaan dan
pengamanannya.
mengembangkannya.
Jadi, dalam partisipasi katagori ini, wujudnya dapat berupa
keterlibatan dalam menerima setiap hasil pembangunan sebagai pemilik
sendiri atau bersama, menggunakan setiap hasil pembangunan,
mengusahakan dan merawat, memelihara secara rutin, mengatur
penggunaannya, dan mengembangkannya secara bersama.
Partisipasi Masyarakat dalam Penilaian (Evaluasi)
Berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam penilaian
(pengawasan) pembangunan, Tjokroamidjojo (1985) berpendapat seperti
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 52
berikut.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 53
dan nasional, pernberdayaan secara perlahan melekat dalam bahasa
sehari hari sebagai mechanism of self-help for people (mekanisme
bantuan diri bagi orang lain). Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa
keinginan untuk mengubah keadaan muncul dari dalam diri orang
tersebut. Ketergantungan pada orang lain secara perlahan-lahan diganti
oleh ketergantungan pada diri sendiri. Pada tingkat organisasi,
pemberdayaan mempunyai daya tank. Selalu ada pencarian akan
gagasan-gagasan dan konsep pemberdayaan lebih baru, lebih segar
daripada banyak teori peningkatan motivasi kerja yang sudah usang.
Konsep pemberdayaan sangat cocok dengan konsep modern yang
mendorong organisasi seperti total quality, habitual improvement,
performance management, self-directed team work, internal customers,
competence management.
Kata pemberdayaan diadopsi dan bahasa Inggris; empowerment.
The Webster & Oxford English Dictionary memberikan dua arti yang
berbeda dad to empower sebagai (a) to give power or authority to, dan (b)
to give abi1ity to or to enable Pengertian (a) diartikan sebagai memberi
kekuasaan, me ngalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke
pihak lain, sedangkan, pengertian (b) diartikan sebagai upaya untuk
memberikan kemampuan atau keberdayaan. Dari kedua terminologi dasar
empower itu, makna pemberdayaan kepada pihak lain untuk berdiri sendiri
sesuai kemampuan. Memberikan kemampuan, keberdayaan, dan
kekuasaan kepada masyarakat, sehingga masyarakat itu lebih percaya
diri dalam mengelola kewenangan dan kekuasaan sesuai batasan
kapasitas, kapabilitas, dan kreativitas yang ada.
Inti pemberdayaan dapatlah dimulai dari konsep 7-S yaitu system,
structure, strategy, staff skil (leaders-style, and share value.
Pemberdayaan yang dilakukan kepada ketiga S pertama sering disebut
sebagai pemberdayaan radikal (radical empowerment) dan
pemberdayaan yang menyentuh empat unsur S terakhir dikenal sebagai
pemberdayaan bertahap (incremental empowerment).
2. Masalah Pemberdayaan
Masalah pertama yang berkaitan dengan pemberdayaan adalah
sistem atau struktur politik satu negara, yaitu kompatibilitas antara struktur
infra dengan struktur supra, antara yang mewakili dan yang diwakili,
antara pusat dan daerah (Ndraha, 2006).
Masalah ini selalu mengundang polemik yang terus berjalan tanpa
ujung. Yang mewakili dan yang dipusat selalu menjadi kekuatan bagi diri
sendiri dan meninggalkan mayoritas yang memilih; yang dipusat selalu
menjadi kekuasaan yang menentukan bagi daerah. Daerah menjadi sub
ordinat.
Untuk itu, perlu ada keseimbangan peran dan fungsi antar pihak,
yang dalam perspektif kybernologi perlu ada keseimbangan antar
subkultur yakni subkultur ekonomi (SKE) yang mewakili pihak swasta,
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 54
subkultur kekuasaan (SKKI) yang mewakili pemerintah dan subkultur
sosial (SKS) yang mewakili masyarakat sehingga apa yang dikatakan
Dube dalam (Bhattacharyya, 1972) tercaPai yakni planning for the people
berkembang menjadi planning with the people menuju planning by the
people. SKS berhak berhak memperoleh informasi tentang SKS dan
mengontrol SKS dan juga mengetahui informasi mengenai fungsi SKE,
agar semuanya berjalan dengan baik dan seimbang.
Masalah kedua dan ketiga adalah mengidentifikasi kondisi incapacip
atau powerless (Bryant dan Wihte, 1982). Artinya, kekuatan ekonomi
cenderung menuju pada kekuasaan. Itu berarti, kekuatan ekonomi selalu
berorientasi pada kekuasaan. Lalu bagaimana dengan keberadaan atau
kondisi masyarakat (SKIS). Masyarakat selalu menunjukkan
ketergantungannya pada kebijakan ekonomi dan kekuatan kekuasaan.
Ndraha (2006) berpendapat, masyarakat menjadi lemah (powerless) untuk
melancarkan social and political presure. Oleh karena itu, diperlukan
pemberdayaan bagi masyarakat agar dapat terwujud bargaining power
SKIS terhadap SKK dan SKE.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 55
masyarakat untuk meningkatkan kualitas barang dan jasa yang akan
diberikan kepada pelanggan. Barang dan jasa kualitas bagus adalah
tujuan dan organisasi. Hal ini hanya dapat dicapai dengan
memberdayakan masyarakat untuk mengadopsi prinsip-prinsip kualitas
(quality principles). Ketujuh adalah the strategic empowerment
inspirational source. Sumber inspirasi ini bermula dan keyakinan bahwa
pemberdayaan yang terinspirasi secara strategis (strategically inspired
empowerment) merupakan hasil dan penilaian kembali terhadap arah
strategis organisasi. Pemberdayaan masyarakat diterima sebagai suatu
tujuan utama. Kedelapan adalah the mythical inspirational source. Dalam
inspirasi ini, para pemimpin mengadopsi pemberdayaan, tetapi bukan
merupakan kebijakan organisasi yang sadar. Pemberdayaan menjadi
jangan manajemen tetapi hampir tidak ada prakarsa dan investasi yang
meliputi seluruh organisasi. Sumber terakhir adalah teambased source.
Sumber inspirasi yang atas dasar tim menggambarkan bahwa
pemberdayaan individu adalah hasil dari keberhasilan tim kerja. Karena
tim mencapai tujuan dari berkembang, anggota individu juga bertumbuh.
Sumber inspirasi pemberdayaan di atas menjadi pertimbangan bagi
organisasi untuk memandang pentingnya pelaksanaan pemberdayaan
masyarakat. Pemberdayaan itu sangat cocok dengan filosofi dan para
penguasa/manajer maupun pekerja saat ini. Para manajer
memandangnya sebagai ‘a means of removing bureaucracies, freeing
workers from historic collective uniouns negotiating arrangements, gaining
more flexibility and rewarding people for their individual efforts.’ (Foy,
1994: 5). Banyak karyawan tertarik kepada pemberdayaan karena alasan
yang sama. Didorong oleh perubahan-perubahan dalam konteks politik
selama tahun-tahun terakhir yang mengarah kepada nasa kepemilikan
yang lebih besar, orang sudah menjadi lebih individualistik dengan
keinginan untuk menjadi dan memelihara diri mereka sendiri. Mereka
mempunyai keinginan untuk bertahan atau jatuh atas usaha-usahanya
sendiri dengan pemberdayaan yang memberikan mereka kesempatan
untuk melaksanakan hal ini.
Salah satu manfaat besar dan pemberdayaan adalah bahwa ia
memungkinkan perkembangan dan penggunaan kemampuan terpendam
dalam setiap individu (Wilson, 1996:5). Karena hal ini banyak pekerjaan
industri dan dagang sudah dirancang dan dibangun, karyawan diharapkan
memanfaatkan justru sedikit proporsi kemampuan mereka yang sudah
mengarah kepada keputus asaan dan alienasi yang besar. Dengan
pemberdayaan, hambatan-hambatan tradisional dihilangkan, garis
demarkasi disingkirkan dan deskripsi pekerjaan yang menghalangi
dibuang di tempat sampah. Bagi staf dalam situasi yang diperdayakan,
kerja berbeda dan masa silam. Mungkin saja terlalu jauh menganjurkan
agar kerja sekarang sudah merupakan sesuatu permainan atau kehidupan
yang menyenangkan, tetapi tentu saja ada perbaikan besar dalam
hubungan dengan sikap orang untuk mencari penghidupan.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 56
Bersamaan dengan fleksibilitas dan kebebasan kerja yang lebih
besar datang juga kemampuan untuk kreatif dan inovatif. Semua
pekerjaan mempunyai dua komponen: melakukan pekerjaan dan
perbaikan dalam metode melakukan pekerjaan tersebut. Kemajuan nyata
dibuat melalui inovasi, apakah juru tulis yang mengembangkan suatu
sistem yang lebih baik untuk mengeluarkan faktur atau direktur
pemasaran yang memikirkan suatu merek baru. Inovasi dan kreativitas
berasal dari orang-orang yang mempunyai kebebasan untuk berpikir dan
mengambil kesempatan yang merupakan akibat langsung dan
pemberdayaan (Wilson, 1996:7).
Pemberdayaan juga mendorong kekuasaan dan pengambilan
keputusan dalam organisasi, karenanya mengarah kepada hubungan
masyarakat yang lebih baik dan penyelesaian keluhan secara lebih cepat.
Orang yang saling berhadapan dengan masyarakat dapat membuat
keputusannya sendiri tanpa mengacu kepada tingkat manajemen yang
lebih tinggi. Hal ini berlaku kepada masyarakat internal dan eksternal.
Salah satu akibat dari pemberdayaan adalah meningkatnya output
dan kinenja (the increased output andjob performance). Masyarakat
mampu mengambil tanggung jawab terhadap pekerjaan mereka,
mengaturnya agar sesuai dengan kebutuhan individu dan kemudian
melaksanakannya tanpa campur tangan orang lain, yang berakibat pada
semakin besarnya efektivitas (Foy, 1994:12).
Atas dorongan peningkatan kualitas, pemberdayaan juga sudah
memberikan kontribusinya. Masyarakat yang diberikan misi manajemen
mutu dan teknik, ketrampilan, dan metodologi yang dipakai, sudah
menemukan dan kepuasan dan kepentingan yang lebih besar dalam kerja
mereka dengan mencari perbaikan. Perbaikan yang lazim atau terus-
menerus adalah bagian dan bahasa banyak organisasi dan ia digunakan
dan level paling bawah sampai paling atas. Masyarakat sekarang
mempunyai target dan tujuan yang bernilai yang akan dikejar terlepas dari
angka output setiap saat. Mereka dapat beroperasi di daerah-daerah yang
mereka kenal baik, menghasilkan perbaikan sementara pada saat yang
sama membuat pekerjaan mereka lebih menyenangkan.
4. Program Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat harus dilakukan secara terus-menerus,
komprehensif, dan simultan, sampai ambang batas tercapainya
keseimbangan yang dinamis antara pemerintah dan yang diperintah.
Dalam hal itu, menurut Ndraha, (2003) diperlukan berbagai program
pemberdayaan berikut.
Pemberdayaan politikal
Pemberdayaan politik bertujuan meningkatkan bargaining position
yang diperintah terhadap pemerintah, seperti telah dikemukakan di atas.
Melalui bargatning tersebut, yang diperintah mendapatkan apa yang
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 57
merupakan haknya dalam bentuk barang, jasa, layanan dan kepedulian,
tanpa merugikan orang lain. Dengan demikian, pemberdayaan politikal
bagi birokrasi pemerintahan ditujukan untuk meningkatkan bargaining
power yang diperintah (subkultur sosial/SKS) terhadap pemerintah
(subkultur kekuasaan/SKK) sehingga mampu mengontrol SKK dengan
efektif.
Pemberdayaan ekonomikal
Pemberdayaan ekonomi dimaksudkan sebagai upaya untuk
meningkatkan kemampuan yang diperintah sebagai konsumen untuk
berfungsi sebagai penanggung dampak negatif pertumbuhan, pembayar
risiko salah urus, pemikul beban pembangunan, kambing hitam kegagalan
program, dan penderita kerusakan lingkungan. Karena itu tujuan akhir dari
pemberdayaan birokrasi pemerintahan secara ekonomikal adalah
memampukan subkulktur sosial/SkS atau yang diperintah untuk
menggunakan produk barang dan jasa yang diproduksi birokrasi
pemerintahan sehingga yang diperintah dapat memetik nilai manfaat
sebesar-besarnya.
Pemberdayaan Sosial Budaya
Pemberdayaan sosial budaya bertujuan meningkatkan kemampuan
sumber daya manusia melalui human investment guna meningkatkan nilai
manusia human dignity), penggunaan (human uti1itation) dan perlakuan
seadil-adilnya terhadap manusia. Dengan demikian, maksud dan tujuan
utama pemberdayaan birokrasi pemerintahan dan aspek social budaya
adalah mengintegrasikan SKS ke dalam kehidupan bangsa dan
memampukannya memberi sumbangan maksimal demi kemajuan
nasional.
Pemberdayaan Lingkungan
Pemberdayaan lingkungan dimaksudkan sebagai program
perawatan dan pelestarian lingkungan, supaya antara yang diperintah dan
lingkungannya terhadap hubungan saling menguntungkan.
Pemberdayaan Struktural
Dimaksudkan untuk membangun akses (struktur) kompatibilitas
antara ketiga subkultur (SKE, SKK dan SKS) secara sinergis. Dan
berbagai pemikiran tentang ruang lingkup pemberdayaan birokrasi
pemerintahan di atas, dampak akhir yang bisa diukur adalah karakteristik
birokrasi pemerintahan yang berdaya dan tangguh adalah birokrasi yang
memiliki QWL (quality of work life) yang tinggi dan berorientasi kepada (a)
participation in decision making, (b) career development program, (c)
leadership style, (d) the degrees of stress experienced by employees, dan
(e) the culture of the organization. Dengan demikian, kelima aspek itu
perlu diberdayakan dalam birokrasi pemerintahan, baik dari dimensi
kelembagaan, ketatalaksanaan dan kewenangan maupun dukungan
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 58
sumber daya manusia birokratnya.
D. Pemerintahan yang Bertanggung Jawab
Apa itu tanggung jawab? Tak ada konsensus mengenai jawabannya.
Namun, tak seorangpun mengingkari bahwa warga negara yang
bertanggung jawab dan pemerintah yang bertanggung jawab merupakan
kebutuhan yang bersifat universal. Spiro (1969:) memberikan tiga batasan
utama, yang saling berhubungan dad tanggung jawab: akuntabilitas
(accountabi1ity), sebab (cause), dan kewajiban (obligation).
1. Tanggung Jawab sebagai Akuntabilitas
Tanggung jawab dipandang sebagai akuntabilitas. Lawton and Rose
(1991: 17) mendefinisikan akuntabilitas sebagai: ‘a process where a
person or groups of people are required to present an account of their
actitivities and the way in which they have or have not discharged their
duties’ (akuntabilitas merupakan suatu proses di mana seseorang atau
kelompok orang diharuskan menyajikan laporan kegiatan mereka dan
cara mereka sudah atau belum melaksanakan tugas-tugas mereka).
Pengertian ini mengacu pada keharusan seseorang memberikan
jawaban atas menyerahkan laporan tentang cara dia menjalankan tugas-
tugas resmi yang dibebankan kepadanya. Akuntabilitas dapat bersifat
eksplisit dan implisit. Dikatakan eksplisit, apabila seseorang sudah
mempunyai pengetahuan téntang tugas yang dibebankan kepadanya dan
implisit, bila dia belum mengetahui keputusan/akibat dari tugas yang
diembannya.
Akuntabilitas merupakan suatu fenomena kompleks. Dalam
organisasi sektor publik, akuntabilitas tidak dibatasi kepada akuntabilitas
berakhir pada para politisi baik di tingkat lokal maupun pusat. Simon
(1950:513), memaparkan beberapa jenis akuntabilitas yang berlaku dalam
sektor publik:
akuntabilitas politik-penyajian laporan kepada pemirsa eksternal
dalam hal penyatuan nilai, pertimbangan politis partai, pendirian atau
prasangka;
akuntabilitas manajerial-proses penyajian laporan internal perusahaan
dalam hal efektivitas biaya, efisiensi, kontrol anggaran, pemantauan
kinerja dan efektivitas;
akuntabilitas hukum-penyajian laporan dalam hal proses hukum/
pengadilan;
akuntabilitas pelanggan-penyajian laporan tentang penanganan
terhadap keluhan dan kebutuhan pelanggan;
akuntabilitas profesional - penyajian laporan atas dasar profesi (atas
kode etik profesi).
Akuntabilitas dapat dihubungkan dengan konsep responsibilitas.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 59
Seorang tidak dapat bertanggung jawab kepada seseorang, jikalau dia
tidak mempunyai responsibilitas untuk melakukan sesuatu. Day dan Klein
(1987:5) menyatakan bahwa responsibilitas dapat dipandang dalam tiga
cara:
responsibi1ity as legal authority for example having responsibi1ity for
ajob;
responsibility as a moral obligation-the irresponsible parent may not
fulfil his obligations to his children;
responsibility as responsiveness to value-where a public servant is
charged with carrying out the wishes of others with particular
reference to the values that are held by those charging the servant
with carrying out the function.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 60
individual. Rakyat atau warga negara merelakan sebagian
kepentingannya untuk diserahkan kepada penguasa negara, dan negara
melalui aparatnya memperoleh hak untuk mengatur sebagian dan sisi
hidup para warganya itu. Pengertian mengenai hak (rights) itu sendiri
boleh jadi masih sangat problematis. Tidak ada satupun jawaban singkat
yang memuaskan untuk menjawab tentang apa yang disebut hak. Salah
satu ketaksaan (ambiguity) untuk pengertian ini antara lain muncul dan
perbedaan penggunaan istilah “hak” secara umum atau secara khusus.
Dalam pemakaian secara umum, pernyataan “saya punya hak untuk
melakukannya.” Suatu hak dalam pengertian ini jelas tidak lepas dan
pertimbangan moral. Ia merupakan suatu jenis pertimbangan yang
dipergunakan untuk memenuhi pembenaran atas suatu arah tindakan.
Namun kita juga dapat menggunakan kategori lain di mana “saya punya
hak untuk melakukannya”, berarti “saya punya suatu klaim moral untuk
melakukannya.” lagi-lagi masih bisa mempertanyakan tentang klaim moral
itu sendiri.
3. Tanggung Jawab sebagai Sebab (Cause)
Pemahaman kedua adalah tanggung jawab dianggap sebagai sebab
(cause). Tanggung jawab merupakan sebab/akibat dan tindakan yang
diambil. Misalnya, seorang direktur membuat kesalahan dalam
pengambilan keputusan berdasarkan informasi dari bawahannya.
Bawahan memberikan kontribusi terhadap kesalahan dalam pengambilan
keputusan ini merupakan contoh tanggungjawab kausal eksplisit karena
bawahan sadar akan kontribusinya terhadap kesalahan tersebut. Dalam
tanggung jawab kausal eksplisit, ada empat unsur: sumber daya,
pengetahuan, pilihan, dan maksud. Bila salah satu/lebih dan unsur
tersebut tidak ada, tanggung jawab tersebut dikatakan sebagai tanggung
jawab kausal implisit.
Jenis pertanggungjawaban ini muncul bila orang mengatakan bahwa
suatu lembaga diharuskan untuk mempertanggung jawabkan jalannya
Suatu urusan (the conduct of some affairs). Pertanggung jawaban kausal
yang eksplisit terdiri atas empat unsur, yaitu: sumber (resource),
pengetahuan, pilihan, dan maksud (purpuse). Keempat unsur ini harus
ada di dalam mempertanggung jawabkan urusan publik. Jika salah satu
unsur hilang, maka pertanggung jawaban kausal implisit adalah landasan
pokok bagi pelaksanaan atau urusan, misalnya kebajikan (virtue), atau
kesejahteraan (we(fare) buat sesama.
Berbagai makna dan ruang lingkup pertanggung jawaban secara
teoritik di atas, memperlihatkan bahwa secara luas pertanggung jawaban
mengandung arti yang bermacam-macam, tergantung pada aspek mana
kita melihatnya. Pertanggung jawaban etis tentunya berbeda dengan
pertanggung jawaban rasional. Kalau pertanggung jawaban rasional dapat
diangkat dan tindakan-tindakan nyata dan sanksi-sanksi yang diterapkan
dapat dipaksakan oleh orang lain, sebaliknya pertanggung jawaban etis
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 61
sifatnya lebih abstrak dan sanksi-sanksi yang mengiringi hendaknya
menyentuh langsung nurani manusia yang mewujudkan sikap, tindakan,
dan keputusan tertentu, kecuali itu pertanggung jawaban juga dapat
dibedakan menurut jenjangnya. Sebagai contoh, di dalam organisasi
dikenal pertanggung jawaban tingkat institutional, tingkat manajerial, dan
tingkat teknis. Pada tingkat institusional, organisasi berhadapan dengan
keharusan untuk menjadi bagian dari sistem sosial yang lebih besar yang
merupakan sumber dari makna legitimasi, atau kelompok massa
pendukung yang memungkinkan implementasi sasaran-sasaran
organisasi tersebut. Pada tingkat manajerial, organisasi menjadi
penengah di antara komponen-kornponen tehnis serta antara pejabat-
pejabat operasional dengan para pelanggan atau pendukung di dalam
lingkup tugas organisasi. Sedangkan pada tingkat teknis, organisasi
berfokus pada kinerja efektif (qffictive performance) dan fungsi-fungsi
yang terspesialisasi dan terinci.
Karena tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh para administrator
menyangkut bangsa, negara, dan masyarakat, maka sangat wajar jika
lingkup pertanggung jawaban yang mesti dipenuhi juga sangat luas.
Mereka harus menyadari bahwa selain tugas-tugas keseharian yang
sifatnya tehnis prosedural, ada banyak makna lain yang berkenaan
dengan kedudukannya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Kumorotomo (1996: 148) mengutip pendapat Herbert J.Spiro (1969)
tentang jangkauan tanggung jawab tersebut.
”Countemporary bureaucrat is in fact, and should be, accountable to
several ifferent authorities for different purpose, to different degress,
and in terms of different thought mutually complimentary standars”.
“Accountability mechanism act to ensure that agensies and agency
leadership have a vested intersn in maintaining a structure of incentives
that benefit the public. The law alone cannot build such structures; the
law cannot fully protect the employee who exposes corruption or
wrongdoing, aned the law cannot make the day-to-day decisions of
personalnel and management officials that do so to estabilish the
atmosphere and character of the public service”.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 62
1. Pelayanan Publik
Jasa publik dibedakan dengan jasa pasar. Jasa pasar pada
hahekatnya dapat dijual belikan sesuai mekanisme pasar. Jasa publik
berkembang sejak munculnya paham the right to we fare dan we fare
state. Publik menyangkut masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan
jasa publik merupakan produk yang menyangkut kebutuhan hidup banyak
orang, seperti air minum, jalan raya, listrik, telekom, yang produksinya
dikontrol pemerintah. Karena itu pemenuhannya harus diproses secara
istimewa. Berkaitan dengan itu, Ndraha (2003: 44) mengaskan seperti
berikut.
Selain jasa publik yang diperoleh dan barang publik, manusia juga
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 63
membutuhkan layanan sipil yang keluar dan aktor melalui akting
memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan menghadirkan
pelayanan itu sendiri yang harus disesuaikan dengan kondisi konsumer,
memerlukan kreativitas tinggi dan ekspresif yang halus. Wujud layanan
terkandung dalam action dan terlihat melalui acting sang actor. Acting dan
actor terletak di luar pertimbangan efisiensi dan masuk wilayah etika; no
price, no choicej, serta dimonopoli badan atau lembaga istimewa.
Jasa publik tersebut identik dengan layanan publik. Layanan publik
merupakan salah satu perwujudan dan fungsi aktor pemerintahan sebagai
abdi masyarakat untuk mensejahterakan masyarakat dan satu negara
kesejahteraan. Menurut Rasyid (1997b:1 16):
Pelayanan berkenaan dengan usaha pemerintah yang bertujuan
untuk menciptakan kondisi yang menjamin bahwa warga masyarakat
dapat melaksanakan kehidupan mereka secara wajar dan ditujukan
juga untuk membangun dan memelihara keadi lain dalam
masyarakat.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 64
kehidupan pemerintahan, pelayanan publik ada bermacam-macam
jenisnya. Menurut Saefullah (1997: 7), pelayanan publik memiliki banyak
jenisnya. Banyaknya jenis pelayan umum, antara lain dapat dilihat dan
kebutuhan masyarakat yang meliputi kebutuhan makanan, pakaian,
perumahan, kesehatan, transportasi, pendidikan, dan lain sebagainya.
Sedangkan kalau dilihat dan kegiatan pemerintahan yang harus
memberikan pelayanan bisa dibedakan berdasarkan kekhususan yang
mengakibatkan perbedaan jenis pelayanan yang diberikan.
Secara operasional, pelayanan publik yang diberikan kepada
masyarakat dapat dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu; pertama,
pelayanan publik yang diberikan tanpa memperhatikan orang
perseorangan, tetapi keperluan masyarakat secara umum, yang meliputi
penyediaan sarana dan prasarana transportasi, penyediaan pusat-pusat
kesehatan, pembangunan lembaga-lembaga pendidikan, pemeliharaan
keamanan, dan lain sebagainya; kedua, pelayanan yang diberikan secara
orang perorangan, yang meliputi kemudahan-kemudahan dalam
memperoleh kartu penduduk dan surat-surat lainnya, pembelian karcis
perjalanan, dan lain sebagainya.
Pelayanan publik merupakan tuntutan masyarakat agar kebutuhan
mereka baik secara individu maupun sebagai kolektif terpenuhi. Karena itu
dituntut dan aktor pemerintahan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
bagi masyarakat. Berikut ini Zethaml (1985) mengemukakan sepuluh tolok
ukur kualitas pelayanan publik.
(a) Tangible: appearance of physical facilities, equipment,
personnel, and communication materia1s (b) Reliabi1ity: ability to
perform the promised service dependably and accurately. (c)
Responsiveness. willingness to help customers and provide prompt
service. (d) Competence: possission of the required skill and
knowledge to perform the service. (e) Courtesy: politeness, respect,
consideration, and friendliness of contact personal. (f) Credibility:
Trustworthiness, believability honesty of the service provider. (g)
Security freedom from danger risk, or doubt. (h) Acces:
approachability and case of contact. (i) Communication: keeping
customers informed in language they can understand and listening to
them. (j) understanding the customers: making the effort to know
customers and their needs
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 65
equipment, and the apearance of employees. Reliability is the ability of
the service firm to perform the service promised dependably and
accurately. Responsiveness is the willingness of the firm - staff to help
customers and to provide them with prompt service. Assurance refers
to the knowledge and courtesy of the company ~ employees and their
ability to inspire trust and confidence in the customer towards the
service provider Emphaty is the caring, individua1i~ed attention the
service firm provides each customer
2. Pelayanan Sipil
Layanan sipil erat kaitannya dengan kodrat manusia, yaitu hak
dasarkan (human rights). Secara makro, bcgitu manusia berada dalam
kandungan ibunya, ia telah memiliki hak asasi yang harus dihormati,
diakui dan dilindungi, yaitu hak dan naluri untuk hidup di dalam ruang dan
waktu. Perlindungan, pemenuhan dan kontrol itu merupakan kebutuhan
(human needs) baik secara individu maupun sosial (Ndraha, 2003: xxvi).
Lebih lanjut, Ndraha (2003: 46) memberikan definisi layanan sipil.
Layanan civil adalah hak, kebutuhan dasar dan tuntutan setiap orang
lepas dan suatu kewajiban. Bayi dalam kandungan wajib dilindungi oleh
pemerintahan, walaupun sang bayi tidak (belum) dapat di bebani suatu
kewajibannya. Tatkala ia lahir, pemerintah wajib mengakui
kehadirannya melalui pembenahan akte kelahiran, tanpa diminta-minta,
dan seharusnya tanpa dibayar, oleh yang bersangkutan. Layanan civil
tidak dijual belikan (diperdagangkan) di pasar, penyediaannya
dimonopoli dan merupakan kewajiban pemerintah.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 66
pendapatan negara yang diperoleh dari pajak. Layanan sipil ini berkaitan
dengan pemenuhan hak bawahan (asasi) manusia dan hak denivatif, yang
harus diakui, dihormati, dipenuhi, dan dilindungi negara. Beberapa hal
yang berkaitan dengan kendala pelayanan sipil adalah sebagai berikut.
KKN Penghancur Layanan Sipil
Keberhasilan dalam melayani kepentingan sipil mengharuskan
adanya aparatur negara dengan birokrasinya yang bersih dani praktik
KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme). KKN merupakan penyakit kronis
yang telah menyerang sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara kita,
tenutama di bidang ekonomi dan politik. Selama lebih dari 30 tahun Orde
Baru benkuasa, tampaknya telah terjadi pnroses KKN yang luar biasa.
Pemerintah telah menyalahgunakan kekuasaan dan jabatannya untuk
keuntungan pribadi. Praktik KKN, terutama korupsi telah merusak
pembangunan ekonomi dan politik (Elliot, 1999).
Di negara-negara yang dikuasai oleh orang yang tidak jujur dan tidak
bersih, jabatan akan diperebutkan sebagai kesempatan untuk
memperkaya diri. Kita dapat menyaksikan bahwa para pejabat dalam
waktu yang relatif singkat telah kaya raya mengalahkan para usahawan
yang memang bekerja mencari kekayaan. Sebagian rencana
pembangunan tidak terlaksana karena dananya menguap ke kantong-
kantong orang tertentu.
Apabila kekuasaan tidak dikontrol, korupsi berkembang di semua
negara, meski dengan nilai budaya yang sangat berbeda. Bila masyarakat
madani ingin mendukung kejujuran, haruslah diupayakan kontrol terhadap
pejabat. Kita harus mengefektifkan mekanisme demokrasi tidak hanya
melalui pemilihan umum berkala, tetapi juga melalui saluran demokrasi
lainnya, melalui lembaga-lembaga independen sehingga masyarakat
bebas menilai dan menentukan siapa yang berhak memerintah.
Kalau negara-negara demokrasi berhasil mengatasi tindakan
pemerintah untuk mempraktikkan korupsi itu bukan karena alasan
pengaruh budaya, tetapi lebih karena kerja keras berbagai institusi yang
mengontrol dan mentransparansi tindakan korupsi. Salah satu caranya
adalah dengan mengefektifkan salah satu partai oposisi pemerintahan
yang ada. Jadi, memang perlu diciptakan struktur yang menunjang
kejujuran para pejabat dan politisi atas tuntutan kejujuran. Tuntutan itu
sendiri memiliki dampak struktural. Harus ditumbuhkan keyakinan bagi
masyarakat bahwa hanya orang jujur dan bersih yang boleh menjadi
pemimpin. Jadi, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme harus diadili.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 67
kebutuhan alam yang semakin meningkat. Justru karena sekarang, pada
saat orang hanya mementingkan diri sendiri (individualisme) dan bukan
solidaritas terhadap sesama dan lingkungan, orang membutuhkan
kepedulian. Dalam bukunya The Third Way Anthony Giddens
mengemukakan lima dilema yang dihadapi dunia. Salah satu di antaranya
adalah masalah individualisme. Individualisme sering diasosiasikan
dengan mundurnya tradisi dan adat kebiasaan dan kehidupan kita,
sebuah fenomena yang berkaitan erat dengan dampak globalisasi dan
bukan sekadar pengaruh pasar. Hal ini merupakan transisi moral. Kita
harus mencari sarana baru untuk membangun solidritas untuk
menghadapi individualisme yang akan mengarah pada egoisme (Giddens,
2000: 42-43). Singkatnya, kepedulian harus diinternalisasikan ke dalam
hidup bersama.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 68
menguntungkan pengusaha dan oknum pemerintah sebagai koleganya,
termasuk faktor tekanan ekonomi masyarakat seperti masalah kemiskinan
sebagai suatu masalah sosial yang sulit dipecahkan.
F. Legitimasi Pemerintahan
Pertanyaan mendasar dalam legitimasi kekuasaan pemerintah yakni
dengan hak moral apa seseorang atau sekelompok orang. memegang
dan mempergunakan kekuasaan yang mereka miliki. Betapapun besarnya
kekuasaan seseorang, ia selalu dapat dihadapkan dengan tuntutan untuk
mempertanggung jawabkannya, dan apabila pertanggung jawaban itu
tidak diberikan, kekuasaan itu tidak lagi dianggap sah. Penguasa dapat
saja tidak memperdulikan tuntutan pertanggung jawaban dan percaya
pada kemampuannya untuk menindas segala perlawanan, tetapi tatanan
masyarakat yang hanya berdasarkan intimidasi dan pihak yang memiliki
daya pengancam, sudah tidak stabil lagi karena tidak lagi didukung oleh
masyarakat. Itulah sebabnya penguasa tidak dapat menganggap sepi
tuntutan pertanggung jawaban segenap tindakannya kepada rakyat.
Paham pertanggung jawaban memuat nisbah bersegi tiga
sebagaimana dikatakan Hofe (dalam Suseno, 1994:30), yakni (1)
seseorang adalah penyebab atau berwewenang, (2) atas apa yang
diperbuat dan tidak diperbuatnya, (3) berhadapan dengan pihak yang
menuntut pertanggung jawaban. Karena itu, mempertanggung jawabkan
kekuasaan pemerintah berarti bahwa pemerintah memang memiliki
kekuasaan dan bahwa masyarakat berhak untuk menuntut pertanggung
jawaban. Kondisi tuntut-menuntut pertanggung jawaban ini hanya terjadi
jika kekuasaan pemerintah merupakan realitas yang sosial duniawi.
Tuntutan pertanggung jawaban antara masyarakat dengan pemerintah
dapat dipahami setelah dipahami terlebih dahulu subjek dan objek
legitimasi bagi wewenang setiap kekuasaan pemerintahan serta bentuk-
bentuk legitimasi.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 69
1. Objek Legitimasi
Bentuk legitimasi dapat dibedakan dari segi objek yang memerlukan
keabsahan dan dari segi kriteria untuk menilai legitimasi atau keabsahan
itu. Dan segi objek, Suseno, (1994:55) telah mengklasifikasikannya atas
dua pertanyaan legitimasi, yakni: antara legitimasi mated wewenang dan
legitimasi subjek wewenang. Penjelasan ringkas Suseno (1995:55-57)
disarikan pada uraian berikut.
Legitimasi materi wewenang mempertanyakan wewenang dan segi
fungsinya: untuk tujuan apa wewenang dapat-dipergunakan dengan sah. -
Wewenang tertinggi dalam dimensi politis kehidupan manusia menjelma
dalam dua lembaga yang sekaligus merupakan dua dimensi hakiki
kekuasaan pemerintah: dalam hukum sebagai lembaga penataan
masyarakat yang normatif dan dalam kekuasaan (eksekutif) negara
sebagai lembaga penataan efektif dalam arti mampu mengambil tindakan.
Terhadap hukum, dikemukakan pertanyaan tentang hukum apa yang
macam apa yang boleh dianggap sah. Terhadap negara, pertanyaan yang
paling fundamental adalah apakah negara memang berhak ada: apakah
dapat dibenarkan bahwa dalam setiap sistem masyarakat terdapat
lembaga pusat yang berwenang untuk menetapkan norma kelakuan bagi
anggota masyarakatnya dan memaksakan ketaatan. Bila eksistensi
negara dianggap dapat dibenarkan atau bahkan perlu, baru muncul
pertanyaan yang relevan bagi praktik kehidupan kenegaraan di mana
jawaban juga kontroversi: untuk apa negara boleh mempergunakan
kekuasaannya. Untuk apa saja yang nyata-nyata berada dalam
kekuasaannya. Atau bidang-bidang kehidupan manusia dalam
masyarakat yang tidak boleh dicampuri negara. Sejauh mana negara
berhak untuk menuntut ketaatan dan warga negara dan sejauh mana
pada warga negara wajib taat terhadap negara.
Legitimasi subjek kekuasaan mempertanyakan apa yang menjadi
dasar wewenang seseorang atau sekelompok orang untuk membuat
undang-undang dan peraturan bagi masyarakat dan bagi pemegang
kekuasaan negara. Suseno (1994, 1995, 2000) telah mengklasifikasikan
tiga macam legitimasi subjek kekuasaan, yakni (1) legitimasi religius, (2)
legitimasi elite, dan (3) legitimasi demokratis, dan ketiganya ini selanjutnya
dapat dipahami mekanisme tuntut-menuntut pertanggung jawaban
kekuasaan. Tuntut menuntut pertanggung jawaban antara penguasa dan
rakyat tidak terjadi sebagai realitas apabila kekuasaan dipahami di
duniawi, gaib atau ilahi. Paham ini oleh Suseno (1994:31) disebut dengan
paham “Legitimasi Religius Kekuasaan”, untuk membedakan dengan
paham kekuasaan demokratis dan legitimasi demokratis serta legitimasi
etis dan legkimasi sosiologis.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 70
terdapat dua bentuk legitimasi yang dapat diidentifikasikan pada suatu
sistem politik. Bentuk pertama mengacu pada pengesahan, sedang
bentuk yang kedua mengacu pada persetujuan. Kedua bentuk legitimasi
tersebut adalah:
bentuk yang memberikan wewenang (authorizes) kepada proses-
proses politik dasar yang juga proses yang di rancang untuk
mengesahkan proposal-proposal khusus mengenai pemecahan-
pemecahan masalah publik (publics problems);
meliputi proses-proses khusus lewat mana program-program
pemerintah disahkan.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 71
samping konsep tersebut, Zippelius dalam Suseno (1994: 282), juga
mengemukakan tiga tipe legitimasi, yaitu legitimasi ideologis, legitimasi
tekhnokratis, dan legitimasi demokratis.
Walaupun bentuk, kriteda dan tipe dari legitimasi tersebut
bermacam-macam, tetapi secara umum kesemua tipe dan bentuk
legitimasi tersebut mengarah pada satu maksud, yaitu keabsahan
kekuasaan, yaitu bagaimana penerimaan dan dukungan masyarakat
terhadap kekuasaan (pemerintah). Karena itu, bentuk dan tipe dari
legitimasi tersebut pada hakikatnya hanya lebih menspesifikasikan
berbagai bentuk keabsahan (legitimasi) yang di miliki oleh kekuasaan.
Berdasarkan berbagai pemikiran pakar, bentuk legitimasi dapat
diklasifikasikan atas tiga jenis legitimasi, yakni legitimasi religius, legitimasi
eliter dengan empat harian, yakni legitimasi aristokrasi, legitimasi
ideologis, legitimasi teknokratis, dan legitimasi pragmatis serta legitimasi
demokratis. Legitimasi religius dan legitimasi eliter belum memenuhi
syarat claim universal demokrasi sebagai dasar hak dan wewenang
sekelompok orang memerintah dan menuntut ketaatan dan masyarakat.
Suseno (1994:57), selanjutnya menjelaskan legitimasi demokratis
sebagai bentuk ketiga legitimasi subjek kekuasaan yang mendasarkan
anggapannya pada prinsip kedaulatan rakyat-rakyatlah yang memerintah,
rakyatlah yang memberikan kewenangan dan kekusaan kepada
sekelompok orang untuk menjalankan kekusaan pemerintahan sehingga
dan pihak yang mendapatkan kewenangan itu diwajibkan
mempertanggung jawabkan segenap sikap dan perilakunya kepada
seluruh masyarakat. Legitimasi demokratis berarti tuntutan agar
penggunaan kekuasaan harus berdasarkan persetujuan dasar para warga
negara dan senantiasa berada di bawah kontrol masyarakat berdasarkan
batas-batas hukum tertentu.
G. Kepemimpinan Pemerintahan
Kepemimpinan pemerintah adalah terapan teori kepemimpinan di
dalam bidang pemerintahan. Terapan ini diwarnai oleh sifat-sifat khas
bidang pemerintahan itu sendiri. Oleh karena itu, dapat juga dikatakan
kepemimpinan pemerintahan menunjukkan daerah perbatasan antara
gejala pimpinan dengan gejala pemerintahan. Pemerintahan adalah
proses penyediaan jasa publik dan layanan sipil kepada setiap orang tepat
pada saat diperlukan (Ndraha, 2003: 226).
Pemerintahan rawan konflik, karena di satu pihak penyediaan
layanan sipil dan jasa publik dimonopoli pemerintah sehingga kontrol
sosial semakin penting dan harus semakin ketat, serta di sisi lain karena
adanya kepentingan kelompok masyarakat yang berbeda-beda, sehingga
kepemimpinan pemerintah semakin diperlukan. Ndraha (2003) membagi
konsep kepemimpinan pemerintahan menjadi: konsep kepemimpinan
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 72
pemerintahan terdiri atas dua (sub) konsep yang hubungannya satu
dengan lainnya tegang, yaitu konsep kepemimpinan bersistem nilai sosial
dan konsep pemerintahan yang mengandung sistem nilai formal. Setiap
saat, seorang pemimpin formal atau kepala yang berkepemimpinan
dihadapkan pada berbagai situasi dan perubahan yang cepat. Dilihat dan
sudut itu, pada saat orang melakukan suatu peran, ia harus mampu
mempertimbangkan hal lainnya.
Role play di atas digunakan dalam spektrum yang lebih luas. Setiap
seseorang bertindak, perlu harus mempertimbangkan tindakannya
tersebut di dalam hubungan pemerintahan. Hubungan itu terjadi pada
setiap posisi dan peran pihak terkait, yaitu pemerintah dengan yang
diperintah. Setiap posisi mengandung kompetensi, kewajiban dan peran
tertentu. Di samping itu, setiap posisi mempunyai hubungan dengan posisi
pihak lain yang terkait.
Terkadang, dalam hubungan pemerintahan terdapat hubungan
kepentingan. Terdapat hubungan kepemimpinan transaksional dan
hubungan kepemimpinan transformasional (Ndraha, 2003: 222). jika
hubungan antar pemimpin dengan yang dipimpin didasarkan pada
pertukaran kepentingan masing-masing (saling membutuhkan menuju
saling menguntungkan) maka kepemimpinannya disebut kepemimpinan
transaksional. Pemimpin transaksional umumnya adalah para kepala yang
berkepemimpinan (eksekutif dan sebagainya). Jika hubungan yang terjadi
berlandaskan kesepakatan untuk mencapai tujuan bersama dan untuk itu
diperlukan perubahan sosial bersama, kepemimpinan yang terjadi adalah
kepemimpinan transformasional yang umumnya adalah pemimpin formal.
Kepemimpinan pemerintahan dijaman ini, apa pun bentuknya, tidak
dapat mengambil pola dan gaya kepemimpinan tradisional.
Kepemimpinan ditentukan oleh berbagai faktor dan harus melewati
berbagai kriteria. Winardi (2000:60) berpendapat bahwa seluruh struktur
yang berkaitan dengan kepemimpinan dilingkupi nilai-nilai sosial,
pertimbangan ekonomi dan politis.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 73
Akhirnya dapat dikemukakan bahwa gaya kepemimpinan dan situasi
serta yang berlaku mempengaruhi hasil-hasil yang akan dicapai.
Itu berarti bahwa gaya kepemimpinan yang sama tidak akan sama
efektif dalam semua situasi. Kita mengetahui bahwa situasi atau
lingkungan berubah-ubah, dan jarang sekali ada pemimpin yang menonjol
dalam setiap situasi. Seorang pemimpin yang berhasil banyak ditentukan
oleh faktor situasional, faktor individual, dan faktor daya dukung. Di
samping itu, ada unsur-unsur yang paling sedikit yang harus dimiliki oleh
pemimpin, yakni (1) adanya kekuasaan (power), (2) adanya kewibawaan
(authority), (3) adanya popularitas (popu1arity), dan (4) adanya pengikut
(follower). Unsur-unsur tersebut dalam setiap masyarakat berbeda dalam
bentuknya, dan hal ini tergantung pada struktur dan adat kebudayaan
masing-masing masyarakat (Mara’at: 1983).
Rumitnya masalah kepemimpinan dialami juga dalam lingkup
manajemen pemerintahan. Hal ini tampak dalam hal menentukan orang
atau pemimpin yang mampu menggerakkan organisasi pemerintahan,
membuat mekanisme kerja melalui planing, organizing actuating, dan
controling (POAC) (Sitanggang: 1997). Untuk menunjukkan keberhasilan
manajemen kepemimpinan pemerintah adalah efektivitasnya. Bila tujuan
negara ialah mengurus kepentingan bersama maka manajemen
pemerintahan yang berhasil ialah manajemen yang dapat menggerakkan
organisasi dan birokrasi mencapai tujuan tersebut. Dan untuk mencapai
tujuan tersebut dibutuhkan kekuasaan pemerintahan. Oleh karena itu,
diperlukan sistem penjaringan, tingkat kualitas sumber daya manusia yang
tinggi.
Model kepemimpinan pemerintahan menurut Ndraha (2003) adalah
kepemimpinan yang mampu menyediakan produk jasa publik, yang dilihat
dan sudut ilmu pemerintahan bersumber dan kewenangan rasional,
sedangkan penyediaan layanan sipil bukan dan kewenangan tetapi
kewajiban pemerintah. Jadi inti dan kepemimpinan pemerintahan terletak
pada komitmen untuk menyediakan jasa publik dan layanan sipil kepada
masyarakat.
H. Kebijakan Publik
1. Kebijakan Pemerintahan
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 74
menentukan keputusan pemerintah.
Kata kebijakan diterjemahkan dan kata policy. Kata policy berasal
dan bahasa Yunani dan Sansekerta dan Latin (Dunn, 1998:51). Akar kata
dalam Bahasa Yunani dan Sansekerta; polis (negana kota) dan pur (kota),
dikembangkan ke dalam bahasa latin menjadi politea (negara) dan
akhirnya, dalam bahasa Inggris pada abad pertengahan, dikenal dengan
policy, yang berarti menangani masalah-masalah publik atau administrasi
pemerintahan. Policy, politea, pada hakikatnya berarti kebijakan yang
diambil oleh pemerintah untuk mengupayakan kebaikan, kemakmuran,
kesejahteraan warga kota atau masyarakat (bonum commune).
Kebijakan publik sangat erat dengan putusan pemerintahan dalam
proses pembangunan. Kebijakan publik menjadi penting apabila kebijakan
tersebut dijalankan atau diimplementasikan. Udoji (dalam Wahab,
1997:59) dengan tegas mengatakan bahwa: “The execution of policies is
as important if not more important than policy-making Policies will remain
dreams or blue prints file jackets unless they are implemented.”
Banyak pengalaman memperlihatkan bahwa kebanyakan pemerintah
di dunia ini sebenarnya baru mampu untuk mengesahkan kebijakan dan
belum sepenuhnya mampu menjamin bahwa kebijakan yang telah
disahkan itu benar - benar akan menimbulkan dampak atau perubahan
tertentu yang diharapkan. Hal itu berarti pemerintah belum efektif dalam
mengimplementasikan kebijakan yang ditetapkannya sendiri. Gejala yang
menjelaskan suatu keadaan di mana dalam proses kebijakan selalu akan
terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa yang
diharapkan/direncanakan oleh pembuat kebijakan dengan apa yang
senjatanya dicapai sebagai hasil atau prestasi dari pelaksanaan
kebijakan, oleh Dunsire (1978) (dalam Wahab, 1997:61) disebut dengan
istilah implementation gap. Besar kecilnya perbedaan tersebut sedikit
banyak akan tergantung pada apa yang oleh Williams dalam Wahab
(1997:6 1) disebut dengan implementation capacity dan organisasi/aktor
atau kelompok organisasi yang dipercaya untuk mengemban tugas
melaksanakan kebijakan tersebut. Implementation capacity adalah
kemampuan aktor atau suatu organisasi untuk melaksanakan keputusan
kebijakan sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau
sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan dapat
tercapai.
Sesungguhnya setiap kebijakan pemerintah mengandung risiko
kegagalan yang tinggi. Ada dua kategori pengertian kegagalan kebijakan/
policy failure sebagaimana diungkapkan oleh Hogwood dan Gunn (1986),
yakni non-implementation atau tidak terimplementasikan dan kategori
unsuccesfull implementation atau implementasi yang tidak berhasil
(Wahab, 1997:62). Non-implementation berarti suatu kebijakan tidak
dilaksanakan sesuai rencana, mungkin karena pihak yang terlibat dalam
pelaksanaannya tidak mau bekerja sama atau telah bekerja sama secara
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 75
tidak efisien, bekerja setengah hati, atau karena tidak sepenuhnya
menguasai permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang
diselesaikan di luar jangkauan kekuasaannya sehingga betapapun
gigihnya usaha mereka, hambatan yang ada tidak sanggup ditanggulangi.
Akibatnya, implementasi yang efektif sukar dipenuhi.
Salah satu aspek terpenting dalam kebijakan pemerintahan, selain
aspek formulasi dan evaluasi, aspek implementasi kebijakan sangat
menentukan karena implementasi berkaitan dengan bagaimana kebijakan
yang diambil dapat dilaksanakan dan berdaya guna atau efektif karena
mencapai sasaran, sehingga kebijakan tersebut mengarah pada kebijakan
publik.
2. Implementasi Kebijakan
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 76
sebagai berikut.
Set activities that follow statements of intent about program goals
and desired result by government officials. Implementation
encompasses action (and relation by variety of actors, especially
bureaucratese, designed to programs into effect, ostisibly in such a
way as to achieve goals.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 77
Implementasi kebijakan merupakan salah satu tahap dalam proses
kebijakan selain tahap formulasi kebijakan dan evaluasi kebijakan.
Lengkapnya proses kebijakan publik akan terdiri atas langkah-langkah:
(1) identyfikasi masalah kebijakan, (2) tahapan formulasi
kebijaksanaan, (3) legitimasi kebijaksanaan, (4) implementasi
kebijakan, (5) evaluasi kebijakan. Oleh karena itu pula semua tahapan
di dalam proses kebijakan publik adalah sama pentingnya, demikian
pula pihak-pihak yang berperan dalam proses itu. Semuanya memiliki
peran masing-masing yang saling melengkapi dan mendukung satu
dengan yang lainnya dan kuranglah tepat apabi1a terjadi paradigma di
kotomi sebagaimana dikotomi politik dan administrasi Demikian pula
ada pendapat yang mengatakan bahwa implementasi kebijakan
sebagai tahapan yang penting dan menentukan, karena tanpa
implementasi suatu kebijakan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Hal
tersebut hanya menunjukkan bahwa perlu semakin meningkatnya
perhatian terhadap proses implementasi kebijakan publik.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 78
dilakukan oleh organisasi badan pelaksana melalui proses administrasi
dan manajement dengan memanfaatkan segala sumber daya yang
tersedia untuk mencapai tujuan tertentu.
Implementasi kebijakan dalam praktiknya merupakan sebuah proses.
Proses kebijakan tidak hanya dilakukan dalam tahap formulasi saja.
Berkaitan dengan proses implementasi kebijakan, Wahab (1997:63)
menyebutkan ada tiga unsur penting dalam proses implementasi: (1)
adanya program atau kebijakan yang dilaksanakan; (2) target grup, yaitu
kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan akan
menerima manfaat dan program ini, perubahan atau peningkatan; (3)
unsur pelaksanaan (implementor), baik organisasi atau perorangan untuk
bertanggung jawab dalam memperoleh pelaksanaan dan pengawasan
dan proses implementasi tersebut.
Proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya
menyangkut badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk
melaksanakan program dan menimbulkan kesadaran pada diri kelompok
sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik,
ekonomi, sosial yang langsung dapat mempengaruhi semua pihak yang
terlibat, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak baik yang
diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
Dan rumusan-rumusan di atas, dapat dikemukakan bahwa
implementasi kebijakan mengandung unsur-unsur sebagai berikut.
Proses, yaitu rangkaian aktivitas atau aksi nyata yang dilakukan untuk
mewujudkan sasaran/tujuan yang telah ditetapkan.
Tujuan, yang hendak dicapai melalui aktivitas-aktivitas yang
dilaksanakan.
Hasil atau dampak, yaitu manfaat nyata yang dirasakan oleh kelompok
sasaran.
Dengan demikian, studi implementasi kebijakan publik pada
prinsipnya berusaha memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah
sesuatu program dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-
kegiatan yang terjadi setelah proses kebijakan negara, baik menyangkut
usaha-usaha mengadministrasikan maupun usaha-usaha untuk
memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun peristiwa-
peristiwa.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 79
dengan implementasi kebijakan di lapangan, yakni (1) pemrakarsa
kebijakan/the center (2) pejabat pelaksana di lapangan/periphery; (3) aktor
perorangan di luar badan pemerintah kepada siapa program itu ditujukan
yakni kelompok sasaran / target group.
Dari sudut pandang the center, fokus implementasi kebijakan akan
mencakup usaha yang dilakukan pejabat atasan atau lembaga tingkat
pusat untuk mendapatkan kepatuhan dan lembaga atau pejabat di tingkat
daerah. Perhatian utama the center berkenaan dengan masalah utama
yaitu, pertama, sejauh manakah tujuan atau sasaran resmi kebijakan telah
tercapai. Kedua, apakah alasan yang menyebabkan tujuan/sasaran
tertentu tercapai atau tidak.
Kelompok the peripphry atau pejabat lapangan mengarahkan
implementasi kebijakan pada tindakan atau perilaku para pejabat dan
instansi di lapangan yang dalam upaya untuk menanggulangi gangguan
yang terjadi di wilayah kerjanya yang disebabkan oleh usaha-usaha dan
pejabat lain di luar instansinya demi berhasilnya kebijakan dimaksud.
Akhirnya, implementasi kebijakan dan perspektif target group lebih terkait
dengan jaminan bagi kelompok sasaran dan masyarakat seluruhnya untuk
dapat menerima dan menikmati hasil atau keuntungan dan kebijakan.
Kelompok sasaran itu kemungkinan akan lebih memusatkan perhatian
pada permasalahan apakah pelayanan/jasa yang telah diberikan tersebut
benar-benar mengubah pola hidupnya, benar-benar memberikan dampak
positif dalam jangka panjang bagi peningkatan mutu hidup termasuk
pendapatan mereka.
Pemahaman konsep implementasi kebijakan dan perspektif pusat,
daerah dan target group di atas akan mampu menjamin tercapainya
tujuan kebijakan secara optimal dan memuaskan berbagai pihak yang
terkait langsung dan tidak langsung dengan tujuan dan sasaran
implementasi kebijakan. Itu berarti, penerapan pendekatan implementasi
kebijakan tidak hanya diarahkan kepada hasil atau tujuan yang dicapai
dan berkaitan dengan perilaku aktor implementasi kebijakan tersebut,
tetapi di sini dibutuhkan dan tanggung serta ketaatan pada diri kelompok
sasaran,juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi dan sosial
yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dan
semua pihak yang terlibat dari yang pada akhirnya berpengaruh terhadap
dampak yang diharapkan/ intended maupun dampak yang tidak
diharapkan/spillover/negative effects.
Dengan demikian, implementasi kebijakan melibatkan banyak pihak
dan sangat kompleks sifatnya. Apa yang terjadi pada tahap implementasi
termasuk melakukan penyesuaian, perubahan serta rancang bangun
kembali kebijakan/the policy design stage tentu akan sangat
mempengaruhi tingkat keberhasilan kebijakan dalam mewujudkan hasil
akhir yang diinginkan. Keberhasilan implementasi kebijakan juga sangat
ditentukan oleh model implementasi yang mampu menjamin kompleksitas
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 80
masalah yang akan diselesaikan melalui kebijakan tertentu. Model
implementasi kebijakan ini tentunya diharapkan model yang semakin
operasional sehingga mampu menjelaskan hubungan kausalitas
antarvariabel yang terkait dengan kebijakan.
Dalam model Top Down Approach, Hoog wood & Gunn
mengemukakan bahwa untuk dapat mengimplementasikan kebijakan
publik secara sempurna atau perfect implementation, maka diperlukan 10
persyaratan, yakni: pertama; kondisi eksternal yang dihadapi instansi
pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan yang serius. Kedua, untuk
pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber daya yang
cukup memadai. Ketiga, perpaduan sumber-sumber yang diperlukan
benar-benar tersedia. Keempat, kebijakan yang akan diimplementasikan
didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal. Kelima, hubungan
kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubungnya. Keenam, hubungan saling ketergantungan harus kecil.
Ketujuh, pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
Kedelapan, tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang
tepat. Kesembilan, komunikasi dan koordinasi yang sempurna.
Kesepuluh, pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat
menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
Model proses implementasi kebijakan menekankan sifat kebaikan
dalam setiap implementasi kebijakan serta menghubungkannya dengan
isu kebijakan dan implementasi kebijakan dan suatu model konseptual
yang mempertalikan kebijakan dengan performance kebijakan. Dalam
proses implementasi kebijakan, ditekankan prosedur yang mengutamakan
perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak. Implementasi kebijakan
akan berhasil bila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara
kesepakatan terhadap tujuan, terutama dan mereka yang
mengoperasikan program di lapangan relatif tinggi. Sedangkan yang
menghubungkan antara kebijakan dan performance dipisahkan oleh
sejumlah variabel bebas yang saling berkaitan. Variabel bebas itu adalah
ukuran dan tujuan kebijakan, sumber-sumber kebijakan, ciri atau sifat
instansi pelaksana, komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan
pelaksanaan, sikap para pelaksana serta lingkungan ekonomi, sosial, dan
politik.
Mazmanian dan Paul A. Sabatier (dalam Wibawa, 1994: 25-27)
memperkenalkan model implementasi kebijakan kerangka analisis
implementasi (aflame work for implementation Analysis) sebagai salah
satu model implementasi kebijakan yang tepat dan operasional. Menurut
mereka, analisis implementasi kebijakan adalah mengidentifikasikan
variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal
pada keseluruhan proses implementasi. Ada tiga kategori variabel
dimaksud, yakni (1) mudah tidaknya masalah yang akan digarap
dikendalikan, (2) kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan
secara tepat proses implementasi, dan (3) pengaruh langsung pelbagai
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 81
variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang
termuat dalam keputusan kebijakan dimaksud.
Grindle Merille S. (1980: 34), mengidentifikasi ada dua hal yang
sangat menentukan keberhasilan dari implementasi, yaitu isi
kebijaksanaan dan konteks dan implementasi itu sendiri. Secara
terperinci, Grindle mendefinisikan sebagai berikut.
Con telvs Policy
Interest affected (kepentingan siapa saja yang terlibat)
Type of benefits (macam-macam manfaat)
Extent of change envisioned (sejauh mana perubahan akan
terujud)
Site of decision making (tempat pembuatan keputusan)
Program Imflementors (siapa yang menjadi implementor agensi)
Resouces commited (sumber daya yang disediakan)
Context of Implementation
Poweij interests, and strategy of actors involved (kekuasaan,
kepentingari, dan strategi para aktor yang terlibat)
Instutions and regime characteristics (karakteristik Iembaga dan
rezim)
Compliance and responsiveness (sesuai dengan kaidah dan
tingkat responsif)
Dapat dinyatakan bahwa keberhasilan implementasi sebuah
kebijakan ditentukan oleh banyak hal terutama oleh kepentingan-
kepentingan yang terlibat di dalamnya. Dapat pula diasumsikan, suatu
kebijakan yang sederhana tentu tidak melibatkan banyak orang dan
kelompok masyarakat di dalamnya, sehingga pada akhirnya tidak
membawa perubahan besar. Sebaiknya, semakin melihatkan banyak
kepentingan, maka keterlihatan seseorang atau suatu kelompok dalam
implementasi kebijakan tersebut akan bergantung pada apakah
kepentingannya terlindungi atau bahkan orang atau kelompok tersebut
akan memperoleh manfaat yang tinggi atau tidak. Kalau kepentingannya
terlindungi, selanjutnya akan ada usaha untuk terlibat dalam implementasi
karena bagaimanapun juga manfaat pasti akan sampai kepada yang
bersangkutan. Apabila kepentingan terganggu atau merugikan, maka
dengan sendirinya yang bersangkutan akan mempertimbangkan manfaat
keterlibatannya, bahkan bila mungkin, akan menghalangi implementasi
sebuah kebijakan. Maka dari itu, para pelaksana kebijakan harus
memusatkan perhatian pada problematika bagaimana mencapai
konsestensi tujuan-tujuan kebijakan yang ditetapkan. Untuk mencapai
tujuan itu, harus berusaha mendapatkan dukungan dan para pihak-pihak
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 82
yang diharapkan mendapat manfaat dan program tersebut.
Dalam implementasi kebijakan, tidak terlepas dan sistem sebuah
kebijakan, apakah kebijakan berlangsung dengan sempurna atau tidak.
Kebijakan yang dilaksanakan melalui suatu sistem dan dianalisis dengan
sistem yang ada akan menghasilkan kebijakan yang baik yang sesuai
dengan harapan-harapan pembuat kebijakan.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 83
jasa dimaksud dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks pelaksanaannya
secara nyata di lapangan. Outcome yang diharapkan setelah output
dikonsumsi oleh masyarakat adalah dampaknya terhadap setiap individu
yang diperintah dan kelompok masyarakat penerima layanan publik dan
layanan sipil dan pemerintah serta tingkat penerimaan masyarakat
terhadap dampak yang ditimbulkan itu.
Cheema & Rondinelli (1983:28) mengemukakan bahwa ada empat
(4) faktor yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah, yakni: environmental conditions, inter-
organizational relationships, available resources dan characteristic of
implementing agencies. Signifikasi hubungan pengaruh antara variabel
yang satu dengan variabel yang lain sangat bervariasi dalam situasi yang
satu dengan yang lain.
Dalam variabel pertama, yaitu environmental conditions tercakup
berbagai faktor, seperti struktur politik nasional, proses perumusan
kebijakan, infrastruktur politik dan suprastruktur politik di tingkat lokal,
sosial budaya dan berbagai organisasi kepentingan, serta tersedianya
sarana dan prasarana fisik. Suatu kebijakan pada hakikatnya timbul dan
suatu kondisi sosial ekonomi dan politik yang khusus dan kompleks. Hal
ini akan mewarnai bukan hanya substansi kebijakan itu sendiri melainkan
juga pola hubungan inter-organisasi dan karakteristik badan pelaksana di
lapangan serta potensi sumber daya baik potensi maupun macamnya.
Struktur politik nasional, ideologi, dan proses perumusan kebijakan ikut
mempengaruhi tingkat dan arah pelaksanaan otonomi daerah. Di samping
itu, karakteristik struktur lokal, kelompok sosial budaya yang terlibat dalam
proses perumusan kebijakan dan tingkat organisasi kepentingan serta
kondisi infra dan supra struktur juga memainkan peran penting dalam
otonomi daerah.
Mengenai hubungan dengan variabel kedua, yakni inter-
organizational relationship mengatakan bahwa keberhasilan implementasi
kebijakan otonomi daerah memerlukan interaksi dari dan koordinasi
dengan sejumlah organisasi pada setiap tingkat pemerintah dari lokal
sampai nasional serta kerja sama dengan lembaga nonpemerintah (NGO)
di kalangan kelompok kepentingan.
Variabel ketiga, resourcesfor program implementation; kondisi
lingkungan yang kondusif, dapat membedakan diskresi yang lebih luas
kepada pemerintah daerah dan hubungan inter organisasi yang efektif
sangat diperlukan bagi terlaksananya otonomi daerah. Sampai sejauh
mana pemerintah lokal memiliki keleluasaan untuk merencanakan dan
menggunakan uang, mengalokasi anggaran untuk membiayai keperluan
urusan rumah tangganya sendiri, ketepatan waktu dalam mengalokasikan
anggaran kepada badan pelaksana, kewenangan untuk memungut
sumber keuangan dan kewenangan untuk membelanjakannya pada
tingkat lokal juga mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 84
Variabel keempat, yaitu characteristic of implementing agencies,
diutamakan kepada kemampuan para pelaksana di bidang keterampilan
teknik, manajerial dan politik, kemampuan merencanakan,
mengkoordinasikan, mengendalikan dan mengintegrasikan setiap
keputusan, baik yang berasal dan sub-sub unit organisasi, maupun
dukungan yang datang dari lembaga politik nasional dan pejabat
pemerintah pusat lainnya. Hakikat dan kualitas komunikasi internal,
hubungan antara dinas pelaksanaan dengan masyarakat, dan keterkaitan
secara efektif dengan swasta dan lembaga swadaya masyarakat
memegang peranan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah. Hal
yang juga sama pentingnya adalah kepemimpinan. yang berkualitas,
komitmen staf terhadap tujuan kebijakan, dan sering juga disebut-sebut
niveleering organisasi pelaksanaan dalam susunan hierarkhi birokrasi.
Sosiologi Pemerintahan, Rangkuman sebagai bahan ajar Mulyono bahan ajar 2011 85