Anda di halaman 1dari 6

TUGAS INDIVIDU

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

OLEH :

NAMA : ANJANI ONI


KELAS : A
NIM : 2021 0006

DOSEN PEMBIMBING
DR. WANDY PRATAMA PUTRA SISMAN, SH.,M.Kn

AKADEMI KEBIDANAN MENARA BUNDA


TAHUN PELAJARAN 2021/2022
“Masalah-Masalah Demokrasi Di Indonesia”

Apakah demokrasi itu? Apakah negara ini sudah demokrasi? Sengaja pertanyaan
ini kami munculkan karena teman-teman mungkin sudah mengerti dengan
pertanyaan yang kami ajukan tersebut di atas. Karena kami punya pandangan
produk dan atribut yang berkaitan dengan demokrasi itu merupakan produk luar
negeri. Sedangkan negara kita sendiri tidak memiliki kejelasan yang tepat tentang
demokrasi itu sendiri. Lalu kalau kita melihat bentuk demokrasi dalam struktur
pemerintahan kita dari level negara, provinsi, kabupaten, hingga kecamatan
hampir dapat dipastikan di level ini hanya proses pembuatan kebijakan sementara
kalau kita mencari demokrasi yang berupa ciri khas yang dapat mewakili bahwa
negara kita mempunyai diri demokrasi tersendiri itu dapat dilihat di level desa.
Bagaimana seperti ditulis almarhum Moh. Hatta bahwa,”Di desa-desa sistem yang
demokrasi masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian adat istiadat yang hakiki.”
Dasarnya adalah pemilikan tanah yang komunal yaitu setiap orang yang merasa
bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama.

Struktur demokrasi yang hidup dalam diri bangsa Indonesia harus


berdasarkan demokrasi asli yang berlaku di desa. Gambaran dari tulisan almarhum
ini tidak lain dari pola-pola demokrasi tradisional yang dilambangkan oleh
musyawarah dalam pencapaian keputusan dan gotong royong dalam pelaksanaan
keputusannya tersebut. (Prijono Tjiptoherijanto dan Yomiko M. Prijono, 1983 hal
17-19). Dari gambaran di atas, kami rasa hal ini pula yang menginspirasi
demokrasi pancasila yang selalu menjadi Kiblat negara kita dalam menapaki
kehidupan berbangsa dan bernegara masih perlu ditelaah atau dikaji secara lebih
dalam lagi. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang dihayati oleh bangsa dan
negara Indonesia yang dijiwai dan diintegrasikan oleh nilai-nilai luhur Pancasila
yang tidak mungkin terlepas dari rasa kekeluargaan. Akan tetapi yang menjadi
pandangan kita sekarang.

Mengapa negara ini seperti mengalami sebuah kesulitan besar dalam


melahirkan demokrasi. Banyak para ahli berpendapat bahwa demokrasi pancasila
itu merupakan salah satu demokrasi yang mampu menjawab tantangan jaman
karena semua kehidupan berkaitan erat dengan nilai luhur Pancasila. Dalam hal
ini kita ambil saja salah satu ahli Nasional Prof. Dardji Darmodihardjo, S.H.
beliau mempunyai Pandangan bahwa demokrasi Pancasila adalah paham
demokrasi yang bersumber kepada kepribadian dan falsafah hidup bangsa
Indonesia yang terwujudnya seperti dalam ketentuan-ketentuan pembukaan UUD
1945. lain hal lagi dengan Prof. dr. Drs. Notonegoro,S.H. mengatakan demokrasi
pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berke-Tuhan-nan
Yang Maha Esa, yang Berkepribadian Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang
mempersatukan Indonesia dan yang berkedaulatan seluruh rakyat.
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya
memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup
mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara
langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan
pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya
yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Kata ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία (dēmokratía) "kekuasaan rakyat",
yang terbentuk dari δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (kratos) "kekuatan" atau
"kekuasaan" pada abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota
Yunani, salah satunya Athena; kata ini merupakan antonim dari ἀριστοκρατία
(aristocratie) "kekuasaan elit".

Secara teoretis, kedua definisi tersebut saling bertentangan, namun


kenyataannya sudah tidak jelas lagi.Sistem politik Athena Klasik, misalnya,
memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elit yang bebas dan tidak
menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi politik. Di semua pemerintahan
demokrasi sepanjang sejarah kuno dan modern, kewarganegaraan demokratis
tetap ditempati kaum elit sampai semua penduduk dewasa di sebagian besar
negara demokrasi modern benar-benar bebas setelah perjuangan gerakan hak
suara pada abad ke-19 dan 20.

Kata demokrasi (democracy) sendiri sudah ada sejak abad ke-16 dan
berasal dari bahasa Perancis Pertengahan dan Latin Pertengahan lama. Suatu
pemerintahan demokratis berbeda dengan bentuk pemerintahan yang
kekuasaannya dipegang satu orang, seperti monarki, atau sekelompok kecil,
seperti oligarki. Apapun itu, perbedaan-perbedaan yang berasal dari filosofi
Yunani inisekarang tampak ambigu karena beberapa pemerintahan kontemporer
mencampur aduk elemen-elemen demokrasi, oligarki, dan monarki. Karl Popper
mendefinisikan demokrasi sebagai sesuatu yang berbeda dengan kediktatoran atau
tirani, sehingga berfokus pada kesempatan bagi rakyat untuk mengendalikan para
pemimpinnya dan menggulingkan mereka tanpa perlu melakukan revolusi.

Indonesia masih berada pada transisi jalan di tempat yang berlarut-larut, bahkan di
beberapa tempat mengalami kemunduran yang membuat kita masih jauh dari
harapan demokrasi terkonsolidasi.

Demokrasi Indonesia belum terkonsolidasi yang ciri-cirinya: 1) demokrasi bisa


berjalan dan berproses dalam masa waktu yang lama; 2) ada penegakan hukum
berjalan baik; 3) pengadilan yang independen; 4) pemilu yang adil dan kompetitif;
5) civil society yang kuat; 6). terpenuhinya hak-hak sipi, ekonomi, dan budaya
warga negara.
Masalah Krusial

asalah demokrasi Indonesia yang terlihat krusial adalah absennya masyarakat sipil
yang kritis kepada kekuasaan, buruknya kaderisasi partai politik, hilangnya
oposisi, pemilu biaya tinggi karena masifnya politik uang dalam pemilu, kabar
bohong dan berita palsu, rendahnya keadaban politik warga, masalah pelanggaran
hak asasi manusia di masa lalu yang belum tuntas hingga kini, kebebasan media
dan kebebasan berkumpul, dan berserikat, serta masalah masalah intoleransi
terhadap kelompok minoritas.

Kita mengalami situasi krisis suara kritis kepada kekuasaan karena hampir semua
elemen masyarakat sipil dari mulai LSM, kampus, media dan mahasiswa telah
merapat dengan kekuasaan atau sekurang-kurangnya memilih untuk diam demi
menghindari "stigma" berpihak kepada kelompok intoleran yang anti-Pancasila
dan anti-demokrasi.

Sedikit-banyak ini disebabkan oleh polarisasi politik yang tajam yang membelah
Indonesia menjadi dua kubu, yang membuat setiap suara mengkritik pemerintah
segera dikelompokkan ke kubu anti-pemerintah. Padahal absennya suara kritis
adalah kehilangan besar untuk demokrasi yang membutuhkan kekuatan yang sehat
untuk mengontrol kekuasaan.

Kampus perlu mendapat catatan secara khusus karena baru kali ini sejak era
Reformasi kampus begitu berlomba-lomba merapat kepada kekuasaan, terlihat
dari maraknya praktik kooptasi ikatan alumni dengan orang-orang di lingkaran
istana yang jadi ketuanya, pemberian gelar doctor honoris causa kepada elite
politik yang tidak didasarkan kepada kontribusi nyatanya kepada masyarakat dan
ilmu pengetahuan melainkan lebih karena pertimbangan politik, absennya gerakan
mahasiswa yang membawa gagasan bernas dan berani bersuara kritis kepada
kekuasaan, dan kekuasaan sangat besar yang dimiliki pemerintah untuk
menentukan rektor terpilih melalui kementerian dikti.

Pengawasan atau surveilance atas aktivitas dosen baik di media sosial ataupun di
dunia nyata merupakan gejala penghalang kebebasan akademik lainnya yang
semakin melemahkan suara kritis dari kampus.

Lemahnya Parpol

Persoalan demokrasi terbesar kita saat ini ada pada lemahnya partai politik. Bukti
persoalan partai politik bermula dari rekrutmen kader sebagian besar tidak serius
dan asal-asalan. Tokoh masyarakat yang berkualitas, dosen, peneliti semakin
sedikit yang terlibat di eksekutif maupun legislatif. Dua dekade setelah Reformasi,
partai belum mulai menunjukkan ikhtiar yang serius dalam melakukan rekrutmen
dan kaderisasi partai politik hanya dilakukan pada masa menjelang pemilu.
Di sisi lain, pemilu dalam sistem proporsional terbuka tidak memperkuat
pelembagaan partai politik karena kader yang loyal terhadap partai bisa
dikalahkan oleh kader pendatang baru yang memenangkan kompetisi karena
mampu mempraktikkan politik uang dengan lebih masif. Akhirnya sistem politik
nasional diisi oleh kader-kader instan.

Pemilu biaya tinggi karena masifnya praktik politik uang merupakan catatan
lainnya. Ed Aspinall dan Ward Berenchot (2019) mencatat bahwa dari masa ke
masa, pemilu di era Reformasi semakin mahal dari mulai level lokal sampai
nasional dengan Pemilu 2019 sebagai pemilu termahal. Biaya pemilu yang tinggi
ini berdampak pada maraknya praktik korupsi di berbagai level lembaga negara
karena para calon terpilih baik di legislatif berkepentingan mengembalikan modal
yang telah mereka keluarkan.

Media Sosial

Lemahnya internalisasi keadaban sipil (civic virtue) di antara warga negara


sebagaimana tampak dalam perseteruan yang tajam, dangkal, dan kurang beradab
antara netizen di media sosial merupakan catatan penting lainnya. Warga negara
perlu belajar untuk berbeda pendapat atau pilihan politik sambil tetap berteman,
bersahabat, dan bersaudara sebagai sesama anak bangsa.

Maraknya ujaran kebencian, intoleransi, dan diskriminasi terhadap minoritas


agama dan suku merupakan gejala yang mengkhawatirkan. Perbedaan pilihan
politik atau keyakinan tidak boleh menggerus modal sosial kita berupa rasa saling
percaya, toleransi, saling tolong menolong, dan saling menghargai perbedaan.

Ancaman kebebasan media dan berekspresi seperti pemberangusan buku,


pencekalan diskusi buku dan film, ancaman pidana untuk ilmuwan dari luar yang
melakukan penelitian di Indonesia merupakan masalah lainnya. Penggunaan UU
ITE untuk mempidanakan warga atau jurnalis merupakan ancaman lainnya untuk
kebebasan berekspresi.

Kemunduran

Setelah 4 tahun pemerintahan berjalan, kritik dari pada analis dalam negeri
maupun luar negeri mulai muncul. Ed Aspinal (2018), Tom Powel dan Eve
Warburton (2018 dan 2019) menganalisis perkembangan demokrasi di Indonesia
dan berargumen bahwa terjadi kemandekan dan bahkan kemunduran demokrasi di
mana Presiden Jokowi mulai melakukan praktik non demokratis seperti
membubarkan ormas tanpa proses hukum, meningkatnya intoleransi, semakin
kuatnya polarisasi politik, masifnya kabar bohong dan pelanggaran hak asasi
manusia.
Perlu partisipasi semua pihak baik intelektual, aktivis CSO's, jurnalis, dan partai
politik untuk menyadari situasi kemandekan bahkan kemunduran demokrasi di
Indonesia untuk bersama-sama berjuang menyelamatkan demokrasi di Indonesia.
Rendahnya dialog dan sinergi di antara berbagai elemen itu adalah masalah
demokrasi kita hari ini.

Dengan demikian telah kita lihat bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dari
waktu ke waktu. Namun kita harus mengetahui bahwa pengertian Demokrasi
Pancasila adalah demokrasi yang dihayati oleh bangsa dan negara Indonesia yang
dijiwai dan diintegrasikan oleh nilai-nilai luhur Pancasila. Adapun aspek dari
Demokrasi Pancasila antara lain di bidang aspek Aspek Material (Segi
Isi/Subsrtansi), Aspek Formal, Aspek Normatif, Aspek Optatif, Aspek Organisasi,
Aspek Kejiwaan. Namun hal tersebut juga harus didasari dengan prinsip pancasila
dan dengan tujuan nilai yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, kita dapat
merasakan demokrasi dalam istilah yang sebenarnya.

Anda mungkin juga menyukai