OLEH :
MAWAR
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1.3.1 Untuk mengetahui proses pengalihan Kepala Pemerintahan dari Soeharto ke B.J. Habibie.
1.3.2 Untuk mengetahui kebijakan-kebijakan pada masa pemerintahan B.J. Habibie di Era
Reformasi.
1.3.3 Untuk mengetahui keadaan sosial di masa Habibie.
1.3.4 Untuk mengetahui berakhirnya masa pemerintahan B.J. Habibie.
BAB II
PEMBAHASAN
B. Kebebasan Pers
Dalam hal ini, pemerintah memberikan kebebasan bagi pers di dalam pemberitaannya,
sehingga semasa pemerintahan Habibie ini, banyak sekali bermunculan media massa. Demikian
pula kebebasan pers ini dilengkapi pula oleh kebebasan berasosiasi organisasi pers sehingga
organisasi alternatif seperti AJI (Asosiasi Jurnalis Independen) dapat melakukan kegiatannya.
Sejauh ini tidak ada pembredelan-pembredelan terhadap media tidak seperti pada masa Orde
Baru. Pers Indonesia dalam era pasca-Soeharto memang memperoleh kebebasan yang amat
lebar, pemberitaan yang menyangkut sisi positif dan negatif kebijakan pemerintah sudah tidak
lagi hal yang dianggap tabu, yang seringkali sulit ditemukan batasannya. Bahkan seorang
pengamat Indonesia dari Ohio State University, William Liddle mengaku sempat shock
menyaksikan isi berita televisi baik swasta maupun pemerintah dan membaca isi koran di
Jakarta, yang kesemuanya seolah-olah menampilkan kebebasan dalam penyampaian berita,
dimana hal seperti ini tidak pernah dijumpai sebelumnya pada saat kekuasaan Orde Baru. Cara
Habibie memberikan kebebasan pada Pers adalah dengan mencabut SIUPP.
C. Pembentukan Parpol dan Percepatan pemilu dari tahun 2003 ke tahun 1999
Presiden RI ketiga ini melakukan perubahan dibidang politik lainnya diantaranya
mengeluarkan UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang
Pemilu, UU No. 4 Tahun 1999 tentang MPR dan DPR.
Itulah sebabnya setahun setelah reformasi Pemilihan Umum dilaksanakan bahkan
menjelang Pemilu 1999, Partai Politik yang terdaftar mencapai 141 dan setelah diverifikasi oleh
Tim 11 Komisi Pemilihan Umum menjadi sebanyak 98 partai, namun yang memenuhi syarat
mengikuti Pemilu hanya 48 Parpol saja. Selanjutnya tanggal 7 Juni 1999, diselenggarakan
Pemilihan Umum Multipartai. Dalam pemilihan ini, yang hasilnya disahkan pada tanggal 3
Agustus 1999, 10 Partai Politik terbesar pemenang Pemilu di DPR, adalah :
1. Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) pimpinan Megawati Soekarno Putri meraih 153
kursi.
2. Partai Golkar pimpinan Akbar Tanjung meraih 120 kursi.
3. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pimpinan Hamzah Haz meraih 58 kursi.
4. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pimpinan H. Matori Abdul Djalil meraih 51 kursi.
5. Partai Amanat Nasional (PAN) pimpinan Amein Rais meraih 34 kursi.
6. Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra meraih 13 kursi.
7. Partai Keadilan (PK) pimpinan Nurmahmudi Ismail meraih 7 kursi.
8. Partai Damai Kasih Bangsa (PDKB) pimpinan Manase Malo meraih 5 kursi.
9. Partai Nahdlatur Ummat pimpinan Sjukron Ma’mun meraih 5 kursi .
10. Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) pimpinan Jendral (Purn) Edi Sudradjat meraih 4 kursi.
D. Penyelesaian Masalah Timor Timur
Sejak terjadinya insident Santa Cruz, dunia Internasional memberikan tekanan berat
kepada Indonesia dalam masalah hak asasi manusia di Tim-Tim. Bagi Habibie Timor-Timur
adalah kerikil dalam sepatu yang merepotkan pemerintahannya, sehingga Habibie mengambil
sikap pro aktif dengan menawarkan dua pilihan bagi penyelesaian Timor-Timur yaitu di satu
pihak memberikan setatus khusus dengan otonomi luas dan dilain pihak memisahkan diri dari
RI. Otonomi luas berarti diberikan kewenangan atas berbagai bidang seperti : politik ekonomi
budaya dan lain-lain kecuali dalam hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan serta
moneter dan fiskal. Sedangkan memisahkan diri berarti secara demokratis dan konstitusional
serta secara terhorman dan damai lepas dari NKRI.
Sebulan menjabat sebagai Presiden habibie telah membebaskan tahanan politik Timor-
Timur, seperti Xanana Gusmao dan Ramos Horta.
Sementara itu di Dili pada tanggal 21 April 1999, kelompok pro kemerdekaan dan pro
intergrasi menandatangani kesepakatan damai yang disaksikan oleh Panglima TNI Wiranto,
Wakil Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto dan Uskup Baucau Mgr. Basilio do Nascimento.
Tanggal 5 Mei 1999 di New York Menlu Ali Alatas dan Menlu Portugal Jaime Gama disaksikan
oleh Sekjen PBB Kofi Annan menandatangani kesepakan melaksanakan penentuan pendapat di
Timor-Timur untuk mengetahui sikap rakyat Timor-Timur dalam memilih kedua opsi di atas.
Tanggal 30 Agustus 1999 pelaksanaan penentuan pendapat di Timor-Timur berlangsung aman.
Namun keesokan harinya suasana tidak menentu, kerusuhan dimana-mana. Suasana semakin
bertambah buruk setelah hasil penentuan pendapat diumumkan pada tanggal 4 September 1999
yang menyebutkan bahwa sekitar 78,5 % rakyat Timor-Timur memilih merdeka. Pada awalnya
Presiden Habibie berkeyakinan bahwa rakyat Timor-Timur lebih memilih opsi pertama, namun
kenyataannya keyakinan itu salah, dimana sejarah mencatat bahwa sebagian besar rakyat Timor-
Timur memilih lepas dari NKRI. Lepasnya Timor-Timur dari NKRI berdampak pada daerah lain
yang juga ingin melepaskan diri dari NKRI seperti tuntutan dari GAM di Aceh dan OPM di Irian
Jaya, selain itu Pemerintah RI harus menanggung gelombang pengungsi Timor-Timur yang pro
Indonesia di daerah perbatasan yaitu di Atambua. Masalah Timor-Timur tidaklah sesederhana
seperti yang diperkirakan Habibie karena adanya bentrokan senjata antara kelompok pro dan
kontra kemerdekaan di mana kelompok kontra ini masuk ke dalam kelompok militan yang
melakukan teror pembunuhan dan pembakaran pada warga sipil. Tiga pastor yang tewas adalah
pastor Hilario, Fransisco, dan dewanto. Situasi yang tidak aman di Tim-Tim memaksa ribuan
penduduk mengungsi ke Timor Barat, ketidak mampuan Indonesia mencegah teror, menciptakan
keamanan mendorong Indonesia harus menerima pasukan internasional.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Tanggal 21 Mei 1998 di Istana Merdeka Jakarta, Presiden Soeharto menyatakan dirinya
berhenti dari jabatan Presiden RI, lewat pidatonya dihadapan wartawan dalam dan luar negeri.
Usai Presiden Soeharto mengucapkan pidatonya, Wapres B.J. Habibie langsung diangkat
sumpahnya menjadi Presiden RI Ketiga dihadapan Pimpinan Mahkamah Agung, yang
disaksikan oleh Ketua DPR dan Wakil-Wakil Ketua DPR. Teriakan-teriakan kemenangan atas
peristiwa bersejarah itu disambut dengan haru-biru para mahasiswa di Gedung DPR/MPR.
Naiknya B.J. Habibie menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI ketiga mengundang
perdebatan hukum dan kontroversial, karena Mantan Presiden Soeharto menyerahkan secara
sepihak kekuasaan kepada Habibie. Meskipun demikian pada tanggal 22 Mei 1998 pukul 10.30
WIB, kesempatan pertama Habibie untuk meningkatkan legitimasinya yaitu dengan
mengumumkan susunan kabinet baru yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan
(berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 122 / M Tahun 1998) di Istana
Merdeka. Dengan Keputusan Presiden tersebut di atas, Presiden Habibie memberhentikan
dengan hormat para Menteri Negara pada Kabinet Pembangunan VII. Habibie memimpin
Indonesia dengan sedikit kepercayaan, ia memimpin Indonesia dalam keadaan jatuh.
Ada berbagai langkah-langkah kebijakan yang dilaksanakan pada masa pemerintahan
Presiden B.J. Habibie setelah terbentuknya Kabinet Reformasi Pembangunan, antara lain:
kebijakan di bidang politik, kebijakan pada bidang ekonomi, dan kebijakan pada bidang
Manajemen Internal ABRI.
Di tengah-tengah upaya pemerintahan Habibie memenuhi tuntutan reformasi, pemerintah
Habibie dituduh melakukan tindakan yang bertentangan dengan kesepakatan MPR mengenai
masalah Timor-Timur.
Pada tanggal 14 Oktober 1999 Presiden Habibie menyampaikan pidato
pertanggungjawabannya di depan Sidang Umum MPR namun terjadi penolakan terhadap
pertanggungjawaban presiden karena Pemerintahan Habibie dianggap sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari Rezim Orba. Kemudian pada tanggal 20 Oktober 1999, Ketua MPR Amien Rais
menutup Rapat Paripurna sambil mengatakan, ”dengan demikian pertanggungjawaban Presiden
B.J. Habibie ditolak”. Pada hari yang sama Presiden habibie mengatakan bahwa dirinya
mengundurkan diri dari pencalonan presiden.
3.2. Saran
Sebaiknya kita sebagai generasi muda janganlah cepat mengambil tindakan yang dapat
merugikan semua kalangan seperti tawuran atau demo karena semua yang kita lakukan haruslah
berdasarkan akal sehat sehingga apa kita perbuat tidak sampai memakan korban jiwa. Dan bagi
pemerintah atau aparat janganlah cepat-cepat mengambil tindakan seperti mengeluarkan senjata
(pistol) apabila masyarakat atau mahasiswa yang melakukan demo. Sebaiknya ajaklah mereka
berunding dan mencari jalan keluar yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Dari Buku
Ricklefs, M.C.2005. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi.
Simanjuntak.S.H. 2003.Kabinet-Kabinet Republik Indonesia. Jakatra: PT Ikrar Mandiri Abadi
Setyohadi.tuk. 2004. Perjalan Bangsa Indonesia Dari Masa ke Masa. Bogor: Rajawali
Corpuration.
Jasmi, Khairul. 2002. Eurico Guterres: Melintas Badai Politik Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
Kencana Syafiie, Inu, Azhari. 2005. Sistem Politik Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama
Soemardjan, Selo. 1999. Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Dari Internet