Anda di halaman 1dari 24

SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI AGAMA

1. Sejarah Munculnya Ilmu Sosiologi Agama

Kelahiran sosiologi, lazimnya dihubungkan dengan seorang ilmuwan


Perancis bernama Auguste Comte (1798-1857), yang dengan kreatif telah
menyusun sintesa berbagai macam aliran pemikiran, kemudian
mengusulkan untuk mendirikan ilmu tentang masyarakat dengan dasar
filsafat empiris yang kuat. Ilmu tentang masyarakat itu pada awalnya oleh
Auguste Comte diberi nama Social Physics (fisika sosial), kemudian
dirubahnya sendiri dengan Sociology karena istilah fisika sosial tersebut
dalam waktu yang bersamaan digunakan oleh seorang ahli statistik sosial
Belgia bernama Adophe Quetelet.[1]

Banyaknya ahli sepakat bahwa banyak faktor yang melatar belakangi


kelahiran sosiologi adalah karena adanya krisis-krisis yang terjadi di dalam
masyarakat. Misalnya, Laeyendecker mengaitkan kelahiran sosiologi
dengan serangkaian perubahan dan krisis yang terjadi di Eropa Barat.
Proses perubahan dan krisis yang diidentifikasi Laeyendecker adalah
tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15, perubahan-perubahan di
bidang sosial-politik, perubahan berkenaan dengan reformasi Martin
Luther, meningkatnya individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan modern,
berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri, dan revolusi industri pada
abad ke-18, serta terjadinya Revolusi Perancis. Sosiologi acapkali disebut
sebagai ilmu keranjang sampah (dengan nada memuji), karena
membahas ikhwal atau masalah yang lebih banyak terfokus pada problem
kemasyarakatan yang timbul akibat krisis-krisis sosial yang terjadi.[2]
Ada pendapat lain, mengapa pengetahuan sosial tidak bisa digolongkan
sebagai ilmu. Leonardus Laeyendecker menyebut ada tiga keterbatasan
dari pengetahuan sosial, yakni (1) karena pengetahuan sosial diperoleh
orang dari lingkungan yang relatif terbatas, (2) karena pengetahuan sosial
diperoleh secara selektif menurut emosi-emosi dan karakteristik pribadi
masing-masing orang, sehingga besar kemungkinan atau sekurang-
kurangnya bukan tidak mungkin muncul bias; (3) karena pengetahuan
sosial acapkali diperoleh secara tidak sengaja, main-main, dan karenanya
kurang dipikirkan secara mendalam dan tidak selalu ditinjau secara kritis.
[3]

Sejak awal kelahirannya, sosiologi banyak dipengaruhi oleh filsafat sosial.


Tetapi, berbeda dengan filsafat sosial yang banyak dipengaruhi ilmu alam
dan memandang masyarakat sebagai mekanisme yang dikuasai hukum-
hukum mekanis, sosiologi lebih menempatkan warga masyarakat sebagai
individu yang relatif bebas. Para filsuf sosial, seperti Plato dan Aristoteles,
umumnya berkeyakinan bahwa seluruh tertib dan keteraturan dunia dan
masyarakat langsung berasal dari suatu tertib dan keraturan yang
adimanusiawi, abadi, tidak terubahkan, dan anhistoris. Sementara
sosiologi justru mempertanyakan keyakinan lama dari para filsuf itu, dan
sebagai gantinya muncullah keyakinan baru yang dipandang lebih
mencerminkan realitas sosial yang sebenarnya. Para ahli sosiologi telah
menyadari bahwa bentuk kehidupan bersama, adalah ciptaan manusia itu
sendiri. Bentuk-bentuk masyarakat, gejala pelapisan sosial, dan pola-pola
interaksi yang berbeda, sekarang lebih dilihat sebagai hasil inisiatif atau
hasil kesepakatan manusia itu sendiri.[4]

Sosiologi mulai memperoleh bentuk dan diakui eksistensinya sekitas abad


ke-19, tidaklah berarti bahwa baru pada waktu itu orang memperoleh
tentang bagaimana masyarakat dan interaksi sosial. Jauh sebelum
Auguste Comte memproklamirkan kehadiran sosiologi, orang-orang telah
memiliki pengetahuan tentang kehidupannya yang diperoleh dari
pengalamannya. Namun, karena belum dirumuskan dengan metode yang
mantap, pengetahuan mereka disebut pengetahuan sosial, bukan
pengetahuan ilmiah.[5]

Kemudian Auguste Comte menulis buku-buku tentang berbagai


pendekatan umum untuk mempelajari masyarakat. Dia berpendapat
bahwa ilmu pengetahuan mempunyai urutan tertentu berdasarkan logika
dan setiap penelitian dilakukan melalui tahap-tahap tertentu untuk
mencapai tahap akhir, tahap ilmiah. Nama yang diberikan tatkala itu pada
ilmu yang baru tersebut pada tahun 1839 adalah Sosiology yang
berasal dari bahasa Latin socius yang berarti kawan dan bahasa Yunani
logos yang berarti kata atau berbicara. Jadi Sosiologi berarti
berbicara mengenai masyarakat.[6]

Pada tahun 1842, lahirlah Sosiologi tatkala Auguste Comte menerbitkan


jilid terakhir dari bukunya yang berjudul The Course of Positive
Phylosophy. Buku tersebut ditulis dan diterbitkan antara tahun 1830-
1842, yang merupakan karya utamaya dan mencerminkan suatu
komitmen yang kuat terhadap metode ilmiah. Sosiologi sebagai suatu
disiplin akademis yang mandiri, telah berusia kurang dari 200 tahun.
Sekitar 400 tahun sebelum Auguste Comte mengembangkan perspektif
sosiologisnya di Perancis,

Ibn Khaldun telah merumuskan tentang model suku bangsa nomaden


yang keras dan masyarakat yang halus bertipe menetap dalam suatu
hubungan yang kontras. Model Khaldun mengenai tipe-tipe sosial dan
perubahan sosial diwarnai oleh warisan khusus dari pengalaman dunia
gurun pasir di Arab. Tujuannya tidak hanya untuk memberikan suatu
deskripsi historis mengenai masyarakat Arab, namun untuk
mengembangkan prinsip-prinsip umum atau hukum-hukum yang
mengatur dinamika-dinamika masyarakat dan proses-proses perubahan
sosial secara keseluruhan.[7] Kemudian Herbert Spencer mengembangkan
pula suatu sistematika penelitian masyarakat dalam bukunya yang
berjudul Principles of Sosiology sehingga kurang lebih setengah abad
kemudian sosiologi menjadi berkembang pesat dan populer di Perancis,
jerman dan Amerika Serikat.[8]

Sedangkan embrio minat mempelajari fenomena agama dalam


masyarakat mulai tumbuh sekitar pertengahan abad ke-19 oleh sejumlah
sarjana Barat terkenal seperti Edward B. Tylor (1832-1917), Herbert
Spencer (1820-1903), Frederich H. Muller (1823-1917), James G. Fraser
(1854-1941). Tokoh-tokoh ini lebih tertarik pada agama-agama primitif,
namun kajian ilmiah tentang agama relatif mulai sekitar tahun 1900.
Sejak saat itu hingga menjelang munculnya buku-buku sosiologi agama,
disebut juga Sosiologi Agama Klasik. Periode klasik ini terutama dikuasai
oleh dua sosiolog yang terkenal, yaitu Emile Durkheim dari Perancis
(1858-1917) dengan karyanya The Elementery Form of Religious Life dan
Max Weber dari Jerman (1864-1920) dengan karya monumentalnya The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism dan Ancient Judaism. Dua
sarjana ini lazim disebut sebagai pendiri Sosiologi Agama.

Di kemudian hari, tulisan-tulisan mereka digolongkan oleh para ahli


sosiologi ke dalam bagian sosiologi umum. Berdasarkan data-data
etnologi yang diperoleh dari bangsa-bangsa di luar Eropa, Durkheim
menulis buku yang menarik tentang bentu-bentuk elementer kehidupan
religius, sedangkan Weber juga tidak kalah menariknya dengan menulis
tentang agama di India dan Cina, karena dari kedua sosiolog tersebut
muncul berbagai gagasan penting yang dapat digunakan sebagai prinsip
dasar dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial.[9]
Menurut Dr. H. Goddijn/ Dr. W. Goddijn, sosiologi agama ialah bagian dari
sosiologi umum (versi barat) yang mempelajari suatu ilmu budaya
empiris, profan, dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum,
yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan kelompok
keagamaan dan gejala-gejala kekelompokan keagamaaan.[10]

Secara singkat, sosiologi agama ialah suatu cabang sosiologi umum yang
mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai
keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat
agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.

2. Sejarah Perkembangan Sosiologi Agama di Eropa

Sosiologi termasuk ilmu yang paling muda dari ilmu-ilmu sosial yang
dikenal. Seperti ilmu yang lain, perkembangan sosiologi dibentuk oleh
setting sosialnya dan sekaligus menjadikannya sebagai basis masalah
pokok yang dikaji. Awal mula perkembangan sosiologi bisa dilacak pada
saat terjadinya Revolusi Perancis, dan revolusi industri yang terjadi
sepanjang abad ke-19 yang menimbulkan kekhawatiran, kecemasan dan
sekigus perhatian dari para pemikir di waktu itu tentang dampak yang
ditimbulkan dari perubahan dahsyat di bidang politik dan ekonomi
kapitalistik di masa itu.[11]

Menurut Berger, sosiologi berkembang menjadi ilmu yang berdiri sendiri


karena adanya ancaman terhadap tatanan sosial yang selama ini
dianggap sudah seharusnya demikian nyata dan benar (threats to the
taken for granted world). L. Langendecker mengidentifikasi ancaman
tersebut meliputi:
a. Terjadinya dua revolusi, yakni revolusi industri dan revolusi Prancis.

b. Tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15.

c. Perubahan di bidang sosial dan politik.

d. Perubahan yang terjadi akibat gerakan reformasi yang dicetuskan


Martin Luther.

e. Meningkatnya individualism.

f. Lahirnya ilmu pengetahuan modern,

g. Berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri.

Perkembangan sosiologi yang makin mantap terjadi tahun 1895, yakni


pada saat Emile Durkheim menerbitkan bukunya yang berjudul Rules of
Sociological Method. Pada saat ini diakui banyak pihak sebagai Bapak
Metodologi Sosiologi, dan bahkan Reiss lebih setuju menyebutkan Emile
Durkheim sebagai penyumbang utama kemunculan sosiologi.

Pendiri sosiologi lainnya, Max Weber memiliki pendekatan yang berbeda


dengan Durkheim. Menurut Weber, sebagai ilmu yang mencoba
memahami masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi di
dalamnya, Sosiologi tidak semestinya berkutat pada soal-soal pengukuran
yang sifatnya kuantitatif dan sekedar mengkaji pengaruh faktor-faktor
eksternal, tetapi yang lebih penting sosiologi bergerak pada upaya
memahami di tingkat makna, dan mencoba mencari penjelasan pada
faktor-faktor internal yang ada di masyarakat itu sendiri[12]

Memasuki abad ke-20, perkembangan sosiologi makin variatif. Dipelopori


tokoh-tokoh ilmu sosial kontemporer, terutama Anthony Giddens, fokus
minat sosiologi dewasa ini bergeser dari structures ke agency, dari
masyarakat yang dipahami terutama sebagai seperangkat batasan
eksternal yang membatasi bidang pilihan yang bersedia untuk anggota-
anggota masyarakat tersebut, dan dalam beberapa hal menentukan
perilaku mereka, menuju ke era baru,memahami latar belakang sosial
sebagai kumpulan sumber daya yang diambil oleh aktor-aktor untuk
mengejar kepentingan mereka sendiri.[13]

Pada permulaan abad ke-20, gelombang besar imigran berdatangan


ke Amerika Utara. Gejala itu berakibat pesatnya pertumbuhan penduduk,
munculnya kota-kota industri baru, bertambahnya kriminalitas dan lain
lain. Konsekuensi gejolak sosial itu, perubahan besar masyarakat pun tak
terelakkan.

Perubahan masyarakat itu menggugah para ilmuwan sosial untuk berpikir


keras, untuk sampai pada kesadaran bahwa pendekatan sosiologi lama
ala Eropa tidak relevan lagi. Mereka berupaya menemukan pendekatan
baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Maka lahirlah
sosiologi modern.

Berkebalikan dengan pendapat sebelumnya, pendekatan sosiologi modern


cenderung mikro (lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya,
perubahan masyarakat dapat dipelajari mulai dari fakta sosial demi fakta
sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan
perubahan masyarakat secara menyeluruh. Sejak saat itulah disadari
betapa pentingnya penelitian (research) dalam sosiologi.

Pada era tahun 2000-an ini, perkembangan sosiologi semakin mantap dan
kehadirannya diakui banyak pihak memberikan sumbangan yang sangat
penting bagi usaha pembangunan dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Bidang-bidang kajian sosiologi juga terus berkembang makin variatif dan
menembus batas-batas disiplin ilmu lain. Horton dan Hunt, misalnya
mencatat sejumlah bidang kajian sosiologi yang saat ini telah dikenal dan
banyak dikembangkan. Di tahun-tahun berikut, seiring dengan
perkembangan masyarakat yang semakin komplek, bisa diramalkan
bahwa perkembangan sosiologi juga akan makin beragam dan makin
penting.[14]

Karl Marx merupakan Tokoh sentral dalam dalam sosiologi, walaupun


terdapat berbagai tokoh besar sosiologi yang berjasa membangun ilmu
sosiologi sebagai pengetahuan namun jika dilihat dari perkembangan
sosiologi banyak mengadopsi dan merupakan hasil dari kritisi terhadap
Marx. Karl Marx sendiri tidak mengakui dia adalah seorang sosiolog, tetapi
secara fundamental Marx telah melahirkan konsep sosiologi yang masih
relevan dengan semakin berubahnya zaman, seperti konsep Alineasi,
dialektika, Materialisme historis, Konsep kelas dan sebagaainnya. Konsep
sosial Marx bukan hanya menjadi imajinasi semata tetapi telah dibuktikan
dan diadopsi oleh berbagai negara di dunia, di Uni Soviet Marx dianggap
sebagai Nabi Kemanusian yang mengajarkan kepada manusia arti
sebuah kehidupan dan keadilan. Konsep sosial Marx menghasilkan Negara
Uni Soviet yang dibentuk melalui pemikiran-pemikiran Marx yang
diinterpretasikan oleh Lenin dan Stalin.
Agama dalam sosiologi merupakan suatu kajian yang sangat penting
dalam sosiologi, bahkan para pendahulu sosiologi baik itu August Comte,
Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber selalu membahas agama dalam
konsep sosiologinya. Marx adalah tokoh yang hidup dimasa revolusi
sehingga Marx mengalami sendiri realitas masyarakat di era tersebut,
sehingga pembacaan terhadap agama pun secara konteks sangat
dipengaruhi oleh sosial kultural masyarakat Eropa di abad pertengahan.

Marx menkonsepsikan kehidupan dalam suatu basis materialisme yang


universal yang menjadi penggerak sejarah, yaitu struktur basis yang
merupakan penggerak utama struktur supra. Struktur basis adalah
ekonomi yang mencangkup seluruh proses ekonomi baik produksi,
konsumsi, persaingan ekonomi, dan sebagainya. Sedangkan struktur
supra terdiri dari berbagai sektor misalnya politik, ekonomi, budaya, dan
sebagainya, struktur supra ini merupakan representasi (gambaran) dari
struktur basis.

Ekonomi adalah pondasi dasar sejarah kehidupan manusia, karena


ekonomi merupakan induk dari segala sub struktur kehidupan yang
melahirkan berbagai basis supra. Jika kita menelaah dari perspektif ibnu
Khaldun dalam bukunya al-Muqaddimah maka akan kita temukan alur
pemikiran Ibnu Khaldun yang senada dengan Karl Marx, walaupun secara
esensinya personalisasinya berbeda. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa
Kodrat manusia tidak cukup hanya memperoleh makanan. Sekalipun
makanan itu ditekan sedikit-dikitnya sekedar cukup untuk makan sehari-
hari saja, misalnya sedikit gandum, namun diperlukan usaha yang banyak
juga. Misalnya menggiling, meramas, memasak. Masing-masing pekerjaan
membutuhkan sejumlah alat, dan hal inipun menuntut pekerjaan tangan
yang lebih banyak lagi dari yang telah disebutkan diatas.[15]
Manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan dirinya kecuali dengan
bergotong royong dan saling tolong menolong dengan menggabungkan
dengan beberapa ahli. Dalam al-Qur'an pun telah dijelaskan sebagai
berikut:

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan


takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah
Amat berat siksa-Nya. (Al-Maidah ayat 2)

Struktur basis dalam konteks Marx adalah bangunan dasar atau pondasi
pokok dalam sejarah atau kehidupan manusia, dimana struktur basis ini
adalah yang melahirkan struktur supra. Agama, politik, budaya dan
sebagainya dilahirkan dari ekonomi, asumsi dasar Marx adalah ketika
manusia menjauh dari Ekonomi atau untuk memperkuat kelancaran
ekonomi maka manusia akan berpaling atau membentuk struktur yang
lain yang mendukunggnya. Mengapa agama lahir dari ekonomi?
Pertanyaan ini dapat dijawab menggunakan filsafat yang sederhana
pada manusia primitif agama difungsikan untuk menggambarkan rasa
syukur karena panen yang melimpah atau sebagai ritual pengorbanan
untuk mempersembahkan korban karena gagal panen atau terserang
wabah penyakit. Artinya dalam tesis filsafat tadi agama hanya dijadikan
alat sebagai pemenuhan hasrat ekonomi dan ketakutan manusia.
Marx menafsirkan agama sebagai candu bagi masyarakat Kesukaran
agama- agama pada saat yang sama merupakan ekspresi dari kesukaran
yang sebenarnya dan protes melawan kesukaran yang sebenarnya.
Agama adalah nafas lega makhluk tertindas, hatinya dunia yang tidak
punya hati, spirit kondisi yang tanpa spirit. Agama adalah candu
masyarakat (Marx, 1843/1970).[16]

3. Sejarah Perkembangan sosiologi di Indonesia

Sosiologi di Indonesia sebenarnya telah berkembang sejak zaman dahulu.


Walaupun tidak mempelajari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, para
pujangga dan tokoh bangsa Indonesia telah banyak memasukkan unsur-
unsur sosiologi dalam ajaran-ajaran mereka.

Sri Paduka Mangkunegoro IV, misalnya, telah memasukkan unsur tata


hubungan manusia pada berbagai golongan yang berbeda (intergroup
relation) dalam ajaran Wulang Reh. Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara
yang dikenal sebagai peletak dasar pendidikan nasional Indonesia banyak
mempraktikkan konsep - konsep penting sosiologi seperti kepemimpinan
dan kekeluargaan dalam proses pendidikan di Taman Siswa yang
didirikannya.[17]

Hal yang sama dapat juga kita selidiki dari berbagai karya tentang
Indonesia yang ditulis oleh beberapa orang Belanda seperti Snouck
Hurgronje dan Van Volenhaven sekitar abad 19. Mereka menggunakan
unsur-unsur sosiologi sebagai kerangka berpikir untuk memahami
masyarakat Indonesia. Snouck Hurgronje, misalnya, menggunakan
pendekatan sosiologis untuk memahami masyarakat Aceh yang hasilnya
dipergunakan oleh pemerintah Belanda untuk menguasai daerah tersebut.

Dari uraian di atas terlihat bahwa sosiologi di Indonesia pada awalnya,


yakni sebelum Perang Dunia II hanya dianggap sebagai ilmu pembantu
bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain, sosiologi belum
dianggap cukup penting untuk dipelajari dan digunakan sebagai ilmu
pengetahuan, yang terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain.

Secara formal, Sekolah Tinggi Hukum (Rechtsshogeschool) di Jakarta pada


waktu itu menjadi saru-satunya lembaga perguruan tinggi yang
mengajarkan mata kuliah sosiologi di Indonesia walaupun hanya sebagai
pelengkap mata kuliah ilmu hukum.Namun, seiring perjalanan waktu,
mata kuliah tersebut kemudian ditiadakan dengan alasan bahwa
pengetahuan tentang bentuk dan susunan masyarakat beserta proses-
proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum.
Dalam pandangan mereka, yang perlu diketahui hanyalah perumusan
peraturannya dan sistem-sistem untuk menafsirkannya. Sementara,
penyebab terjadinya sebuah peraturan dan tujuan sebuah peraturan
dianggap tidaklah penting.

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, sosiologi di Indonesia


mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Adalah Soenario
Kolopaking yang pertama kali memberikan kuliah sosiologi dalam bahasa
Indonesia pada tahun 1948 di Akademi Ilmu Politik Yogyakarta (sekarang
menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM). Akibatnya, sosiologi mulai
mendapat tempat dalam insan akademisi di Indonesia apalagi setelah
semakin terbukanya kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk
menuntut ilmu di luar negeri sejak tahun 1950. Banyak para pelajar
Indonesia yang khusus memperdalam sosiologi di luar negeri, kemudian
mengajarkan ilmu itu di Indonesia.

Buku sosiologi dalam bahasa Indonesia pertama kali diterbitkan oleh


Djody Gon dokusumo dengan judul Sosiologi Indonesia yang memuat
beberapa pengertian mendasar dari sosiologi. Kehadiran buku ini
mendapat sambutan baik dari golongan terpelajar di Indonesia mengingat
situasi revolusi yang terjadi saat itu. Buku ini seakan mengobati kehausan
mereka akan ilmu yang dapat membantu mereka dalam usaha
memahami perubahan-perubahan yang terjadi demikian cepat dalam
masyarakat Indonesia saat itu. Selepas itu, muncul buku sosiologi yang
diterbitkan oleh Bardosono yang merupakan sebuah diktat kuliah sosiologi
yang ditulis oleh seorang mahasiswa.[18]

Selanjutnya bermunculan buku-buku sosiologi baik yang tulis oleh orang


Indonesia maupun yang merupakan terjemahan dari bahasa asing.
Sebagai contoh, buku Social Changes in Yogyakarta karya Selo
Soemardjan yang terbit pada tahun 1962.

Tidak kurang pentingnya, tulisan-tulisan tentang masalah-masalah


sosiologi yang tersebar di berbagai majalah, koran, dan jurnal. Selain itu,
muncul pula fakultas ilmu sosial dan politik berbagai universitas di
Indonesia di mana sosiologi mulai dipelajari secara lebih mendalam
bahkan pada beberapa Universitas, didirikan jurusan sosiologi yang
diharapkan dapat mempercepat dan memperluas perkembangan sosiologi
di Indonesia.

ANALISIS
Sebagai suatu disiplin ilmu, sosiologi termasuk suatu disiplin ilmu yang
umurnya masih relatif muda yaitu kurang dari 200 tahun. Istilah sosiologi
untuk pertama kali diciptakan oleh Auguste Comte dan oleh karenanya
Comte sering disebut sebagai bapak sosiologi. Istilah sosiologi ia tuliskan
dalam karya utamanya yang pertama, berjudul The Course of Positive
Philosophy, yang diterbitkan dalam tahun 1838. Karyanya mencerminkan
suatu komitmen yang kuat terhadap metode ilmiah. Menurut Comte ilmu
sosiologi harus didasarkan pada observasi dan klasifikasi yang sistematis
bukan pada kekuasaan dan spekulasi. Hal ini merupakan pandangan baru
pada saat itu.

Di Inggris pada tahun 1876, Herbert Spencer menerbitkan


bukunya Principle of Sociology. Ia menerapkan teori evolusi organik pada
masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang evolusi
sosial yang diterima secara luas beberapa puluh tahun kemudian.[19]

Lester F. Ward di Amerikamenerbitkan bukunya Dynamic Sociology


dalam tahun 1883, menghimbau kemajuan sosial melaluitindakan-
tindakan sosial yang cerdik yang harus diarahkan oleh para sosiolog.

Emile Durkheim di Prancismenunjukkan pentingnya metodologi ilmiah


dalam sosiologi. Dalam bukunya Rules of Sociological Method yang
diterbitkan tahun 1895, menggambarkan metodologi yang kemudian ia
teruskan penelaahannya dalam bukunya berjudul Suicide yang diterbitkan
pada tahun 1897. Buku itu memuat tentang sebab-sebab bunuh diri,
pertama-tama ia merencanakan disain risetnya dan kemudian
mengumpulkan sejumlah besar data tentang ciri-ciri orang yang
melakukan bunuh diri dan dari data tersebut ia menarik suatu teori
tentang bunuh diri.
Kuliah-kuliah sosiologi muncul di berbagai Universitas sekitar tahun 1890-
an. The American Journal of Sociology memulai publikasinya pada tahun
1895 dan The American Sociological Society (sekarang bernama American
Sociological Association) diorganisasikan dalam tahun 1905. Sosiolog
Amerika kebanyakan berasal dari pedesaan dan mereka kebanyakan pula
berasal dari para pekerja sosial; sosiolog Eropa sebagian besar berasal
dari bidang-bidang sejarah, ekonomi politik atau filsafat.

Urbanisasi dan industrialisasi di Amerika pada tahun 1900-an


telahmenciptakan masalah sosial. Hal ini mendorong para sosiolog
Amerika untuk mencari solusinya. Mereka melihat sosiologi sebagai
pedoman ilmiah untuk kemajuan sosial. Sehingga kemudian ketika
terbitnya edisi awal American Journal of Sociology isinya hanya sedikit
yang mengandung artikel atau riset ilmiah, tetapi banyak berisi tentang
peringatan dan nasihat akibat urbanisasi dan industrialisasi. Sebagai
contoh suatu artikel yang terbit di tahun 1903 berjudul The Social Effect
of The Eight Hour Day tidak mengandung data faktual atau
eksperimental. Tetapi lebih berisi pada manfaat sosial dari hari kerja yang
lebih pendek.

Namun pada tahun 1930-an beberapa jurnal sosiologi yang ada lebih
berisi artikel riset dan deskripsi ilmiah. Sosilogi kemudian menjadi suatu
pengetahuan ilmiah dengan teorinya yang didasarkan pada obeservasi
ilmiah, bukan pada spekulasi-spekulasi.[20]

Para sosiolog tersebut pada dasarnya merupakan ahli filsafat


sosial. Mereka mengajak agar para sosiolog yang lain mengumpulkan,
menyusun, dan mengklasifikasikan data yang nyata, dan dari kenyataan
itu disusun teori sosial yang baik.
Bapak Pendiri Sosiologi (The Founding Fathers Of Sosiology) yang sampai
kini pikirannya masih dipakai dalam teori sosiologi, yaitu AugusteComte,
Karl Marx, Max Weber, dan Emile Durkheim. Pandangan mereka telah
memberi stimulan diskusi panjang tentang pelbagai persoalan terkait dgn
kehidupan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Pandangan mereka juga
digunakan dalam disiplin ilmu social lain seperti ilmu politik, ekonomi,
antropologi, dan sejarah.[21]

Sedangkan di Indonsia sendiri sejak jaman kerajaan di


Indonesiasebenarnya para raja dan pemimpin di Indonesia sudah
mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula
para pujangga Indonesia. Misalnya saja Ajaran Wulang Reh yang
diciptakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro dari Surakarta, mengajarkan
tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari
golongan-golongan yang berbeda, banyak mengandung aspek-aspek
Sosiologi, terutama dalam bidang hubungan antar golongan (intergroup
relations).

Ki Hajar Dewantoro, pelopor utama pendidikan nasional di Indonesia,


memberikan sumbangan di bidang sosiologi terutama mengenai konsep-
konsepkepemimpinan dan kekeluargaan di Indonesia yang dengan nyata
di praktikkan dalam organisasi pendidikan Taman Siswa.

Pada masa penjajahan Belanda ada beberapa karya tulis


orangberkebangsaan belanda yang mengambil masyarakat Indonesai
sebagai perhatiannya seperti Snouck Hurgronje, C. Van Vollenhoven, Ter
Haar, Duyvendak dll. Dalam karya mereka tampak unsur-unsur Sosiologi
di dalamnya yang dikupas secara ilmiah tetapi kesemuanya hanya
dikupas dalam kerangka non sosiologis dan tidak sebagai ilmu
pengetahuan yang berdiri sendiri. Sosiologi pada waktu itu dianggap
sebagai Ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata
lain Sosiologi ketika itu belum dianggap cukup penting dan cukup dewasa
untuk dipelajari dan dipergunakan sebagai ilmu pengetahuan, terlepas
dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.

Kuliah-kuliah Sosiologi mulai diberikan sebelum Perang Dunia ke


dua diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di
Jakarta. Inipun kuliah Sosiologi masih sebagai pelengkap bagi pelajaran
Ilmu Hukum. Sosiologi yang dikuliahkan sebagin besar bersifat filsafat
Sosial dan Teoritis, berdasarkan hasil karya Alfred Vierkandt, Leopold Von
Wiese, Bierens de Haan, Steinmetz dan sebagainya.

Pada tahun 1934/1935 kuliah-kuliah Sosiologi pada sekolah Tinggi Hukum


tersebut malah ditiadakan. Para Guru Besar yang bertaggung
jawab menyusun daftar kuliah berpendapat bahwa pengetahuan dan
bentuk susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di
dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945,


seorang sarjana Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk
pertamakalinya member kuliah sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik
di Yogyakarta (kemudia menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM .
Beliau memberika kuliah dalam bahasa Indonesai ini merupakan suatu
yang baru, karena sebelum perang dunia ke dua semua perguruan tinggi
diberikan da;am bahasa Belanda. Pada Akademi Ilmu Politik tersebut,
sosiologi juga dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam Jurusan
Pemerintahan dalam Negeri, hubungan luar negeri dan publisistik.
Kemudian pendidkikan mulai di buka dengan memberikan kesempatan
kepara para mahasiswa dan sarjana untuk belajar di luar negeri sejak
tahun 1950, mulailah ada beberapa orang Indonesia yang memperdalam
pengetahuan tentang sosiologi.

Buku Sosiologi mulai diterbitkan sejak satu tahun pecahnya revolus fisik.
Buku tersebut berjudul Sosiologi Indonesai oleh Djody Gondokusumo,
memuat tentang beberapa pengertian elementer dari Sosiologi yang
teoritis dan bersifat sebagai Filsafat.

Selanjutnya buku karangan Hassan Shadily dengan judul Sosilogi Untuk


Masyarakat Indonesia yang merupakan merupakan buku
pelajaran pertama yang berbahasa Indonesia yang memuat bahan-bahan
sosiologi yang modern.

Para pengajar sosiologi teoritis filosofis lebih banyak mempergunakan


terjemahan buku-bukunya P.J. Bouman, yaitu Algemene Maatschapppijleer
dan Sociologie, bergrippen en problemen serta buku Lysen yang
berjudul Individu en Maatschapppij.

Buku-buku Sosiologi lainnya adalah Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas


karya Mayor Polak, seorang warga Negara Indonesia bekas
anggota Pangreh Praja Belanda, yang telah mendapat pelajaran sosiologi
sebelum perang dunia kedua pada universitas Leiden di Belanda. Beliau
juga menulis buku berjudul Pengantar Sosiologi Pengetahuan, Hukum dan
politik terbit pada tahun 1967. Penulis lainnya Selo Soemardjan menulis
buku Social Changes in Yogyakarta pada tahun 1962. Selo Soemardjan
bersama Soelaeman Soemardi, menghimpun bagian-bagian terpenting
dari beberapa text book ilmu sosiologi dalam bahasa Inggris yang disertai
dengan pengantar ringkas dalam bahasa Indonesia dirangkum dalam
buku Setangkai Bunga Sosiologi terbit tahun 1964.[22]
Dewasa ini telah ada sejumlah Universitas Negeri yang
mempunyaiFakultas Sosial dan politik atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai
saat ini belum ada Universitas yang mngkhususkan sosiologi dalam suatu
fakultas sendiri, namun telah ada Jurusan Sosiologi pada beberapa
fakultas Sosial dan Politik UGM, UI dan UNPAD.

Penelitian-penelitian sosiologi di Indonesai belum mendapat tempat yang


sewajarnya, oleh karena masyarakat masih percaya pada angka-angka
yang relative mutlak, sementara sosiologi tidak akan mungkin melakukan
hal-hal yang berlaku mutlak disebabkan masing-masing manusia memiliki
kekhususan. Apalagi masyarakat Indonesai merupakan masyarakat
majemuk yang mencakup bermacam-macam suku.

KESIMPULAN

Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Kelahiran sosiologi lazimya dihubungkan dengan seorang ilmuwan


Perancis bernama Auguste Comte (1798-1857). Ilmu tentang masyarakat
Auguste Comte itu pada awalnya diberi nama Social Physics (fisika
sosial), kemudian dirubahnya sendiri dengan Sociology karena istilah
fisika sosial tersebut dalam waktu yang bersamaan digunakan oleh
seorang ahli statistik sosial Belgia bernama Adophe Quetelet.Banyaknya
ahli sepakat bahwa banyak faktor yang melatarbelakangi kelahiran
sosiologi salah satunya karena adanya krisis-krisis yang terjadi di dalam
masyarakat.Misalnya, Laeyendecker mengaitkan kelahiran sosiologi
dengan serangkaian perubahan dan krisis yang terjadi di Eropa Barat.
2. Awal mula perkembangan sosiologi yaitu saat terjadinya Revolusi
Perancis dan revolusi industri yang terjadi sepanjang abad ke-
19,kemudian Herbert Spencer mengembangkan pula suatu sistematika
penelitian masyarakat dalam bukunya yang berjudul Principles of
Sosiology sehingga kurang lebih setengah abad kemudian sosiologi
menjadi berkembang pesat dan populer di Perancis, jerman dan Amerika
Serikat. Perkembangan sosiologi yang makin mantap terjadi tahun 1895,
yakni pada saat Emile Durkheim menerbitkan bukunya yang berjudul
Rules of Sociological Method. Memasuki abad ke-20, perkembangan
sosiologi makin variatif. Dipelopori tokoh-tokoh ilmu sosial kontemporer,
terutama Anthony Giddens, Pada era tahun 2000-an ini, perkembangan
sosiologi semakin mantap dan kehadirannya diakui banyak pihak
memberikan sumbangan yang sangat penting bagi usaha pembangunan
dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Di tahun-tahun berikut, seiring
dengan perkembangan masyarakat yang semakin komplek, bisa
diramalkan bahwa perkembangan sosiologi juga akan makin beragam dan
makin penting

3. Sosiologi di Indonesia sudah ada sejak dahulu, pada awalnya, yakni


sebelum Perang Dunia II hanya dianggap sebagai ilmu pembantu bagi
ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Sri Paduka Mangkunegoro IV telah
memasukkan unsur tata hubungan manusia pada berbagai golongan yang
berbeda (intergroup relation) dalam ajaran Wulang Reh. Selanjutnya, Ki
Hadjar Dewantara yang dikenal sebagai peletak dasar pendidikan nasional
Indonesia banyak mempraktikkan konsep - konsep penting sosiologi
seperti kepemimpinan dan kekeluargaan dalam proses pendidikan di
Taman Siswa yang didirikannya. Setelah proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945, sosiologi di Indonesia mengalami perkembangan yang
cukup signifikan. Orang Indonesia yang pertama kali memberikan kuliah
sosiologi dalam bahasa Indonesia yaitu Soenario Kolopaking pada tahun
1948 di Akademi Ilmu Politik Yogyakarta (sekarang menjadi Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik UGM). Pada saat itulah sosiologi mulai mendapat tempat
dalam insan akademisi di Indonesia apalagi setelah semakin terbukanya
kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk menuntut ilmu di luar
negeri sejak tahun 1950. Banyak para pelajar Indonesia yang khusus
memperdalam sosiologi di luar negeri, kemudian mengajarkan ilmu itu di
Indonesia. Buku sosiologi dalam bahasa Indonesia pertama kali diterbitkan
oleh Djody Gon dokusumo dengan judul Sosiologi Indonesia yang memuat
beberapa pengertian mendasar dari sosiologi. Kehadiran buku ini
mendapat sambutan baik dari golongan terpelajar di Indonesia mengingat
situasi revolusi yang terjadi saat itu. Setelah itu muncul bermacam-
macam buku sosiologi yang ditulis oleh orang Indonesia maupun yang
diterjemahkan dari bahasa asing.

DAFTAR RUJUKAN

George Ritzer, Douglas, J. Goodman, 2007,Teori Sosiologi


Modern , Jakarta:Kencana

Ibnu Khaldun, 2000 AL-Muqaddimah, Jakarta: PT Pustaka Firdaus

Ishomuddin, 2002. Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: PT. Ghalia


Indonesia-UMM Press.

Kahmad, Dadang, 2000. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya
Narwoko J. Dwi, Bagong Suyanto, 2007.Sosiologi, Teks Pengantar dan
Terapan. Jakarta: Kencana

Zulfi Mubarok, 2011. Sosiologi Agama.Malang: UIN Press.

http://pengantar-sosiologi.blogspot.com/2009/04/bab-1-sejarah-
perkembangan-sosiologi.htmldiakses tanggal 20 Oktober 2011

http://organisasi.org/definisi-pengertian-sosiologi-objek-tujuan-pokok-
bahasan-dan-bapak-ilmu-sosiologidiakses tanggal 20 Oktober 2011

[1]Zulfi Mubaraq. Sosiologi Agama. (Malang: UIN Press, 2010) , 7.

[2] Ibid, 8.

[3] Ibid. 9

[4] Ibid,

[5] Ibid.
[6] Ibid, 10

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Ibid, 7

[10] Puspito,Hendro. Sosiologi Agama. (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 32

[11] Zulfi Mubaraq, lihat hlm 1.

[12] Ibid

[13] Ibid, 11.

[14] Ibid.

[15] Ibnu Khaldun, AL-Muqaddimah, ( Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2000


diterjemahkan oleh Ahmadie Thoha), hlm. 71

[16] George Ritzer, Douglas, J. Goodman, Teori Sosiologi


Modern , (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.74
[17] Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: PT. Ghalia
Indonesia-UMM Press, 2002)

[18] Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. (Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya, 2000). Hlm 34.

[19] Zulfi Mubaraq, Lihat hlm 10

[20] Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama, 38.

[21] http://organisasi.org/definisi-pengertian-sosiologi-objek-tujuan-pokok-
bahasan-dan-bapak-ilmu-sosiologi diakses tanggal 20 Oktober 2011

[22]http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/p/paulus-
wirutomo/index.shtml diakses tanggal 03 Oktober 2011

Anda mungkin juga menyukai