Anda di halaman 1dari 10

TUGAS PENGANTAR SOSIOLOGI

“SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI”

OLEH :

WAODE IHZATUL ZAHRAH

CID320081

PRODI JURNALISTIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

2020
A. Sejarah Perkembangan Sosiologi

1. Perkembangan Sosiologi di Dunia

Filsuf besar era Yunani Kuno, Plato dan Arostoteles telah menulis buku tentang
bagaimana mendesain masyarakat yang adil dan bahagia. Ilmuwan dari Timur
Ibnu Khaldun menulis tentang integrasi sosial (Asabiyah) dan peradaban manusia
pada abad 14, sebelum Eropa memasuki era Renaisans. Pada periode awal era
Pencerahan di Eropa Barat, Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jacques
Rouseau telah menulis tentang bagaimana mengorganisir masyarakat agar hidup
harmonis dalam satu sistem pemerintahan melalui istilah yang dikenal dengan
’kontrak sosial’. Dengan demikian, jika sosiologi dipahami sebagai studi tentang
masyarakat, maka sosiologi sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Artinya,
’sosiologi’ sudah ada sebelum istilah sosiologi ada.

a. Sejarah perkembangan sosiologi abad 19


Sejak awal masehi hingga abad 19, Eropa dapat dikatakan menjadi pusat
tumbuhnya peradaban dunia, para ilmuwan ketika itu mulai menyadari perlunya
secara khusus mempelajari kondisi dan perubahan sosial. Para ilmuwan itu
kemudian berupaya membangun suatu teori sosial berdasarkan ciri-ciri hakiki
masyarakat pada tiap tahap peradaban manusia.

Sebagai ilmu pengetahuan sosial yang rasional dan empiris, sosiologi berusia
relatif lebih muda ketibang ilmu sosial lainnya. Auguste Comte, tokoh intelektual
Perancis dalam bukunya ”Course de philosophie positive” (1838) mencetuskan
istilah sosiologi yang saat itu memiliki konotasi fisika sosial. Hukum tiga tahap
yang dielaborasikan Comte menegaskan bahwa sosiologi atau fisika sosial adalah
ilmu yang berada pada tahap positif. Positif artinya rasional, empiris, dan bisa
diteliti dengan hukum-hukum ilmiah seperti pada ilmu alam. Berada di tahap
positif artinya meninggalkan unsur teologis dan metafisis. Dengan demikiran
sejarah perkembangan sosiologi modern pada awal mula ditemukannya adalah
ilmu pengetahuan yang positif. Metodologinya mengikuti hukum-hukum dalam
ilmu alam oleh karena itu dinamakan fisika sosial.

Comte sendiri kemudian membedakan antara sosiologi statis dan sosiologi


dinamis. Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang
menjadi dasar adanya masyarakat. Sosiologi dinamis memusatkan perhatian
tentang perkembangan masyarakat dalam arti pembangunan.
Pada tahun 1876, intelektual Inggris Herbert Spencer menulis buku pertama yang
menggunakan istilah ’sosiologi’ di judulnya ”Principle of Sociology”. Spencer
adalah orang yang percaya pada teori evolusi Darwin. Ia menerapkan hukum
evolusi biologi pada sosiologi.

Pada tahun 1883, intelektual Amerika Lester F. Ward menulis buku berjudul
”Dynamic Sociology”. Buku tersebut dianggap sebagai buku pertama tentang
desain tindakan sosial yang harus dilakukan masyarakat untuk menuju kemajuan.
Berikutnya, pada 1895, Email Durkheim menerangkan secara detail metodologi
ilmiah sosiologi dalam bukunya ”The Rules of Sociological Mehod”.

Sosiologi muncul pada abad ke-19 sebagai respon terhadap modernitas. Kemajuan
teknologi dan meningkatnya mobilitas berpengaruh pada masyarakat dan
kebudayaan yang berbeda dari sebelumnya. Ilmu Sosiologi berkembang sejalan
dengan perkembangan masyarakat. Sejak pertama kali dirumuskan oleh Auguste
Comte, sosiologi terus mengalami perkembangan hingga saat ini.

b. Sejarah perkembangan sosiologi abad 20


Memasuki abad 20, terjadi ’migrasi tradisi ilmiah’ sosiologi dari Eropa Barat ke
Amerika Serikat. Sosiologi pada abad 20 berkembang pesat di Amerika Serikat.
Perlu diperhatikan pula konteks Amerika Serikat pada abad awal 20. Saat itu,
industrialisasi dan urbanisasi terjadi secara besar-besaran di perkotaan di Amerika
Serikat. Akibat dari industrialisasi ini adalah perubahan sosial dengan ekskalasi
yang besar. Masyarakat desa dan kota terlihat mencolok perbedaannya. Kondisi
demikian memantik kaum intelektual Amerika untuk mengkaji gejala-gejala
sosial yang timbul akibat perubahan sosial. Sosiologi menjadi salah satu studi
ilmu sosial yang paling diminati.

Sejarah perkembangan sosiologi di Amerika Serikat pada periode sebelum


Perang Dunia pertama sampai dengan kisaran 1930an didominasi oleh aliran
Chicago School dengan tokoh utamanya Albion W. Small, yang sekaligus
menjadi inisiator jurnal sosiologi paling prestisius di dunia sampai saat ini,
American Journal of Sociology. Pada fase berikutnya, perkembangan Chicago
School melahirkan tokoh besar Pitrim Sorokin yang banyak berkontribusi
memperluas aspek metodologi sosiologi. Sejumlah ahli sosiologi pasca Ward
muncul di Amerika Serikat, antara lain: W. I. Thomas, Robert E. Park, Charles
Horton Cooley, George Herbert Mead, Jane Addams, Charlotte Perkins Gilman,
Anna Julia Cooper, Marianne Webber, Beatrice Potter Webb, dan W. E. B. du
Bois.
Intelektual Jerman Max Weber mengkritik metode ilmiah sosiologi yang muncul
pada abad 19. Weber berpendapat, metode ilmu alam tidak relevan diterapkan
pada ilmu sosial. Ilmu sosial menjadikan manusia sebagai subjeknya, sehingga
terkandung unsur subjektivitas dalam ilmu sosial. Hal ini berbeda dengan ilmu
alam yang mengedepankan unsur objektivitas. Weber mengusulkan, alih-alih
menjadikan masyarakat sebagai objek penelitian, sosiologi seharusnya meneliti
tindakan-tindakan sosial yang bersifat subjektif.

Unsur objektivitas sosiologi justru berkembang di Amerika Serikat melalui karya


tokoh besar Talcott Parsons. Pada 1937 Parsons menerbitkan buku ”The Structure
of Social Action” yang secara signifikan berpengaruh pada perkembangan teori
sosiologi. Parsons banyak dipengaruhi oleh Dukheim dan Weber, tanpa menaruh
perhatian sama sekali pada Marx. Interpretasinya terhadap masyarakat Amerika
Serikat mempengaruhi perkembangan teori sosiologi Amerika beberapa tahun
kemudian. Implikasinya, teori Marxisme terkekslusi dari legitimasi ilmiah
sosiologi Amerika. Parsons banyak mengelaborasikan teori fungsionalisme
struktural dalam menganalisis sistem sosial. Sosiologi yang berkembang di
Amerika pada periode Parsonian adalah sosiologi makro.

Perdebatan antara objektivitas-subjektivitas, agensi-struktur, dan mikro-makro


dalam sosiologi berlangsung sejak abad 20 sampai hari ini. Sejumlah aliran
pemikiran ekstrem yang condong pada subjektivitas mengkritik keras sosiologi
pada awal berdirinya. Sosiologi positivistik yang dicetus oleh Comte belakangan
mulai ditinggalkan. Salah satu aliran pemikiran paling keras yang mengkritik
sosiologi Comte adalah The Frankfurt School, yang terdiri dari intelektual kritis
dari Jerman. The Frankfurt School menapaki periode popularitasnya pada
pertengahan abad 20. Kritik paling pedas yang dilontarkan adalah sosiologi
positivistik tidak berkontribusi apa-apa pada sejarah manusia karena mengabaikan
aspek transformatif dan emansipatoris yang seharusnya menjadi agenda sosiologi.
Ilmu sosial tidak bisa netral, melainkan harus berpihak cita-cita transformasi
sosial.

c. Sejarah perkembangan sosiologi era kontemporer


Menjelang abad 21, sosiologi sebagai ilmu pengetahuan modern mendapat
serangan bertubi-tubi dari aliran-aliran sosiologi yang menyandang label post-,
seperti postmodernisme, poststrukturalisme, postpositivisme, postkolonialisme,
dan lain sebagainya. Memasuki abad 21, sejarah perkembangan sosiologi menuju
variasi aliran pemikiran dan disiplin yang semakin banyak. George Ritzer telah
memformulasikan sebelumnya sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang
berparadigma multiple. Artinya, cara pandang sosiologi tidak tunggal sehingga
sosiologi secara historis adalah ilmu pengetahuan yang luas cakupannya. Abad
millenium menandai sosiologi sebagai ilmu yang sangat cair dan luas. Objek
kajian tidak sebatas pada perubahan struktur sosial dalam konteks industrialisasi,
urbanisasi, perdesaan dan perkotaan, melainkan juga sampai pada aspek dinamika
masyarakat yang sifatnya kekinian. Seperti misalnya, sosiologi pada masyarakat
informasi. Sosiologi abad 21 adalah sosiologi kontemporer.

Indikasi semakin meluasnya ruang lingkup sosiologi bisa dilihat dari berkembang
biaknya subdisiplin yang menjadi cabang sosiologi. Beberapa diantaranya yang
bisa disebutkan adalah Sosiologi Digital, Sosiologi Turisme, Sosiologi Pemuda,
Sosiologi Kesehatan, Sosiologi Olah Raga, Sosiologi Sastra, Sosiologi Hukum,
Sosiologi Ekonomi, Sosiologi Gender, dan Sosiologi kontemporer lainnya.
Kecenderungan lain yang bisa diidentifikasi adalah semakin menjauhnya
sosiologi dari tradisi positivisme. Sejarah perkembangan sosiologi di era
kontemporer cenderung menolak relevansi hukum-hukum alam pada ilmu sosial.
Saat ini, fakultas-fakultas ilmu sosial di seluruh dunia mulai mengajarkan
sosiologi terlepas dari bapak pendirinya. Tak heran, tokoh-tokoh seperti Michel
Foucault, Pierre Bourdieu dan Slavoj Zizek lebih diminati ketimbang Auguste
Comte dan Emile Durkheim yang memang makin usang.

2. Perkembangan Sosiologi di Indonesia

Ada kemiripan antara perkembangan awal dari sosiologi di Indonesia dengan di


Amerika. Kemiripan itu terletak pada karakter sosiologi, meskipun di Indonesia
lebih spesifik. Di Amerika, para pemikir sosiologi bermula dari keilmuan yang
beragam, demikian juga sebenarnya yang terjadi di Indonesia. Hanya bedanya
para pemikir itu lebih didominasi oleh ahli hukum. Mengapa demikian? Karena
pada masa Indonesia sebelum merdeka (akhir abad ke-19 sampai dengan awal
abad ke-20) ketika Indonesia masih dijajah Belanda, kawasan-kawasan Indonesia
ditampakkan dalam kawasan-kawasan ethnologis ketimbang seperti yang
berkembang sekarang sebagai 'kawasan nasional'. Atas keadaan seperti itu,
perhatian Belanda diarahkan untuk menguasai pengetahuan yang berhubungan
dengan ethnografi. Dari kajian itu yang paling menonjol adalah sudut pandang
hukum adat yang dianggap sangat berguna bagi penjajah dalam rangka
merumuskan pengaturan hak dan kewajiban pemerintah yang dapat diterima oleh
pribumi. Prinsip mereka tentu menguntungkan pihak penjajah tetapi tidak
bertentangan atau berbenturan dengan hukum adat masyarakat setempat.
Sebagaimana kita ketahui dalam sejarahnya, Belanda demikian lama bertahan di
nusantara karena mereka menguasai benar tipologi masyarakat yang dijajahnya.
Demikianlah kita kenal misalnya Krom, Veth dan Snouck Hurgronje merupakan
para pejabat merangkap pemikir yang boleh dikatakan ahli kemasyarakatan, dan
sekaligus sebagai cikal bakal yang memulai kajian-kajian berbau sosiologi di
Indonesia. Mereka menguasai struktur masyarakat dan banyak menguasai hukum
adat di berbagai belahan wilayah Indonesia masa itu (akhir abad ke-19 sampai
dengan awal abad ke-20). Sejak tahun 1920 mulai timbul minat sarjana-sarjana
Belanda untuk memahami masyarakat lebih luas. gejala-gejala yang disoroti tidak
hanya terbatas pada lingkungan suku atau kelompok etnik, tetapi lebih makro lagi.
Di antara mereka antara lain adalah B. Schrieke (1890-1945) yang menulis
sejarah yang dikawinkan dengan ethnografis, sehingga tulisan-tulisannya bercorak
sosiologi. Salah satu hasil karyanya adalah tentang akulturasi. Schrieke juga
mengulas pergeseran kekuasaan politik dan ekonomi di nusantara antara abad ke-
16 sampai abad ke-17. Tulisan Schrieke banyak berbahasa Belanda, baru pada
tahun 1955 beredar kumpulan tulisannya yang berbahasa Inggris. Selain Schrieke,
tokoh Belanda lainnya adalah J.C. Van Leur (tinggal di Indonesia tahun 1934-
1942). Salah satu tulisannya yang dikenal adalah Indonesian Trade and Society.
Seorang lagi yang lebih luas dikenal dan juga menulis tentang Indonesia
kontemporer adalah Prof. W.F. Wertheim yang meninggal di tahun 2001 dalam
usia yang sangat tua, mencapai 102 tahun. Beliau pernah mengajar di Rechts
Hogeschool di Jakarta (1937) dan di Institut Pertanian Bogor yang waktu itu
masih menjadi Fakultas pertanian UI di Bogor, tahun 1957

a. Sosiologi Masa Perjuangan Kemerdekaan


Sebelum masa perang dunia II datang, di Indonesia sendiri hanya terdapat
satu sekolah saja yaitu sekolah tinggi hukum yang berada di Jakarta yaitu
Rechts Shoge School sebagai lembaga di Indonesia yang memberikan
pengajaran mata kuliah mengenai ilmu sosiologi. Meskipun begitu,
pengajaran mengenai ilmu sosiologi ini bukan dijadikan sebagai ilmu yang
berdiri sendiri, hanya sekedar mata kuliah pelengkap di bidang hukum.
Bahkan para pengajarnya sendiri pun bukan lah orang-orang yang memang
ahli secara khusus dalam bidang ilmu tersebut. Hal ini dikarenakan memang
belum adanya satu orang sarjana pun yang khusus membidangi ilmu sosiologi
ini. Selain itu, ilmu sosiologi yang diajarkan pun hanya masih berupa filsafat
serta teori-teori sosial, sebagai berikut:

 Bahkan di rentang tahun 1934-1935, mata kuliah mengenai sosiologi


dihilangkan dalam lembaga pendidikan hukum.
 Hal ini dikarenakan pendapat dari salah satu guru besar dalam ilmu
hukum yang menyatakan jika pengetahuan mengenai bentuk serta
susunan masyarakat dan proses-proses yang terjadi di dalam
masyarakat tidak berkaitan bahkan tidak dibutuhkan di dalam
pendidikan hukum.
 Menurut pandangan guru besar dalam bidang ilmu hukum saat itu
menyatakan jika hukum positif tidak lebih hanya sekedar peraturan-
peraturan yang berlaku sah di dalam suatu waktu dan tempat tertentu.
 Sehingga yang paling penting di dalam sebuah pembelajaran hukum
hanyalah mengenai perumusan peraturan serta sistem yang digunakan
untuk menafsirnya.

b. Sosiologi Setelah Masa Kemerdekaan Indonesia


Setelah masa proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 agustus
1945, perkembangan sosiologi di Indonesia cukup mengalami kemajuan yang
pesat. Hal ini dapat terlihat dari pemberian mata kuliah sosiologi pertama
kalinya dalam bahasa Indonesia tepatnya di Akademi Ilmu Politik Yogyakarta
(yang saat ini menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM) di tahun 1948.
Apalagi sejak tahun 1950 dengan semakin terbukanya peluang bagi pelajar
Indonesia yang ingin menuntut ilmu ke luar negeri. Sehingga membuat
banyak pelajar Indonesia yang secara khusus mempelajari ilmu sosiologi dan
kemudian kembali ke Indonesia dan mengajarkan ilmu tersebut, sebagai
berikut ilmu-ilmunya:
 Perkembangan sosiologi di Indonesia lainnya ditunjukkan dengan
buku sosiologi pertama yang ditulis langsung oleh Djody
Gondokusumo yang diberi judul Sosiologi Indonesia di tahun 1950.
(baca juga: Ciri-Ciri Kapitalisme)
 Buku ini menjelaskan mengenai pengertian dasar ilmu sosiologi dalam
teoritis dengan bersifat filsafat. Kehadiran dari buku ini memang
mendapatkan banyak sambutan baik dari golongan pelajar di
Indonesia, apalagi situasi revolusi yang sedang terjadi pada masa
tersebut.
 Sehingga kehadiran buku ini benar-benar mengobati rasa haus akan
ilmu serta membantu masyarakat terutama pelajar memahami
mengenai perubahan-perubahan yang terjadi dengan cepat di dalam
masyarakat Indonesia.
 Setelah itu buku lainnya muncul di tahun yang sama yang diterbitkan
oleh Bardosono yaitu sebuah diktat mengenai mata kuliah sosiologi.
Sosiologi akhir-akhir ini

Dengan melihat sekilas ke belakang seperti tadi, ternyata sosiologi Indonesia


masih sangat muda usianya. Dengan terlahir sebagai 'ilmu susulan' karena
keadaan yang memaksa, sosiologi agak gagap juga mendudukkan dirinya di
antara cabang-cabang ilmu sosial yang lain, walhal sebenarnya tidak perlu
diragukan karena rujukannya sudah jelas, atau sekurang-kurangnya telah
memiliki acuan ke sosiologi Eropa atau Amerika, atau ke kedua-duanya.
Masalahnya yang lain adalah sosiologi Indonesia terlahir di negara yang baru
membangun. Perhatian terhadap pragmatisme jauh lebih besar ketimbang
idealisme membangun ilmu pengetahuan. perhatian terhadap kemiskinan,
lapangan kerja yang langka, mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan
hal-hal yang bersifat teknis ke arah penanggulangan masalah yang segera.
Lahirlah kemudian kebijakan link and match, perhatian yang membesar
terhadap bidang-bidang pendidikan vokasional, teknologi terapan dan lain-lain
kebijakan pendidikan pragmatis. Ilmu-ilmu yang sebenarnya sangat strategis
bagi perkembangan dan kemajuan sains beramai- ramai harus menyesuaikan
diri mereka ke permintaan pasar yang diarahkan oleh kebijakan politik
pendidikan. Inilah suatu masa yang membahayakan ilmu pengetahuan, karena
kajian atau penelitian terapan akan mengalahkan kajian atau penelitian sains
murni. Penelitian pesanan akan menjadi lebih dominan ketimbang penelitian
mandiri. Perkembangan ilmu pengetahuan untuk kemajuan sains sementara
akan melambat dan terhenti.

Sosiologi atau pada umumnya ilmu pengetahuan sosial dianggap tidak match
dengan ketersediaan lapangan kerja. Ini adalah kesalahan persepsi dari orang-
orang yang tidak memahami secara mendalam tentang peran dan fungsi ilmu
pengetahuan pada umumnya. Di kala ketidakpahaman ini berada di kalangan
kaum pengambil kebijakan politik, maka terjadilah keterputarbalikan opini
masyarakat yang kemudian akan mempersempit ruang gerak keilmuan itu
sendiri. Tidak ada yang membantah bahwa ilmu pengetahuan yang
dikembangkan melalui pendidikan di perguruan tinggi harus berkaitan dengan
bidang pekerjaan. Cuma saja yang kerap kali dipersepsikan bahwa bidang
pekerjaan itu sangatlah terbatas dan ilmu pengetahuan harus menyesuaikan
diri terhadap bidang kerja yang terbatas itu. Pemerintah memang berupaya
memperluas lapangan kerja, tetapi serentak dengan itu pemerintah juga
'mendorong' pemangku ilmu pengetahuan untuk memperlambat gerak
langkahnya. Konsep yang seharusnya dikembangkan adalah bahwa
pendidikan ilmu pengetahuan difungsikan bagi kecerdasan dan kemampuan
(aptitude) manusia, pembentukan sikap dan kepribadian (attitude and
personality) dan membangun penampilan mereka di dalam masyarakat luas
(appearance). Jika persepsi ini ditumbuhkan, niscaya paradigmanya dapat
dibalik, yakni manusia tadi akan mampu menumbuhkan, mengembangkan,
memperluas lapangan dan bidang kerja. Jadi publik yang nantinya akan
berfungsi membantu pemerintah, bukan pemerintah yang mati akal dan selalu
menyalahkan publik, terutama publik pemangku pendidikan.

Sosiologi Indonesia mencapai momentum yang bagus ketika terjadi revolusi


reformasi di tahun 1998 yang lalu. Hanya saja tidak banyak yang
menyadarinya. Sebagaimana perjalanan sejarah sosiologi Eropa dan sosiologi
Amerika yang telah diuraikan di depan, di mana sosiologi Eropa mencapai
momentum awal pertumbuhan yang luar biasa pada pascarevolusi Perancis.
Sementara itu sosiologi Amerika memperoleh momentum awal pertumbuhan
yang luar biasanya pada pascaperang sipil. Sejak itu pertumbuhan dan
perkembangan sosiologi di dua benua itu melesat dengan sangat cepatnya.
Demikian juga sebenarnya dan selayaknya sosiologi Indonesia
pascareformasi. Ada gejala yang sama pada waktu itu, yakni pertumbuhan
ekonomi jatuh telak ke angka minus 4, kekacauan terjadi dimana-mana (dan
bahkan sampai saat ini mudah terjadi). Pada waktu itu pakar ekonomi
Indonesia telah angkat tangan, karena berbagai upaya yang berlandaskan teori
ekonomi diterapkan, tetapi sulit sekali pertumbuhan ekonomi bergerak untuk
pulih sediakala. Seberapa jauh orang sadar bahwa sebenarnya pada masa sulit
itu para sosiolog lebih menonjol di publik melalui media koran dan televisi
menjelaskan fenomena yang sedang terjadi? Tidak banyak yang
menyadarinya. Momentum itupun belum berakhir sampai sekarang dan
bahkan sampai akhir masa. Alangkah bejibunnya masalah sosial di Indonesia
yang bisa dijelaskan secara terang-benderang oleh pisau analisis sosiologi.
Bahan penelitian tak habis-habisnya dan merupakan sumber inspirasi yang
luar biasa kayanya. Penulis melihat bahwa sosiolog asing diam-diam datang
dan pergi mengamati fenomena Indonesia yang sangat menarik ini dan
menulisnya di jurnal mereka. Sosiolog Indonesia sendiri lebih banyak
mengutip hasil penelitian mereka ketimbang menelitinya sendiri. Alasannya
biasanya dua hal: pertama tidak ada dana dan kedua, malas berpikir dan
menulisnya.

Anda mungkin juga menyukai