OLEH :
CID320081
PRODI JURNALISTIK
2020
A. Sejarah Perkembangan Sosiologi
Filsuf besar era Yunani Kuno, Plato dan Arostoteles telah menulis buku tentang
bagaimana mendesain masyarakat yang adil dan bahagia. Ilmuwan dari Timur
Ibnu Khaldun menulis tentang integrasi sosial (Asabiyah) dan peradaban manusia
pada abad 14, sebelum Eropa memasuki era Renaisans. Pada periode awal era
Pencerahan di Eropa Barat, Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jacques
Rouseau telah menulis tentang bagaimana mengorganisir masyarakat agar hidup
harmonis dalam satu sistem pemerintahan melalui istilah yang dikenal dengan
’kontrak sosial’. Dengan demikian, jika sosiologi dipahami sebagai studi tentang
masyarakat, maka sosiologi sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Artinya,
’sosiologi’ sudah ada sebelum istilah sosiologi ada.
Sebagai ilmu pengetahuan sosial yang rasional dan empiris, sosiologi berusia
relatif lebih muda ketibang ilmu sosial lainnya. Auguste Comte, tokoh intelektual
Perancis dalam bukunya ”Course de philosophie positive” (1838) mencetuskan
istilah sosiologi yang saat itu memiliki konotasi fisika sosial. Hukum tiga tahap
yang dielaborasikan Comte menegaskan bahwa sosiologi atau fisika sosial adalah
ilmu yang berada pada tahap positif. Positif artinya rasional, empiris, dan bisa
diteliti dengan hukum-hukum ilmiah seperti pada ilmu alam. Berada di tahap
positif artinya meninggalkan unsur teologis dan metafisis. Dengan demikiran
sejarah perkembangan sosiologi modern pada awal mula ditemukannya adalah
ilmu pengetahuan yang positif. Metodologinya mengikuti hukum-hukum dalam
ilmu alam oleh karena itu dinamakan fisika sosial.
Pada tahun 1883, intelektual Amerika Lester F. Ward menulis buku berjudul
”Dynamic Sociology”. Buku tersebut dianggap sebagai buku pertama tentang
desain tindakan sosial yang harus dilakukan masyarakat untuk menuju kemajuan.
Berikutnya, pada 1895, Email Durkheim menerangkan secara detail metodologi
ilmiah sosiologi dalam bukunya ”The Rules of Sociological Mehod”.
Sosiologi muncul pada abad ke-19 sebagai respon terhadap modernitas. Kemajuan
teknologi dan meningkatnya mobilitas berpengaruh pada masyarakat dan
kebudayaan yang berbeda dari sebelumnya. Ilmu Sosiologi berkembang sejalan
dengan perkembangan masyarakat. Sejak pertama kali dirumuskan oleh Auguste
Comte, sosiologi terus mengalami perkembangan hingga saat ini.
Indikasi semakin meluasnya ruang lingkup sosiologi bisa dilihat dari berkembang
biaknya subdisiplin yang menjadi cabang sosiologi. Beberapa diantaranya yang
bisa disebutkan adalah Sosiologi Digital, Sosiologi Turisme, Sosiologi Pemuda,
Sosiologi Kesehatan, Sosiologi Olah Raga, Sosiologi Sastra, Sosiologi Hukum,
Sosiologi Ekonomi, Sosiologi Gender, dan Sosiologi kontemporer lainnya.
Kecenderungan lain yang bisa diidentifikasi adalah semakin menjauhnya
sosiologi dari tradisi positivisme. Sejarah perkembangan sosiologi di era
kontemporer cenderung menolak relevansi hukum-hukum alam pada ilmu sosial.
Saat ini, fakultas-fakultas ilmu sosial di seluruh dunia mulai mengajarkan
sosiologi terlepas dari bapak pendirinya. Tak heran, tokoh-tokoh seperti Michel
Foucault, Pierre Bourdieu dan Slavoj Zizek lebih diminati ketimbang Auguste
Comte dan Emile Durkheim yang memang makin usang.
Sosiologi atau pada umumnya ilmu pengetahuan sosial dianggap tidak match
dengan ketersediaan lapangan kerja. Ini adalah kesalahan persepsi dari orang-
orang yang tidak memahami secara mendalam tentang peran dan fungsi ilmu
pengetahuan pada umumnya. Di kala ketidakpahaman ini berada di kalangan
kaum pengambil kebijakan politik, maka terjadilah keterputarbalikan opini
masyarakat yang kemudian akan mempersempit ruang gerak keilmuan itu
sendiri. Tidak ada yang membantah bahwa ilmu pengetahuan yang
dikembangkan melalui pendidikan di perguruan tinggi harus berkaitan dengan
bidang pekerjaan. Cuma saja yang kerap kali dipersepsikan bahwa bidang
pekerjaan itu sangatlah terbatas dan ilmu pengetahuan harus menyesuaikan
diri terhadap bidang kerja yang terbatas itu. Pemerintah memang berupaya
memperluas lapangan kerja, tetapi serentak dengan itu pemerintah juga
'mendorong' pemangku ilmu pengetahuan untuk memperlambat gerak
langkahnya. Konsep yang seharusnya dikembangkan adalah bahwa
pendidikan ilmu pengetahuan difungsikan bagi kecerdasan dan kemampuan
(aptitude) manusia, pembentukan sikap dan kepribadian (attitude and
personality) dan membangun penampilan mereka di dalam masyarakat luas
(appearance). Jika persepsi ini ditumbuhkan, niscaya paradigmanya dapat
dibalik, yakni manusia tadi akan mampu menumbuhkan, mengembangkan,
memperluas lapangan dan bidang kerja. Jadi publik yang nantinya akan
berfungsi membantu pemerintah, bukan pemerintah yang mati akal dan selalu
menyalahkan publik, terutama publik pemangku pendidikan.