PEMBAHASAN
4
5
Didalam abad 19, muncul dua ilmu pengetahuan baru yaitu psikologi
(ilmu yang mempelajari perilaku dan sifat-sifat manusia) dan sosiologi (ilmu yang
mempelajari masyarakat). Astronomi, pada mulanya merupakan bagian dari
filsafat yang bernama kosmologi. Sedangkan filsafat alamaiah, menjadi fisika;
filsafat kejiwaan menjadi psikologi; dan filsafat sosial menjadi sosiologi. Dengan
demikian timbullah sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang di dalam
pertumbuhannya dapat dipisahkan dari ilmu-ilmu kemasyarkatan lainya, seperti
ekonomi, sejarah, ilmu jiwa sosial dan sebagainya.
Perkembangan perhatian terhadap masyarakat seperti diurakan diatas,
terjadi pada tiap-tiap masyarakat dibelahan dunia manapun. Pemikiran terhadap
masyarakat lambat laun mendapat bentuk sebagai suatu ilmu pengetahuan yang
kemudian dinamakan sosiologi, pertama kali terjadi di Eropa. Banyak usaha-
usaha, baik yang bersifat ilmiah maupun non ilmiah, yang membentuk sosiologi
sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Beberapa faktor yang menjadi
pendorong utama adalah meningkatnya pehatian terhadap kesejahteraan
masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.
Berbeda dengan di Eropa, Sosiologi di Amerika Serikat dihubungkan dengan
usaha-usaha untuk meningkatkan keadaan-keadaan sosial manusia dan sebagai
suatu pendorong untuk menyelesaikan persoalan yang ditimbulkan oleh kejahatan,
pelanggaran, pengangguran, kemiskinan, konflik, peperangan dan masalah-
masalah sosial lainnya.
Pada abad ke 19, Auguste Comte, seorang ahli filsafat bangsa perancis, telah
menulis beberapa buku yang berisikan pendekatan-pendekatan umum untuk
mempelajari masyarakat. Dia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan mempunyai
urutan-urutan tertentu berdasarkan logika. Selanjutnya disebutkan, bahwa setiap
penelitian dilakukan melalui tahap-tahap tertentu kemudian mencapai tahap
terakhir yaitu tahap ilmiah. Oleh sebab itu dia menyarakan agar semua penelitian
terhadapa masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu tentang masyarakat yang
berdiri sendiri. Nama yang doberikan tatkala itu adalah Sosiologi (1839) yang
berasal dari kata latin Socius yang berarti kawan dan Yunani Logos yang
berarti kata atau berbicara jadi sosiologi itu berarti berbicara mengenai
masyarakat. Seperti halnya geologi (geo,bumi) artinya, berbicara tentang bumi;
6
Sosiologi adalah induk ilmu sosial yang mengkaji secara ilmiah mengenai
kehidupan manusia. Sosiologi merupakan suatu ilmu di mana di dalamnya
dipelajari hakikat dan sebab-sebab dari berbagai pola dan perilaku manusia yang
terjadi secara teratur dan bisa berulang-ulang. Hal ini membedakannya dengan
ilmu psikologi, misalnya, yang dikenal sebagai suatu ilmu yang memusatkan
perhatiannya hanya pada karakteristik pikiran dan perilaku individu per individu.
Sedangkan sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tindakan individu dalam
kapasitasnya sebagai anggota suatu kelompok masyarakat (Soeprapto, 2002).
Perkembangan sosiologi pendidikan di indonesia mengalami banyak
kemajuan di antaranya sebagai berikut: Pertama, Soerjono Soekanto mengatakan
bahwa Sri Paku Buwono dari Surakarta (Keraton Solo) dapat dikatakan telah
membicarakan sosiologi dalam karyanya berjudul Wulang Reh, walaupun
sosiologi sebagai ilmu belum dikenal secara formal.
8
baru terhadap penyesuaian perilaku lembaga pendidikan. Oleh karena itu disiplin
sosiologi pendidikan yang sempat tenggelam dimunculkan kembali sebagai
bagian dari ilmu-ilmu penting di lembaga pendidikan (Maunah, 2016:29)
b) Landasan sosiologi Pendidikan
Pada awalnya, sosiologi dan ilmu pendidikan memiliki wilayah kajian yang
berbeda, namun karena perkembangan sosial yang berlangsung menyebabkan
kedua disiplin ilmu ini bersinergi. Dengan kata lain, sosiologi pendidikan
merupakan subdisiplin yang menempati wilayah kajian yang menjembatani
disiplin sosiologi dengan ilmu pendidikan.
Secara historis, sosiologi dan pendidikan dianggap sebagai pengetahuan
kuno, yang keberadaannya berbarengan dengan awal mula adanya manusia.
Apabila sosiologi dipahami dalam arti luas, yakni sebagai social interaction
(interaksi social) atau human relationship (hubungan antar manusia), maka
sosiologi telah ada sejak sejak zaman Nabi Adam. Namun sosiologi dalam
pengertian scientific (ilmu pengetahuan), yakni sebagai ilmu yang tersistematisasi
baru diakui sejak abad ke 19 melalui Auguste Comte (1798-1857), yang kemudian
ia dikenal sebagai bapak pendiri sosiologi.
Demikian juga dengan pendidikan, kalau pendidikan dipahami dalam arti
luas, yakni sebagai proses belajar, mengenal, dan mengetahui, maka pendidikan
telah ada sejak zaman Nabi Adam juga. Ketika Allah swt mengajari Adam utuk
mengenal nama-nama seluruh benda yang ada di sekitamya, dapat dikatakan
bahwa peristiwa tersebut sebagai aktivitas pendidikan (QS. A1-Baqarah: 31):
"Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) setnuanya, kemudian Dia
perlihatkan kepada para Malaikat seraya berfirman, 'sebutkan kepada-Ku nama
semua (benda) ini, jika kamu yang benar!". Tetapi, sebagai disiplin ilmu
pengetahuan yang berdiri sendiri, ilmu pendidikan baru diakui pada abad 19,
ketika para ahli berhasil merumuskan obyek, metode, dan sistemnya.
Mempelajari sebuah ilmu sebaiknya dimulai dari definisinya. Mengetahui
definisi akan memudahkan kita untuk mengerti memahami isinya. Begitu juga
dalam mempelajari sosiologi pendidikan kita diharuskan mengetahui apa definisi
sosiologi pendidikan itu. Istilah sosiologi pendidikan merupakan kata majemuk
berasal dari dua kata; sosiologi dan pendidikan. Untuk menjawab pertanyaan ini
secara terperinci, Iebih baik ditinjau dari perspektif etimologis dan terminologis.
10
Dari berbagai definisi yang dikemukan oleh para ahli dapatlah disimpulkan
bahwa sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat atau cabang ilmu sosial yang
mempelajari secara sistematik kehidupan bersama manusia yang di tinjau dan
diamati dengan menggunakan metode empiris yang di dalamnya terkandung studi
tentang kelompok-kelompok manusia, tatanan sosial, perubahan sosial, sebab-
sebab sosial, dan segala fenomena sosial yang memengaruhi perilaku manusia
(Soekanto, 2003:23)
riyadah, dalam bahasa Arab. Walau setiap terma tersebut mempunyai makna yang
berbeda, karena perbedaan teks dan konteks kalimatnya, namun dalam beberapa
hal, terma-terma tersebut mempunyai kesamaan makna. Pengertian `pendidikan',
secara sederana, adalah proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau
kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan
(Maksum, 2017: 3).
Secara terminologis, menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi,
mendefinisikan pendidikan (tarbiyah) sebagai upaya mempersiapkan individu
untuk kehidupan yang lebih sempurna, kebahagiaan hidup, cinta tanah air,
kekuatan raga, kesempurnaan etika, sistematik dalam berpikir tajam, berperasaan,
giat dalam berkreasi, toleransi pada yang lain, berkompetensi dalam
mengungkapkan bahasa tulis dan bahasa lisan dan terampil berkreativitas.
Sementara Azyumardi Azra meng-anggap pendidikan sebagai suatu proses
penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan
hidupnya secara lebih efektif dan efisien.
Paedegogic berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata pais, artinya anak, dan
again diterjemahkan membimbing, jadi paedagogic yaitu bimbingan yang
diberikan kepada anak. Secara definitif pendidikan (paedagogic) diartikan,
sebagai berikut: Jhon Dewey mengatakan Pendidikan adalah proses pembentukan
kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam
dan sesama manusia. (Ahmadi & Uhbiyati, 2001:69). Sedangkan Ki Hajar
Dewantara mendefinisikan mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat
yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tinginya.
Berdasarkan uraian diatas, pendidikan pada hakekatnya suatu kegiatan yang
secara sadar dan disengaja, serta penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh
orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak
tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan berlangsung terus-
menerus.
Secara terminologis (istilah), menurut Maliki (2008:5) mengatakan bahwa
sosiologi pendidikan adalah kajian bagaimana institusi dan kekuatan sosial
memengaruhi proses dan outcome pendidikan dan begitu pula sebaliknya.
12
Obyek sosiologi pendidikan dapat dibagi menjadi dua, yakni obyek material
dan obyek formal. Obyek Material dan Obyek Formal. Obyek material sosiologi
pendidikan adalah segala sesuatu yang menjadi masalah, segala sesuatu yang
dimasalahkan sosiologi pendidikan. Yang dipermasalahkan sosiologi pendidikan
adalah masyarakat, tingkah laku manusia, dan institusi pendidikan. Ketiga
masalah pokok sosiologi pendidikan ini apabila dijabarkan lebih detail
menyangkut persoalan seputar kelompok sosial, struktus sosial, kelas, sekolah,
guru, anak didik, keluarga, stratifikasi sosial, perubahan sosial, dan sebagainya,
masing-masing terangkum dalam wilayah suatu sistem sosial. Tiap-tiap sistem
sosial merupakan kesatuan integral(utuh) yang mendapat pengaruh dari: (1)
sistem sosial yang lain; (2) lingkungan alam; (3) sifat-sifat fisik manusia, dan (4)
karakter mental penghuninya. Obyek formal sosiologi pendidikan adalah sudut
pandang untuk mendapatkan penjelasan dari perspektif sosiologi dan ilmu
pendidikan tentang segala sesuatu yang dipermasalahkan obyek material, yakni
masyarakat, tingkah laku manusia, dan insitusi pendidikan. Sehingga obyek
formal sosiologi pendidikan adalah bagaimana hubungan perilaku manusia dan
institusi pendidikan serta proses yang timbul dari hubungan antara kedua masalah
tersebut dalam membentuk perilaku manusia di dalam masyarakat.
(e) Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Dengan mengahadapi dunia yang setiap saat berubah tersebut, pendidikan untuk
selalu siap berubah tersebut, pendidikan harus membekali kepada anak didiknya
untuk selalu siap berubah (ready to change) dan siap belajar (ready to learn).
Keempat, pendidikan sebagai agen of social change, disatu sisi, dituntut
mempunyai fungsi transformatif, yakni pendidikan menjadi jembatan untuk
memajukan masyarakat agar tidak ketinggalan dalam dinamika perubahan.
Lembaga-lembaga pendidikan dituntut untuk memberikan berbagai pengalaman
kepada peserta didik dan masyarakat, baik ilmu, teknologi maupun keterampilan
untuk menghadapi masa depan. Sementara disisi lain, pendidikan tetap dituntut
mentranmisikan nilai-nilai budaya bangsa seperti struktur keluarga, agama, norma
sosial, dan filsafat hidup berbangsa perlu dipertahankan untuk menjaga keutuhan
dan kelangsungan hidup bernegara
a) Definisi Antropologis
Antropologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari umat manusia
(anthropos). Secara etimologi, antropologi berasal dari kata anthropos berarti
manusia dan logos berarti ilmu. Antropologi memandang manusia sebagai sesuatu
yang kompleks dari segi fisik, emosi, sosial, dan kebudayaannya. Antropologi
sering pula disebut sebagai ilmu tentang manusia dan kebudayaannya.
Pengertian lainnya disampaikan oleh Harsojo dalam bukunya yang berjudul
Pengantar Antropologi (1984). Menurut Harsojo, antropologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari umat manusia sebagai makhluk masyarakat.
Menurutnya, perhatian antropologi tertuju pada sifat khusus badani dan cara
produksi, tradisi serta nilai-nilai yang akan membedakan cara pergaulan hidup
yang satu dengan pergaulan hidup yang lainnya. Sementara itu Koentjaraningrat
dalam bukunya yang berjudul Pengantar Antropologi I (1996) menjelaskan
bahwa secara akademis, antropologi adalah sebuah ilmu tentang manusia pada
umumnya dengan titik fokus kajian pada bentuk fisik, masyarakat dan
kebudayaan manusia. Sedangkan secara praktis, antropologi merupakan sebuah
ilmu yang mempelajari manusia dalam beragam masyarakat suku bangsa guna
membangun masyarakat suku bangsa tersebut.
18
b) Antropologis Pendidikan
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua
orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu
dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain
sebagainya.. Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal
ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus
mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung
komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk.
Menurut Myers Jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya
mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari
kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik.
Teori Interaksi Simbolik merupakan teori yang memiliki asumsi bahwa
manusia membentuk makna melalui proses komunikasi. Teori interaksi simbolik
berfokus pada pentingnya konsep diri dan persepsi yang dimiliki individu
berdasarkan interaksi dengan individu lain. Simbol adalah objek sosial dalam
suatu interaksi. Ia digunakan sebagai perwakilan dan komunikasi yang ditentukan
oleh orang orang yang menggunakannya. Orang-orang tersebut memberi arti,
menciptakan dan mengubah objek tersebut di dalam interaksi. Simbol sosial
tersebut dapat mewujud dalam bentuk objek fisik (benda-benda kasat mata); kata-
kata (untuk mewakili objek fisik, perasaan, ide-ide, dan nilai-nilai), serta tindakan
(yang dilakukan orang untuk memberi arti dalam berkomunikasi dengan orang
lain).
2.2.2 Implikasi landasan Antropologi dalam Pendidikan
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam implikasi landasan antropologi, adalah
sebagai berikut. (1) Identifikasi kebutuhan belajar masyarakat. Identifikasi
25
kegiatan kelas sebagai suatu sistem sosial, dan lingkungan eksternal persekolahan)
diajukan sebagai ancar-ancar untuk menunjukkan beberapa kontribusi sosiologi
bagi para praktisi di dunia pendidikan.
G.D. Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan
antropologi terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan
empiris yang sudah diverifikasikan dengan menganalisa aspek-aspek proses
pendidikan yang berbeda-beda dalam lingkungan sosial budayanya. Teori khusus
dan percobaan yang terpisah tidak akan menghasilkan disiplin antropologi
pendidikan. Pada dasarnya, antropologi pendidikan mestilah merupakan sebuah
kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktek pendidikan dalam prespektif
budaya, tetapi juga tentang asumsi yang dipakai antropolog terhadap pendidikan
dan asumsi yang dicerminkan oleh praktek-praktek pendidikan(Imran Manan,
1989).
Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka antropologi
bermanfaat bagi pendidikan. Dimana para pendidik harus melakukan secara hati-
hati. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang ada dan berkembang dalam
masyarakat bersifat unik, sukar untuk dibandingkan sehingga harus ada
perbandingan baru yang bersifat tentatif (belum pasti). Setiap penyelidikan yang
dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan yang berharga dan
mempengaruhi pendidikan.
mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan
mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya
menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri.
Dengan prinsip ini, peserta didik dapat belajar melalui proses berpikir,
bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial dan mendorong
peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial. Jadi antropologi
sebagai prinsip adalah cara belajar setiap individu/siswa memiliki perberbedaan.
Baik dalam segi budaya, cara belajar, sikap dalam mendengarkan penjelasan guru,
sikap menghormati guru. Dalam pembelajaran guru harus menguasai pendidikan
multikultural agar dapat melaksanakan pembelajaran multikultural sehingga
peserta didik dapat saling menghargai dan menghormati perbedaan suku, ras,
budaya, dan agama serta diharapkan tidak timbulnya kekerasan maupun
perkelahian atas perbedaan tersebut. Pembelajaran berbasis multikultural berusaha
memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang
berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau
kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung.
dengan baik melalui tindakan guru di ruang kelas. Dalam hal ini, guru memegang
peranan penting sebagai pemberi informasi yang harus dikuasai oleh siswa. Jadi
Sosiologi sebagai orientasi pembelajaran pada intinya bahwa Meninjau kesadaran
mengenai diri sendiri dalam kaitannya dengan waktu, tempat, dan orang lain.
sikap sosial antara guru dengan siswa dalam proses pembelajaran. Sosiologi
melandasi peninjauan sikap guru atau siswa dalam pembelajaran. Antropologi
sebagai orientasi pembelajaran.
Orientasi adalah pengakraban dan penyesuaian dengan situasi atau
lingkungan. Jika dikaitkan dengan Antropologi sebagai orientasi pembelajaran
merupakan peninjauan untuk menentukan sikap antara budaya guru maupun siswa
dalam proses pembelajaran agar lebih mengenal budaya dalam ruang lingkup
pembelajaran. Belajar dan Pembelajaran adalah proses yang Komplek karena
dipengaruhi Oleh berbagai faktor. Antara Lain: Faktor Budaya, Sejarah, Hambatan
Praktis, Karakteristik guru sebagai Guru, Karakteristik Siswa dan sifat alamia
proses belajar dan pembelajaran.
Banyak hal yang mempengaruhi guru sehingga memiliki keperibadian
tertentu yang unik . Lingkup budaya dimana guru berkembang, masyarakat,
dimana guru hidup, pengaruh keluarga, pengaruh agama yang dianut. Disadari
atau tidak disadari, salah satu kegiatan pra belajar dan pembelajaran adalah
mengidentifikasi karakteristik awal siswa. Karakteristik awal siswa meliputi
berbagai aspek Bahasa latar belakang akademik, usia dan tingkat kedewasaan,
latar belakang budaya, tigkat Pengetahuan, serta keterampilan yang mungkin
merupakan syarat awal Bagi pelajaran yang akan disajikan. Kompetensi
kepribadian yang harus dimiliki oleh guru adalah arif, dan berwibawa, menjadi
teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kepribadian guru ini sangat
penting mengingat dalam masyarakat indonesia dianut budaya yang menempatkan
guru sebagai tokoh sentral dalam kehidupan masyarakat.
2.6.3 Landasan Sosiologis dan Antropologis sebagai Modus Transaksi
Pembelajaran
transaksi tercermin pada model pembelajaran yang digunakan dalam kelas. Dalam
hal ini guru merupakan faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya proses
belajar mengajar. Karaketeristik masing-masing siswa dalam belajar berbeda-
beda.
Karakteristik gaya belajar seseorang cukup berpengaruh terhadap
pencapaian hasil belajarnya. Dengan mengenal masing-masing karakteristik murid
dalam proses pembelajaran, dapat membantu guru untuk menentukan cara
pembelajran yang sesuai. Jika model yang diterapkan sudah tepat, maka transaksi
akan berjalan dengan lancar karena ada timbal balik yang diberikan baik itu dari
guru atau siswa. Modus transaksi pembelajaran menganut prinsip tanggung
jawab belajar (mengatur dan mengelola, serta mengukur hasil) pada siswa; maju
berkelanjutan sesuai fenomena dinamika yang ada; bersifat kolaboratif; dan
difasilitasi dengan karakteristik tugas yang otentik, menantang, dan komprehensif.
Hubungan timbal balik sikap sosial guru terhadap siswa, Empati:
memahami/peduli sesama teman; Partisipasi: berpartisipasi dlm kegiatan
kelompok; Dermawan: membiasakan dirinya untuk berbagi; Komunikasi: terbuka
untuk berkomunikasi; Negoisasi: tawar menawar, baik dlm mengerjakan tugas
bersama; penyelesaian masalah: Antropologi sebagai modus transaksi
pembelajaran. Belajar merupakan transaksi antara individu dengan
lingkungannya. Kegiatan pembelajaran dilakukan oleh dua orang pelaku yaitu
guru dan siswa.
Prilaku guru adalah mengajar dan prilaku siswa adalah belajar. Proses
pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan
guru dan siswa atas hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi
edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Siswa atau peserta didik adalah
merupakan kelompok heterogin yang terdiri atas pribadi-pribadi yang mempunyai
karakteristik, kondisi dan kebutuhan yang berbeda, sehingga oleh karena itu perlu
mendapat perlakuan sedemikian rupa sehingga potensi masing-masing pribadi
tersebut dapat berkembang secara optimal.
33