Anda di halaman 1dari 31

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Landasan Sosiologis dan Antropologis Pendidikan


2.1.1 Sosiologi Pendidikan
a) Definisi sosiologi

Pada dasarnya, setiap manusia pasti akan saling membutuhkan dengan


manusia lainnya dalam pergaulan hidupnya sehari-hari dilingkungan masyarakat.
Itulah sebabnya, manusia disebut sebagai mahluk sosial (zoon politicon- menurut
aristoteles). Manusia, sebagai mahluk paling sempurna yang oleh sang kholiq
(Sang Maha Pencipta) diberi anugerah kemampuan kecerdasaan akal budi, hanya
akan bisa memanfaatkan segala potensi yang dimilikinya, manakala dia berada di
tengah lingkungan masyarakat (Sucipto, 2014:1).
Ibnu Khaldun merupakan tokoh yang banyak memberikan kontribusi dalam
wacana pengembangan peradaban dunia, khususnya umat Islam. Ibnu Khaldun
bukan hanya seorang filosuf, melainkan juga sosiolog, politikus dan ahli sejarah.
Sosiologi menurutnya merupakan sarana untuk memahami sejarah dan kondisi
sosial masyarakat pada suatu generasi, proses perubahan dalam suatu masyarakat,
faktor dan pengaruhnya dalam peta peradaban suatu bangsa.
Dalam konteks sosiologi, Ibnu Khaldun membagi masyarakat menjadi tiga
tingkatan: pertama, masyarakat primitif (wahsy), dimana mereka belum mengenal
peradaban, hidup berpindah-pindah dan hidup secara liar. Kedua, masyarakat
pedesaan, hidup menetap walaupun masih sederhana. Mata pencaharian mereka
dari pertanian dan peternakan. Dalam kelas ekonomi mereka dibagi menjadi tiga,
yaitu: petani, penggembala sapi dan kambing serta penggembala unta. Sedangkan
yang ketiga, masyarakat kota. Masyarakat ini menurutnya sebagai masyarakat
berperadaban, di mana mata pencahariannya dari perdagangan dan perindustrian.
Tingkat ekonomi dan kebudayaan cukup tinggi, mampu mencukupi kebutuhannya
bukan hanya kebutuhan pokok, melainkan juga kebutuhan sekunder dan mewah.
Prof. Smith, dari Amerika mengatakan bahwa Ibnu Khaldun ialah seorang
sejarawan, sosiolog dan filosuf seperti August Comte, Bekel, Spencer. Kebesaran
pemikiran Ibnu Khaldun telah banyak mempengaruhi filosuf Eropa dan pemikir
pada masa pencerahan. Di samping itu, banyak sosiolog, filosuf, sejarawan dan
ahli politik yang memuji kehebatan dan keluasan wawasannya (Kasdi, 2014)

4
5

Didalam abad 19, muncul dua ilmu pengetahuan baru yaitu psikologi
(ilmu yang mempelajari perilaku dan sifat-sifat manusia) dan sosiologi (ilmu yang
mempelajari masyarakat). Astronomi, pada mulanya merupakan bagian dari
filsafat yang bernama kosmologi. Sedangkan filsafat alamaiah, menjadi fisika;
filsafat kejiwaan menjadi psikologi; dan filsafat sosial menjadi sosiologi. Dengan
demikian timbullah sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang di dalam
pertumbuhannya dapat dipisahkan dari ilmu-ilmu kemasyarkatan lainya, seperti
ekonomi, sejarah, ilmu jiwa sosial dan sebagainya.
Perkembangan perhatian terhadap masyarakat seperti diurakan diatas,
terjadi pada tiap-tiap masyarakat dibelahan dunia manapun. Pemikiran terhadap
masyarakat lambat laun mendapat bentuk sebagai suatu ilmu pengetahuan yang
kemudian dinamakan sosiologi, pertama kali terjadi di Eropa. Banyak usaha-
usaha, baik yang bersifat ilmiah maupun non ilmiah, yang membentuk sosiologi
sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Beberapa faktor yang menjadi
pendorong utama adalah meningkatnya pehatian terhadap kesejahteraan
masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.
Berbeda dengan di Eropa, Sosiologi di Amerika Serikat dihubungkan dengan
usaha-usaha untuk meningkatkan keadaan-keadaan sosial manusia dan sebagai
suatu pendorong untuk menyelesaikan persoalan yang ditimbulkan oleh kejahatan,
pelanggaran, pengangguran, kemiskinan, konflik, peperangan dan masalah-
masalah sosial lainnya.
Pada abad ke 19, Auguste Comte, seorang ahli filsafat bangsa perancis, telah
menulis beberapa buku yang berisikan pendekatan-pendekatan umum untuk
mempelajari masyarakat. Dia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan mempunyai
urutan-urutan tertentu berdasarkan logika. Selanjutnya disebutkan, bahwa setiap
penelitian dilakukan melalui tahap-tahap tertentu kemudian mencapai tahap
terakhir yaitu tahap ilmiah. Oleh sebab itu dia menyarakan agar semua penelitian
terhadapa masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu tentang masyarakat yang
berdiri sendiri. Nama yang doberikan tatkala itu adalah Sosiologi (1839) yang
berasal dari kata latin Socius yang berarti kawan dan Yunani Logos yang
berarti kata atau berbicara jadi sosiologi itu berarti berbicara mengenai
masyarakat. Seperti halnya geologi (geo,bumi) artinya, berbicara tentang bumi;
6

biologi (bios,kehidupan), artinya, berbicara tentang kehidupan dan antropologi


(antrophos, manusia), berarti berbicara perihal manusia.
Selanjutnya Comte berkata bahwa sosiologi harus dibentuk berdasarkan
pengamatan dan tidak pada spekulasi-spekulasi perihal keadaan masyarakat.
Hasil-hasil observasi tersebut harus disusun secara sistematis dan metodologis.
Sayangnya, Comte tidak menjelaskan bagaimana caranya menilai hasil-hasil
pengamatan kemasyarakatan tersebut. Lahirnya Sosiologi tercatat pada tahun
1842, tatkala Comte menerbitkan jilid terakhir dan bukunya yang beijudul
"Positive Philosophy" yang sangat tersohor itu. Seorang ahli filsafat dan ahli fikir
kemasyarakatan dari Inggris yaitu John Stuart Mill, menyarankan istilah
"ethology" bagi ilmu pengetahuan yang baru ini. Akan tetapi istilah tersebut tidak
pernah popular sampai saat sekarang. Sejak Herbert Spencer mengembangkan
suatu sistematika penelitian masyarakat dalam bukunya yang berjudul "Priciples
of Sociology" setengah abad kemudian, istilah Sosiologi menjadi lebih popular.
Berkat jasa beliau pulalah Sosiologi berkembang dengan pesatnya. Sosiologi
berkembang lebih pesat lagi pada abad ke 20, terutama di Perancis, Jerman dan
Amerika Serikat. Tapi arah perkembangan di ketiga Negara tersebut berbeda satu
sama lain. Walaupun John Stuart Mill dan Herbert Spencer sama-sama orang
Inggris, namun ilmu tersebut tidak begitu pesat perkembangannya di Negara
tersebut, berbeda dengan keadaan di Amerika Serikat pada masa itu.
Nama-nama sepert Aguste Comte (Perancis) Herbert Spencer (inggris), Karl
Marx (Jerman), Vilfredo pareto (italia), Pitirim A. Sorikin (Rusia), Max Weber
(jerman), Steinments (Belanda), Charles Horton Cooley (Amerika Serikat), Lester
F. Ward (Amerika Serikat), Adalah nama-nama yang termuka dalam
perkembangan sosiologi di benua Eropa dan Amerika. Dari Eropa, ilmu sosiologi
kemudian menyebar ke benua dan Negara- negara lain, termasuk indonesia.

Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai


keseluruhan, yakni hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan
kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formal maupun materil, baik statis
maupun dinamis (Anwar & Adang, 2008:5). Sosiologi, jelas merupakan ilmu
sosial yang obyeknya adalah masyarakat. Istlah ilmu dalam pengertian klasik
dipahami sebagai pengetahuan tentang sebab-sebab atau asal-usul. Istilah
7

pengetahuan (knowledge) biasanya dilawankan dengan pengertian opini,


sedangkan istilah sebab (causa), yang diambil dari kata Yunani, aitia merupakan
prinsip pertama yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu produk
pemikiran manusia.
Secara umum sosiologi mempelajari perilaku masyarakat dan segala
persoalannya. Bertambahnya populasi semakin meningkat suatu kejahatan di
lapangan adalah salah satu obyek studi sosiologi. Begitu juga banyaknya anak
putus sekolah, berbagai kasus bullying di kalangan pelajar, konflik antar kampung
atau etnis, kerusuhan peduduk di sekitar desa, perilaku pekerja, korupsi dan
sebagainya semua masalah yang melibatkan kelompok menjadi garapan sosiologi.
Sosiologi adalah ilmu murni. Artinya ilmu ini tidak mencari mana yang benar dan
mana yang salah. Tugasnya memetakan kondisi masyarakat yang jadi obyeknya,
menemukan akar persoalannya, lalu mencari penjelasan dari semua itu. Seorang
sosilog sering diminta mengajukan soslusi, jadi umumnya para sosiolog-lah yang
paling tahu masyarakat ini sebaiknya diapakan(Liem, 2015). Pada dasar hampir
semua gejala masyarakat dapat dijelaskan oleh sosiologi. Tiga pendekatan dasar
yang disebut structural-functional, konflik, dan interaksionisme simbolik harus
dikuasai dengan baik untuk memahami berbagai persoalan.

Sosiologi adalah induk ilmu sosial yang mengkaji secara ilmiah mengenai
kehidupan manusia. Sosiologi merupakan suatu ilmu di mana di dalamnya
dipelajari hakikat dan sebab-sebab dari berbagai pola dan perilaku manusia yang
terjadi secara teratur dan bisa berulang-ulang. Hal ini membedakannya dengan
ilmu psikologi, misalnya, yang dikenal sebagai suatu ilmu yang memusatkan
perhatiannya hanya pada karakteristik pikiran dan perilaku individu per individu.
Sedangkan sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tindakan individu dalam
kapasitasnya sebagai anggota suatu kelompok masyarakat (Soeprapto, 2002).
Perkembangan sosiologi pendidikan di indonesia mengalami banyak
kemajuan di antaranya sebagai berikut: Pertama, Soerjono Soekanto mengatakan
bahwa Sri Paku Buwono dari Surakarta (Keraton Solo) dapat dikatakan telah
membicarakan sosiologi dalam karyanya berjudul Wulang Reh, walaupun
sosiologi sebagai ilmu belum dikenal secara formal.
8

Menurutnya pula bahwa Ki Hajar Dewantara juga telah memberikan


sumbanganya kepada sosiologi dengan konsepsi kepemimpinan, pendidikan, serta
kekeluargaan di Indonesia, dan kini menjadi inti dari kepemimpinan Pancasila,
yaitu Ing Ngarsa Sung Tuladha, lag Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani..
Kedua, Setelah perang Dunia H, Mr. Djody Gondokoesoemo telah menerbitkan
buku Sosiologi indonesia. Kemudian Hasan Shadily dengan bukunya Sosiologi
untuk Masyarakat Indonesia telah memuat bahan-bahan sosiologi modern. Juga
Mayor Polak dengan bukunya (Disertasi) Social Changes in Yogyakarta. Buku ini
ditulis pada tahun 1962 dan merupakan sebuah karya ilmiah yang memaparkan
tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat Yogyakarta sebagai
akibat revolusi politik dan sosial pada waktu pusat revolusi masih berada di sana.
Ketiga, Selo Soemardjan dan Soelaiman dengan bukunya berjudul Setangkai
Bunga Sosiologi. Buku ini ditulis pada tahun 1964, adalah sebuah buku yang
merupakan himpunan berbagai cuplikan dari buku-buku teks (textbook) sosiologi,
ditulis dalam bahasa Inggris disertai pengantar inggris dalam bahasa Indonesia,
dan merupakan literatur wajib untuk kuliah pengantar sosiologi pada berbagai
perguruan tinggi di Indonesia. Selanjutnya masih banyak buku-buku sosiologi
dalam bahasa indonesia yang bermunculan menghiasi dan mengisi kependidikan
kita. Sejak manusia dilahirkan di dunia ini, secara sadar maupun tidak,
sesungguhnya ia telah belajar dan berkenalan dengan hubungan-hubungan sosial
dimulai dari hubungan antara anak dengan orang tua kemudian meluas hingga
tetangga. Dalam hubungan sosial tersebut terjadilah proses pengenalan dan proses
pengenalan tersebut mencakup berbagi corak kehidupan masyarakat yang
berbeda-beda dengan masalah yang berbeda pula. Sosiologi ini dicetuskan oleh
Agus Comte maka dari itu dia dikenal sebagai bapak sosiologi, ia lahir di
Montpeller tahun 1798, ia merupakan seorang penulis kebanyakan konsep, prinsip
dan metode yang sekarang dipakai dalam sosiologi berasal dari Comte. Comte
mengatakan bahwa tiap-tiap cabang ilmu pengetahuan manusia mesti melalui tiga
tahapan perkembangan teori secara berturut yaitu keagamaan atau khayalan,
metafisika atau abstrak dan scientific atau positif. Setelah selesai perang Dunia II,
perkembangan masyarakat berubah secara drastis dimana masyarakat dunia
menginginkan adanya perubahan dalam menyahuti perkembangan dan kebutuhan
9

baru terhadap penyesuaian perilaku lembaga pendidikan. Oleh karena itu disiplin
sosiologi pendidikan yang sempat tenggelam dimunculkan kembali sebagai
bagian dari ilmu-ilmu penting di lembaga pendidikan (Maunah, 2016:29)
b) Landasan sosiologi Pendidikan
Pada awalnya, sosiologi dan ilmu pendidikan memiliki wilayah kajian yang
berbeda, namun karena perkembangan sosial yang berlangsung menyebabkan
kedua disiplin ilmu ini bersinergi. Dengan kata lain, sosiologi pendidikan
merupakan subdisiplin yang menempati wilayah kajian yang menjembatani
disiplin sosiologi dengan ilmu pendidikan.
Secara historis, sosiologi dan pendidikan dianggap sebagai pengetahuan
kuno, yang keberadaannya berbarengan dengan awal mula adanya manusia.
Apabila sosiologi dipahami dalam arti luas, yakni sebagai social interaction
(interaksi social) atau human relationship (hubungan antar manusia), maka
sosiologi telah ada sejak sejak zaman Nabi Adam. Namun sosiologi dalam
pengertian scientific (ilmu pengetahuan), yakni sebagai ilmu yang tersistematisasi
baru diakui sejak abad ke 19 melalui Auguste Comte (1798-1857), yang kemudian
ia dikenal sebagai bapak pendiri sosiologi.
Demikian juga dengan pendidikan, kalau pendidikan dipahami dalam arti
luas, yakni sebagai proses belajar, mengenal, dan mengetahui, maka pendidikan
telah ada sejak zaman Nabi Adam juga. Ketika Allah swt mengajari Adam utuk
mengenal nama-nama seluruh benda yang ada di sekitamya, dapat dikatakan
bahwa peristiwa tersebut sebagai aktivitas pendidikan (QS. A1-Baqarah: 31):
"Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) setnuanya, kemudian Dia
perlihatkan kepada para Malaikat seraya berfirman, 'sebutkan kepada-Ku nama
semua (benda) ini, jika kamu yang benar!". Tetapi, sebagai disiplin ilmu
pengetahuan yang berdiri sendiri, ilmu pendidikan baru diakui pada abad 19,
ketika para ahli berhasil merumuskan obyek, metode, dan sistemnya.
Mempelajari sebuah ilmu sebaiknya dimulai dari definisinya. Mengetahui
definisi akan memudahkan kita untuk mengerti memahami isinya. Begitu juga
dalam mempelajari sosiologi pendidikan kita diharuskan mengetahui apa definisi
sosiologi pendidikan itu. Istilah sosiologi pendidikan merupakan kata majemuk
berasal dari dua kata; sosiologi dan pendidikan. Untuk menjawab pertanyaan ini
secara terperinci, Iebih baik ditinjau dari perspektif etimologis dan terminologis.
10

Secara etimologis (asal-usul kata) sosiologi pendidikan berasal dari kata


sosiologi dan pendidikan. sosiologi berasal dari bahasa latin dan Yunani,
yakni kata socius dan logos. socius(yunani) yang berati
kawan,berkawan,ataupun bermasyarakat. Sedangkan logos berarti ilmu
atau bisa juga berbicara tentang sesuatu. Dengan demikian secara harfiah istilah
sosiologi dapat diartikan ilmu tentang masyarakat. Sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok dan struktur
sosialnya (Pidarta, 2000:145).
Secara terminologis, beberapa ahli mendefinisikan sosiologi secara agak
berbeda. Marx Weber memandang sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial
antar hubungan sosial. Sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan
memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta hubungan sosial
untuk sampai pada penjelasan kausal.
Pitirim A. Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang
mempelajari: (a) Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka ragam gejala-
gejala sosial (misal: antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral;
hukum dengan ekonomi; dan gerakan masyarakat dengan politik); (b) Hubungan
dan pengaruh timbal balik antara gejala-gejala sosial dengan gejala-gejala non
sosial (misal: gejala geografis dan biologis).

Dari berbagai definisi yang dikemukan oleh para ahli dapatlah disimpulkan
bahwa sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat atau cabang ilmu sosial yang
mempelajari secara sistematik kehidupan bersama manusia yang di tinjau dan
diamati dengan menggunakan metode empiris yang di dalamnya terkandung studi
tentang kelompok-kelompok manusia, tatanan sosial, perubahan sosial, sebab-
sebab sosial, dan segala fenomena sosial yang memengaruhi perilaku manusia
(Soekanto, 2003:23)

Dengan demikian sosiologi dapat dipahami sebagai ilmu yang mempelajari


bagaimana manusia itu berhubungan satu dengan yang lain dalam kelompoknya
dan bagaimana susunan unit-unit masyarakat atau sosial di suatu wilayah serta
kaitan satu dengan yang lain.
Sementara istilah pendidikan, secara etimologis mempunyai padanan kata
education dalam bahasa Inggris, dan al-tarbiyah, al-ta'lim, al-ta'dib, dan al-
11

riyadah, dalam bahasa Arab. Walau setiap terma tersebut mempunyai makna yang
berbeda, karena perbedaan teks dan konteks kalimatnya, namun dalam beberapa
hal, terma-terma tersebut mempunyai kesamaan makna. Pengertian `pendidikan',
secara sederana, adalah proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau
kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan
(Maksum, 2017: 3).
Secara terminologis, menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi,
mendefinisikan pendidikan (tarbiyah) sebagai upaya mempersiapkan individu
untuk kehidupan yang lebih sempurna, kebahagiaan hidup, cinta tanah air,
kekuatan raga, kesempurnaan etika, sistematik dalam berpikir tajam, berperasaan,
giat dalam berkreasi, toleransi pada yang lain, berkompetensi dalam
mengungkapkan bahasa tulis dan bahasa lisan dan terampil berkreativitas.
Sementara Azyumardi Azra meng-anggap pendidikan sebagai suatu proses
penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan
hidupnya secara lebih efektif dan efisien.

Paedegogic berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata pais, artinya anak, dan
again diterjemahkan membimbing, jadi paedagogic yaitu bimbingan yang
diberikan kepada anak. Secara definitif pendidikan (paedagogic) diartikan,
sebagai berikut: Jhon Dewey mengatakan Pendidikan adalah proses pembentukan
kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam
dan sesama manusia. (Ahmadi & Uhbiyati, 2001:69). Sedangkan Ki Hajar
Dewantara mendefinisikan mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat
yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tinginya.
Berdasarkan uraian diatas, pendidikan pada hakekatnya suatu kegiatan yang
secara sadar dan disengaja, serta penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh
orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak
tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan berlangsung terus-
menerus.
Secara terminologis (istilah), menurut Maliki (2008:5) mengatakan bahwa
sosiologi pendidikan adalah kajian bagaimana institusi dan kekuatan sosial
memengaruhi proses dan outcome pendidikan dan begitu pula sebaliknya.
12

Menurut definisi ini terdapat hubungan timbal-balik antara pendidikan dan


perkembangan sosial. Pendidikan akan melahirkan perubahan sosial, begitu juga
perubahan sosial memengaruhi arah pendidikan. Sehingga antara pendidikan dan
perubahan sosial terdapat hubungan simbiosis-mutualisme.
Menurut Nasution (2010:2) mengemukakan sosiologi pendidikan adalah ilmu
yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan
untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih Definisi ini menginginkan
pendidikan sebagai aktivitas sosial agar dapat mencetak generasi yang memiliki
kepribadian, karakter, dan moral yang baik. Sedangkan menurut Idi (2011:20)
mendefinisikan sosiologi pendidikan adalah ilmu yang mendeskripsikan dan
menjelaskan tentang lembaga-lembaga, kelompok-kelompok sosial, proses sosial,
dimana terdapat suatu hubungan sosial (social relationship)dengan interaksi sosial
itu individu memperoleh dan mengorganisasikan pengalamannya. Dari definisi
tersebut dapat diambil pemahaman bahwa institusi pendidikan hendaknya dapat
dijadikan sebagai wahana untuk memper-oleh dan mengembangkan pengetahuan
agar dapat dijadikan bekal dalam kehidupannya.
Damsar (2011: 9-11) mengemukakan sosiologi pendidikan ke dalam dua
pengertian. Pertama, sosiologi pendidikan adalah suatu kajian yang mempelajari
hubungan antara masyarakat, yang di dalamnya terjadi interaksi sosial, dengan
pendidikan. Dalam hubungan ini dapat dilihat bagaimana masyarakat
memengaruhi pendidikan. Juga sebaliknya, bagaimana pendidikan memengaruhi
masyarakat. Kedua, sosiologi pendidikan diartikan sebagai pendekatan sosiologis
yang diterapkan pada fenomena pendidikan. Pendekatan sosiologis terdiri dan
konsep, variabel, teori, dan metode yang digunakan dalam sosiologi untuk
memahami kenyataan sosial, termasuk di dalamnya kom-pleksitas aktivitas yang
berkaitan dengan pendidikan.

Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa sosiologi


pendidikan adalah sosiologi yang membahas dan diterapkan dalam memecahkan
segala problematika yang ada dalam pendidikan, terutama dalam interaksi sosial
antara peserta didik dengan lingkungan, guru, dan sesamanya, begitu juga melihat
gejala-gejala sosial yang berkembang dalam sistem pendidikan, sehingga aspek-
aspek sosiologi yang ada dapat dijadikan pijakan dalam merumuskan segala
13

sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan, guna tercapainya kemajuan dalam


bidang pendidikan.
c) Tujuan mempelajari sosiologi pendidikan
Konsep sosiologi pendidikan akan memberikan penjelasan yang relevan
dengan kondisi kekinian masyarakat, sehingga setiap individu sebagai anggota
masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan
berbagai fenomena yang muncul dalam masyarakatnya. Namun demikian,
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat merupakan bentuk lain dari pola
budaya yang dibentuk oleh suatu masyarakat. Pendidikan tugasnya tentu saja
memberi penjelasan mengapa suatu fenomena terjadi, apakah fenomena tersebut
merupakan sesuatu yang harus terjadi, dan bagaimana mengatasi segala implikasi
yang bersifat buruk dari berkembangnya fenomena tersebut, sekaligus memelihara
implikasi dari berbagai fenomena yang ada.
Sedangkan Gunawan (2000:51) menyebutkan bahwa tujuan sosiologi
pendidikan sebagai berikut: (1) Menganalisis proses sosialisasi anak, baik dalam
keluarga, sekolah maupun masyarakat. Pengaruh lingkungan dan kebudayaan
masyarakat terhadap perkembangan pribadi anak perlu diperhatikan. (2)
Menganalisis perkembangan dan kemajuan sosial. Banyak pakar atau orang yang
beranggapan bahwa pendidikan memberikan peran yang sangat besar bagi
kemajuan masyarakat. (3) Menganalisis status pendidikan di dalam masyarakat.
Berdirinya suatu lembaga pendidikan dalam masyarakat sering disesuaikan
dengan tingkatan daerah tempat lembaga pendidikan berada. Misalnya, perguruan
tinggi bisa didirikan di tingkat provinsi atau minimal kabupaten yang cukup baik
animo mahasiswanya. (4) Menganalisis partisipasi orang-orang terdidik dalam
kegiatan sosial. Peran atau aktivitas warga yang berpendidikan sering menjadi
ukuran tingkat kemajuan suatu masyarakat. Orang-orang berpendidikan mudah
untuk berperan dalam masyarakat. Konsep tentang tujuan sosiologi pendidikan di
atas menunjukkan bahwa aktivitas masyarakat dalam pendidikan merupakan
sebuah proses sehingga pendidikan dapat dijadikan instrumen oleh individu untuk
dapat berinteraksi secara tepat di komunitas dan masyarakatnya.

d) Obyek Sosiologi Pendidikan


14

Obyek sosiologi pendidikan dapat dibagi menjadi dua, yakni obyek material
dan obyek formal. Obyek Material dan Obyek Formal. Obyek material sosiologi
pendidikan adalah segala sesuatu yang menjadi masalah, segala sesuatu yang
dimasalahkan sosiologi pendidikan. Yang dipermasalahkan sosiologi pendidikan
adalah masyarakat, tingkah laku manusia, dan institusi pendidikan. Ketiga
masalah pokok sosiologi pendidikan ini apabila dijabarkan lebih detail
menyangkut persoalan seputar kelompok sosial, struktus sosial, kelas, sekolah,
guru, anak didik, keluarga, stratifikasi sosial, perubahan sosial, dan sebagainya,
masing-masing terangkum dalam wilayah suatu sistem sosial. Tiap-tiap sistem
sosial merupakan kesatuan integral(utuh) yang mendapat pengaruh dari: (1)
sistem sosial yang lain; (2) lingkungan alam; (3) sifat-sifat fisik manusia, dan (4)
karakter mental penghuninya. Obyek formal sosiologi pendidikan adalah sudut
pandang untuk mendapatkan penjelasan dari perspektif sosiologi dan ilmu
pendidikan tentang segala sesuatu yang dipermasalahkan obyek material, yakni
masyarakat, tingkah laku manusia, dan insitusi pendidikan. Sehingga obyek
formal sosiologi pendidikan adalah bagaimana hubungan perilaku manusia dan
institusi pendidikan serta proses yang timbul dari hubungan antara kedua masalah
tersebut dalam membentuk perilaku manusia di dalam masyarakat.
(e) Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan

Sebagai ilmu pengetahuan, sosiologi pendidikan mengkaji lebih mendalam


pada bidangnya dengan cara bervariasi. Antara ahli sosiologi pendidikan yang satu
dengan yang lain berbeda-beda. Pokok bahasan utama dalam sosiologi pendidikan
adalah institusi pendidikan formal, dan institusi pendidikan formal terpenting
dalam masya-rakat adalah sekolah yang menawarkan pendidikan formal mulai
jenjang prasekolah sampai dengan jenjang pendidikan tinggi, baik yang bersifat
umum maupun khusus. Di samping pendidikan formal yang menjadi pokok
bahasan utama sosiologi pendidikan, pendidi-kan non formal dan informal pun
tidak luput dan perhatian para ahli sosiologi.
Merurut Sunarto (1993) mengungkapkan para ahli sosiologi pendidikan
membagi tiga pokok bahasan sosiologi pendidikan, yaitu: (1) Sosiologi
pendidikan Makro, yang mempelajari hubungan antara pendidikan dan institusi
lain dalam masyarakat: misalnya hubungan pendidikan dengan agama, sampai
15

sejauh manalembaga pendidikan dapat memberikan pengaruh terhadap anak didik


dalam menjalankan ajaran agamanya dengan baik. Hubungan pendidikan dan
politik; sampai sejauh mana sekolah menjalankan perannya dalam proses
sosialisasi politik. Hubungan antara pendidikan dan ekonomi; sampai sejauh mana
sistem pendidikan formal berperan dalam mempersiapkan tenaga kerja di sektor
formal yang telah slap pakai, atau sejauh mana orang yang menikmati fasilitas
pendidikan formal yang dibiayai negara memang merupakan orang yang
membayar pajak secara setara; (2) Sosiologi pendidikan Meso, yang mempelajari
hubungan- hubungan dalam suatu organisasi pendidikan. Pada sosiologi
pendidikan meso ini, sekolah dipandangsebagai suatu organisasi yang
menjalankan aturan-aturan tertentu sehingga dapat mencapai suatu tujuan. Di sini
dibahas tentangstruktur organisasi sekolah, peran dan fungsinya dalam organisasi
sekolah, serta hubungan organisasi sekolah dengan struktur organisasi masyarakat
yang lain; (3) Sosiologi pendidikan Mikro, yang membahas interaksi sosial yang
berlangsung dalam institusi pendidikan, misalnya pengelompokkan yang
terbentuk di kalangan mereka, sistem status, interaksi di dalam kelas, baik sesama
siswa maupun siswa dengan guru. Secara umum inti dari persoalan sosiologi
pendidikan membahas seputar konsep-konsep antara lain, mencakup: (1)
masyarakat; (2) institusi sosial; (3) peran; (4) norma; (5) interaksi sosial; (6)
konflik sosial; (7) perubahan sosial; (8) permasalahan sosial; (9) penyimpagan;
(10) globalisasi dan (11) kelompok.
(f) Pentingnya Mempelajari sosiologi pendidikan.

Aktivitas pendidikan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Sementara


masyarakat senantiasa berubah sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang terjadi. Agar pendidikan tidak kehilangan arah dalam
menghadapi msyarakat yang terus berubah, maka dunia pendidikan perlu terus
mengkaji dan menganalisis aspek-aspek perubahan, baik dari perspektif positif
maupun negatifnya. Setelah itu, dunia pendidikan perlu memngembangkan aspek
positifnya dan meminimalisasi aspek negatifnya.
Menurut Maliki (2008:8) Calon guru, guru, dosen, dan siapa saja yang
berkecimpung di dunia pendidikan, perlu memmpelajari sosiologi pendidikan,
karena beberapa alasan: Pertama, pendidikan mau tidak mau harus bisa
16

menyiapkan sebuah generasi yang siap memasuki masyarakat yang berubah


menuju masyarakat berbasis pengetahuan. Jika pendidikan tidak menghasilkan
manusia yang siap memasuki masyarakat dengan segala bentuk tuntutan dan
karakterya, maka pendidikan dianggap gagal memberikan bekal dan prasyarat
memasuki perubahan dan masa depan. Pendidikan, sekolah dan guru, harus bisa
membekali siswanya kemampuan kreatif dengan memberi pengetahuan dan
pengalaman hidup secara profesional di tengah masyarakat ekonomi dan
masyarakat pengetahuan; memberikan pengetahuan profesional kepada siswa,
kreatifitas dan kapabilitas memahami dunia yang berubah, dengan segala
dampaknya, tempat mereka akan bekerja dan menjalani hidupnya. Disinilah
pentingnya dunia pendidikan memanfaatkan jasa pemikiran sosiologis.
Kedua, praktisi pendidikan dapat merumuskan can menetapkan orientasi yang
relevan dengan dunia yang berubah di satu pihak, namun di lain pihak dunia
pendidikan tidak mengalami distorsi dan disorientasi. Pendidikan, bagaimanapun,
merupakan tempat yang bertanggung jawab dalam menumbuhkan tata nilai
kemanusiaan, tata masyarakat yang disemangati oleh prinsip keadilan dan
kesejahteraan bersama. Masyarakat ekonomi, apalagi dalam mode produksi
ekonomi tingkat lanjut dapat menggiring siapa saja menjadi komunitas yang
terdistorsi, termasuk masyarakat kependidikan men-jadi institusi ekonomi yang
hanya mengabdi kepada kepentingan kapitalis. Pendidikan harus tetap mampu
menjadi institusi penyembuhan di tengah masyarakat yang tidak menentu, yang
terbelah, masyarakat yang sakit.
Ketiga, pendidikan memerlukan perangkat pisau analisa sosiologis, karena ia
bukan sekedar mesin atau teknologi pembelajaran saja. Sekolah dan guru tidak
lagi bisa berkaca mata kuda. Dalam hal ini hanya mempertinggi kapabilitas
mereka dalam mengejar target kurikulum, memperbaiki test score para siswanya
dan hanya fokus kepada keberhasilan dalam ujian akhir nasional. Pendidikan
harus dikaitkan dengan perkembangan dan dinamika lingkungan masyarakat
berada. Pendidikan harus memberikan pencerahan kepada siswanya untuk
memahami dunia yang selalu berubah cepat. Dunia yang tidak lagi memiliki Batas
teritorial, lokal, regional, dan bahkan nasional. Manusia sekarang hidup di zaman
global, yang tidak ada sekat-sekat lagi antara satu negara dengan negara lain.
17

Dengan mengahadapi dunia yang setiap saat berubah tersebut, pendidikan untuk
selalu siap berubah tersebut, pendidikan harus membekali kepada anak didiknya
untuk selalu siap berubah (ready to change) dan siap belajar (ready to learn).
Keempat, pendidikan sebagai agen of social change, disatu sisi, dituntut
mempunyai fungsi transformatif, yakni pendidikan menjadi jembatan untuk
memajukan masyarakat agar tidak ketinggalan dalam dinamika perubahan.
Lembaga-lembaga pendidikan dituntut untuk memberikan berbagai pengalaman
kepada peserta didik dan masyarakat, baik ilmu, teknologi maupun keterampilan
untuk menghadapi masa depan. Sementara disisi lain, pendidikan tetap dituntut
mentranmisikan nilai-nilai budaya bangsa seperti struktur keluarga, agama, norma
sosial, dan filsafat hidup berbangsa perlu dipertahankan untuk menjaga keutuhan
dan kelangsungan hidup bernegara

2.1.2 Antropologi Pendidikan

a) Definisi Antropologis
Antropologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari umat manusia
(anthropos). Secara etimologi, antropologi berasal dari kata anthropos berarti
manusia dan logos berarti ilmu. Antropologi memandang manusia sebagai sesuatu
yang kompleks dari segi fisik, emosi, sosial, dan kebudayaannya. Antropologi
sering pula disebut sebagai ilmu tentang manusia dan kebudayaannya.
Pengertian lainnya disampaikan oleh Harsojo dalam bukunya yang berjudul
Pengantar Antropologi (1984). Menurut Harsojo, antropologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari umat manusia sebagai makhluk masyarakat.
Menurutnya, perhatian antropologi tertuju pada sifat khusus badani dan cara
produksi, tradisi serta nilai-nilai yang akan membedakan cara pergaulan hidup
yang satu dengan pergaulan hidup yang lainnya. Sementara itu Koentjaraningrat
dalam bukunya yang berjudul Pengantar Antropologi I (1996) menjelaskan
bahwa secara akademis, antropologi adalah sebuah ilmu tentang manusia pada
umumnya dengan titik fokus kajian pada bentuk fisik, masyarakat dan
kebudayaan manusia. Sedangkan secara praktis, antropologi merupakan sebuah
ilmu yang mempelajari manusia dalam beragam masyarakat suku bangsa guna
membangun masyarakat suku bangsa tersebut.
18

Menurut Conrad Philip Kottak dalam bukunya berjudul Anthropology, the


Exploration of Human Diversity (1991) menjelaskan bahwa antropologi
mempunyai perspektif yang luas, tidak seperti cara pandang orang pada
umumnya, yang menganggap antropologi sebagai ilmu yang mengkaji masyarakat
nonindustri. Menurut Kottak, antropologi merupakan studi terhadap semua
masyarakat, dari masyarakat yang primitif (ancient) hingga masyarakat modern,
dari masyarakat sederhana hingga masyarakat yang kompleks. Bahkan
antropologi merupakan studi lintas budaya (komparatif) yang membandingkan
kebudayaan satu masyarakat dengan kebudayaan masyarakat lainnya (Ruswanto,
2014).
Antroplogi sebagai sebuah ilmu mengalami tahapan-tahapan dalam dalam
perkembangannya. Koentjaraningrat (2009) membaginya ke dalam 4 (empat)
tahap. Tahap pertama, ditandai dengan tulisan tangan bangsa Eropa yang
melakukan penjajahan di benua Afrika, Asia, dan Amerika pada akhir abad ke-15.
Tulisan itu merupakan deskripsi keadaan bangsa-bangsa yang mereka singgahi.
Deskripsi yang dituliskan mencakup adat istiadat, suku, susunan masyarakat,
bahasa, dan ciri-ciri fisik. Deskripsi tersebut sangat menarik bagi masyarakat
Eropa karena berbeda dengan keadaan di Eropa pada umumnya. Bahan deskripsi
itu disebut juga Etnografi (Etnos berarti bangsa).
Tahap kedua, mereka menginginkan tulisan-tulisan atau deskripsi yang
tersebar itu dikumpulkan jadi satu dan diterbitkan. Isinya disusun berdasarkan
cara berpikir evolusi masyarakat, yaitu masyarakat dan kebudayaan manusia
berevolusi dengan sangat lambat, dari tingkat rendah sampai tingkat tertinggi.
Dari sinilah bangsa-bangsa digolongkan menurut tingkat evolusinya. Sekitar
tahun 1860, terbit karangan yang mengaklasifikasikan berbagai kebudayaan
tingkat evolusinya. Saat itu lahirlah antropologi. Dengan demikian pada tahap
kedua ini, antroplogi telah bersifat akademis. Pada tahap ini, antropologi
mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitiv untuk memperoleh pengertian
mengenai tingkat-tingkat perkembangan dalam sejarah evolusi dan sejarah
penyebaran manusia di dunia. Tahap ke tiga, antropologi menjadi ilmu yang
praktis. Pada tahap ini, antropologi mempalajari masyarakat jajahan demi
kepentingan kolonial. Hal ini berlangsung sekitar awal abad ke-20. Pada abad ini,
19

antropologi semakin penting untuk mengukuhkan dominasi bangsa-bangsa Eropa


Barat di daerah jajahannya. Dengan antropologi, bangsa Eropa mempelajari dan
tahu bagaimana menghadapi masyarakat daerah jajahannya. Selain itu, bangsa
bangsa terjajah pada umumnya belum sekompleks bangsa Eropa Barat. Oleh
karena itu, mempelajari bangsa-bangsa terjajah bagi bangsa Eropa dapat
menambah pengertian mereka tentang masyarakat mereka sendiri (Bangsa Eropa
Barat) yang kompleks. Tahap ke empat, antropologi berkembang sangat luas, baik
dalam akurasi bahan pengetahuanya maupun ketajaman metode-metode
ilmiahnya. Hal ini berlangsung sekitar pertengahan abad ke-20.
Sasaran penelitian antropologi di masa ini bukan lagi suku bangsa primitiv
dan bangsa Eropa Barat, tapi beralih pada penduduk pedesaan, baik mengenai
keanekaragaman fisik, masyarakat, maupun kebudayaannya termasuk suku bangsa
di daerah pedesaan di Amerika dan Eropa Barat itu sendiri, peralihan sasaran
penelitian itu terutama disebabkan oleh munculnya ketidaksenangan terhadap
penjajahan dan makin berkurangnya masyarakat yang dianggap primitiv.
Antropologi secara garis besar dipecah menjadi 2 bagian yaitu antropologi
fisik/biologi dan antropologi budaya. Tetapi dalam pecahan antropologi budaya,
terpecah-pecah lagi menjadi banyak sehingga menjadi spesialisasi- spesialisasi,
termasuk antropologi pendidikan. Seperti halnya kajian antropologi pada
umumnya antropologi pendidikan berusaha menyusun generalisasi yang
bermanfaat tentang manusia dan perilakunya dalam rangka memperoleh
pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia khususnya dalam
dunia pendidikan.

b) Antropologis Pendidikan

Sejarah tentang antroplogi pendidikan tidak bisa kita pisahkan dari


perkembangan ilmu antropologi itu sendiri, karena antropologi pendidikan
merupakan bagian dari antroplogi.
Antropologi pendidikan berusaha menyusun genaralisasi yang bermanfaat
tentang manusia dan perilakunya dalam rangka memperoleh pengertian yang
lengkap tentang keanekaragaman manusia khususnya dalam dunia pendidikan.
Shomad (2009:1) menyatakan bahwa studi antropologi pendidikan adalah
20

spesialisasi yang termudah dalam antropologi. Setelah dasawarsa tahun 60-an di


Amerika Serikat semakin banyak diperlukan keahlian dalam antropologi untuk
meneliti masalah-masalah pendidikan, maka antropologi pendidikan kemudian
dianggap dapat berdiri sendiri sebagai cabang spesialisasi antropologi yang resmi.
Dewasa ini antropologi pendidikan sendiri atau bersama-sama dengan sosiologi
pendidikan, menjadi mata kuliah wajib di lembaga pendidikan tenaga
kependidikan. Antropologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang berusaha
memahami dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis
berdasarkan konsep-konsep dan pendekatan Antropologi (Nasution, 2004).
Antropologi pendidikan mencoba mengungkapkan proses-proses transmisi
budaya atau pewarisan pengetahuan melalui proses enkulturasi dan sosialisasi.
Selain itu, proses belajar individu sebagai kegiatan sosial budaya merupakan
pemahaman dari Antropologi Pendidikan, termasuk di dalamnya peran pendidikan
formal dan pendidikan informal. (Nasution, 2004).
Penulis berpendapat bahwa, penyampaian kebudayaan melalui lembaga
informal dapat dilakukan melalui enkulturasi semenjak kecil di dalam lingkungan
keluarganya. Dalam masyarakat yang sangat kompleks, terspesialisasi dan
berubah cepat, pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami
kebudayaan sebagai satu keseluruhan.
Antropologi adalah studi ilmiah manusia dan banyak budaya yang
berbeda-beda. Jadi Antropologi pendidikan adalah cara memeriksa sistem
pendidikan dari sudut pandang antropolog budaya. Untuk memperoleh
pemahaman tentang landasan filosofis antropologi pendidikan, tentunya
memunculkan jawaban yang berkaitan dengan tiga landasan dasar filsafat yakni
epistimologi, ontologi dan aksiologi keilmuan. Epistimologi dalam pendidikan
adalah memberikan jawaban bahwa ilmu antropologi pendidikan adalah ilmu
yang memadukan antara konsepsi budaya dengan pendidikan.

(d) Tujuan Antropologi Pendidikan


Tujuan Antropologi Pendidikan adalah sebagai berikut (a) Untuk
mempelajari sejarah terjadinya dan perkembangan manusia sebagai makhluk
biologis; (b) Untuk mempelajari sejarah terjadinya berbagai bahasa manusia
21

diseluruh dunia dan penyebarannya; (c) Untuk mempelajari masalah terjadinya


persebaran dan perkembangan berbagai kehidupan diseluruh dunia; (d) Untuk
mempelajari masalah dasar kebudayaan dalam kehidupan manusia dari suku-suku
bangsa yang tersebar dimuka bumi sampai sekarang. Tujuan antropologi
pendidikan antara lain untuk mencetak generasi yang berbudaya, untuk
mengenalkan muatan budaya bangsa yang bersumber dari budaya lokal, nasional
maupun global, untuk menstimulasi terciptanya budaya hasil inovasi, untuk
mentradisikan penghormatan terhadap anekaragaman budaya, untuk
mempertahankan budaya yang bernilai, dan agar siap dan sanggup menerima
realitas budaya. Ontologi adalah pemikiran mengenai yang ada dan
keberadaannya. Sedangkan landasan ontologi ilmu antropologi pendidikan adalah
keberadaan budaya di tengah ekologi budaya. Aksiologi adalah ilmu atau teori
yag yang mempelajari hakikat nilai. Jadi, Aksiologi kaitannya dengan antropologi
pendidikan digunakan sebagai landasan sejauhmana manfaat yang diberikan dari
konsep (antropologi pendidikan) terhadap peserta didik dalam kehidupan sehari-
sehari di tengah ekologi budayanya.
c) Ruang Lingkup Antropologi Pendidikan
Shomad (2009: 3-4), menjelaskan implementasi pendidikan sebagai
penyesuaian diri dengan masyarakat, lingkungan dan kebudayaan sebagai bentuk
ruang lingkup antroplogi pendidikan berlangsung dalam proses: (a) Proses
sosialisasi. Proses ini dimulai sejak bayi baru lahir. Bayi berinteraksi dengan
orang-orang disekitarnya, hingga terjadi komunikasi timbal balik dan seterusnya
hingga ia tumbuh dan berkembang. Adapun yang menjadi kajian dalam proses
sosialisasi yaitu: (1) Adanya konflik oleh ketidakharmonisan antara keinginan
pribadi, anak dengan tuntutan norma dan aturan yang berlaku; (2) Perbedaan
status ekonomi dan letak geografis. (b) Proses Enkulturasi. Enkulturasi, artinya
pembudayaan. Yang dimaksud adalah proses pembudayaan anak agar menjadi
manusia berbudaya. Dalam proses ini pranata, yaitu sistem norma atau aturan-
aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus
(Koentjaraningrat,1980:164). Adapun yang biasa menjadi kajian dalam proses ini,
yaitu: (1) Perbedaan jenis kelamin (2) Perbedaan umum; (3) Perbedaan/perubahan
status (inisiasi) (4) Proses Internalisasi. Proses internalisasi yaitu proses
penerimaan dan menjadikan warisan sosial (pengetahuan budaya) sebagai isi
22

kepribadian yang dinyatakan dalam perilaku sehari-hari selama hayat masih


dikandung badan. Dalam proses ini kita mendapatkan adanya perbedaan pada
masing-masing individu berupa perbedaan kepribadian dan pengalaman
(e) Manfaat Landasan Antropologi Dalam Pendidikan
Setiap manusia memiliki perbedaan, oleh karena itu seorang pendidik
harus sedikit banyak memahami latar siswa yakni keluarga, budaya, lingkungan
siswa. Oleh karena itu, antropologi dibutuhkan sebagai landasan dalam
pendidikan. Antropologi dalam pendidikan memiliki beberapa manfaat
diantaranya: (1) Dapat mengetahui pola perilaku manusia dalam kehidupan
bermasyarakat secara Universal maupun pola perilaku manusia pada tiap-tiap
masyarakat (suku bangsa); (2) Dapat mengetahui kedudukan serta peran yang
harus kita lakukan sesuai dengan harapan warga masyarakat dari kedudukan yang
kita sandang; (3) Dengan mempelajari antropologi akan memperluas wawasan
kita terhadap tata pergaulan umat manusia diseluruh dunia khususnya Indonesia
yang mempunyai kekhususan-kekhususan yang sesuai dengan karakteristik
daerahnya sehingga menimbulkan toleransi yang tinggi. (3) Dapat mengetahui
berbagai macam problema dalam masyarakat serta memiliki kepekaan terhadap
kondisi-kondisi dalam masyarakat baik yang menyenangkan serta mampu
mengambil inisiatif terhadap pemecahan permasalahan yang muncul dalam
lingkungan masyarakatnya. Dari manfaat diatas dapat disimpulkan bahwa,
antropologi dapat menjadikan bangsa Indonesia yang memiliki jiwa nasionalis.

(f) Pentingnya Kajian Antropologi Pendidikan


Untuk memperoleh pemahaman tentang pentingnya mengkaji antropologi
pendidikan, dapat dipahami beberapa poin berikut antara lain: memahami esensi
dasar kebudayaan, mencetak generasi yang berbudaya, menghormati aneka-ragam
kebudayaan indonesia, memahami pesan budaya, berinovasi dengan budaya baru
yang adiluhung, tertanamnya praktik pendidikan karakter dan pendidikan budi
pekerti, dan terciptanya peserta didik yang berbudaya
(g) Hubungan Kebudayaan dengan Pendidikan
Antara kebudayaan dengan pendidikan terdapat hubungan komplementer.
Pertama, kebudayaan berperan sebagai masukan (input) bagi pendidikan. Kedua,
pendidikan berfungsi untuk melestarikan kebudayaan masyarakat (fungsi
konservasi) dan juga berfungsi dalam rangka melakukan pengembangan dan
23

perubahan kebudayaan masyarakat ke arah yang lebih baik(fungsi kreasi atau


inovasi.
(h) Aplikasi Landasan Antropologi Dalam Pendidikan Saat Ini
Penerapan landasan antropologi dalam pendidikan saat ini adalah sebagai
berikut: (1) Model pembelajaran berbasis budaya lokal. Model pembelajaran
ini diterapkan melalui muatan lokal. Materi disesuaikan dengan potensi lokal
masing-masing daerah di lingkungan sekolah. Sehingga siswa dapat mengenali
potensi budayanya sendiri, mengembangkan budaya, menumbuhkan cinta tanah
air, dan mempromosikan budaya lokal kepada daerah lain. (2) Metode
pembelajaran karya wisata. Guru mengajak siswa ke suatu tempat ( objek )
tertentu untuk mempelajari sesuatu dalam rangka suatu pelajaran di sekolah.
Metode karyawisata berguna bagi siswa untuk membantu mereka memahami
kehidupan ril dalam lingkungan beserta segala masalahnya. Misalnya, siswa
diajak ke museum, kantor, percetakan, bank, pengadilan, atau ke suatu tempat
yang mengandung nilai sejarah/kebudayaan tertentu; (3) Pembelajaran dengan
modeling. Modelling adalah metode pembelajaran dengan menggunakan model
(guru) sebagai obyek belajar perubahan tingkah laku yang kemudian ditiru oleh
siswa. Modelling bertujuan untuk mengembangkan keterampilan fisik dan mental
siswa.

2.2 Implikasi Landasan Sosiologis dan Antropologis dalam Pendidikan


2.2.1 Implikasi Landasan Sosiologi dalam pendidikan
Adapun implikasi dalam pendidikan meliputi: (1) Konsep-konsep sosiologi
tentang manusia menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan. (2) Masyarakat
sebagai ekologi pendidikan atau sebagai lingkungan tempat berlangsungnya
pendidikan. (3) Pendidikan merupakan sosialisasi atau proses menjadi anggota
masyarakat yang diharapkan. Implikasi sosilogi dalam pengembangan Teori
pendidikan meliputi: (1) Mendorong lahir dan berkembangnya sosiologi
pendidikan;(2) Mendorong lahir dan berkembangnya ilmu pendidikan
kependudukan; (3) Mendorong lahir dan berkembangnya aliran sosiologisme
pendidikan. Sedangkan implikasi teori-teori dalam pendidikan adalah Teori
struktural fungsional berkaitan erat dengan sebuah struktur yang tercipta dalam
masyarakat. Struktural fungsional, yang berarti struktur dan fungsi. Artinya,
manusia memiliki peran dan fungsi masing masing dalam tatanan struktur
24

masyarakat. Fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam


sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah
struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme
menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen
konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi.

Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua
orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu
dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain
sebagainya.. Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal
ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus
mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung
komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk.
Menurut Myers Jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya
mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari
kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik.
Teori Interaksi Simbolik merupakan teori yang memiliki asumsi bahwa
manusia membentuk makna melalui proses komunikasi. Teori interaksi simbolik
berfokus pada pentingnya konsep diri dan persepsi yang dimiliki individu
berdasarkan interaksi dengan individu lain. Simbol adalah objek sosial dalam
suatu interaksi. Ia digunakan sebagai perwakilan dan komunikasi yang ditentukan
oleh orang orang yang menggunakannya. Orang-orang tersebut memberi arti,
menciptakan dan mengubah objek tersebut di dalam interaksi. Simbol sosial
tersebut dapat mewujud dalam bentuk objek fisik (benda-benda kasat mata); kata-
kata (untuk mewakili objek fisik, perasaan, ide-ide, dan nilai-nilai), serta tindakan
(yang dilakukan orang untuk memberi arti dalam berkomunikasi dengan orang
lain).
2.2.2 Implikasi landasan Antropologi dalam Pendidikan
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam implikasi landasan antropologi, adalah
sebagai berikut. (1) Identifikasi kebutuhan belajar masyarakat. Identifikasi
25

kebutuhan masayarakat ini bersumber dari informasi masyarakat sekitar.


Masyarakat tersebut terdiri dari tokoh masyarakat, baik secara formal maupun
informal, tokoh agama, dan perwakilan masyarakat kelas bawah. Hal ini bertujuan
untuk memperoleh informasi dan data yang dijadikan bahan pengembangan
kurikulum. (2) Keterlibatan partisipasi masyarakat Setelah mengidentifikasi
kebutuhan belajar, maka masyarakat ikut serta dalam merancang kurikulum,
menyediakan sarana dan prasarana, menentukan nara sumber sebagai fasilitator,
dan ikut menilai hasil belajar. (3) Pemberian pendidikan kecakapan hidup.
Pendidikan kecakapan hidup merupakan pendidikan dalam bentuk pemberian
keterampilan dan kemampuan dasar pendukung fungsional, membaca, menulis,
berhitung, memcahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam
kelompok, dan menggunakan teknologi (Dikdasmen 2002, dalam Efendi
2009:153).

2.3 Kontribusi Sosiologis dan Antropologis pada Dunia Pendidikan

Kontribusi spesifik dari sosiologi terhadap bidang pendidikan, kajian


sosiologi tersebut tertuang dalam tiga bahasan. Pertama, para peserta didik, guru,
supervisor, kepala sekolah dan pengawas, mereka berinteraksi selaku pemegang
posisi di dalam suatu sistem sosial yang mempunyai tujuan kelembagaan dan
teroganisasi, yaitu untuk mendidik para peserta didik. Untuk mencapai tujuan
tersebut, maka macam-macam tugas dalam tata organisasi persekolahan harus
ditangani, terkoordinasi, dan terpadu. Anggaran pendidikan terdapat sejumlah
orang dengan pembagian kerja yang rumit (complicated), ini memerlukan arus
jaringan kerja (net work) dari sejumlah peranan yang saling berhubungan di dalam
lingkungan organisasi persekolahan. Kedua, tinjauannya berangkat dari fakta,
bahwa tugas pokok persekolahan (transaksi pendidikan) terutama berlangsung
dalam sistem sosial yang relatif kecil, yaitu di ruangan kelas. Ketiga, tinjauanya
bertolak dari realitas di mana sistem persekolahan tidak pernah terlepas dari
lingkungan luarnya seperti pada semua organisasi, is dipengaruhi pula oleh
berbagai kekuatan eksternalnya. Dampak dari faktor-faktor eksternal dimaksud
terhadap penunaian fungsi sekolah, termasuk masalah penting untuk dikaji.
Batasan tinjauan tadi (sistem persekolahan sebagai suatu organisasi formal,
26

kegiatan kelas sebagai suatu sistem sosial, dan lingkungan eksternal persekolahan)
diajukan sebagai ancar-ancar untuk menunjukkan beberapa kontribusi sosiologi
bagi para praktisi di dunia pendidikan.
G.D. Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan
antropologi terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan
empiris yang sudah diverifikasikan dengan menganalisa aspek-aspek proses
pendidikan yang berbeda-beda dalam lingkungan sosial budayanya. Teori khusus
dan percobaan yang terpisah tidak akan menghasilkan disiplin antropologi
pendidikan. Pada dasarnya, antropologi pendidikan mestilah merupakan sebuah
kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktek pendidikan dalam prespektif
budaya, tetapi juga tentang asumsi yang dipakai antropolog terhadap pendidikan
dan asumsi yang dicerminkan oleh praktek-praktek pendidikan(Imran Manan,
1989).
Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka antropologi
bermanfaat bagi pendidikan. Dimana para pendidik harus melakukan secara hati-
hati. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang ada dan berkembang dalam
masyarakat bersifat unik, sukar untuk dibandingkan sehingga harus ada
perbandingan baru yang bersifat tentatif (belum pasti). Setiap penyelidikan yang
dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan yang berharga dan
mempengaruhi pendidikan.

2.4 Hubungan Antropologi dan Sosiologi Pendidikan


Menurut (Ruswanto, 2014) mengatakan Hubungan antara Antropologi dan
sosiologi pada satu sisi, memperlihatkan bahwa sebagian para ahli tidak lagi
membedakan kedua ilmu tersebut secara ketat. Artinya beberapa fokus kajiannya
dianggap sama bahkan beberapa paradigma yang digunakan untuk melihat suatu
fenomena sosial pun dianggap tidak memiliki perbedaan. Kedua ilmu itu bisa
saling menukar atau saling melengkapi baik menyangkut paradigma ataupun
metode yang digunakan dalam mengungkap suatu fenomena sosial. Perbedaan
antropologi dan sosiologi hanya terjadi pada sejarah berdirinya masing-masing
ilmu tersebut. Namun dalam perkembangan selanjutnya, kedua ilmu itu dapat
saling melengkapi bahkan melebur diri menjadi satu ilmu. Pada universitas
27

tertentu, antropologi dan sosiologi merupakan program studi yang dikembangkan


secara bersama-sama di bawah departemen antropologi-sosiologi atau sosiologi-
antropologi.
Secara historis, kemunculan kedua ilmu tersebut adalah berbeda baik dari segi
paradigma yang digunakan, metode yang digunakan atau pun sasaran masyarakat
yang menjadi obyek penelitiannya. Di mana antropologi menekankan kajiannya
pada masyarakat tradisional di luar masyarakat Barat, sedangkan sosiologi lebih
menekankan pada masyarakat perkotaan yang pada saat itu ada pada masyarakat
Barat sendiri. Dalam perkembangannya, menurut pihak ini, masih dapat dilihat
adanya perbedaan di antara kedua ilmu tersebut. Sedangkan sasaran penelitiannya,
sering kali tidak dapat lagi dibedakan karena keduanya sama-sama
memperhatikan fenomena sosial di pedesaan (masyarakat tradisional) ataupun di
perkotaan (masyarakat industri).
Dalam hal ini masyarakat menjadi kajian pokok sosiologi,dan kebudayaan
menjadi kajian pokok antropologi. Hal ini disebabkan hubungan erat antara
masyarakat dan kebudayaan dan masyarakat diibaratkan semut dan lebah
masyarakat,tetapi tidak berkebudayaan,sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa
masyarakat lebih mendasar dan merupakan tanah dimana kebudayaan itu tumbuh.
Kebudayaan selalu bertumbuh atau bercorak sesuai dengan masyarakatnya. Kedua
spesialisasi ini sering digabungkan menjadi satu bagian. Adapun bidang yang
menjadi bahan kajian meliputi hal-hal berikut.

2.5 Sosiologi dan Antropologi Pendidikan Kejuruan


Pendidikan kejuruan tengah menghadapi berbagai tantangan pada setiap
masa. Tantangan terbesar yang dihadapi adalah masalah kesejahteraan sosial dan
ekonomi masyarakat yang semakin diabaikan. Hal ini menjadi kesenjangan antara
masyarakat pengangguran dengan masyarakat pekerja. Selain itu berdampak pada
jumlah pengangguran yang semakin meningkat. Dengan demikian tantangan
terberat yang harus diselesaikan adalah mengurangi jumlah pengangguran dengan
memberikan bekal kompetensi melalui pendidikan kejuruan. Pada dasarnya
masyarakat yang berperan aktif dalam menyediakan barang dan jasa. Masyarakat
dapat memanfaatkan sumber daya alam (SDA) untuk diolah menjadi barang yang
siap jual. Namun pada kenyataan masyarakat belum mampu mengolah SDA
tersebut dengan baik karena kelemahan pada bagian sumber daya manusia (SDM).
28

Dengan demikian kolaborasi antara pendidikan kejuruan dan peran dari


masyarakat dalam menciptakan SDM menjadi bagian dari struktur sosial yang
tidak bisa dipisahkan.
Struktur sosial yang ada pada lembaga pendidikan dan masyarakat menjadi
kunci terbentuknya kebudayaan. Kebudayaan tersebut mempengaruhi perilaku
individu, masyarakat, lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan. Perilaku
memilih, seperti: memilih pekerjaan, memilih posisi jabatan, dll merupakan
fenomena yang muncul di kalangan pendidikan. Kajian sosiologi pendidikan
memfokuskan pada sebab dan akibat sosial dari pendidikan dan memandang dari
lingkup sosial kebudayaan. politik. dan ekonomis bagi masyarakat. Sosiologi
pendidikan memandang gejala pendidikan sebagai dari struktur sosial masyarakat.
Dengan demikian, cara pandang seseorang berinteraksi, melakukan aktivitas
berdasarkan budaya di sekolah merupakan kajian sosiologi pendidikan yang perlu
di dalami. Sosiologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
daerah yang saling dilingkupi antara sosiologi dengan ilmu pendidikan (Ahmadi,
1991:2). Sosiologi pendidikan dapat menyelidiki struktur dan dinamika
pendidikan. Hal ini dapat menjadi acuan dalam memahami informasi-informasi
baru bagi siswa. Gagasan Piaget dan Vygotsky menegaskan adanya hakikat belajar
dalam konteks sosial. Untuk memahatni konteks sosial tersebut, metode belajar
dilakukan dengan menggunakan kelompok-kelompok dan setiap anggotanya
memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Interaksi sosial yang dialatni oleh siswa
dapat diinterpretasikan dan dimaknai. Pada hakikatnya merupakan sosio-
psikologis yang relevan dengan struktur sosial, bentuk perilaku individu, dll.
Interaksi tersebut relevan dengan teori interaksionalisme simbolik, yaitu fokus
pada interaksi, pola-pola dinamis dari tindakan sosial, dan hubungan sosial. Teori
interaksionalisme simbolik menjadi acuan bagaimana siswa dapat
menginterpretasikan sebuah informasi yang didapat dari interaksi sosial.

2.6 Landasan Antropologis dan Sosiologis sebagai Prinsip, Orientasi dan


Modus Transaksi Pembelajaran dalam Pengembangan Panca Daya
Manusia yang Bermartabat untuk Menyiapkan SDM Unggul dan
Berkarakter
29

2.6.1 Landasan Antropologis dan Sosiologis sebagai Prinsip


Permasalahan dalam proses pembelajaran masih sering terjadi. Masalah
belajar adalah suatu kondisi tertentu yang dialami oleh siswa dan menghambat
kelancaran proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku yang baru secara keseluruhan. Bahkan penelitian yang dilakukan
oleh Rustiyarso (2013) bahwa Komunikasi sosial guru dan siswa terlihat lebih
dominan satu arah yang dilakukan guru karena dalam pembelajaran guru selalu
memberikan penjelasan yang mendalam kepada siswa dengan harapan siswa dapat
mengerti, sehingga waktu dalam pembelajaran lebih banyak digunakan guru.

Prinsip pembelajaran adalah landasan berpikir, landasan berpijak, dan sumber


motivasi agar proses belajar dan pembelajaran dapat berjalan dengan baik antara
pendidik dan peserta didik. Prinsip ini dijadikan dasar dalam upaya pembelajaran,
baik bagi siswa maupun bagi guru dalam upaya mencapapai hasil yang
diinginkan. Jadi sosiologi dalam pembelajaran akan melakukan interaksi kegiatan
sosial didalam proses pembelajaran. Interaksi sosial yang terjadi dalam
pembelajaran merupakan salah satu aksi dan reaksi antara guru dan siswa. Dalam
proses interaksi sosial antara guru dan siswa kompetensi yang tidak kalah
pentingnya yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah kompetensi sosial.
Kompetensi sosial merupakan salah satu kemampuan yang dimiliki guru
bagaimana melakukan hubungan atau berinteraksi yang baik dengan siswa.
Dengan kompetensi sosial yang baik oleh guru diharapkan tujuan
pembelajaran dapat tercapai. Seperti dalam kegiatan diskusi mereka saling
menghargai pendapat. Saptono (2006: 69)Interaksi yang baik antara guru dan
siswa dapat terlihat seperti adanya kontak sosial dan komunikasi sosial yang
terjadi pada saat pembelajaran berlangsung, Ketika guru memberi salam, memberi
tepuk tangan, kemudian menunjukan ekspresi yang bahagia serta memberikan
pujian merupakan ciri interaksi yang baik. Tanggung jawab seorang guru dalam
mendidik anak bisa berjalan dengan baik jika masalah-masalah dalam
pembelajaran bisa dipecahkan secara bersama-sama. Antropolgi sebagai prinsip
pembelajaran. Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan
pendidikan budaya dan karakter bangsa mengusahakan agar peserta didik
mengenal dan menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai milik
30

mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan
mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya
menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri.
Dengan prinsip ini, peserta didik dapat belajar melalui proses berpikir,
bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial dan mendorong
peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial. Jadi antropologi
sebagai prinsip adalah cara belajar setiap individu/siswa memiliki perberbedaan.
Baik dalam segi budaya, cara belajar, sikap dalam mendengarkan penjelasan guru,
sikap menghormati guru. Dalam pembelajaran guru harus menguasai pendidikan
multikultural agar dapat melaksanakan pembelajaran multikultural sehingga
peserta didik dapat saling menghargai dan menghormati perbedaan suku, ras,
budaya, dan agama serta diharapkan tidak timbulnya kekerasan maupun
perkelahian atas perbedaan tersebut. Pembelajaran berbasis multikultural berusaha
memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang
berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau
kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung.

2.6.2 Landasan Sosiologis dan Antropologis sebagai Orientasi


Orientasi tujuan menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk
mengikuti proses pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai serta
menyampaikan garis besar cakupan materi dan penjelasan tentang kegiatan yang
akan dilakukan peserta didik untuk menyelesaikan permasalahan atau tugas.
Berdasarkan interaksi yang terjadi maka orientasi pembelajaran terbagi menjadi
dua yaitu pembelajaran berorientasi siswa dan berorientasi pada guru. Pendekatan
pembelajaran berorientasi pada siswa (oriented student approach) memandang
peserta didik sebagai objek sekaligus subjek yang belajar. Kepentingan
pembelajaran bertumpu pada proses belajar siswa. Peranan guru dalam
pembelajaran lebih terfokus kepada pembimbing belajar, motivator dan fasilitator
pembelajaran. Pendekatan pembelajaran berorintasi pada guru (teacher oriented
approach) menekankan pada bagaimana proses guru dalam mengajar. Yang
menjadi titik acuan bagi guru adalah ketercapaian target kurikulum.
Pemikiran guru dalam pembelajaran adalah bagaimana menyajikan
informasi belajar kepada siswa. Bagaimana siswa menguasai materi pelajaran
31

dengan baik melalui tindakan guru di ruang kelas. Dalam hal ini, guru memegang
peranan penting sebagai pemberi informasi yang harus dikuasai oleh siswa. Jadi
Sosiologi sebagai orientasi pembelajaran pada intinya bahwa Meninjau kesadaran
mengenai diri sendiri dalam kaitannya dengan waktu, tempat, dan orang lain.
sikap sosial antara guru dengan siswa dalam proses pembelajaran. Sosiologi
melandasi peninjauan sikap guru atau siswa dalam pembelajaran. Antropologi
sebagai orientasi pembelajaran.
Orientasi adalah pengakraban dan penyesuaian dengan situasi atau
lingkungan. Jika dikaitkan dengan Antropologi sebagai orientasi pembelajaran
merupakan peninjauan untuk menentukan sikap antara budaya guru maupun siswa
dalam proses pembelajaran agar lebih mengenal budaya dalam ruang lingkup
pembelajaran. Belajar dan Pembelajaran adalah proses yang Komplek karena
dipengaruhi Oleh berbagai faktor. Antara Lain: Faktor Budaya, Sejarah, Hambatan
Praktis, Karakteristik guru sebagai Guru, Karakteristik Siswa dan sifat alamia
proses belajar dan pembelajaran.
Banyak hal yang mempengaruhi guru sehingga memiliki keperibadian
tertentu yang unik . Lingkup budaya dimana guru berkembang, masyarakat,
dimana guru hidup, pengaruh keluarga, pengaruh agama yang dianut. Disadari
atau tidak disadari, salah satu kegiatan pra belajar dan pembelajaran adalah
mengidentifikasi karakteristik awal siswa. Karakteristik awal siswa meliputi
berbagai aspek Bahasa latar belakang akademik, usia dan tingkat kedewasaan,
latar belakang budaya, tigkat Pengetahuan, serta keterampilan yang mungkin
merupakan syarat awal Bagi pelajaran yang akan disajikan. Kompetensi
kepribadian yang harus dimiliki oleh guru adalah arif, dan berwibawa, menjadi
teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kepribadian guru ini sangat
penting mengingat dalam masyarakat indonesia dianut budaya yang menempatkan
guru sebagai tokoh sentral dalam kehidupan masyarakat.
2.6.3 Landasan Sosiologis dan Antropologis sebagai Modus Transaksi
Pembelajaran

Sosiologi sebagai modus transaksi pembelajaran. Modus transaksi dalam


pembelajaran melibatkan guru sebagai pembelajar dan siswa sebagai pebelajar
Adanya hubungan timbal balik. Transaksi yang dimaksud bukan hanya sekedar
transfer pengetahuan / knowledge namun juga transfer nilai/value. Modus
32

transaksi tercermin pada model pembelajaran yang digunakan dalam kelas. Dalam
hal ini guru merupakan faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya proses
belajar mengajar. Karaketeristik masing-masing siswa dalam belajar berbeda-
beda.
Karakteristik gaya belajar seseorang cukup berpengaruh terhadap
pencapaian hasil belajarnya. Dengan mengenal masing-masing karakteristik murid
dalam proses pembelajaran, dapat membantu guru untuk menentukan cara
pembelajran yang sesuai. Jika model yang diterapkan sudah tepat, maka transaksi
akan berjalan dengan lancar karena ada timbal balik yang diberikan baik itu dari
guru atau siswa. Modus transaksi pembelajaran menganut prinsip tanggung
jawab belajar (mengatur dan mengelola, serta mengukur hasil) pada siswa; maju
berkelanjutan sesuai fenomena dinamika yang ada; bersifat kolaboratif; dan
difasilitasi dengan karakteristik tugas yang otentik, menantang, dan komprehensif.
Hubungan timbal balik sikap sosial guru terhadap siswa, Empati:
memahami/peduli sesama teman; Partisipasi: berpartisipasi dlm kegiatan
kelompok; Dermawan: membiasakan dirinya untuk berbagi; Komunikasi: terbuka
untuk berkomunikasi; Negoisasi: tawar menawar, baik dlm mengerjakan tugas
bersama; penyelesaian masalah: Antropologi sebagai modus transaksi
pembelajaran. Belajar merupakan transaksi antara individu dengan
lingkungannya. Kegiatan pembelajaran dilakukan oleh dua orang pelaku yaitu
guru dan siswa.
Prilaku guru adalah mengajar dan prilaku siswa adalah belajar. Proses
pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan
guru dan siswa atas hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi
edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Siswa atau peserta didik adalah
merupakan kelompok heterogin yang terdiri atas pribadi-pribadi yang mempunyai
karakteristik, kondisi dan kebutuhan yang berbeda, sehingga oleh karena itu perlu
mendapat perlakuan sedemikian rupa sehingga potensi masing-masing pribadi
tersebut dapat berkembang secara optimal.
33

2.6. 4 Landasan Sosiologis dan Antropologis dalam Pengembangan Panca


Daya Manusia yang Bermartabat untuk Menyiapkan SDM Unggul dan
Berkarakter
Panca daya manusia memiliki lima komponen terdiri dari daya takwa,
daya cipta, daya rasa, daya karsa dan daya karya. Kelima daya tersebut pada
dasarnya menyatu, berdinamika dan bersinergi sejak awal kejadian individu,
dalam perkembangan dirinya dari waktu ke waktu, sampai akhir kehidupannya
(Prayitno, 2009). Maka dari itu panca daya manusia tidak dapat lepas dari
Sosiologis dan Antropologis. Dalam setiap tahapan perkembangan manusia ada
daya yang berkembang dimana daya tersebut dapat terus dioptimalkan agar
tercipta Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan berkarakter. Setelah
siswa menerapkan sikap sosiologi dan antropologi kedalam prinsip, orientasi dan
transaksi pembelajaran akan mengembangkan pancadaya manusia yang
bermartabat. Karena dilandasi dengan sikap-sikap dan nilai/value sosial ataupun
budaya-budaya. Jika pancadaya manusia sudah berkembang dan bermartabat,
akan bermanfaat untuk menyiapkan SDM yg unggul dan berkarakter.
Karena kita sudah dibekali dengan sikap sosial dan antropologi pada saat
belajar dan diterapkan dalam pancadaya kita. Ranah yang dapat dikembangkan
untuk mencapai SDM unggul yaitu (1) olah pikir, baik dalam berpikir analitik,
berpikir kritis, berpikir kreatif, dan berpikir praktikal; (2) olahraga, yang
mengarah pada berkembangnya individu yang sehat, kuat, bersih, dan sportif; (3)
olah hati, yang memfasilitasi individu untuk jujur, bertangung jawab, mampu
berempati, dan tolerasi serta kerjasama; dan (4) olah rasa dan karsa, yang
memfasilitasi individu untuk memiliki keterampilan berasa dan berkarsa yaitu
memiliki sustainable self-learning, kretatif, dan memiliki sikap emulatif, bukan
emitatif (Mukhadis, 2012). Dengan keempat ranah individu yang dikembangkan
melalui pendidikan tersebut, diharapkan potensi individu akan berkembang sesuai
dengan kapasitas dan kecepatan masing-masing.
Representasi dari fenomena ini dapat memfasilitasi berkembangnya
kecakapan hidup yang kompetitif, kepekaan, empati, kepemilikan karakter yang
kuat dan mampu bersaing dalam suasana kerjasama, dan mampu bekerjasama
dalam nuansa persaingan. Kemampuan ini dapat ditunjukkan dengan, penguasaan
34

teknologi (hard skills), penguasaan etos kerja, komunikasi, manajemen waktu,


adaptasi, mengelola diri, dan sikap interpersonal (soft-skills).

Anda mungkin juga menyukai