Anda di halaman 1dari 19

Disiplin Ilmu Hubungan Internasional

Membahas disiplin ilmu Hubungan Internasional bagaikan membaca buku yang beraneka warna.
Demikian dinamisnya arena internasional menjadikan perdebatan dalam disiplin ilmu Hubungan
Internasional semakin berwarna. Disiplin ilmu Hubungan Internasional memelajari banyak aspek di
dalamnya, seperti politik, hukum, ekonomi dan sosial. Apa yang dapat dikategorikan sebagai
Hubungan Internasional adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh negara, institusi, maupun
perorangan antarbatas teritori negara. Dalam sejarahnya, Hubungan Internasional tidak dapat
dilepaskan dari peran negara. Sejak terbentuknya negara bangsa, Hubungan Internaional makin
menjadi perhatian.

Pada awal tahun 1950-an, teori hubungan internasional dan ilmu politik berkembang secara terpisah.
Hal ini terjadi akibat usaha-usaha teoritisi Hubungan Internasional untuk membentuk bidang yang
otonom. Seperti yang telah dijelaskan oleh Rosenau bahwa teori politik adalah tentang memelajari
kehidupan politik di dalam negara dan Hubungan Internasional adalah mengenai bagiamna cara
negara berinteraksi ke luar (Rosenau 1997). Senada dengan Rosenau, ‘neorealisme’ yang
dikenalkan Kenneth Waltz semakin memertajam pemisahan in. Waltz berpendapat bahwa dalam
political landscape ada 3 peringkat analisis: human nature, internal politic dalam negara, dan sistem
internasional. Ia dengan jelas membedakan area antara politik domestik dan internasional.
Kebanyakan anggapan bahwa teori hubungan internasional dan teori politik terpisah datang dari para
ilmuwan Amerika Serikat. Pengaruh behavioral revolution jelas terasa di sana. Cita-cita untuk
menganatomikan Hubungan Internasional sepetti disebutkan di atas adalah pendorongnya. Dalam
tulisannya, Plato pernah dengan jelas menggambarkan bahwa dalam politik domestik negara, yang
terjadi adalah kehidupan yang baik dan normatif. Sedangkan, kehidupan internasional berparas tidak
sistematis dan berpola acak (Wight 1966, 20).
Bertolak belakang dari perkembangan di atas, mulai awal 1980-an, para akademisi justru beusaha
untuk menyatukan kembali teori hubungan internasional dan teori politik. Kesadaran bahwa tidak
akan ada teori mengenai sistem global tanpa teori tentang negara mendorong penyatuan keduanya.
Berakhirnya Perang Dingin menambah alasan mengapa keduanya tidak dapat dipisahkan. Apalagi,
globalisasi membuat negara tidak lagi harus terisolasi dan bergerak sendiri-sendiri. Maka, tidak heran
dalam hal ini pun kedua teori itu harus bersinergi. Faktor pendukung lain adalah masih adanya krisis
internal dalam Hubungan Internasional yang mengguncang identitasnya. Bahkan, tidak dapat
dipungkiri bahwa kehadiran postpositivism mengharuskan Hubungan Internasional berhubungan
dengan teori sosial dan politik.
Di sinilah teori politik dianggap hanya membahas tentang justice, freedom, equality dan bagaimana
manusia berusaha mencapai hidup yang teratur. Sedangkan, Hubungan Internasional digambarkan
sebagai usaha-usaha survival dalam hidup internasional. Kunci dari pemikiran ini adalah adanya
pemisahan antara ‘what ought to be’ (teori politik) dan ‘what is’ (teori hubungan internasional),
walaupun pada tahap selanjutnya ada pembahasan tentang penyatuan kembali (Brown 2000).
Seperti yang diungkapkan oleh Robert Jackson bahwa Hubungan Internasional dan teori politik
adalah bagian dari political life di bumi. Jadi, dari opini Jackson tersebut bisa dikatakan adanya
interrelasi antara keduanya.
Dalam democratic theory, Kant mengatakan bahwa adanya isu-isu demokrasi dalam tiap wilayah
negara berbeda akan memisahkan urusan domestik dan internasional. Namun, pada kenyataannya
justru demokratisasi yang mengglobal mendorong sisi ekonomi, politik, dan aktivitas sosial menjadi
makin berkesinambungan tanpa sekat negara. Hal itu didorong interaksi antarnegara dalam
international society. Contoh paling nyata adalah bagaimana sistem Bretton Woods ternyata memiliki
pengaruh luar biasa bagi seluruh dunia, bukan hanya AS.
Berlanjut kemudian tumbuh anggapan bahwa Hubungan Internasional adalah lahan untuk
mengeksplorasi identitas poltiik dan perbedaan-perbedaan antarkomunitas. Perbedaan bahasan
antara politik domestik dan politik internasional adalah hal yang nyata. Bertolak dari anggapan bahwa
kehidupan dalam negara yang teratur dan hierarkis dengan hukum yang jelas, sedangkan kehidupan
internasional adalah percaturann yang dinamis. Namun, perbedaan tersebut bukan lantas menjadikan
teori keduanya berpisah sama sekali. Akan tetapi, interrelasi teori justru tampak dan benar-benar
dibutuhkan. Hal itu didorong oleh kebutuhan untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer yang
makin kompleks dan mengglobal. Inilah yang tidak mungkin dapat dijawab dengan teori-teori tunggal.
Para akdemisi Inggris tidak pernah membedakan Hubungan Internasional dengan teori politik. Seperti
kata Andrew Hurrel, teori memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing, maka tidak salah bila
integrasi teori tersebut ada. (aya)

Bacaan:
1. Rosenau, James N, 1980. “Thinking Theory Thoroughly” in James N. Rosenau (ed.), The Scientific
Study of Foreign Policy, London, Frances Printer, pp. 19-31
2. Schmidt, Brian C, 2002, “On the History and Historiography of International Relations” in Walter
Carlsnaes, Thomas Risse and Beth A. Simmons, Handbook of International Relations, London, Sage
Publications, pp. 3-22

HUBUNGAN INTERNASIONAL SEBAGAI DISIPLIN ILMU


Hubungan internasional yang sekarang sudah menjadi sebuah disiplin ilmu, telah
melewati berbagai masa dan beberapa perubahan. Berabad – abad yang lalu
sebenarnya masyarakat sudah melakukan hubungan antar negara. Namun pada saat
itu belum ada suatu ilmu yang benar – benar mempelajari hubungan – hubungan
tersebut. Pada akhir perang dunia pertama muncul pemikiran – pemikiran idealis
sebagai kebijakan tertinggi negara untuk mengkhiri perang. Tapi pada akhirnya
gencatan senjata malah semakin meningkat.
Hingga pada akhir perang dunia kedua mulailah muncul pemikiran bahwa perang
bukanlah solusi yang paling baik untuk mengakhiri sebuah masalah. Pemikiran
tersebut juga didukung oleh kebijakan – kebijakan Amerika yang pada saat itu
merupakan salah satu negara yang terkuat. Amerika menjadi pendukung utama
dikarenakan keputusan tersebut menguntungkan Amerika. Pada saat itu Stanley
Hoffmann (1977) mengatakan bahwa Hubungan Internasional adalah Ilmu Sosial
Amerika. Hingga saat ini pengkajian – pengkajian ilmu Hubungan Internasional
terus dilakukan sampai akhirnya mampu menjadikan ilmu Hubungan Internasional
menjadi lebih mengglobal.
Dalam tubuh HI sebenarnya juga terdapat asumsi dasar. Asumsi tersebut diantaranya
terdiri dari beberapa paradigma, paradigma tersebut adalah Idealis, Realis,
Behavioralis, Strukturalis, dan Pluralis. Setelah munculnya paradigma tersebut maka
timbullah beberapa perdebatan. Perdebatan yang pertama terjadi antara paradigma
idealis dan realis. Inti dalam perdebatan itu adalah perang tidak muncul secara
kebetulan melainkan telah dipersiapkan sebelumnya. Perdebatan yang kedua terjadi
antara realis dan behavioralis. Disinilah titik awal munculnya neo realis dan neo
behavioralis. Sedangkan perdebatan yang ketiga adalah perdebatan jalan tengah
yaitu paradigma strukturalis yang menawarkan jalan tengah bahwa pengkajian
hubungan internasional dapat dikaji oleh beragai tingkatan. Dari perdebatan keempat
paradigma utama tersebut sangat memperkaya kajian – kajian dari hubungan
internasional. Selain asumsi dasar, terdapat beberapa disiplin yang membantu
perkembangan hubungan internasional, diantaranya adalah Hukum Internasional,
Sejarah Diplomatik, Ilmu Militer (The Art of War), Politik Internasional, Organisasi
Internasional, Perdagangan Internasional, Pemerintah kolonial, Praktek Hubungan
Luar Negeri (Dugis, 2012). Itu menunjukkan bahwa ilmu Hubungan Intenasional
dapat melihat dan mampu menyesuaikan diri dari berbagai prospek sudut pandang.
Namun yang menjadi pertanyaan saat ini adalah “Mampukah ilmu Hubungan
Internasional menjadi sebuah disiplin ilmu yang mampu berdiri terpisah dengan ilmu
induknya?”. Dan disini Universitas Airlangga mampu mewujudkannya. Dengan
prodi Hubungan Internasional yang telah terpisah dengan prodi Ilmu Politik maka
secara tidak langsung Hubungan Internasional sudah mendapatkan identitasnya.
Dengan sifatnya yang interdisipliner maka mata kuliah yang diajarkan merupakan
gabungan dari berbagai mata kuliah yang masih ada relevansinya dengan perspektif
HI. Prospek kedepan dengan mencetak ahli global strategistmampu
melahirkan global communicator, global negosiator, global manager, dan global
analyst baru yang diharapkan mampu untuk menyelesaikan permasalahan global
yang ada.
Strategi dan Tata Kelola Strategis, Negosiasi dan Diplomasi diharapkan mampu
berjalan seimbang dengan Globalisasi dan Strategi serta Sejarah Diplomasi agar para
lulusan benar – benar mampu melaksanakan tugas yang akan diembannya.
Meskipun Morgenthau mengatakan bahwa “IR is not a science” namun kita sebagai
HI’ers tidak boleh kehilangan identitas kita.
Dalam permasalahan dunia yang semakin kompleks, maka pengkajian – pengkajian
suatu ilmu yang dapat menghadapi masalah – masalah global sangat tidak bisa
dipisahkan dengan kehidupan manusia. Untuk itu ilmu Hubungan Internasional di
buat. Dengan kata lain, ilmu Hubungan Internasional merupakan senjata awal untuk
menghadapi persaingan dunia.

Hubungan Internasional
Article

Pengertian Hubungan Internasional


Salah satu faktor penyebab terjadinya hubungan internasional adalah kekayaan alam dan
perkembangan industri yang tidak merata. Hal tersebut mendorong kerjasamaantar negara dan
antar individu yang tunduk pada hukum yang dianut negaranya masing-masing.

Hubungan internasional merupakan hubungan antar negara atau antarindividu dari negara yang
berbeda-beda, baik berupa hubungan politis, budaya, ekonomi, ataupun hankam. Hubungan
internasional menurut buku Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri RI (RENSTRA)
adalah hubungan antar bangsa dalam segala aspeknya yang dilakukan oleh suatu negara
tersebut.

Hubungan internasional dapat dipandang sebagai fenomena sosial maupun sebagai disiplin ilmu
atau bidang studi. Sebagai fenomena sosial, hubungan internasional mencakup aspek yang
sangat luas, yaitu kehidupan sosial umat manusia yang bersifat internasional dan kompleks.
Seperti yang dikatakan oleh John Houston (1972), bahwa fenomena hubungan internasional
dapat menyangkut konferensi-konferensi internasional, kedatangan dan kepergian para
diplomat, penandatanganan perjanjian-perjanjian, pengembangan kekuatan militer, dan arus
perdagangan internasional.

Menurut Coulumbis dan Wolfe (1981), fenomena-fenomena yang merupakan ruang lingkup
hubungan internasional diantaranya perang, konferensi internasional, diplomasi, spionase,
olimpiade, perdagangan, bantuan luar negeri, imigrasi, pariwisata, pembajakan, penyakit
menular, revolusi kekerasan. Sebagai fenomena sosial, ruang lingkup hubungan internasional
sangat jamak, alias tidak berurusan dengan masalah-masalah politik saja. Namun seiring
perkembangan zaman ruang lingkup hubungan internasional juga berkembang yaitu
menyangkut masalah-masalah lingkungan hidup, hak asasi manusia, alih teknologi, kebudayaan,
kerja sama keamanan dan kejahatan internasional.

Hubungan internasional sebagai disiplin ilmu atau bidang studi, diantaranya meliputi berbagai
spesialisasi seperti politik internasional, politik luar negeri, ekonomi internasional, ekonomi politik
internasional, organisasi internasional, hukum internasional, komunikasi internasional,
administrasi internasional, kriminologi internasional, sejarah diplomasi, studi wilayah, military
science, manajemen internasional, kebudayaan antar bangsa, dan lain sebagainya.

Beberapa pakar memberikan makna terhadap hubungan internasional sebagai berikut :

1. Mohtar Mas’oed (1990), hubungan internasional sangat kompleks karena didalamnya terlibat
bangsa-bangsa yang masing-masing berdaulat sehingga memerlukan mekanisme yang lebih
rumit daripada hubungan antarkelompok manusia di dalam suatu negara. Ia juga sangat
kompleks karena setiap hubungan itu melibatkan berbagai segi lain yang koordinasinya tidak
sederhana.
2. J. C. Johari, hubungan internasional adalah suatu studi tentang interaksi yang berlangsung
diantara negara-negara berdaulat, di samping itu juga studi tentang pelaku-pelaku nonnegara
(non-state actors) yang perilakunya memiliki impak terhadap tugas-tugas negara bangsa.
3. Robert Strausz-Hupe dan Stefan T. Possony, studi hubungan internasional mempelajari
hubungan timbal balik antarnegara, serta mengkaji tindakan anggota suatu masyarakat yang
berhubungan dengan, atau ditujukan kepada masyarakat negara lain.
4. Charles McClelland, hubungan internasional didefinisikan sebagai sebuah studi mengenai
semua bentuk pertukaran, transaksi, hubungan, arus informasi, serta berbagai respon
perilaku yang muncul di antara dan antarmasyarakat yang terorganisir secara terpisah,
termasuk komponen-komponennya.
5. Sprout & Sprout (1962), studi hubungan internasional membahas mengenai aktor-aktor
(negara, pemerintah, pemimpin, diplomat, masyarakat) yang bertujuan mencapai maksud-
maksud tertentu (sasaran, tujuan, harapan) dengan menggunakan sarana-sarana (seperti
diplomasi, pemaksanaan, persuasi) yang dikaitkan dengan power atau kapabilitasnya.
6. Trygue Mathisen, dalam bukunya Methodology in the Study of International Relations, seperti
yang dikutip oleh Suwardi Wiriaatmaja (1971) mencatat bahwa istilah hubungan internasional
mempunyai beberapa arti, yaitu sebagi berikut:
1. Suatu bidang spesialisasi yang meliputi aspek-aspek internasional dari beberapa cabang
ilmu pengetahuan.
2. Sejarah baru dari politik internasional.
3. Semua aspek internasional dari kehidupan sosial umat manusia, dalam arti semua
tingkah laku manusia yang terjadi atau berasal dari suatu negara dapat mempengaruhi
tingkah laku manusia negara lain.
4. Suatu cabang ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri (district disipline), atau dengan kata
lain bukan merupakan cabang ilmu pengetahuan tertentu.
1. John Houston (1972), hubungan internasional merupakan sebuah studi yang membahas
tentang interaksi diantara anggota-anggota dalam komunitas internasional atau mengenai
tingkah laku aktor-aktor yang beroperasi dalam sistem politik internasional.
B. Pentingnya Hubungan Internasional Bagi Suatu Negara
Secara kodrati, manusia adalah sebagai makhluk individu, sosial, dan ciptaan Tuhan. Manusia
sebagai makhluk sosial selalu memerlukan dan membentuk berbagai persekutuan hidup untuk
menjaga kelangsungan hidupnya. Sifat alamiah manusia adalah hidup berkelompok, saling
menghormati, bergantung, dan saling bekerja sama. Seperti halnya dalam hubungan
antarbangsa, suatu bangsa satu dengan lainnya wajib saling menghormati, bekerja sama secara
adil dan damai untuk mewujudkan kerukunan hidup antarbangsa. Hubungan antarbangsa di sini
disebut sebagai hubungan internasional.

Bangsa Indonesia dalam membina hubungan internasional menerapkan prinsip-prinsip politik


luar negeri yang bebas dan aktif yang diabdikan bagi kepentingan nasional, terutama untuk
kepentingan pembangunan di segala bidang serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Prinsip bebas artinya
Indonesia bebas menentukan sikap dan pandangannya terhadap masalah-masalah internasional
dan terlepas dari ikatan kekuatan-kekuatan raksasa dunia yang secara ideologis bertentangan
(Timur dengan komunisnya dan Barat dengan liberalnya). Adapun prinsip aktif berarti Indonesia
aktif memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan, aktif memperjuangkan ketertiban dunia
dan aktif ikut serta menciptakan keadilan sosial dunia.

Dalam membina hubungan internasional indonesia mempunyai tujuan untuk meningkatkan


persahabatan, dan kerjasama bilateral, regional, dan multilateral melalui berbagai macam forum
sesuai dengan kepentingan dan kemampuan nasional. Untuk menciptakan perdamaian dunia
yang abadi, adil, dan sejahtera, negara kita harus tetap melaksanakan politik luar negeri yang
bebas dan aktif.

Adapun landasan hukum hubungan internasional adalah sebagai berikut:

1. Landasan Idiil

Pancasila sila kedua, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, yang mengandung unsur
bahwa bangsa Indonesia merupakan dirinya bagian dari umat manusia di dunia. Oleh karena
itu, dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
2. Landasan Konstitusional / Struktural

UUD 1945, terutama dalam pembukaan (Alinea I dan IV) dan batang tubuh (pasal 11 dan 13).
3. Landasan Operasional

a. Ketetapan MPR, yaitu GBHN dalam bidang hubungan luar negeri

b. Kebijaksanaan presiden, yang dituangkan dalam Keppres.

c. Kebijaksanaan/peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri luar negeri.


Hubungan internasional ditandai dengan dimulainya pembukaan utusan (konsuler atau
diplomatik) yang bersifat bilateral. Hubungan internasional diselenggarakan oleh korps
diplomatik sebagai unsur Departemen Luar Negeri yang harus mampu menjabarkan aspirasi
nasional luar negeri. Sebagai negara yang menganut politik luar negeri bebas aktif, Indonesia
memiliki kebijakan tersendiri yang mengatur hubungan internasional, yaitu hubungan Indonesia
dengan bangsa-bangsa lain.

Pentingnya hubungan internasional bagi suatu bangsa berkaitan dengan manfaat yang diperoleh
dalam menjalin hubungan internasional tersebut. Hubungan internasional dilaksanakan atas
dasar untuk mencapai tujuan tertentu, karena adanya tujuan-tujuan yang hendak dicapai
tersebut, maka seringkali yang menjadikan mengapa suatu hubungan internasional dianggap
penting bagi kehidupan suatu bangsa. Negara yang tidak mau melakukan hubungan
Internasional biasanya akan terkucil dari pergaulan internasional. Karena hubungan internasional
ini sangat penting yaitu untuk saling memenuhi kebutuhan hidup bangsa-bangsa atau
masyarakat di negara-negara yang bersangkutan. Pelaksanaan hubungan internasional oleh
suatu bangsa, sangat penting dalam rangka untuk hal berikut:

1. Membina dan menegakkan perdamaian dan ketertiban dunia


2. Menumbuhkan saling pengertian antarbangsa / negara.
3. Memenuhi kebutuhan setiap negara atau pihak yang berhubungan
4. Mempererat hubungan, rasa persahabatan dan persaudaraan
5. Memenuhi keadilan dan kesejahteraan rakyatnya.
Berkaitan dengan pentingnya hubungan internasional dalam hubungan antarbangsa /
antarnegara maka dalam piagam PBB dinyatakan tentang makna hubungan internasional
tersebut, yaitu bahwa piagam PBB merupakan kristalisasi semangat atau tekad bangsa-bangsa
di dunia untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai sifat kodrati pemberian
Tuhan untuk saling menghormati, bekerja sama secara adil dan damai untuk mewujudkan
kerukunan hidup antarbangsa.

Dalam piagam PBB tersebut dapat diambil maknanya berkaitan dengan hubungan antarbangsa
atau hubungan internasional sebagai berikut.

1. Bangsa-bangsa diharapkan saling menghormati dan bekerja sama atas dasar persamaan
dan kekeluargaan.
2. Bangsa-bangsa wajib menghormati kedaulatan negara lainnya
3. Bangsa-bangsa tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri negara lain
4. Bangsa-bangsa diharapkan hidup berdampingan secara damai
5. Bangsa yang satu tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada orang lain.
C. Sarana-sarana Hubungan Internasional
Hubungan internasional disebut juga hubungan antarbangsa atau antarnegara. Namun
hubungan internasional tidak hanya terbatas antara dua negara atau antarnegara-negara saja,
melainkan dapat terjadi pula antara negara dengan pihak lain yang berada di luar wilayah
teritorialnya dimana kedudukan pihak lain tersebut sederajat dengan negara pada umumnya.
Dalam hubungan internasional terdapat aktor yang melakukan hubungan internasional, aktor
pelaku hubungan internasional disebut sebagai subjek hukum internasional. Subjek hukum
internasional adalah orang atau badan/lembaga yang dianggap mampu melakukan perbuatan
atau tindakan hukum yang diatur dalam hukum internasional dan dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum internasional atas perbuatannya tersebut. Hukum internasional pada dasarnya
dijalankan oleh subjek hukum internasional. Dalam hal ini bukan hanya aktor tetapi juga non
negara.
Berikut ini dijelaskan tentang beberapa subjek hukum internasional.

1. Negara
Negara merupakan subjek utama dala hukum internasional, yaitu bahwa negara menjadi pelaku
penting dalam hubungan internasional.

2. Organisasi Internasional
Organisasi internasional merupakan subjek hukum internasional karena dapat melakukan
hubungan dengan organisasi atau negara lain. Organisasi internasional misalnya organisasi-
organisasi antar pemerintah atau IGO (Inter-Governmental Organizations) diantaranya PBB,
OPEC, ASEAN, GNB, OKI, dan sebagainya. Organisasi non pemerintah atau NGO (Non
Governmental Organizations) seperti kelompok pecinta lingkungan Green Peace, Transparency
International.

3. Pihak yang Bersengketa


Pihak yang bersengketa dalam suatu negara disebut sebagai subjek hukum internasional karena
dianggap mewakili pihak dalam hubungan internasional. Misalnya adalah gerakan pembebasan
seperti PLO.

4. Perusahaan Internasional
Perusahaan yang bersifat transnasional atau multinasional diperhitungkan sebagai aktor
hubungan internasional yang cukup strategis karena aset atau kekayaannya yang sangat besar.
Perusahaan-perusahaan besar yang memiliki jaringan usaha di seluruh dunia seperti ini, dapat
melakukan hubungan internasional. Misalnya perushaaan tambang Freeport, Mac Donald,
perusahaan minyak Exxon.

5. Tahta Suci
Pengakuan Tahta Suci di Roma, Italia sebagai subjek hukum internasional karena warisan
sejarah. Hal ini disebabkan karena Paus dianggap sebagai kepala negara Vatikan dan kepala
Gereja Roma Katolik. Vatikan juga memiliki perwakilan-perwakilan diplomatik di negara lain.

6. Individu
Individu yang dapat menjadi subjek hukum Internasional adalah individu yang bisa mengadakan
hubungan dengan suatu negara. Meskipun eksistensi individu sebagai aktor masih belum tegas
mewakili misi siapa, namun harus diakui bahwa dalam hubungan internasional kontemporer
individu dapat menjadi aktor yang bisa menentukan perubahan-perubahan kebijakan
internasional.

Misalnya saja, George Soros merupakan individu yang diperhitungkan dlaam hubungan
internasional dewasa ini.

Dalam melaksanakan hubungan internasional presiden sebagai kepala pemerintahan maupun


sebagai kepala negara membentuk Departemen Luar Negeri serta mengangkat duta dan konsul.

1. Departemen Luar Negeri


Presiden selaku kepala pemerintahan maupun sebagai kepala negara membentuk Departemen
Luar Negeri melalui Keppres No. 44 Tahun 1974 untuk melaksanakan hubungan internasional.
Departemen Luar Negeri sebagai bagian dari pemerintahan negara idpimpin oleh seorang
menteri dan bertanggung jawab kepada presiden. Tugas pokok Departemen Luar Negeri adalah
menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintah dan pembangunan di bidang politik dan
hubungan dengan luar negeri.

Susunan organisasi departemen luar negeri adalah sebagai berikut.

1. Pimpinan : Menteri Luar Negeri


2. Pembantu : Sekretaris Jenderal
3. Pengawasan : Inspektoral Jenderal
4. Pelaksana :

1. Direktorat Jenderal Politik

2. Direktorat Jenderal Hubungan Ekonomi Luar Negeri

3. Direktorat Jenderal Hubungan Sosial Budaya dan Penerangan Luar Negeri

4. Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler

5. Badan Penelitian dan Pengembangan Usaha Luar Negeri

6. Sekeretariat Nasional ASEAN

7. Pusat-pusat, seperti pusat pendidikan dan latihan pegawai.


Peranan Departemen Luar Negeri sebagai sarana dalam hubungan internasional, berkaitan
dengan upaya dalam mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam
pembukaan UUD 1945, yaitu alinea IV yang berbunyi: “… ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…”. Selanjutnya
ditetapkan juga kebijakan-kebijakan yang harus diambil dengan berpedoman pada GBHN
sebagai landasan operasionalnya. Indonesia menempatkan perwakilannya di luar negeri secara
kelembagaan berada dibawah koordinasi Departemen Luar Negeri dalam usahanya membina
hubungan kerjasama dengan negara lain.

2. Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri


Dalam menjalin hubungan internasional, baik dalam arti politis maupun non politis, perwakilan RI
di luar negeri menjadi wakil pemerintan RI. Dalam arti politis semua tindakan atau kebijakan
yang diambil oleh KBRI, harus berdasarkan pada politik luar negeri bebas aktif yang diarahkan
pada kepentingan nasional terutama untuk kepentingan pembangunan di segala bidang,
sedangkan arti non politis peranan perwakilan RI juga harus proaktif membuka jalur komunikasi
dengan negara lain, mereka bertugas untuk memberikan informasi tentang negara Indonesia.

Perwakilan dalam arti politik adalah sebagai berikut:


1. Diadakan pembukaan perwakilan diplomatik antardua negara dengan ketentuan
internasional.
2. Diadakan pengangkatan diplomatik dengan memberikan surat kepercayaan (letre de
creance).
Adapun klasifikasi perwakilan diplomatik dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Menurut kongres Wina 1815 Kepala Perwakilan Diplomatik ada tiga tingkatan, yaitu Duta
Besar (Ambassador), Duta (Gerzant), dan kuasa usaha (Charge d’affair)
Perwakilan nonpolitik terdiri dari perwakilan dan korps konsuler. Perwakilan ini dilaksanakan oleh
perangkap korp konsuler yang bertugas di bidang ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, tukar-
menukar pelajar/mahasiswa. Adapun korps konsuler ini terdiri dari Konsul Jenderal, Konsul,
Wakil Konsul, dan Agen Konsul.

Kekebalan dan keistimewaan diplomatik sebagai berikut.

1. Kekebalan pribadi dan keluarganya, yaitu hak seseorang diplomatik untuk mendapatkan
perlindungan terhaap pribadinya dan keluarganya
2. Kekebalan kantor dan halaman diplomatik, yaitu perlindungan dari kantor diplomatik dan
halamannya, tidak semua orang boleh memasuki halaman dan kantor perwakilan diplomatik
3. Kekebalan surat menyurat diplomatik, yaitu seorang diplomatik bebas tidak diperiksa
terhadap kantong-kantong atau tas milik diplomatik di tempat-tempat tertentu, misalnya di
pelabuhan.
4. Kekebalan terhadap kantong diplomatik, yaitu seorang diplomatik bebas tidak diperiksa
terhadap kantong-kantong atau tas milik diplomatik di tempat-tempat tertentu, misalnya di
pelabuhan.
5. Kekebalan terhadap diplomatik sebagai saksi, yaitu seorang perwakilan diplomatik tidak
boleh dijadikan saksi dalam perkara pengadilan.

HUBUNGAN INTERNASIONAL :
PENGERTIAN,POSISI DAN
RUANG LINGKUP
December 15, 2012 · by odanon14 · in Uncategorized · Leave a comment

Apa Hubungan Internasional itu? Setiap sarjanawan dan pelajar HI mempunyai definisi-definisi yang
berbeda-beda dalam membatasi pengertian mengenai HI.Mohtar Ma’soed (1990) mengatakan bahwa
Hubungan Internasional itu sangat kompleks karena didalamnya terlibat bangsa-bangsa yang
masing-masing berdaulat sehingga memerlukan mekanisme yang lebih rumit daripada hubungan
antar kelompok manusia didalam suatu negara.ia juga sangat kompleks karena setiap hubungan itu
melibatkan berbagai segi lain yang koordinasinya tidak sederhana.Dari pernyataan Ma’soed ini dapat
kita simpulkan beta rumitnya HI karena ini adalah suatu interaksi bukan saja antar negara-bangsa
yang berdaulat melainkan ada segi-segi lain yang perlu diperhatikan.
Charles McClelland mendefinisikan Hubungan Internasional sebagai sebuah studi mengenai semua
bentuk pertukaran,transaksi,hubungan,arus informasi,serta berbagai respon perilaku yang muncul
diantara dan antar masyarakat yang terorganisir secara terpisah,termasuk komponen-komponennya.

J.C. Johari : Hubungan Internasional merupakan sebuah studi tentang interaksi yang berlangsung
diantara negara-negara berdaulat,disamping itu juga studi ttg pelaku-pelaku non-negara(non-State
Actors) yang perilakunya memiliki impak terhadap tugas negara bangsa.

Steve Chan : Hubungan internasional adalah interaksi antar aktor-aktor yang tindakan atau
perilakunya mempunyai konsekuensi penting terhadap aktor-aktor di luar yurisdiksi unit politik
mereka

Trygve Mathisen mendefinisikan Hubungan Internasional dalam beberapa arti yaitu :

1. Suatu Bidang spesialisasi yang meliuti aspek-aspek internasional dari beberapa cabang ilmu

pengetahuan.

2. Sejarah baru dari politik internasional

3. Semua aspek internasional dari kehidupan sosial umat manusia,dalam arti semua tingkah

laku manusia terjadi atau berasal dari suatu negara dapat mempengaruhi tingkah laku

manusia di negara lain.

4. Suatu cabang ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri,atau dengan kata lain bukan merupakan

sub-cabang dari cabang ilmu pengetahuan tertentu

Masih banyak sekali definisi yang diberikan oleh sarjanawan HI.Hal yang menyebabkan perbedaan-
perbedaan pendapat aliran pemikiran setiap pengamat dan sarjanawan HI yang berbeda-beda(Aliran
pemikiran akan kita bahas nanti).

Sedikitnya ada 3 kata kunci dalam terminologi Hubungan Internasional yaitu :

1. Aktor : Aktor ini adalah apa/siapa yang melakukan praktek Hubungan

Internasional.Walaupun negara adalah aktor yang paling dominan sampai saat ini dalam

Hubungan Internasional,namun banyak aktor-aktor lain yang tidak kalah dominannya dalam

melakukan praktek HI yaitu NGO(Non Governmental Organization),MNC dan TNC,yayasan


Non-profit,Individu,dan masih banyak lagi.Hubungan Internasional sedikitnya dilakukan

oleh 2 aktor.

2. Interaksi : Dua/lebih Aktor itu melakukan Hubungan yang bersifat Mutual atau reciprocal

3. Lintas Nasional : Interaksi itu harus bersifat Lintas batas Nasional(Across National Border)

Dimanakah Posisi Hubungan International dalam bidang ilmu???? Terjadi perdebatan disini yang
menghasilkan 2 thesis yg sama-sama kuat yaitu :

1. Ilmu Hubungan Internasional berada dibawah otonom ilmu politik

2. Ilmu Hubungan Internasional berdiri sendiri sebagai ilmu sosial

Namun bagi saya,Hubungan internasional adalah suatu ilmu sosial yang berdiri sendiri,karena ilmu
Hubungan Internasional adalah Ilmu integrator yang dimana ia mengintegrasikan ilmu-ilmu lain dan
bukan hanya ilmu politik saja.Jadi singkatnya Segala jenis
interaksi(sosial,budaya,hukum,politik,ekonomi,dll)yang dilakukan oleh 2 aktor/lebih dan sudah
bersifat Accross National Border maka itu adalah hubungan international.

Ruang lingkup HI ada 2 yaitu :

1. Sebagai bidang disiplin ilmu : Sebagai bidang ilmu dia melingkupi politik

Internasional,ekonomi Internasional,Hukum Internasional,Dll

2. Sebagai Fenomena sosial : ini melingkupi fenomena-fenomena yang ada didalam

dunia,seperti HAM,Masalah Lingkungan,Kebudayaan,dll

Namun yang perlu kita percayai adalaha bahwa ilmu HI ini adalah suatu ilmu sosial yang dimana
dapat berubah-ubah setiap waktunya secara dinamis.

HUBUNGAN INTERNASIONAL DAN LINGKUNGAN


HIDUP

Oleh
Paskalis Alfinos Toda

Selama perang dingin berlangsung sistem internasional bersifat bipolar yang ditandai
dengan adanya rivalitas antara duasuper power, Amerika Serikat dan Unisoviet. Studi
hubungan internasional memberikan perhatian pada dinamika konflik dan kerjasama antar
negara.[1] Isu seperti perang dan ancaman militeristik menjadi isu high politic. Pada masa
perang dingin keamanan negara (state security) menjadi isu yang paling dominan. Paradigma
realis merupakan mazhab yang paling berkembang selama perang dingin. Pandangan ini
berasumsi bahwa sistem politik internasional bersifat anarki dan negara merupakan aktor
yang dominan. Inisiatif negara dalam menyelesaikan permasalahan secara bersama sangat
sedikit dan sikap negara terhadap negara lain dipengaruhi oleh sejarah konflik internasional
yang telah terjadi sebelumnya.[2]

Berakhirnya perang dingin memberikan dampak baru terhadap perubahan tatanan


struktur internasional. Struktur internasional tidak dapat dipahami lagi sebagai sebuah
monopoli tatanan yang state centric. Selama perang dingin, struktur internasional ditandai
dengan adanya rivalitas antara superpowerdalam mengatur tatanan bipolar dunia. Kolapsnya
Uni Soviet serta runtuhnya tembok Berlin membawakan dinamika baru dalam konstelasi
politik internasional. Runtuhnya Uni Soviet turut mengubah sistem internasional yang
bipolar menjadi uni-multiporal. Hal ini dikarenakan adanya kemenangan Amerika
sebagai super power dalam perang dingin sementara di lain sisi muncul polar-polar baru.

Paradigma lain yang juga turut berkembang adalah paradiga liberal yang berasumsi
bahwa negara dapat bekerja sama dan mencari solusi bersama atas masalah yang dihadapai.
Paradigma ini percaya bahwa non state actor juga mempunyai peranan yang penting dalam
mengupayakan transparasi dan perjanjian koperatif.[3] Pandangan realis dan liberalis beserta
variannya merupakan pandangan mainstream di dalam ilmu hubungan internasional.
Namun kemudian, seiring dengan berbagai perkembangan muncul isu-isu baru dan
proliferasi aktor-aktor nonstate. Hal ini mengkibatkan banyak gejala dan fenomena
hubungan internasional yang tidak dapat dijelaskan melalui logika berpikir
paradigmamainstream. Isu yang turut berkembang adalah mengenai keamanan
negara (traditional security) yang mulai bergeser kepada isu kemananan nontradisional.
Salah satunya adalah mengenai isu lingkungan hidup yang selama perang dingin berlangsung
kurang mendapatkan perhatian oleh negara.

Selama perang dingin, negara-negara terdikotomi ke dalam blok-blok ideologis.


Preferensi negara tertuju kepada apakah berpihak pada ideologi liberal atau ideologi komunis.
Selain itu, terdapat negara-negara yang memilih untuk netral. Netralitas ini justru secara tidak
langsung melahirkan blok tersendiri yang dinamakan Gerakan Non Blok (GNB). Mayoritas
anggotanya berasal dari negara Asia dan Afrika.
Kemunculan Isu Lingkungan Hidup

Pemanasan global, degradasi lingkungan hidup, kelangkaan flora-fauna dan


perubahan iklim pada awalnya merupakan contoh-contoh permasalahan yang terkait dengan
lingkungan hidup. Perkembangan ilmu hubungan internasional yang state centric dan
berorientasi pada isu high politic semasa perang dingin membuat isu yang terkait dengan
lingkungan hidup terabaikan. Selain itu, perkembangan ekonomi yang massif, proliferasi
penggunaan teknologi baru, dan peningkatan jumlah populasi mengakibatkan peningkatan
penggunaan energi dan sumberdaya alam.[4] Dinamika ini kemudian mempengaruhi
keberlangsungan lingkungan hidup. Dampak pencemaran lingkungan hidup tidak hanya
bersifat lokal namun juga mempunyai dampak global seperti adanya global warming.
Merespon hal ini, komunitas internasional sadar bahwa permasalahan lingkungan hidup
bukanlah suatu permasalahan lokal semata tetapi haruslah diselesaikan secara bersama.

Peristiwa bersejarah dalam penanggulangan masalah lingkungan hidup terkait isu


lingkungan hidup adalah dengan diadakannya konvensi PBB tentang lingkungan hidup di
Stockholm pada tahun 1972. Salah satu isu sentral yang dibahas adalah mengenai
pembangunan berkelanjutan. Hal ini merupakan reflekasi bahwa pada dasarnya dunia yang
kita tempati bukanlah hanya menjadi milik manusia saat ini semata tetapi merupakan milik
generasi yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan (sustainabe
development)[5] merupakan suatu istilah yang diadopsi dari United Nation Conference on
Human Environment (UNCHE) di Stockholm pada tahun 1972.[6]

Konferensi ini merupakan konferensi PBB yang menjadi titik tolak aktifitas
institusional dari United Nations Environment Programme (UNEP) yang pada awalnya
menangani masalah lingkungan antara negara-negara utara yang relatif lebih maju dari
negara-negara dunia ketiga (third world) di bagian selatan dunia.[7]Dalam perkembangan
selanjutnya, pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang berkembang pesat pada
tahun 1990-an khsususnya setelah terjadinya United Nations Conference on Environment
and Development (UNCED) di Rio pada tahun 1992 yang disebut sebagai Earth
Summit.[8] Jumlah negara yang hadir di dalam KTT Bumi ini berjumlah 170 negara. Pada
tahun 1980-an muncul teori sosial hijau (green social) dan politik hijau (green politic) yang
berkonsentrasi terhadap pergerakan sosial baru (new social movement) dalam merespon isu
saat itu seperti lingkungan hidup, perdamaian, antinuklir dan gender. Pergerakan sosial ini
memberikan dampak terhadap berkembangnya partai-partai pada level lokal, nasional, dan
regional (mayoritas berada di Eropa) berdasarkan pada empat pilar politik hijau: pertanggung
jawaban ekologis, keadilan sosial, antikekerasan, dan demokrasi akar rumput. Pilar-pilar ini
kemudian menginspirasi kemunculan partai-partai hijau (green party) di berbagai belahan
dunia.[9]

Politik hijau menantangi sturuktur internasional yang telah ada namun pada saat yang
sama memberikan pemahaman akan adanya etika keberlangsungan, keadilan, dan harmoni
ekosistem.[10]Keadilan lingkungan secara khusus terkait dengan ketimpangan
pembangunan antara negara-negara di dunia bagian utara yang lebih maju dan cenderung
industrialis dibandingkan dengan negara-negara selatan yang relatif masih berkembang dan
bergantung pada sektor pertanian. Negara-negara utara dianggap sebagai penyebab
kerusakan lingkungan hidup sedangkan negara selatan juga mendapatkan stigma dalam
menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup yang tidak revolusioner.

Enviromentalisme dalam Hubungan Internasional

Istilah hijau (green) secara sederhana merujuk pada perhatian akan lingkungan
hidup. Selain itu, terdapat juga istilah mengenai environmental atau teori hujau (green
theory). Pandangan ini beranggapan bahwa permasalahan lingkungan yang menyebabkan
bahaya akan keberlangsungan lingkungan hidup disebabkan oleh manusia.[11] Paterson
beranggapan bahwa terdapat hubungan antara teori hijau dan hubungan internasional.
Dalam memahami ontologi, ia mengklaim bahwa diperlukan adanya perubahan anggagapan
dari antroposentrik menjadi ekosentris dalam memahami dunia. Dalam pandangan
antroposentris, manusia dianggap sebagai pusat dari dunia sedangkan pandangan ekosentris
beranggapan bahwa lingkungan hidup adalah pusat dari dunia. Pandangan ekosentris
memberikan pemahaman bahwa manusia bukanlah satu-satunya mahkluk hidup yang tinggal
di dalam dunia ini tetapi masih ada mahkluk hidup lain yang hidup dalam dunia ini. Manusia
adalah bagian dari alam bukan di atas alam.[12]

Kemudian Paterson menambahkan bahwa perubahan ontologi ini harus diiringi


dengan pemahaman mengenai keterbatasan enviromental. Menurutnya keterbatasan ini
terkait dengan dua hal. Pertama, pertumbuhan populasi manusia yang mempengaruhi
ketersediaan bahan bakar secara khusus yang terkait dengan industri. Kedua, aktifitas
industri tersebut kemudian dapat mempengaruhi polusi dan ketersediaan sumberdaya. Ia
juga beranggapan bahwa tatanan dunia yang baru (new world order)haruslah lebih
terdesentralisasi dan mengurangi power negara. Terkait dengan tatanan dunia baru,
environmentalis atau teoritisi hijau menekankan pada slogan ‘think globally, act locally’. Hal
ini berarti, suatu tindakan lokal dapat mempunyai efek global dan efek ini tidak selamanya
melalui tatakelola negara tetapi dapat melalui komunitas internasional. Paterson
beranggapan bahwa, environmental atau teori politik hijau dalam kaitannya dengan teori
hubungan internasional adalah sama-sama menjelaskan destruksi yang diakibatkan oleh
manusia dan bagaimana sifat destruktif manusia tersebut juga dapat menciptakan masyarakat
yang berkelanjutan apabila terdapat kesadaran bersama akan kehidupan yang lebih baik.[13]

Pada tahun 1990-an, politik hijau diakui sebagai tradisi politik baru. Politik ini
menantangi dua pandangan politik tradisional yang berkembang selama perang dingin yakni
liberalisme dan sosialime. Tradisi politik hijau pada awalnya bertujuan untuk mengkritik
kapitalisme barat dan sistem komunis Unisoviet yang sama-sama berorientasi pada
industri.[14] Selain itu, pada saat yang sama muncul berbagai permasalahan lingkungan
hidup yang juga turut berdampak terhadap kehidupan sosial masyarakat seperti pencemaran
air, kelangkaan sumber daya, dan kesempatan kerja yang berkurang.
Dalam perkembangan selanjutnya muncul gelombang kedua politik hijau yang
memberikan pemahaman yang lebih kritikal terkait dan lingkungan hidup. Gelombang ini
berusaha agar permasalah lingkungan hidup dapat ditransnasionalisasi ke dalam konsep-
konsep politik dan institusi-institusi yang terkait dengan lingkungan hidup. Lebih jauh,
gelombang kedua ini memberikan pemahaman mengenai deteritorialisasi atau
mengkonseptualisasi secara global pemahaman-pemahaman seperti keadilan lingkungan
hidup, hak-hak lingkungan hidup, demokrasi lingkungan, aktivis lingkungan, negara
hijau (green state).[15]

Globalisasi dan Permasalahan Lingkungan Hidup

Saat ini dunia sedang berada di dalam era globaliasi. Meskipun demikan, masih ada
banyak perdebatan di antara para ahli mengenai kapan globalisasi itu terjadi. Strange dalam
Weber mengatakan, “globalization has been described as “a term which can refer to anything
from the Internet to a hamburger”. Marchand dalam Weber pun mempertanyakan
apakah, “globalization” is a process, an ideology (“globalism”) or a “state of being”
(“globality”).[16] Kemudian, Rosenau menyebut era saat ini sebagai era yang ditandai dengan
adanya, “shifting boundaries, relocated authorities, weakened states, and proliferating
nongovernmental organizations (NGOs) at local, provincial, national, transnational,
international, and global levels of community, the time has come to confront the insufficiency
of our ways of thinking, talking, and writing about government”[17] Pernyataan-pernyataan
di atas mengafirmasikan bahwa dinamika internasional saat ini tengah berada di dalam situasi
yang sangat kompleks dengan proliferasi berbagai aktor secara khusus aktor non negara.
Namun yang menjadi persoalan lain adalah semua aktor tersebut bermain di dalam panggung
yang sama yakni di dalam dunia. Interaksi antar aktor ini tidak jarang mempengaruhi isu di
dalam hubungan internasional secara khsusus terkait dengan lingkungan hidup.

Pertanyaannya adalah dengan ketergantungan dan kerjasama antar negara dalam


ekonomi apakah justru pada saat yang sama memberikan dampak destruktif terhadap
lingkungan hidup? Atau pertanyaan yang lebih radikal adalah apakah keuntungan ekonomis
suatu negara adalah karena suatu negara mengeksploitasi negara lain? Hubungan yang
timpang yang sering terjadi antar negara khususnya melalui terminologi utara-selatan
merupakan salah satu kajian yang di bahas oleh para teoritisi hijau. Keadilan lingkungan
merupakan hal yang penting karena bagaimana pun juga lingkungan hidup merupakan milik
semua umat manusia bahkan bagi generasi mendatang. Eckersley dalam Paterson
memberikan penolakan terhadap pandangan dunia yang cenderung antroposentris.
Menurutnnya pendekatan ini harus berubah menjadi pendekatan yang lebih ekosentris yang
menempatkan manusia sebagai bagian kesatuan dari ekosistem.[18]

Di era globalisasi, meskipun terdapatnya hubungan kesejahteraan masyarakat dan


ekonomi, penting agar terciptanya kesadaran akan pembangunan yang berkelanjutan. Negara
atau aktor non negara yang bergerak di dalam bidang ekonomi seperti MNC dan TNC perlu
meningkatkan eskalasi kesadaran akan esensi pandangan politik hijau. Pandangan yang
beranggapan bahwa kerusakan lingkungan hidup justru disebabkan oleh manusia itu
sendiri.[19] Keberlangsungan ekologis merupakan suatu hal yang tidak dapat dimunafikkan
karena pada dasarnya keberlangsungan hidup generasi mendatang sangat ditentukan oleh
generasi umat manusia saat ini.

Seperti yang dikatakan oleh Rosenau bahwa terdapatnyarelocated


authorities dan weakened states di atas, perlu digaris bawahi bahwa masalah lingkungan
hidup tidak sebatas merupakan permasalahan negara tetapi justru permasalahan ini perlu
ditangani melalui kolaborasi antara sektor-sektor lain secara khusus sektor pasar dan
masyarakat. Terkait dengan hal ini, teoritisi hijau merekomendasikan agar permasalah
lingkungan hidup di mulai pada tingkatan lokal atau disebut juga sebagai desentralisasi.
Namun, tentu hal ini akan menjadi mustahil ketika jejaring dalam menyelesaikan
permasalahan lingkungan hanya terbetas pada skala lokal padahal permasalahan lingkungan
relatif mempengaruhi bidang yang lain dan mempunyai dimensi global. Maka, desentralisasi
yang dimaksudkan oleh kalangan hijau sebenarnya mengandung makna perlu adanya
tindakan lokal yang berdampak global. Mengatasi masalah lingkungan pada tingkat lokal
harus dimulai melalui pendekatan akar rumput. Hal ini disebabkan karena permasalahan
lingkungan selain bersifat lokal tetapi juga terdapat dimensi transnasional bahkan
global.[20] Peran civil society sangat penting dalam mengupayakan pembentukan norma-
norma lingkungan hidup seperti yang diharapkan oleh para teoritisi politik hijau sehingga
permasalahan lingkungan benar-benar dapat dimulai pada tingkatan yang paling rendah
yakni pada level lokal (desentralisasi).

Kesimpulan

Berakhirnya perang dingin mempengaruhi terhadap kemuncuan isu selain isu high
politic seperti lingkungan hidup yang salam perang dingin berlangsung kurang mendapatkan
perhatian. Selain terdapatnya pergesaran isu yang baru, proliferasi aktor non negara turut
mempengaruhi konstelasi hubungan internasional. Isu lingkungan hidup di dalam hubungan
internasional menjadi signifikan karena permasalahan lingkungan dapat terjadi pada level
lokal, transnasional bahkan global. Selain itu, teoritisi environmentalis memberikan pengaruh
yang besar terkait pandangan bagaimana letak lingkungan hidup di dalam hubungan
internasional. Permasalahan lingkungan hidup bukan saja semata permasalahan yang harus
diselesaikan oleh negara tetapi menuntut keterlibatan pihak lain secara khsusus pasar dan
masyarakat.

Terakhir, globalisasi dapat memberikan polemik terhadap perkembangan isu


lingkungan hidup. Namun yang perlu menjadi catatan adalah perlunya kesadaran akan
pemahaman yang sudah dibangun oleh para pemikir hijau seperti ekosentrisme, keterbatasan
pertumbuhan, dan desentralisasi penyelesaian masalah lingkungan. Dengan demikian
diharapkan permasalahan lingkungan dapat diselesaikan bersama dan wajah dunia dapat
menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, William Mark (2001). Green Development: Environment and Sustainability in The
Tthird Wolrd (Second Edition), New York: Routledge.

Eckersley, Robyn (2010). ‘Green Theory’ dalam dalam Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve
Smith. International Relation Theorie: second Edition, New York: Oxford.

Paterson, Matthew (2001). ‘Green Politics’ dalam ” dalam Burchill, Scott; Linklater, Andrew et
al. Theories of International Relations, Third edition. New York: Palgrave Macmillan.

Rosenau, James (2006). The Study of World Politic Volume 2, New York: Routledge.

O’Neill, Kate (2009). The Environment and International Relations, Edinburgh: Cambridge.

Vogler, John dan Mark F. Imber (1996). The Environment and International Relations, New
York: Routledge.

Weber, Cynthia (2010). International Relation Theory: A Critical Introduction Third Edition,
New York: Routledge.

[1] Kate O’Neill (2009). The Environment and International Relations,Edinburgh:


Cambridge. Hal.8.
[2] Ibid.

[3] Ibid., Hal.10.

[4]Robyn Eckersley (2010). ‘Green Theory’ dalam dalam Tim Dunne, Milja Kurki, dan
Steve Smith. International Relation Theorie: second Edition, New York: Oxford. Hal. 259.
[5]Menurut Adams istilah pembangunan berkelanjutan (sustainabe
development) merupakan istilah konsep teoritis yang dapat juga diartikan dengan
pembangunan hijau (green development) atauecodevelopment (2001:4).
[6] William Mark Adams (2001). Green Development: Environment and Sustainability in
The Tthird Wolrd (Second Edition), New York: Routledge. Hal. 1.
[7] John Vogler dan Mark F. Imber (1996). The Environment and International
Relations, New York: Routledge. Hal. 5. Adams menjelaskan bahwa dunia ketiga (third
world) merupakan istilah yang digunakan untuk negara-negara yang tidak terlalu
bergerak dalam bidang industri. Negara selatan (the south) merupakan negara yang
berkembang atau sedang berkembang. Adapun dunia ketiga juga dapat diartikan pada
negara-negara yang tidak beraliansi dengan negara-negara kapitalis di dunia
pertama (first world) dan negara-negara sosialis di dunia kedua (second
world) (2001:xvii).
[8] Adams, Op. Cit., Hal. 2.

[9] Eckersley, Op. Cit., Hal. 260.

[10] O’Neill, Op. Cit., Hal. 18.

[11] Cynthia Weber (2010). International Relation Theory: A Critical Introduction Third
Edition, New York: Routledge. Hal. 192.
[12] Ibid.Hal.193.

[13]Ibid. Hal. 193-194.

[14] Eckersley, Op. Cit., Hal.260.

[15] Ibid. Hal.262.

[16] Weber, Op. Cit.,Hal. 108.

[17] James Rosenau (2006). The Study of World Politic Volume 2,New York:
Routledge. Hal. 111.
[18] Matthew Paterson (2001). ‘Green Politics’ dalam ” dalam Burchill, Scott; Linklater,
Andrew et al. Theories of International Relations, Third edition. New York: Palgrave
Macmillan. Hal. 237.
[19] Ibid. Hal.237.

[20] Ibid. Hal. 247.

Anda mungkin juga menyukai