Anda di halaman 1dari 19

A.

Hakikat / Pengertian Bahasa

Bahasa dapat mengacu kepada kapasitas khusus yang ada pada manusia untuk memperoleh dan
menggunakan sistem komunikasi yang kompleks, atau kepada sebuah instansi spesifik dari sebuah
sistem komunikasi yang kompleks. Kajian ilmiah terhadap bahasa dalam bahasa indra disebut dengan
linguistik.

Secara etimologi, istilah bahasa berasal dari bahasa Latin lingua. Dalam bahasa Itali “bahasa”
disebut linguaggio dan lingua, bahasa Perancis menyebut “bahasa” sebagai langage dan langue, dalam
bahasa Spanyol “bahasa” disebut dengan lengua dan disebut dengan language dalam bahasa Inggris.

Penyebutan “bahasa” terdiri dari dua konsep utama dalam kajian lingustik yaitu penyebutan
bahasa secara umum (bersifat koloquel) seperti langage (bahasa Prancis), linguaggio (bahasa Itali) dan
juga penyebutan bahasa pada bahasa tertentu atau suatu sistem linguistik tertentu seperti langue
(dalam bahasa Prancis), lingua (bahasa Itali) dan lengua (bahasa Spanyol). Akan tetapi, language dalam
bahasa Inggris dapat digunakan untuk menamakan bahasa secara umum atau digunakan untuk
menyebut satu bahasa tertentu, demikian halnya dengan istilah “bahasa” dalam bahasa Indonesia.

Sedangkan pengertian terminologis dari bahasa itu sendiri telah banyak didefinisikan oleh para
ahli sebagai berikut:

1. Saphir (1921) dalam Chaedar Alwasilah (1990) bahwa bahasa adalah “a purely human and non-
instinctive method of communicating ideas, emotion and desire by means of voluntarily
produced symbol”. Saphir menyebutkan lima butir terpenting dalam definisi “bahasa” yaitu:
manusiawi, dipelajari, memilki sistem, arbitrer dan bersimbol.

2. Hall mengungkapkan bahwa bahasa merupakan suatu institusi dalam pengertian alat untuk
berkomunikasi dan berinteraksi antar umat manusia.

3. Wardhough menyebutkan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang
digunakan manusia untuk berkomunikasi.

4. Hasan Lubis (1988) menyebutkan bahwa bahasa adalah sistem lambang-lambang yang arbitrer
yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk menyampaikan fikiran dan perasaannya dengan
bunyi-bunyi.
5. Kridalaksana (2008) mengatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang
dipergunakan oleh anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan
mengidentifikasikan diri.

6. Caroll (1959) beranggapan bahwa bahasa adalah sebuah sistem berstruktur mengenai bunyi dan
urutan bunyi bahasa yang sifatnya manasuka, yang digunakan atau yang dapat digunakan dalam
komunikasi antar individu oleh sekelompok manusia yang secara agak tuntas memberi nama
kepada benda-benda, peristiwa-peristiwa dan proses-proses dalam lingkungan hidup manusia.1

Ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa yaitu:

(1) bahasa itu adalah sebuah sistem,


(2) bahasa itu berwujud lambang,
(3) bahasa itu berupa bunyi,
(4) bahasa itu bersifat arbitrer,
(5) bahasa itu bermakna,
(6) bahasa itu bersifat konvensional,
(7) bahasa itu bersifat unik,
(8) bahasa itu bersifat universal,
(9) bahasa itu bersifat produktif,
(10) bahasa itu bervariasi,
(11) bahasa itu bersifat dinamis, dan
(12) bahasa itu manusiawi.

A. Sifat-sifat Bahasa

1. BAHASA ADALAH SEBUAH SISTEM

Sistem berarti susunan teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna atau
berfungsi. sistem terbentuk oleh sejumlah unsur yang satu dan yang lain berhubungan secara fungsional.
Bahasa terdiri dari unsur-unsur yang secara teratur tersusun menurut pola tertentu dan membentuk satu
kesatuan.

Sebagai sebuah sistem,bahasa itu bersifat sistematis dan sistemis. Sistematis artinya bahasa itu

1
Rochayah Machali.2000. Pedoman Bagi Penerjemah . Jakarta: Grasindo. Hal. 18.
tersusun menurut suatu pola, tidak tersusun secara acak. Sistemis artinya bahasa itu bukan merupakan
sistem tunggal, tetapi terdiri dari sub-subsistem atau sistem bawahan (dikenal dengan nama tataran
linguistik). Tataran linguistik terdiri dari tataran fonologi, tataran morfologi, tataran sintaksis, tataran
semantik, dan tataran leksikon. Secara hirarkial, bagan subsistem bahasa tersebut sebagai berikut.

2. BAHASA ITU BERWUJUD LAMBANG

Lambang dengan berbagai seluk beluknya dikaji orang dalam bidang kajian ilmu semiotika, yaitu
ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam kehidupan manusia. Dalam semiotika dibedakan
adanya beberapa tanda yaitu: tanda (sign), lambang (simbol), sinyal (signal), gejala (sympton), gerak isyarat
(gesture), kode, indeks, dan ikon. Lambang bersifat arbitrer, artinya tidak ada hubungan langsung yang
bersifat wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya.

3. BAHASA ADALAH BUNYI

Menurut Kridalaksana (1983), bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran
gendang telinga yang bereaksi karena perubahan dalam tekanan udara. Bunyi bahasa adalah bunyi yang
dihasilkan alat ucap manusia. Tetapi juga tidak semua bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia
termasuk bunyi bahasa.

4. BAHASA ITU BERSIFAT ARBITRER

Kata arbitrer bisa diartikan ’sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka’. Yang dimaksud
dengan istilah arbitrer itu adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi
itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut. Ferdinant de Saussure (1966:
67) dalam dikotominya membedakan apa yang dimaksud signifiant dan signifie. Signifiant (penanda)
adalah lambang bunyi itu, sedangkan signifie (petanda) adalah konsep yang dikandung signifiant.
Bolinger (1975: 22) mengatakan: Seandainya ada hubungan antara lambang dengan yang
dilambangkannya itu, maka seseorang yang tidak tahu bahasa tertentu akan dapat menebak makna sebuah
kata apabila dia mendengar kata itu diucapkan. Kenyataannya, kita tidak bisa menebak makna sebuah kata
dari bahasa apapun (termasuk bahasa sendiri) yang belum pernah kita dengar, karena bunyi kata tersebut
tidak memberi ”saran” atau ”petunjuk” apapun untuk mengetahui maknanya.
5. BAHASA ITU BERMAKNA

Salah satu sifat hakiki dari bahasa adalah bahasa itu berwujud lambang. Sebagai lambang, bahasa
melambangkan suatu pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau suatu pikiran yang ingin disampaikan dalam
wujud bunyi itu. Maka, dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyi makna. Karena bahasa itu bermakna,
maka segala ucapan yang tidak mempunyai makna dapat disebut bukan bahasa.
[kuda], [makan], [rumah], [adil], [tenang] : bermakna = bahasa
[dsljk], [ahgysa], [kjki], [ybewl] : tidak bermakna = bukan bahasa

6. BAHASA ITU KONVENSIONAL

Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkannya bersifat arbitrer, tetapi
penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu bersifat konvensional. Artinya, semua anggota
masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili konsep
yang diwakilinya. Misalnya, binatang berkaki empat yang biasa dikendarai, dilambangkan dengan bunyi
[kuda], maka anggota masyarakat bahasa Indonesia harus mematuhinya. Kalau tidak dipatuhinya dan
digantikan dengan lambang lain, maka komunikasi akan terhambat.

7. BAHASA ITU UNIK

Bahasa dikatakan bersifat unik, artinya setiap bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh
bahasa lainnya. Ciri khas ini bisa menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan
kalimat, atau sistem-sistem lainnya.

8. BAHASA ITU BERSIFAT UNIVERSAL

Selain bersifat unik, bahasa juga bersifat universal. Artinya, ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh
setiap bahasa yang ada di dunia ini. Misalnya, ciri universal bahasa yang paling umum adalah bahwa bahasa
itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan konsonan.

9. BAHASA ITU BERSIFAT PRODUKTIF


Bahasa bersifat produktif, artinya meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, tetapi dengan unsur-unsur
yang jumlahnya terbatas itu dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang tidak terbatas, meski secara relatif,
sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu. Misalnya, kita ambil fonem dalam bahasa Indonesia,
/a/, /i/, /k/, dan /t/. Dari empat fonem tersebut dapat kita hasilkan satuan-satuan bahasa:

 /i/-/k/-/a/-/t/

 /k/-/i/-/t/-/a/

 /k/-/i/-/a/-/t/

 /k/-/a/-/i/-/t/

10. Bahasa itu bervariasi


Anggota masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari berbagai orang dengan berbagai status
sosial dan latar belakang budaya yang tidak sama. Karena perbedaan tersebut maka bahasa yang
digunakan menjadi bervariasi. Ada tiga istilah dalam variasi bahasa yaitu:

1. Idiolek : Ragam bahasa yang bersifat perorangan.

2. Dialek : Variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat
atau suatu waktu.

3. Ragam : Variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tertentu. Misalnya, ragam baku dan ragam
tidak baku.

11. Bahasa itu bersifat dinamis


Bahasa tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia
itu sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Karena keterikatan dan keterkaitan bahasa itu
dengan manusia, sedangkan dalam kehidupannya di dalam masyarakat kegiatan manusia itu selalu
berubah, maka bahasa menjadi ikut berubah, menjadi tidak tetap, menjadi dinamis. Perubahan itu dapat
berupa pemunculan kata atau istilah baru, peralihan makna sebuah kata, dan perubahan-perubahan
lainnya.

12. Bahasa itu manusiawi


Alat komunikasi manusia berbeda dengan binatang. Alat komunikasi binatang bersifat tetap,
statis. Sedangkan alat komunikasi manusia, yaitu bahasa bersifat produktif dan dinamis. Maka, bahasa
bersifat manusiawi, dalam arti bahasa itu hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia.2

Hubungan Bahasa dan Kebudayaan

Menurut Koentjaraningrat (1992) bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Hubungan antara
bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan subordinatif, suatu bahasa berada di bawah lingkup
kebudayaan. Di samping itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan
mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama
tinggi. Masinambouw (dalam Crista, 2012:1) malah menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan
dua sistem yang "melekat" pada manusia. Kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur
interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi
sebagai sarana.

Masinambouw (dalam Crista, 2012:1) juga mempersoalkan bagaimana hubungan antara


kebahasaan dan kebudayaan, apakah bersifat subordinatif, ataukah bersifat koordinatif. Kalau
bersifat subordinatif mana yang menjadi main sistem (sistem atasan) dan mana pula yang menjadi
subsystem (sistem bawahan). Kebanyakan ahli memang mengatakan bahwa kebudayaanlah yang
menajadi main system, sedangkan bahasa hanya merupakan subsistem.

Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal yaitu
hubungan kebahasaan dan kebudayaan itu seperti anak kembar siam, dua buah fenomena yang
terikat erat seperti hubungan sisi satu dengan sisi yang lain pada sekeping uang logam (Silzer
dalam Crista, 2012:1). Jadi, pendapat ini mengatakan kebahasaan dan kebudayaan merupakan dua
fenomena yang berbeda, tetapi hubungannya sangat erat sehingga tidak dapat dipisahkan, sejalan
dengan konsep Masinambouw. Hal kedua yang menarik dalam hubungan koordinatif ini adalah
adanya hipotesis yang sangat kontroversial, yaitu hipotesis dari dua pakar linguistik ternama, yakni
Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Hipotesis ini dikenal dengan nama hipotesis Sapir dan
Whorf.

Meskipun gagasan-gagasan yang dikemukakan kedua sarjana itu, Sapir dan Whorf, adalah
hasil penelitian yang lama dan mendalam, serta dikemukakan dalam karangan yang bobot
ilmiahnya sangat tinggi, tetapi nyatanya gagasan mereka disebutkan dalam hipotesisnya sangat

2
Chaer,Abdul.2007.Linguistik Umum:Jakarta:Rineka Cipta
kontroversial dengan pendapat sebagaian besar sarjana. Dalam hipotesis itu, dikemukakan bahwa
bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikir
manusia. Suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa yang lain, akan memilki corak budaya
dan jalan pikiran yang berbeda pula. Perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia
tersebut bersumber dari perbedaan bahasa,. Bahasa itu memengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran
manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya
penuturnya. Contoh, katanya dalam bahasa Barat ada sistem kala yaitu penutur bahasa
memerhatikan dan terikat waktu, misalnya pada musim panas pukul

21.00 matahari masih bersinar dengan terang, tetapi kanak-kanak karena sudah menjadi
kebiasaan disuruhnya tidur karena katanya hari sudah malam. Sebaliknya, bagi orang Indonesia
karena dalam bahasanya tidak ada sistem kala, menjadi tidak memperhatikan waktu, seperti acara
yang sudah terjadwalkan waktunya bisa mundur satu jam. Itulah sababnya uangkapan jam karet
hanya ada di Indonesia.

Hipotesis Sapir-Whorf yang menyatakan perbedaan berpikir disebabkan oleh adanya


perbedaan bahasa ini, akan menyebabkan orang arab, akan terlihat kenyataan secara berbeda
dengan orang Jepang, sebab bahasa Arab tidak sama dengan bahasa Jepang. Kalau hipotesis Sapir-
Whorf ini diterima, maka implikasinya dalam ilmu pengetahuan amat sangat jauh, sebab bagi ilmu
pengetahuan manusia mempunyai satu jalan pikiran. Dikemukakan oleh Masinsmbouw bahwa
bahasa itu hanyalah alat untuk menyatakan atau menyampaikan pikiran dan bahasa itu bersifat
unik. Dengan kata lain, bahasa tidak memengaruhi jalan pikiran, apalagi menentukan seperti yang
dinyatakan oleh hipotesis Sapir-Whorf.

Sapir dan Whorf, dua sarjana linguistik yang begitu berbobot, sampai bisa membuat
pernyataan yang begitu kontrovesional dengan mengatakan bahwa bahasa sangat berperan dalam
menentukan jalan pikiran manusia, bahkan bersifat mutlak. Kajian antropologi yang dijadikan
landasan, telah menunjukkan kepada kedua sarjana itu, bahwa pembentukan konsep-konsep
tidaklah sama pada semua kultur. Para ahli yang menolak pendapat bahwa kita mempunyai konsep
lebih dahulu kemudian baru mencarikan nama untuk konsep itu, tentunya bisa menerima pikiran
Safir dan Whorf. Akan tetapi, penganut aliran mentalistik tidak dapat menerima sama sekali
hipotesis tersebut.
Orang yang mengikuti hipotesis Sapir-Whorf tidak banyak. Pertama, karena sejak semula
orang meragukan bahwa manusia mempunyai perbedaan yang sejauh itu. Kedua, diketahui
kemudian bahwa Whorf telah melakukan beberapa kesalahan teknis dalam kajian.

Silzer (1990) menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua buah fenomena yang
terikat, bagai dua anak kembar siam, atau sekeping mata uang yang pada satu sisi berupa sistem
bahasa dan pada sistem yang lain berupa sistem budaya, maka apa yang tampak dalam budaya
akan tercermin dalam bahasa, atau juga sebaliknya. Misalnya bangsa Inggris dan bangsa Eropa
lainnya, yang tidak mengenal kebiasaan makan nasi, maka dalam bahasanya hanya ada satu kata
yaitu rice, untuk menyatakan konsep padi, gabah, beras, dan nasi. Begitu juga tidak ada kosakata
untuk konsep lauk, teman pemakan nasi. Sebaliknya, dalam budaya Indonesia ada karena ada
budaya makan nasi, maka bahasa Indonesia mempunyai kata yang berbeda untuk keempat konsep
itu. Masyarakat Inggris tentunya mengerti akan adanya perbedaan konsep beras, padi, gabah, dan
nasi itu: tetapi mereka tidak merasa perlu, atau belum merasa perlu untuk saat ini, untuk
menciptakan istilah baru untuk keempat konsep itu. Contoh lain mengenai adanya hubungan antara
bahasa dan budaya dapat juga kita lihat dari peribahasa atau pepatah Melayu. Katanya, peribahasa
atau pepatah Melayu ini mencerminkan sifat, sikap, dan keadaan bangsa Melayu (pada waktu
dulu). Umpamanya, peribahasa, "Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung" mengungkapkan
bahwa orang Melayu selalu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan atau situasi dimana dia
berkunjung. Pepatah yang mengatakan, "Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya"
menunjukkan bahwa orang Melayu sangat memahami bahwa setiap daerah atau bangsa
mempunyai adat istiadat dan kebiasaan yang berbeda.

Menurut Koentjaraningrat (1990) buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagian


besar orang Indonesia, termasuk kaum intelektualnya, adalah karena adanya sifat-sifat negatif yang
melekat pada mental pada sebagian besar orang Indonesia. Sifat- sifat negatif itu adalah suka
meremehkan mutu, mental menerabas, tuna harga diri, menjauhi disiplin, enggan bertanggung
jawab, dan suka latah atau ikut-ikutan.

Menurut Koentjaraningrat, sikap mental menerabas tercermin dalam perilaku berbahasa


berupa adanya keinginan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, tetapi tanpa
keinginan untuk belajar. Mereka menganggap bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa kita yang
secara alami, yang dapat dikuasai tanpa harus dipelajari. Memang benar secara politis kita adalah
orang Indonesia, karena lahir dan dibesarkan di Indonesia, dan bahasa Indonesia adalah milik kita.
Akan tetapi, apakah benar itu dapat dikuasai dengan baik tanpa melalui proses belajar. Lebih-lebih
kalau diingat bahwa bagi sebagian besar orang Indonesia, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua,
bukan bahasa pertama. Untuk menguasai bahasa pertama saja kita harus belajar dari lingkungan
kita: apabila untuk menguasai bahasa kedua yang harus dipelajari dari orang lain.

Sikap tuna harga diri, menurut Koentjaraningrat, berarti tidak mau menghargai milik diri
sendiri, tetapi sangat menghargai diri orang lain, orang asing. Sikap ini tercermin dalam perilaku
berbahasa, karena ingin selalu menghargai orang asing, maka menjadi selalu menggunakan bahasa
asing dan menomorduakan bahasa sendiri. Lihat saja buktinya, demi menghargai orang asing,
keset-keset di muka pintu kantor pemerintahan pun bertuliskan kata-kata welcome bukan selamat
datang; pintu-pintu di atas bertuliskan in atau exit, dan bukan masuk atau keluar; dan di pintu yang
daunnya dapat dibuka dua arah bertuliskan petunjuk push dan pull, dan bukannya dorong dan tarik.

Sikap menjauhi disiplin tercermin dalam perilaku berbahasa yang tidak mau atau malas
mengikuti aturan atau kaidah bahasa. Ujaran-ujaran seperti Dia punya mau tidak begitu atau Dia
punya dua mobil sudah lazim kita dengar, padahal kedua struktur kalimat itu tidak sesuai dengan
kaidah yang ada. Harusnya berbunyi, Kemauannya tidak demikian, dan Dia mempunyai dua buah
mobil.

Sikap tidak mau bertanggung jawab menurut Koentjaraningrat (1992) tercermin dalam
perilaku berbahasa yang tidak mau memerhatikan penalaran bahasa yang benar. Kalimat seperti
"Uang iuran anggota terpaksa dinaikkan karena sudah lama tidak naik", sering kita dengar. Kalau
mau menalar dan bertanggung jawab, alasan kenaikan itu bukanlah karena sudah lama tidak naik,
mungkin, misalnya, karena sudah tidak sesuai lagi dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan.
Jadi, bertanggung jawab dalam berbahasa, artinya, dapat mempertanggungjawabkan kebenaran isi
kalimat itu.

Sifat latah atau ikut-ikutan tercermin dalam berbahasa dengan selalu mengikuti saja ucapan
orang lain (biasanya ucapan pejabat atau pemimpin) yang sebenarnya secara gramatikal tidak
benar. Umpamanya karena adanya gerakan yang bersemboyankan "memasyarakatkan olahraga
dan mengolahragakan masyarakat" maka diikuti ucapan itu. Padahal secara semantik dan
gramatikal ungkapan, "memasyarakatkan olahraga" memang benar, yakni berarti menjadikan olah
raga itu menjadi kebiasaan dalam masyarakat; tetapi ungkapan, "Mengolahragakan masyarakat",
tidak benar, sebab ungkapan itu berarti "masyarakat itu jadi olah raga?. Kalau yang dimaksud
adalah menjadikan masyarakat itu berolah raga, maka bentuknya haruslah, " memperolahragakan
masyarakat".

Hubungan bahasa dengan kebudayaan yang telah dipaparkan oleh Koentjaraningrat (1990)
di atas, ternyata yang memengaruhi perilaku berbahasa adalah budaya. Budaya di sini dalam arti
luas, termasuk sifat dan sikap yang dimiliki oleh penutur.

Untuk lebih memahami adanya hubungan budaya dan tindak tutur, serta melihat budaya-
budaya yang tidak sama, sehingga melahirkan pola tindak tutur yang berbeda, camkan ilustrasi
berikut. Dalam masyarakat tutur Indonesia kalau ada orang memuji, misalnya dengan mengatakan
"Bajumu bagus sekali!", atau , "Wah rumah saudara besar sekali", maka yang dipuji akan
menjawab pujian itu dengan nada menolak merendah, misalnya dengan mengatakan "Ah, ini cuma
baju murah kok" dan , "yah, beginilah namanya juga rumah di kampung!". Akan tetapi kalau itu
terjadi dalam budaya Inggris, tentu akan dijawab dengan kata "Terima kasih!". Contoh lain, dalam
budaya Indonesia hanya laki-laki yang dapat mengawini atau menikahi wanita, sedangkan wanita
tidak dapat mengawini atau menikahi laki-laki, sebab kalimat dalam budaya Inggris, baik laki-laki
maupun wanita dapat menikahi lawan jenisnya. Dalam budaya Indonesia, informasi informasi
(dalam bentuk tindak tutur) lebih sering disampaikan secara tidak langsung dengan menggunakan
bahasa kias atau bahasa isyarat, tetapi dalam budaya Inggris lebih umum disampaikan secara
langsung dengan alat komunikasi verbal.3

Peristiwa kontak bahasa

3
1230.PDF hal 5-8
Apabila dua bahasa atau lebih dipergunakan secara bergantian oleh penutur yang sama,
maka dapat dikatakan bahwa bahasa-bahasa tersebut dalam keadaan saling kontak . Jadi kontak
bahasa terjadi, dalam diri penutur secara individual. Individu-individu tempat terjadinya kontak
bahasa disebut dwibahasawan-dwibahasawan. Sedangkan peristiwa pemakaian dua bahasa (atau
lebih) secara bergantian oleh seorang penutur disebut kedwibahasawan (weinreich, 1968;1)

Kontak bahasa itu terjadi dalam situasi konteks social, yaitu situasi dimana seseorang
belajar bahasa kedua di dalam masyarakatnya. Dalam situasi seperti itu dapat di bedakan antara :
situasi belajar bahasa, proses perolehan bahasa dan orang yang belajar bahasa. Dalam situiasi
belajar bahasa terjadi kontak bahasa , proses perolehan bahasa kedua disebut pendwibahasaan
(bilingualisasi) dan orang yang belajar bahasa ke dua dinamakan dwibahasawan (diebold, dalam
hymes, 1964;496)

Mackey (1968;554) memberikan pengertian kontak bahasa sebagai pengaruh bahasa yang
satu kepada bahasa yang lain baik langsung maupun tak langsung, sehingga menimbulkan
perubahan bahasa yang dimiliki oleh

ekabahasawan. Sedangkan kedwibahasawan diartikan sebagai pemakaian dua bahasa atau


lebih oleh seseorang penutur. Ia memberi tekanan agar antara kontak bahasa dan kedwibahasaan
tidak dikacaukan. Menurut pendapatnya kontak bahasa cenderung kepada gejala bahasa (language,
sedangkan kedwibahasaan lebih sebagai gejala tutur (parole) , maka kontak bahasa sudah
selayaknya Nampak dalam kedwibahasaan. Atau dengan kata lain , kedwibahasaan terjadi sebagai
akibat adanya kontak bahasa.

Kedwibahasaan dan dwibahasawan

Mula-mula kedwibahasaan diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan dua bahasa


yang sama baiknya oleh seorang penutur, yang oleh Bloompild (`1958: 56) dirumuskan sebagai
native –like control of two languages. Kedwibahasaan seperti itu oleh Haliday (dalam Fishman,
1968: 141) disebut dengan istilah ambilingualim, disebut coordinate bilingualism oleh Oskar
(dalam Sebeok, 1972: 481) dan disebut coordinate bilingualism oleh Diebold (dalam Hymes, 1964:
496).

Makey (1968: 557) mengemukakan adanya tingkatan-tingkatan kedwibahasaan, yang


dimaksudkan untuk membedakan tingkat kemampuan seorang dalam penguasaan bahasa kedua.
Tingkat-tingkat kemampuan demikian dapat dilihat dari penguasaan penutur terhadap segi-segi
gramatikal, leksikal, semantic, dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan berbahasa
yaitu: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Makiin banyak unsure-unsur tersebut
dikuasai oleh seorang penutur makin tinggi tingkat kedwibahasaannya, makin sedikit terhadap
penguasaan unsure-unsur itu makin rendah. Tetapi semuanya termasuk dwibahasawan-
dwibahasawan.

Haugen (1968: 10) mengemukakan kedwibahasaan sebagai tahu dua bahasa (knowledge
of two language). Rumusan seperti itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa dalam hal
kedwibahasaan, seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa. Cukuplah
ia mengetahui secara pasif dua bahasa.Malahan Haugen berpendapat bahwa mengetahui dua dialek
dari satu bahasa digolongkan dwibahasawan. Rene Appel (1976: 176) dkk. Menyebutkan bahwa
apa yang disebut dua bahasa dalam kedwibahasaan adalah termasuk juga dua variasi bahasa.

Sementara itu Oskar (1972: 478) berpendapat bahwa tidak cukup membatassi
kedwibahasaan hanya sebagai milik individu. Kedwibahasaan harus diperlakukan juga sebagai
milik kelompok.Sebab bahasa itu sendiri tidak terbatas sebagai alat perhubungan antar individu ,
tetapi juga alat komunikasi antara kelompok.

Diglosia dan masyarakat diglosik

Istilah diglosia dimaksudkan untuk memberikan gambaran peristiwa di mana dua variasi
dari satu bahasa hidup berdampingan di dalam suatu masyarakat dan masing-masing mempunyi
peranan tertentu (Perguson, dalam giglioli, 1972:232). Istilah itu diangkat dari bahasa Perancis
diglossie untuk menggambarkan situasi kebahasaan di sana, dalam bahasa Inggris dikena dengan
istilah bilingualism (kedwibahasaan), tetapi dirasakan kurang tepatn sebab peristiwanya memang
sedikit berbeda.

Analisis tentang diglosia didasarkan pada peristiwa kebahasaan yang terdapat di empat
negara yakni: Arab, Yunani, Swiss dan Haiti. Situasi
pemakaian bahasa di empat Negara itu dianggap mempunyai sifat-sifat khusus dan jarang
terdapat di Negara-negara lain.Kekhususan itu terutama terdapat dalam hal pemakaian bahasa
yang berhubungan dengan peranan (fungsi) dan prestise (gengsi), yang tercermin dalam warisan
sastra, perolehan bahasa, pembakuan, kemantapan, gramatika, kkosa kata dan
fonologinya(Ferguson, dalam Giglioli, 1972: 235-249).

Hubungan timbale-balik antara kedwibahasaan da diglosia

Dalam hubungan ini Fishman, (1975: 7-78) menyebutka empat jenis masyarakat tutur yang
menunjukkan adanya hubungan yakni:

1.Masyarakat yang diglosik dan dwibahasawan;

2.Masyarakat yang diglosik tetapi tak dwibahasawan;

3.Masyarakat yang dwibahasawan tetapi tak diglosik;

4.Masyarakat yang tak diglosik dan tak dwibahasawan.4

INTERFERENSI DAN INTEGRASI

Persamaan dan perbedaannya

Baik interferensi maupun integrasi merupakan akibat dari terjadinya kontak bahasa. Kedua
peristiwa itu pada hakekatnya adalah peristiwa pemakaian unsure bahasa yang satu ke dalam
unsure bahasa yang lain yang terjadi dalam diri penutur. Namun keduanya perlu dibedakan.Sebab
interferensi pada umumnya dianggap sebagai gejala tutur (speech parole), hanya terjadi pada
dwibahasawan dan peristiwanya dianggap sebagai penyimpangan. Sedangkan integrasi lebih
cenderung sebagai gejala bahasa (language, langue), dapat terjadi dalam setiap anggota masyarakat
dan peristiwanya tidak terasa lagi sebagai penyimpangan, karena unsur-unsur serapan itu telah
memasyarakat dan diperlakukan seperti system bahasa penyerapnya. Interferensi dianggap sebagai
yang tidak perlu teerjadi karena unsure-unsur serapan itu sebenarnya telah ada padanannya dalam
bahasa penyerap, sehingga cepat atau lambat sesuai dengan perkembangan bahasa penyerap,
diharapkan makin berkurang atau sampai batas yang paling minim. Sedangkan integrasi biasanya
dipandang sebagai suatu yang diperlukan karena unsure-unsur serapan itu tidak atau belum ada

4
Drs.H.Solehudin,M.Pd.2009.HANDOUT SOSIOLINGUISTIK.Jakarta:Universitas Pendidikan Indonesia.Hal 10-12
padanannya dalam bahasa penyerap, sehingga kehadirannya merupakan suatu yang diharapkan
demi perkembangan bahasa yang bersangkutan.

Interferensi

Dalam proses interferensi terdapat tiga unsur yang mengambil peranan yaitu: bahasa
sumber atau bahasa donor.Bahasa penyerap atau resipien, dan unsur serapan atau importasi.
Dalamperistiwa kontak bahasa mungkin sekali pada suatu peristiwa suatu bahasa merupakan
bahasa donor, sedangkan pada peristiwa yang lain bahasa tersebut merupakan bahasa resipien.
Saling serap adalah peristiwa umum dalam kontak bahasa. Interferensi dapat terjadi dalam setiap
konmponen kebahasaan. Bidang fonologi; Bidang morfologi; Bidang sintaksis, dan Bidang
semantik.Bidang fonologi misalnya jika penutur bahasa jawa mengucapkan kata-kata nama tempat
yang berawal dengan bunyi / b / , / d / , / g /, / j /, denga penasalan di depannya maka terjadilah
intrferensi tata bunyi bahasa jawa di dalam bahasa Indonesia misalnya: Bandung jadi /mBandung/,
Deli jadi /nDeli/, Gombong jadi /ngGombong/, Jambi jadi /nJambi/, dsb.

Interferensi morfologi terjadi apabila dalam pembentukan katanya sesuatu bahasa


menyerap afiks-afiks bahasa lain.Contoh: kelanggar, ketabrak, kepukul, kebesaran, kekecilan,
kemahalan, sungguhan, bubaran , duaan (dari bahasa Sunda) Interferensi sintaksis, kita ambil
contoh kalimat dalam bahasa Indonesia dari seorang bilingual Sunda-Indonesia dalam bahasa
Indonesia. Makanan itu telah dimakan oleh saya. (tuangeun tos diteda ku abdi) dalam bahasa
Indonesia baku “Makanan itu telah saya makan”. Mereka akan married bulan depan ( dari bahasa
Inggris) Omahe bapake Ali singgede dhewe ing kampung iku ( bahasa Jawa) “Rumah ayah Ali
yang paling besar di kampong itu”.5

Integrasi

Integrasi terjadi apabila unsur serapan dari suatu bahasa telah dapat menyesuaikan diri
dengan system bahasa penyerapnya, sehingga pemakaiannya telah menjadi umum karena tidak
lagi terasa keasingannya.

5
Drs.H.Solehudin,M.Pd.2009.HANDOUT SOSIOLINGUISTIK.Jakarta:Universitas Pendidikan Indonesia.Hal 12-13
Haugen (1972:477) menafsirkan integrasi sebagai”kebiasaan memakai materi dari suatu
bahasa kedalam bahasa yang lain”.Kebiasaan yang telah menjadi umum seperti itu terjadi karena
unsur tersebut telah terserap dalam waktu yang cukup lama atau belum lama waktu terserapnya
tetapi sangat diperlukan karena belum ada padanannya dalam bahasa yang bersangkutan. Namun
proses penyesuaiannya biasanya tidak terjadi sekaligus.

Integrasi dapat terjadi dalam segala komponen kebahasaan( fonetik, fonemik,morfomik,


ataupun semantic). Hadirnya kata-kata seperti: pikir, kabar, kursi, bendera, jendela,kemeja, polisi,
telepon, dan radio dsb. Menunjukkan adanya integrasi bahasa asing kedalam bnahasa Indonesia.
Sedangkan kata-kata dai bahasa daerah seperti : nyeri, ajeg, pura, subak, barong, batik, canting,
dandan, sandang, jorok, cengeng, cewek, dsb. Gejala integrasi dalam bidang morfologi seperti
kata-kata: nongkrong, mangkal, nonton, ngobrol, manunggal, sinambung, reuni, prakata, diskridit
dsb. Dalam bidang sintaksis sering terdengar secara lisan strutur seperti: Saya sudah katakan,
rumahnya Ali, dibawa oleh saya, pemanpaatan dari modal, dsb. Dalam bidang semantic seperti:
pria, wanita, hamil, narapidana, tuna karya, dsb. Sebagai substitusi makna terhadap kata-kata: laki-
laki, perempuan, mengandung/ bunting, orang hukuman, dan penganggur Dalam bidang bunyi
bahasa integrasi Nampak didorong oleh adanya perbedaan antara system bunyi bahasa donor
dengan sisterm bunyi bahasa penyerap (resipien).6

Akibat interferensi dan integrasi

Roman Jakobson (1972: 491) memberikan keterangan bahwa interferensi dan juga
integrasi hanya akan berpengaruh terhadap system bahasa sepanjang ada kemungkinan
pembaharuan dalam system bahasa penerima itu. Sedangkan Weinreich (1968: 1-2), dengan lebih
dulu memberi keterangan bahwa interferensi mengandung pengertian penyusunan kembali pola-
pola bahasa donor menurut system bahasa penyerap, memberikan penegasan bahwa bagai
manapun juga sedikit atau banyak peristiwa interferensi itu akan mempunyai pengaruh bagi system
bahasa penyerapnya.

6
Drs.H.Solehudin,M.Pd.2009.HANDOUT SOSIOLINGUISTIK.Jakarta:Universitas Pendidikan Indonesia.Hal 14
Beberapa faktor penyebab alih kode

Alih kode adalah peristiwa kebahasaan yang disebabkan oleh factor- faktor luar bahasa,
terutama factor-faktor yang sifatnya sosio-situasional. Beberapa factor yang biasanya merupakan
penyebab terjadinya alih kode antara lain ialah:

(1)Penutur;

(2)Lawan tutur;

(3)Hadirnya penutur ketiga;

(4)Pokok pembicaraan;

Campur kode

Campur kode terjadi apabila seorang penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia
memasukkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia.Dengan kata
lain, seseorang yang bicara dengan kode utama bahasa Indonesia yang memiliki fungsi
keotonomiannya,sedangkan kode bahasa daerah yang terlibat dalam kode utama merupakan
serpihan-serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Ciri yang menonjol
dalam campu kode ialah kesantaian atau situasi informal. Dalam situasi berbahasa formal, jarang
terjadi campur kode, kalau terjadi campur kode dalam keadaan itu karena tidak ada kata atau
ungkapan yang tepat untuk menggantikan bahasa yang sedang dipakai.7

7
Drs.H.Solehudin,M.Pd.2009.HANDOUT SOSIOLINGUISTIK.Jakarta:Universitas Pendidikan Indonesia.Hal 14-15
Kesimpulan
Bahasa merupakan suatu system suara yang arbitrer yang digunakan masyarakat pemakai
bahasa tersebut untuk berkomunikasi, mengidentifikasikan diri dll. Bahasa juga mempunyai
hakikat seperti: bahasa sebagai sistem, bahasa itu suara, bahasa itu arbitrer, bahasa itu
konvensional, bahasa itu manusiawi, dll. Bahasa dapat dibedakan dengan dua cara, yaitu secara
politis dan linguistik. Bahasa juga dinamis, yang berarti bahasa mengalami perubahan sesuai
jamannya. Bahasa juga dapat dipengaruhi oleh 4 jenis kontak bahasa, yaitu: Intervensi, Integrasi,
Campur Kode, Alih Kode.
Daftar Pustaka

Chaedar Alwasilah.1993. Linguistik; Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa

Chaer. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka cipta

Drs.H.Solehudin,M.Pd.2009.HANDOUT SOSIOLINGUISTIK.Jakarta:Universitas Pendidikan


Indonesia.

Muhammad, 2004. Belajar Mikro Linguistik. Yogyakarta: Liebe Book Press.

Padmadewi, Ni Nyoman, Putu Dewi Merlyna dan Nyoman Pasek Hadi Saputra. Sosiolinguistik.
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014. Online.

Rochayah Machali.2000. Pedoman Bagi Penerjemah . Jakarta: Grasindo

Rokhman, Fathur. Sosiolinguistik; Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa dalam Masyarakat


Multikultural. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

Suandi, I Nengah. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014. Online.


Daftar Isi
Kata pengantar i
Daftar isi ii
Hakikat dan Pengertian Bahasa 1
Hubungan Bahasa dan Kebudayaan 6
Peristiwa Kontak Bahasa 11
Kesimpulan 17
Daftar Pustaka 18

Anda mungkin juga menyukai